Kamis, 20 Juni 2013

NU & Kriminalisasi Yang Pernah Menimpanya


Serangkaian badai pernah menerpa perjalanan Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah perpolitikan di negeri ini. Terlebih ketika NU mengalami euforia kemenangan pasca tumbangnya PKI, badai yang datang kian dahsyat dan bertubi-tubi. Ketika itu NU menjadi satu-satunya kekuatan politik yang eksis pasca tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, ketika PKI sedang dibabat habis, PNI sedang terpuruk pamornya, dan Masyumi masih terseok-seok untuk bangkit kembali. Berhubung jasa NU menjadi ujung tombak penumpasan PKI bersama militer pro Soeharto, wajar jika NU memiliki harapan kuat untuk mendampingi militer memegang tampuk pemerintahan pasca tumbangnya Orde Lama tersebut.

Namun perjalanan NU menuju pusat kekuasaan tidak semudah yang diduga sebelumnya. Koalisi mesra NU dengan militer di pemerintahan awal Orde Baru hanya berlangsung sesaat. Berbagai kasus dan skandal menghantam bertubi-tubi, mendepak NU dari pusat kekuasaan. Di antara kasus yang menonjol adalah kisruh pengangkatan guru agama melalui program Ujian Guru Agama (UGA) ketika NU memegang posisi Menteri Agama waktu itu, serta kisruh penanganan haji oleh Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Mualim) bersama PT Arofat.

Hingga dalam sudut pandang sempit, dengan mudahnya publik mencemooh dan mendiskreditkan kesalahan-kesalahan NU, sebagaimana yang dilakukan rival-rival politiknya. Namun bila sudut pandang dalam melihat NU ini diperluas, menempatkan NU tidak saja sebagai gerakan yang mencari kekuasaan semata, namun sekaligus sebagai gerakan yang memperjuangkan agama, di mana rintangan dan intrik yang menimpanya lebih dari sekedar persaingan politik untuk mencari kekuasaan semata, sebagaimana yang menimpa Refah, FIS atau Masyumi.

Kisruh UGA berawal dari pengadaan guru agama secara mendesak, di mana ketika masa PKI berkuasa agama dipinggirkan dan menjadi bahan olok-olok, maka pada euforia pasca PKI tersebut posisi agama menjadi signifikan sehingga dirasakan kebutuhan untuk mengangkat guru-guru agama secara besar-besaran dalam waktu singkat. Kemudian dilakukan perekrutan sejumlah orang yang meski tidak memiliki ijazah memadai untuk menjadi pegawai negeri melalui semacam pelatihan singkat yang disebut UGA.

Namun pelaksanaan di lapangan menjadi akhirnya bermasalah ketika satu SK pengangkatan menjadi guru agama negeri tidak diberikan kepada yang bersangkutan tetapi diberikan kepada orang lain. misalnya SK pengangkatan seseorang yang bernama Sulaiman di Kab. Magelang diberikan kepada seorang yang bernama Nurhamim di Kab. Semarang, maka orang yang bernama Nurhamim tadi menjadi guru agama negeri dengan identitas sebagai Sulaiman tanpa menempuh prosedur yang semestinya. Kemudian orang yang bernama Sulaiman yang semestinya telah berhak dan memenuhi prosedur diangkat sebagai guru agama negeri tadi diusulkan kembali untuk mendapatkan SK karena SK memang belum diterimanya. Ketika SK pengangkatan kembali turun, SK tersebut lagi-lagi diberikan kepada orang lain, demikian seterusnya. Bahkan SK pengangkatan satu guru agama negeri bisa digandakan menjadi lima SK aspal (asli tapi palsu), hingga ada lima orang menjadi pegawai negeri dengan menyandang identitas sebagai Sulaiman di lima tempat yang berbeda. Anak remaja dengan identitas palsu atau orang yang belum bisa baca tulis dengan baik pun bisa diangkat menjadi guru agama negeri asalkan membayar sejumlah uang kepada calo oknum NU yang menguasai Departemen Agama ketika itu, dengan dalih untuk keperluan NU.  Sebagian kecil memang digunakan untuk membeli aset-aset berupa tanah atau gedung untuk NU. Rival-rival politik NU mengetahui akal-akalan birokrasi ini tetapi membiarkannya, bahkan memfasilitasinya.

