Lagi-Lagi, PKS Wahabi
Setelah mereda beberapa saat,
akankah polemik NU-PKS naik kembali tensinya menjelang Pemilu 2014 ini? Dimulai
dari pernyataan Yenny Wahid yang mengangkat isu ideologi politik Ahlussunah
Waljamaah, dimana PKS diposisikan sebagai satu-satunya partai yang tidak
mengusung ideologi tersebut, sehingga kader PKBIB boleh menjadi caleg partai
apapun selain PKB dan PKS.Pernyataan ini jangan-jangan merupakan tabuhan
genderang yang menandai dimulainya kembali perseteruan NU-PKS menjelang Pemilu
2004 lalu, dimana pimpinan hingga akar rumput NU secara masif menghantam PKS
dengan isu Wahabi, Transnasional, anti tahlilan, antimaulid, dsb. Dalam
berbagai forum, media, pengajian, selebaran gelap, PKS diposisikan sebagai
satu-satunya musuh Aswaja. Sejauh ini pihak PKS cukup menahan diri terhadap
bola panas yang dilemparkan NU tersebut, bahkan senantiasa melakukan pendekatan
dengan kalangan Nahdhiyin dalam bentuk silaturahim maupun penyelenggaraan even
khas keNUan.
Meskipun kurang intens, hubungan
antara NU dan IM sebenarnya telah trerjalin sekian lama. Pada waktu menjelang
eksekusi hukuman terhadap Sayyid Quthb, koran Duta Masyarakat milik NU
menunjukkan simpatinya, menganggap Sayyid Quthb sebagai tokoh yang banyak
berjasa bagi Islam. Padahal Sayyid Quthb adalah sosok yang sering dituduh
sebagai bapak radikalisme dan Terorisme Islam. KH Sirajudin Abbas yang demikian
gigih menyerang Wahabi saja, bahkan lebih ketat dari NU pada umumnya,
menjadikan Sayyid Quthb sebagai rujukan dalam buku yang beliau tulis.
Konon menurut Pak Mahfudz MD, Gus Dur
semasa mudanya ‘ethok-ethok’ mendirikan Ikhwanul Muslimin cabang Jombang.
Memang ada ‘simpatisan’ IM di kalangan pesantren NU waktu itu. Hal ini
menunjukkan visi politik keagamaan NU dan IM pada waktu itu cukup dekat. Sedang
kondisi IM/PKS maupun NU sekarang ini sama-sama jauh lebih moderat.
Tapi kemudian hubungan NU dengan
dunia luar putus pada gonjang-ganjing awal Orde Baru, ditandai dengan matinya
semua media NU. Ketika itu hampir seluruh wilayah NU terrisolir dari hingar
bingar pembangunan dan informasi. NU direpresentasikan sebagai komunitas
konservatif, kolot dan ndeso. Tapi kemudian terjadi suatu transformasi yang
sangat mengejutkan. Pemikiran Liberalisme, Pluralisme, Sekularisme, Syiah,
Wihdatul Wujud, dll yang sebelumnya sangat tabu bagi NU, sama tabunya dengan
Wahabi, diterima luas di kalangan NU. NU menjadi sangat ramah terhadap kalangan
Non-Islam, Ahmadiyyah, Kejawen dsb. Bahkan kalangan liberal di NU jauh lebih
liberal dari Paramadina, kalangan pluralis di NU lebih pluralis dari kaum
Nasionalis. Image NU berubah drastis menjadi moderat, pluralis, toleran dan
seterusnya. Tapi tidak demikian dengan persoalan Wahabi, ditengah jargon
pluralitas dan kebhinekaan yang diusung NU, sikap NU terhadap semua hal yang
berbau Wahabi teramat resisten, bahkan semakin melebar. PKS, HTI, Hidayatullah,
bahkan FPI tak luput dari tuduhan sebagai Wahabi.
Diantara pilihan antara sikap
fanatik terhadap madzhab atau toleran terhadap madzhab lain, tentunya ada plus
minus akibat yang ditimbulkannya. Dan harap segenap Nahdhiyin ketahui, sikap
yang dipegang Ikhwanul Muslimin/PKS sejak awal adalah mengambil jalur
pendekatan (taqrib) antar madzhab, bukan semata-mata mengelabuhi untuk
kepentingan politik sesaat. Sejak awal, prinsip yang digariskan oleh Imam Hasan
al Banna sudah jelas, tidak memperuncing masalah khilafiyah yang ada, toleran
terhadap perbedaan furu’, saling bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan
saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan. Namun tentang pokok-pokok
ajaran agama dan perkara-perkara yang sudah qath’i, harus kita pegang teguh.
Dalam menyelesaikan permasalahan dengan sesama umat Islam, harus dilakukan
dengan cara yang paling baik sehingga justru tidak menimbulkan hal yang lebih
buruk. Pandangan relatifisme madzhab ini belum tentu yang paling benar di sisi
Allah, tapi telah menjadi pilihan dan corak jamaah ini.
Secara umum sikap kalangan IM/PKS
lebih netral terhadap hal-hal yang berbau khilafiyah. Ketika menyangkut perkara
yang memang terjadi perbedaan sejak masa salaf atau antar ulama, maka kalangan
ini akan menyajikan pendapat kedua belah pihak dengan lebih berimbang,
menghormati perbedaan-perbedaan tersebut. Misalnya saja ketika ada pembahasan
masalah seperti tawasul, membaca sayyidina dan sejenisnya, pada kalangan
tertentu jawaban yang diperoleh adalah boleh, bahkan gambaran yang diberikan
seolah-olah para ulama sejak masa salaf bersepakat atas bolehnya perkara
tersebut tanpa ada alternatif pilihan jawaban lain. Sementara di kalangan lain
adalah sebaliknya, gambaran yang diberikan seolah-olah telah jelas sejak masa
salaf perkara tersebut tidak diperbolehkan, juga demikian yang dianut para
ulama besar terdahulu.
Sehingga diantara perseteruan
antara NU dan Masyumi waktu itu, IM yang berada di negeri seberang jauh menjadi
pihak yang diterima dan diidolakan keduabelah pihak. Namun ketika IM telah
hadir di negeri ini, justru diposisikan sebagai pesaing dan ancaman oleh kelompok
lokal yang lebih dulu eksis. Sebenarnya harus menjadi bahan introspeksi bagi
teman-teman PKS, HTI, JT dan semua yang dianggap gerakan transnasional. Sebagai
tamu yang hadir belakangan sewajarnya bersikap tau diri, jangan sampai
menimbulkan kesan semua problem bangsa ini mau diselesaikan sendiri, menafikkan
potensi lokal yang lebih dulu ada, dikesankan bernafsu merebut aset-aset
kelompok lain, tapi memberdayakannya agar bersama-sama memikul beban umat yang
sangat komplek ini.
Diantara pasang surut hubungan
PKS dan NU, sampai pada suatu waktu sebagian kalangan Nahdhiyin mempersepsikan
PKS sebagai Wahabi yang paling Wahabi, seolah-olah lebih Wahabi dari Salafy,
Persis atau Al Irsyad. NU dengan mudah melupakan konflik panjangnya dengan
Muhammadiyyah, kejawen, bahkan konflik dalam internal NU atau antar tarekat
yang demikian panjang. PKS dipandang sebagai satu-satunya musuh, faham yang
keras, orangnya tidak bisa diajak bekerjasama dan membahayakan negara. Pada
tataran ini kondisi merasa terancam eksistensinya disamping pesanan dari luar,
telah menjadikan NU kehilangan sikap adil, rasional dan obyektifnya. Maka sebaiknya
para pimpinan NU memberikan pendidikan ke akar rumputnya untuk tidak mudah
melakukan generalisasi dan stigmatisasi.
Tabayun, jawaban dan langkah
apapun dari pihak PKS atau HTI untuk menegaskan bahwa mereka bukan Wahabi
selama ini tidak memuaskan sebagian Nahdhiyin yang menuduh PKS atau Hizbut
Tahrir sama saja dengan Wahabi. Ketika PKS mengadakan Maulid atau ziarah kubur,
kalangan Nahdhiyin malah mencemooh, menganggap kegiatan tersebut hanya sebagai
manuver politik untuk mengelabuhi warga NU semata. Meskipun diantara Nahdhiyin
ada lebih terbuka, memahami bahwa PKS, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh atau
Hidayatullah bukanlah Wahabi, masing-masing memiliki sejarah dan corak sendiri.