Para pengurus NU berdalih dengan kaidah ushul fiqihnya bahwa mengangkat guru agama sebesar-besarnya, dengan cara bagaimanapun merupakan kebutuhan yang masuk kategori ‘dlorurot’, seperti diperbolehkannya mencuri kain kafan mayit untuk diberikan kepada orang yang tidak punya baju dengan alasan dlorurot daripada telanjang. Sebenarnya dampaknya juga berimbas kepada kualitas madrasah-madrasah NU hingga 30 tahun kemudian. Pada masa orde lama kualitas Madrasah NU umumnya lebih baik daripada Sekolah Rakyat (SR) Negeri, namun keadaan menjadi sebaliknya ketika Madrasah NU diisi pengajar produk UGA, jauh tertinggal dari sekolah negeri. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, namun kualitas produk UGA harus diakui cukup rendah.

Sedang kisruh Ya Mualim dilatarbelakangi minat kaum santri di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji sangat tinggi. Kalau untuk kalangan abangan waktu itu masih belum berminat bahkan masih alergi dengan hal-hal yang berbau agama. Namun keinginan menunaikan haji tersebut hanyalah merupakan impian yang tak mungkin terwujud mengingat kaum santri yang umumnya dari kalangan NU secara ekonomi merupakan kelas menengah ke bawah. Gelar haji merupakan sesuatu yang sangat prestisius, hanya segelintir orang yang mampu melaksanakannya. Ketika itu perjalanan haji menggunakan kapal laut dengan memakan waktu dan bekal yang begitu besar. Kemudian orang NU di pelosok-pelosok berbondong-bondong mencicil biaya haji melalui Ya Mualim tersebut, partisipasinya luar biasa.

Namun kemudian uang yang disetorkan dan saham yang dibeli menguap tanpa ada pertanggungjawabannya. Di samping kehilangan materi juga mendapati pupusnya impian untuk menunaikan ibadah haji. Tanpa mengerti kisruh apa yang terjadi di balik Ya Mualim dan PT Arofat, yang pasti keduanya telah collapse di tengah kondisi pengurusnya yang bergelimang harta dan properti.

Partai NU Partai Ingkang Murni
Dasar Islam Agama Kang Suci
Quran Hadits Pedoman Sejati
Madzhab Papat Nganggo Salah Siji

Sartane Hukum Islam Berlaku
Ing Negara Indonesia Mriki

Ini adalah sebagian bait-bait yang dilantunkan pada kampanye Partai NU pada Pemilu 1955. Dari syair ini menimbulkan implikasi yang dalam. NU bukan saja memiliki pesaing politik dalam upaya meraih kekuasaan, tapi juga implikasi dari posisi NU yang secara ideologi politiknya mengagendakan berlakunya hukum Islam di Negara Indonesia ini.

Meski gesekan dan friksi demikian panjang antara NU Muhammadiyah dan kalangan pembaharu sejak peristiwa Komite Hijaz hingga lepasnya NU dari Masyumi, konsistensi NU dalam mengusung pemberlakuan hukum Islam di Negara Indonesia tidak surut. Meski sering terjadi perbedaan sikap antara NU dan kekuatan Umat Islam lain pada tataran aplikasi praktisnya, namun senantiasa kompak dalam mengusung ide dasar memperjuangkan hukum Islam dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Meski antara NU dan Masyumi terlibat friksi yang hebat, keduanya sama-sama simpati terhadap sikap politik Islam sebagaimana yang dianut Sayyid Quthb pada kondisi waktu itu.