Atau setidaknya mengakui bahwa PKS tidak sepenuhnya Wahabi, hanya setengah
Wahabi, meskipun berbeda dalam beberapa hal dengan NU tapi lebih santun dan
menghargai perbedaan. Namun dalam suasana pertarungan politik yang begitu ketat
dan perebutan pengaruh antar kelompok, sisi-sisi kewahabian PKS, HTI atau JT bisa
di-blowup sedemikian rupa, membentuk gambaran mereka sama dengan Wahabi. Bahkan
komunitas-komunitas yang backgroundnya sama dengan NU seperti Rifaiyyah atau
Wahidiyyah, karena faktor persaingan ini, di-blowup sedemikian rupa seolah-olah
mereka menyimpang dengan faham Aswaja ala NU.
Jika HT atau JT yang tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan Wahabi dituduh juga sebagai Wahabi oleh
Kalangan NU, apalagi PKS yang memang memiliki hubungan dengan Salafi/Wahabi.
Maka hendaknya teman-teman di PKS mengakui saja bahwa tidak bisa dipungkiri memang
IM atau PKS tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan Wahabi sama sekali.
Sebagai resiko IM mengambil jalur tengah, pendekatan dengan berbagai madzhab
dan aliran, berdiri diantara dua sisi, IM/PKS memang memiliki keterkaitan
dengan Salafy (orang NU menyebutnya Wahabi) sebagaimana IM/PKS juga memiliki
keterkaitan serupa dengan Aswaja ala NU/Asyariyah. Jika orang NU sangat apriori
dan menutup pintu serapat-rapatnya bagi pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim
atau Rasyid Ridho, maka kita di PKS terbuka menerima pengajaran mereka
sebagaimana kalangan PKS juga tidak apriori terhadap Imam Ghozali dan Ibnu
Atha’illah, menerima dengan segenap kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sisi-sisi kerinduan kalangan IM terhadap ukhuwah, menjadikannya mau membuka
komunikasi dengan berbagai kalangan termasuk Syiah. Sehingga bila hanya melihat
dari sisi ini IM terlihat condong ke Syiah, namun bila dilihat dari sisi yang
lain justru IM telah mempunyai banyak andil dalam membendung pengaruh Syiah di
dunia Islam.
Bisa saja realitas yang terjadi
di lapangan, di satu sisi ada unsur PKS yang terlibat konflik dengan NU terkait
ketidaksukaannya dengan tahlilan atau yasinan tapi di sisi lain ada unsur PKS
yang menjadi pemimpin tahlilan atau memiliki jamaah yasin. Demikianlah ketika
pondasi awal IM yang tidak fanatik madzhab berinteraksi dengan ruang dan waktu
yang begitu luas, berinteraksi dengan kondisi dan individu yang beragam. Namun
demikian tentu saja pada sisi-sisi PKS yang dekat dengan Salafi/Wahabi lebih
toleran dengan NU, demikian pula pada sisi-sisi PKS yang dekat dengan NU lebih
toleran terhadap salafy. Hal demikian juga terjadi di NU, ketika seorang
pengurus NU memimpin upacara pemberangkatan jenazah menyuruh melakukan
brobosan, di tempat lain ada Kyai NU melarang brobosan. PKS di Lampung atau
Kaltim tentu coraknya berbeda dengan PKS Semarang, bagaimanapun juga
perkembangannya tersusun oleh individu-individu dengan latar belakang
masing-masing, dengan pengaruh afiliasi masa lalu masing-masing kader, bisa
dari NU, Muhammadiyah, PERSIS, atau murni didikan Tarbiyah. Bisa saja dalam
suatu komunitas, seorang kader PKS tumbuh dengan sikap konfrontatif dengan NU,
mengkritik dan membid’ahkan amaliyah khas NU, dan dalam komunitas lain kader
PKS tumbuh tanpa kehilangan identitas ke-NU-annya. Maka sebaiknya dalam menilai
suatu jamaah dilakukan secara utuh, tidak parsial. Apalagi seperti PKS/IM ini
telah memiliki sejarah yang panjang.