Dalam kondisi pasca Orde Lama, dimana upaya membangun kembali Masyumi masih terseok-seok, NU bukan saja menjadi kekuatan politik Umat Islam yang paling utama, namun sekaligus menyandang predikat sebagai Islam yang kolot, fundamentalis, seideologi dengan Sayyid Quthb, berarti NU dipandang sebagai sebuah momok Islam dalam sudut pandang kaum Nasionalis waktu itu. Sehingga upaya-upaya untuk menghalau NU dari kancah politik dipersiapkan, NU kemudian berhadapan dengan serangkaian tekanan, skandal dan konspirasi. Jasa dan kemesraan NU dalam operasi penumpasan PKI bersama militer pro Soeharto dilupakan dalam waktu singkat.

Pemilu 1971 menjadi pertarungan hidup mati bagi Partai NU melawan GOLKAR. Hingga kemudian NU tersingkir dari pemerintahan, bahkan termarjinalisasi dalam berbagai bidang kehidupan oleh pemerintah Orde Baru. Ketika dalam kondisi yang lemah NU terpaksa menerima pilihan untuk berfusi dalam wadah PPP, posisi NU sebagai tulang punggung utama PPP tidak membuat NU luput dari upaya marginalisasi di dalam PPP, di bawah intervensi pemerintah Orde Baru yang begitu dominan, sekaligus sebagai upaya mengerdilkan PPP itu sendiri. Upaya marginalisasi NU di PPP sangat kental pada masa kepemimpinan HJ Naro. Unsur NU baru bisa memegang tampuk pimpinan PPP ketika kekuasaan Orde Baru telah lengser.

Konsistensi NU dalam mengusung berlakunya hukum Islam berbuah konsekwensi pahit dan menyakitkan. Kedzaliman, kriminalisasi dan ketidakadilan senantiasa menimpanya. Pasca 1971, posisi-posisi NU di Depag disingkirkan, orang NU menghadapi pencopotan masal dari berbagai jabatan yang sebelumnya dipegang. Jangankan menjadi Menteri Agama, Kakandepag atau Rektor IAIN, menjadi Kepala Madrasah atau Kepala KUA saja hampir mustahil. Aset-aset NU terpaksa hidup dengan meninggalkan atribut NUnya, madrasah-madrasah milik NU terpaksa harus melepaskan keterkaitan dengan LP Maarif, media masa NU hilang dari peredaran. Secara struktur, kepengurusan NU bahkan seperti mati suri. Meski ditimpa ketidakadilan demi ketidakadilan, NU hanyalah seperti sekelompok orang lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali bersabar.

Ketika ormas selain NU bisa mencicipi secuil kue pembangunan Orde Baru bagi amal-amal usahanya, sekolah, universitas, panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya, namun bagi kalangan NU teramat sulit mendapatkan akses bantuan dan fasilitas dari pemerintah. Sekalipun bagi kalangan NU yang masuk ke Golkar, fasilitas yang diterimanya tetap tak seberapa. Orde Baru seperti merasa memiliki hutang nyawa dengan NU, begitu takut akan kebangkitan kembali NU. Amal usaha NU harus menghidupi aktivitasnya secara mandiri, bahkan di bawah tekanan. Sebagian kecil Kalangan NU, pesantren dan birokrat NU berusaha menghirup nafas lebih longgar dengan masuk ke Golkar, sehingga mendapatkan fasilitas dan bantuan meski tak seberapa. Namun eksistensi mereka justru lebih rendah daripada kalangan NU yang menjadi oposisi secara mandiri.

Lantas apakah tekanan dan marginalisasi dari Pemerintah Orde Baru dalam bidang politik, birokrasi, pendidikan, ekonomi dan sebagainya ini mampu mematikan NU? Ketika NU terkurung pada level masyarakat bawah, pinggiran dan pedesaan, dengan image yang kolot, kampungan dan terbelakang, apakah NU akan tetap eksis di tengah arus teknologi dan modernisasi? Satu dekade menjelang Orde Baru runtuh sudah mulai bisa terjawab. Ketika pamor Orde Baru bersama keberhasilan semu pembangunannya mulai pudar di mata masyarakat, justru secara kultural NU semakin eksis dan menyatu dengan masyarakat. Intervensi yang dilakukan Orde Baru terhadap NU yang melahirkan friksi kubu Gus Dur dan Abu Hasan tidak signifikan mempengaruhi NU.

Kultur NU secara horisontal mampu menembus sekat kaum abangan dan secara vertikal mulai merangsek menembus kalangan menengah ke atas. Terjadi akulturasi budaya antara kalangan NU dan abangan. Kalau dulu memakai kerudung menjadi ejekan pada kalangan abangan, kemudian kerudung bahkan membudaya pada kalangan abangan. Kaum abangan tidak lagi canggung melakukan tradisi-tradisi NU, melantunkan shalawat, mendengarkan pengajian ala NU dan mengikuti amaliyah khas NU lainnya. Sebaliknya kalangan NU juga tidak lagi alergi terhadap tradisi dan even khas abangan termasuk kesenian mereka. Amaliah khas NU seperti tahlilan, yasinan, maulid dan lainnya demikian mengakar, bahkan bisa dikatakan lebih populer di masyarakat kebanyakan daripada ibadah yang sudah baku seperti shalat, zakat, puasa atau tilawah al Qur’an.

Dan pasca tumbangnya Orde Baru, NU bukan lagi kelompok marginal dan kelas bawah, bahkan di luar dugaan sekaligus juga muncul sebagai kekuatan intelektual. Secara politik, NU sangat diperhitungkan. Untuk menggambarkan hegemoni NU, sampai ada ungkapan Kakandepag di seluruh Indonesia diambilalih NU semuanya, begitu mudah tanpa perlawanan berarti dari ormas lain, bahkan Rektor IAIN Padang juga sempat diduduki orang NU.

Namun bukan berarti ujian dan badai yang menimpa NU telah berakhir. Jika sebuah ujian telah berlalu, ujian yang akan datang bisa jadi lebih rumit. Ketika konsistensi para pendahulu NU mengusung pemberlakuan hukum Islam berbuah kesabaran dalam kepahitan. Kemudian ketika ujian serupa menimpa generasi penerus NU dalam bentuk dan suasana berbeda, akankah konsistensi itu sejengkal demi sejengkal akan memudar? Akankah dengan hegemoni yang disandang NU akan sanggup melewati derasnya arus pluralisme, sekularisme dan liberalisme, yang ingin menempatkan kebesaran NU sebagai batu sandungan di jalan dakwah ini, menempatkan syariah dan khilafah sebagai momok yang begitu menakutkan, melahirkan sikap inferior dan ketidakdewasaan terhadap sesama komponen umat dengan stigmatisasi isu gerakan transnasional, fundamentalis dan radikal yang ambigu?

Kasus-kasus yang menjerat NU pada waktu itu memberikan sebuah pelajaran bahwa kompetisi yang melibatkan para pengusung dakwah ini lebih dalam dari sekedar persaingan politik atau ekonomi semata. Gerakan yang mengusung agenda dakwah tidak akan sepi dari berbagai rintangan, baik berupa pemberangusan yang kasar, intrik yang dikemas halus, hingga konspirasitainment yang heboh. Dan hal seperti itu bisa menimpa siapa saja dari pengusung agama ini baik NU Muhammadiyah, HTI, PKS LDKI dan lainnya. Ketika itu NU dalam kondisi tersudut, baik oleh lawan politiknya maupun sesama komponen umat yang pernah terlibat friksi dengan NU. Lebih cenderung memojokkan NU, mencela kebobrokan moral dan perilaku korup yang dilakukannya, tidak becusnya NU dalam mengelola suatu pemerintahan, daripada membangun sinergi untuk menghadapi tantangan dakwah secara bersama-sama.