Disamping itu dinamika akan terus
terjadi, PKS, NU, atau yang lain akan terus mengalami perubahan. Juga harus
diakui faktor keterlibatan dalam politik praktis membuat corak yang lebih
longgar, agar mendapat dukungan lebih atau setidaknya mengurangi resistensi.
Tentu juga dengan konsekwensi, misalnya ketika PKS mendekat ke NU atau
nasionalis, membuat unsur Salafy di PKS menjauh, memandang PKS lebih banyak
melanggar rambu-rambu syar’i, semakin banyak penyimpangan manhajnya.
Sehingga kita memiliki keberanian
dan harga diri terhadap NU. Kita bisa menagih komitmen NU terhadap toleransi,
pluralitas dan kebhinekaan. Jika NU begitu intens mengangkat isu anti
radikalisme, fanatisme, ekstrimisme, semestinya bisa menerima keberadaan kita
meskipun terdapat perbedaan dan corak masing-masing. PKS bukanlah NU dan tidak
bisa dipaksa untuk sama persis dengan NU, sebagaimana dalam NU sendiri juga
terdapat beragam corak. Islam dan Ahlussunah Waljamaah tidak sesempit masalah
qunut, rekaat tarawih atau adzan Jumat, dimana sejak generasi awal umat ini
atau dalam bingkai madzhab empat, perbedaan-perbedaan sudah biasa terjadi. Atau
yang lebih sempit lagi mengukur Aswaja dengan masalah jenggot, celana congkrang
atau jidat hitam, dimana hal semacam itu sebenarnya bukan barang luar bagi NU. Sehingga
jika di satu sisi PKS dituduh Wahabi, di sisi lain IM/PKS justru dituduh
sebagai ahli bid’ah, penyembah kubur, dengan mengungkap sisi-sisi kedekatan IM
dengan kalangan Sufi dan Asyariyah.
Jika PKS dianggap satu-satunya
partai yang mengancam keberadaan faham Aswaja maka patut dipertanyakan
obyektifitas sikap NU ini. Bukankah
pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh atau Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab juga ada dalam partai-partai lain
seperti PPP (secara resmi melalui unsur MI dan SI), PAN, PBB, bahkan
partai-partai nasionalis seperti Partai Golkar, dll. Wajar saja karena di dunia
modern ini memang segala sesuatu bisa saling berkaitan. Ketika NU membuat opini
PKS adalah musuh Aswaja sedang Muhammadiyah adalah sama dengan NU sebagai
pengusung faham moderat, maka patut juga dipertanyakan obyektifitas sikap NU
ini. Apakah NU melupakan begitu saja konflik dengan kaum pembaharu sejak masa
Komite Hijaz, era Masyumi, konflik NU-MI di PPP, hingga konflik pada masa Presiden
Gus Dur.
Jika yang diserang habis-habisan
oleh kalangan NU adalah komunitas seperti Salafy atau MTA yang secara frontal
dan vulgar menyerang amaliyah khas NU, lebih bisa dimaklumi meskipun dengan
jargon moderat, toleran dan rahmatan lil alamin yang diusung NU, menjadikannya
kurang layak melakukan hal yang vulgar dan frontal serupa. Tapi ketika PKS,
HTI, atau Jamaah Tabligh menyambangi NU
dengan cukup hormat, berupaya menjalin persahabatan, tetapi diterima NU dengan
garang dan penuh curiga. Tentunya dengan visi moderat, toleran dan rahmatan lil
alamin yang diusung NU, kita berharap kedatangan ini disambut dengan ramah dan
tangan terbuka, sekalipun terdapat perbedaan-perbedaan. Memang tidak bisa
dipungkiri ada letupan-letupan kecil di akar rumput, namun hendaknya direspon
secara dewasa. Jamaah-jamaah ini adalah kumpulan manusia yang bisa khilaf dan
berbuat salah, saling mengkoreksi dan mengingatkan adalah sesuatu yang baik dan
semestinya direspon secara positif, agar tidak menjadi perang urat syaraf yang
liar dan kehilangan obyektifitas, yang sangat menguras energi ketika umat ini
bertikai sendiri.