Namun para pengusung dakwah ini selayaknya tidak serta merta menjadikan rintangan yang menghadang sebagai dalih yang paling mudah untuk menafikkan sisi-sisi kekurangan, kelengahan, kemalasan atau ketergesaan pribadi-pribadi pengusungnya. Dan tidak hanya sisi-sisi kekurangan para pengusung dakwah ini yang menjadi sebab memudarnya jalan dakwah, namun terkadang kuatnya tekad dan semangat pengusung dakwah ini diolah oleh rival-rival dakwah menjadi ketergelinciran dan jatuhnya para pengusung dakwah. (dakwatuna)

Rabu, 19 Juni 2013

Jengkol PKS Dan Ghuroba


Tak disangka tak dinyana, jengkol menjadi sebuah fenomena yang menggemparkan hingga kalangan pejabat di negeri ini. Baru kali ini harga jengkol yang berlipat ‘menggoyang’ dunia perekonomian kita. Sejak zaman dahulu, barang sepele sebangsa jengkol belum pernah menjadi suatu fenomena besar.

Rasa-rasanya sebagian besar masyarakat kita tidak terlalu butuh jengkol. Seberapa pun mahalnya, nggak ambil pusing. Beda dengan beras, sehari saja tidak makan nasi, rasanya tetap belum makan meski menyantap beragam makanan lainnya. Wajar jika program Sehari Tanpa Nasi di Kota Depok menuai berbagai keluhan hingga protes dari masyarakatnya. Bahkan bagi yang tidak doyan jengkol, digratiskan pun tetap tidak doyan, enek banget, apalagi baunya saja sudah mengganggu.

Tapi faktanya segelintir orang tetap ada yang menjadi pecandu jengkol. Betapapun mahal harganya, tetap harus bersusah mencarinya. Orang lain menilainya aneh, tidak bisa dinalar. Mengapa tidak memburu makanan lain yang lezat-lezat saja. Tapi begitulah selera kita masing-masing, terkadang tidak bisa saling mengerti.

Rasa-rasanya jengkol ini ada kemiripannya dengan PKS, partainya para pemuda yang aneh bagi komunitasnya. Di saat sebagian besar generasi muda mengisi waktu luangnya dengan main-main, tak jauh-jauh dari hal-hal yang bersifat entertainment, segelintir anak muda yang sudah kecanduan PKS seleranya menjadi beda. Ketika kebanyakan pemuda menikmati masa mudanya dengan hal-hal yang serba menyenangkan dan hura-hura, main, pacaran, nonton, dengerin musik, segelintir pecandu PKS malah berkutat dengan hal-hal seperti ngaji, baca buku, menghafal Al Qur’an, rajin ke masjid dan seabreg tugas lain. Orang lain mungkin berpikir masa muda waktunya hura-hura, rajin ibadah kalau sudah tua saja, tapi para pecandu PKS sejak belia sudah harus berkutat dengan agenda-agenda di masyarakatnya, sejak dari bakti sosial hingga menjadi relawan bencana. Orang lain mungkin menilai hal tersebut sangat membosankan, terkekang, nggak gaul, dan sumpek banget, tapi para pecandu PKS sangat menikmati kebahagiaan dari berbagai aktivitas yang dilakukan.

Ketika memandang pohon jengkol, sepertinya juga mengingatkan tentang pohon dakwah yang kita bina. Ketika seseorang menanam pohon jengkol, yang akan memanen buah dari pohon yang ia tanam bukanlah dirinya. Paling cepat, yang akan memetik buah jengkol dari pohon yang ia tanam adalah cucunya, bahkan generasi sesudahnya. Mengingatkan tentang jalan dakwah ini yang begitu panjang, belum tentu generasi yang menanam pohon dakwah ini yang memetik buahnya juga, bisa jadi pohon dakwah ini berbuah pada masa generasi sesudah kita. Di sinilah pentingnya motivasi, kesabaran dan keikhlasan bagi para penanam pohon jengkol dan juga pohon dakwah ini. Para penanamnya bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri atau mengutamakan kepentingan sesaat, tetapi sebuah pengorbanan untuk masa depan, meraih hasil di hari esok, bahkan di akherat kelak.

Dan bagaimana harga jengkol yang bisa lebih mahal dari harga daging sekalipun, tanpa mempromosikannya, tak ada iklan untuk menarik orang-orang membeli jengkol, namun nyatanya para pemilik jengkol seperti mendapat rejeki yang tak disangka-sangka sebelumnya. Begitu pula dengan dakwah yang kita bina, tatkala kebanyakan manusia tidak membutuhkan bacaan Al Qur’an kita, dzikir kita, sholat kita, tatkala berhadapan dengan dunia yang semakin pragmatis, yang ditanyakan hanyalah uang dan materi, bansos, aspirasi dan semacamnya. Sia-siakah doa kita, tilawah kita, qiyamul lail kita tatkala masyarakat tidak membutuhkannya, mengapa kita bersusah payah melakukan semua itu. Tidakkah mengandalkan politik uang saja, membangun pencitraan, iklan, permainan media, untuk mencapai tujan kita. Namun sebagaimana jengkol, bisa jadi suatu hari nanti amal-amal yang sepele di hadapan manusia itu mengundang pertolonganNya, dari arah yang tak disangka-sangka, pintu kemenangan yang seolah mustahil menjadi mudah.

Jadi bagi para pecandu jengkol dan juga pecandu PKS, nikmati saja keanehan ini meski kebanyakan manusia tak mengerti kenikmatan yang dirasakan.(dakwatuna)

Senin, 17 Juni 2013

Jika Ujian Ini Terlalu Pahit


Di saat kita memulai menapaki jalan dakwah ini, terbersit sebuah keyakinan bahwa jalan yang akan kita tempuh ini bukanlah jalan yang tanpa aral rintangan. Jika aral rintangan yang menghadang berupa sesuatu yang menyakitkan, jauh sebelumnya kita sudah menyiapkan bekal ketabahan meski terbersit kekhawatiran bahwa bekal yang kita persiapkan tidak sebanding dengan besarnya rintangan yang menghadang. Dan jika aral rintangan yang menghadang berupa sesuatu yang gemerlap indah menyilaukan, kita sudah menyiapkan diri dengan bekal kesabaran meski terbersit kekhawatiran bahwa rintangan yang begitu indah telah lebih banyak menggelincirkan para penempuh jalan ini.

Namun cita yang ingin kita gapai teramat tinggi, menjadikan ujian yang menghadang langkah kita teramat pelik, bahkan tidak kita mengerti sama sekali. Hingga sekian lama kita berjalan, seolah-olah tidak ada aral rintangan yang berarti, dan kita semakin terlena. Tanpa kita sadari serangkaian intrik, tipu daya, fitnah dan semua sarana-sarananya di berbagai penjuru telah dipersiapkan begitu rapi. Kita terus menapaki berbagai keberhasilan dengan hati berbunga-bunga, sementara hakekatnya kita sedang memasuki lorong-lorong jebakan.

Hingga sampailah ujian yang harus kita hadapi berlangsung di tempat yang hitam tidak lagi tampak hitam dan putih tidak lagi tampak putih. Yang harus kita hadapi bukan sekedar ketabahan menghadapi hal-hal yang menyakitkan atau kesabaran menghalau hal-hal yang menyilaukan. Kita menghadapi sebuah pilihan sulit antara melewati panggung sandiwara dengan memerankan karakter-karakter yang teramat memuakkan atau memilih hengkang dari jalan ini. Jika selama ini kita menyiapkan sebuah cita-cita menjadi seorang mujahid, penegak kebenaran dan pembela orang-orang lemah, namun di jalan dakwah yang dilalui ini sampai pada saat dimana kita kebagian peran sebagai penjual agama, pembela kedzaliman dan penipu rakyat. Sebuah pilihan yang teramat pelik, sebuah ujian yang terlalu pahit.