Demikianlah sejarah panjang umat
ini dipenuhi dengan konflik internal, yang semestinya menjadi keprihatinan kita
semua. Ukhuwah yang begitu kita dambakan namun begitu sulit kita wujudkan. Baru
ketika menghadapi musuh atau persoalan yang genting, umat ini bisa lebih bahu
membahu. Ketika perang kemerdekaan atau menghadapi G30S/PKI umat Islam lebih
rukun, namun ketika badai berlalu, sulit mempertahankannya. Sebagai bahan
koreksi dan introspeksi untuk kita semua, mengapa ketika orang NU menduduki
posisi Menteri, Gubernur atau Bupati, orang Muhammadiyah lebih gerah, begitu
juga sebaliknya ketika posisi tersebut diduduki orang Muhammadiyah, orang NU
yang lebih gerah. Tetapi ketika yang menduduki posisi tersebut dari kalangan
nasionalis, malah orang NU atau Muhammadiyah bisa lebih nyaman. Juga ketika
partai-partai nasionalis naik daun, kalangan partai Islam malah tidak terlalu
gerah.
Ketika tidak ada satu pun lembaga
yang mempunyai otoritas menghimpun umat ini dalam satu kesatuan, sementara
melakukan gerak sendiri-sendiri sangat tidak memadai, maka solusi untuk
menjembatani kedua hal tersebut yang sementara ini bisa dilakukan adalah
terbentuknya jamaah, organisasi, persyarikatan, yayasan dsb dalam tubuh umat
dalam beragam bentuk dan coraknya. Di satu sisi keberadaannya memiliki peran
masing-masing untuk memecahkan persoalan umat, tapi di sisi lain adalah
timbulnya berbagai friksi dalam tubuh umat ini.
Mengenai ukhuwah diantara umat
ini, tentunya kita semua begitu mendambakannya. Akan tetapi ketika di satu sisi
ada wacana untuk mengesampingkan segala perbedaan diantara sesama umat agar umat ini lebih rukun menghadapi
persoalan eksternal yang sangat pelik, di sisi lain juga muncul wacana bahwa
tidak mungkin persatuan terwujud, terwujud pun tidak ada gunanya manakala persatuan
tersebut didirikan di atas penyimpangan yang ada dalam tubuh umat. Sehingga
sejauh ini antara menjaga kemurnian agama dengan mewujudkan ukhuwah, masih
sulit diwujudkan. Ketika umat ini semakin jauh menempuh rentang generasi, ruang
dan waktu, makin banyak persoalan-persoalan baru bermunculan, sementara
persoalan sebelumnya begitu banyak yang belum terselesaikan.
Dalam urusan dunia kita, hal-hal
baru selalu diikuti persoalan yang mengikutinya. Misalnya saja seperti adanya
mesin tenun, Busway dan sebagainya, pada awalnya selalu diikuti gejolak.
Tentunya kita sepakat agar gejolak yang menjadi efek sampingnya diminimalisir
sehingga manfaatnya berguna bagi kehidupan kita. Dalam urusan agama kita
persoalan baru yang timbul juga akan diikuti pro kontra dan gejolak serupa.
Sebagai contoh dalam sebuah masjid dalam komunitas Nahdhiyin ada yang
mewacanakan melaksanakan shalat sunat qabliyah Jumat secara berjamaah, sebagian
jamaah merespon positif wacana tersebut, sedang sebagian jamaah lainnya tidak
menyetujui wacana tersebut. Contoh ini
baru satu perkara yang bisa menimbulkan pro kontra dalam tubuh umat. Jika ada
ribuan perkara baru yang timbul dalam tubuh umat ini, tentunya akan diikuti
ribuan pro kontra yang berujung pada semakin banyaknya friksi dalam umat ini.
Di antara friksi yang luar biasa dialami umat pada generasi ini, ada baiknya
kita menengok kembali diantara pesan terakhir Rasulullah SAW bahwa dalam umat
ini akan terjadi perselisihan yang banyak, maka hendaknya kita berpegang pada
sunah Beliau dan para Khulafaur Rasyidin, serta untuk menjauhi perkara baru.
Pesan tersebut menjadi rambu-rambu bagi kita agar tidak menambah beban umat ini
dengan persoalan baru yang tidak perlu, disamping merupakan upaya yang menjamin
originalitas agama ini sampai akhir zaman, ketika tidak akan ada rasul yang diutus lagi, agama
ini tidak akan mengalami penyelewengan yang total.