Terbersit keinginan untuk meninggalkan jalan ini, namun terbayang kegembiraan musuh atas keberhasilan mereka tidak hanya mengambil alih jalan dakwah ini, bahkan menjadi penunjuk dan penuntun jalannya. Terbersit keinginan untuk mencari jalan lain dan memulai lagi segalanya dari awal, namun tergambar rintangan serupa yang akan menghadang. Di saat mencoba bertahan merasakan kepahitan ini, sementara musuh terus mematahkan satu per satu hujjah yang kita miliki. Di saat kepenatan menginginkan diri ini untuk berhenti dari jalan ini, namun musuh terus memaksa agar kita tetap menjadi bagian dari rangkaian cerita yang mereka buat ini, agar cerita indah ini tidak terlalu singkat untuk dinikmati.

Menghadapi sebuah ujian yang tengah menimpa tak semudah memandang kembali ujian yang telah berlalu. Andai kita kembali berada di tengah-tengah para pemanah Uhud, dengan mudah kita berandai-andai menjadi diri yang paling loyal, tetapi manakala ujian serupa tentang loyalitas menghampiri kita dalam bentuk yang belum terbayangkan sebelumnya, benar-benar menimbulkan keraguan. Andai kita kembali berada di tengah peristiwa ifki, dengan mudah kita berandai-andai menjadi diri yang paling tsiqoh di antara kebohongan yang menerpa, tetapi manakala ujian serupa datang dalam bentuk kita, kegamangan tetap menimpa diri.

Manakala menghadapi ujian pada tingkat berikutnya, beratnya ujian sebelumnya seolah tiada berarti. Tapi bukan berarti semua itu bisa menepis kegelisahan tentang ujian yang sedang dihadapi, apalagi kegelisahan tentang hasil akhirnya. Terbersit kekhawatiran tentang semakin banyaknya diri yang berguguran, apalagi cita yang ingin diraih bukan tujuan-tujuan rendah mudah dipetik.

Kadang kala timbul kekhawatiran bahwa kesungguhan dan keteguhan tidaklah memadai lagi untuk menyelesaikan ujian kali ini, hingga ada pertanyaan apakah upaya menghalalkan segala cara dan menebar kebohongan harus diikutsertakan dalam menghadapi ujian ini, sementara kita tidak memiliki bakat yang cukup untuk memainkan apiknya sebuah permainan kedzaliman. Di antara beratnya perjalanan ini, begitu beratnya menjaga diri agar tak tergiur untuk singgah di tujuan-tujuan rendah.

Tetapi bukankah kebanyakan kesatria tidak lahir dengan mewarisi berbagai kemudahan, namun kebanyakan kesatria lahir dengan mewarisi persoalan yang seolah tiada memiliki jawaban atau misi yang seolah tak mungkin terwujudkan. Tidakkah kita ingin menjadikan ujian ini sebagai penutup lobang-lobang keteledoran, pengurai simpul-simpul kemalasan, mencegah diri-diri ini terlalu tergesa untuk menjadi tempat disematkannya sebuah prestasi kemenangan, sementara belum pernah merasakan pahitnya sebuah penindasan, belum pernah menyuguhkan manisnya doa yang mengiringi berbagai kedzaliman.

Hingga keterpurukan ini semoga menjadi pengikis kesombongan atas kemampuan yang kita miliki, menambah ketundukan dan kepasrahan kita kepadaNya. Kepedihan ini semoga mengikis ego dan keangkuhan kita, menanamkan rasa kesetiakawanan yang sempat terkubur oleh keberhasilan yang selalu kita banggakan. Betapa pun kita menillai kehebatan diri, namun tak berarti apa-apa di hadapanNya. Jika selama ini kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk mengakui sebuah kesalahan, terlalu sedikit petunjuk jalan yang bisa diambil orang-orang di belakang kita. Di antara ketidakberdayaan ini, bukankah kita memiliki apa yang tidak mungkin dimiliki para musuh, sebuah ketulusan dan pengharapan kepadaNya. (dakwatuna)