Minggu, 27 Oktober 2013

Salafy Di Muhammadiyah, Ketika Kebersamaan Teruji


Ramadhan dan Hari Raya telah berlalu, namun ada sesuatu yang masih mengganjal pada komunitas Salafy dalam tubuh Muhammadiyah tentang perbedaan pandangan mengenai penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Komunitas Salafy yang agak moderat, yang selama ini relatif bisa nyambung dan bersinergi bersama komunitas lain di Muhammadiyah, bahkan keduanya lebih tampak identik dilihat dari luar. Hubungan yang terjalin lebih cenderung saling melengkapi, banyak merangkai suatu harmoni sekalipun sebenarnya juga terdapat perbedaan corak yang mendasar.

Pandangan keagamaan puritan keduanya dalam lingkup ibadah mahdhah memang sejalan. Namun Muhammadiyah juga mewarisi gagasan keagamaan modern dari Muhammad Abduh yang berpotensi menimbulkan friksi dengan pandangan Salafy yang tekstual. Dan potensi terjadinya friksi inilah yang mulai terkuak dari momentum dalam penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya.

Muhammadiyah mengetahui bahwa penentuan tanggal pada masa Rasulullah dengan memakai cara rukyatul hilal yang sangat sederhana. Namun Muhammadiyah memaknai melihat bulan dengan mata telanjang hanyalah sebuah sarana untuk menentukan tanggal, sesuai dengan kondisi umat waktu itu. Nilai-nilai modernitas yang diadopsi Muhammadiyah cenderung pada penggunaan hisab untuk penentuan kalender sesuai pada kondisi zaman sekarang. Sebagai analogi sederhana, fikih sejak masa klasik menentukan status hukum khunsa melalui tempat keluarnya air kencing, sedang pada masa sekarang ketika ilmu kedokteran semakin maju, kasus khunsa ditentukan dengan tes DNA, hormon dan organ reproduksi, yang terkadang hasilnya berkebalikan dengan metode tempat keluarnya air kencing.

Seiring berlalunya zaman, persoalan penentuan kalender umat ini semakin komplek. Persoalan ini tidak sesederhana terlihatnya hilal atau sebatas ada saksi yang mengaku melihatnya,  sebagaimana adanya pada masa Rasulullah. Ketika di zaman ini ilmu astronomi sudah sedemikian maju, tidak bisa menafikkan begitu saja ilmu hisab untuk menguji validitas terlihatnya hilal.

Juga tidak semudah menentukan definisi ulil amri yang berhak memutuskannya, tidak sesederhana ketika ada orang melihat hilal, otomatis tanggal ditetapkan. Di antara pemahaman seburuk apapun suatu pemerintahan dzalim, kaum muslimin tetap harus taat sepenuhnya selagi bukan diperintah untuk maksiyat, dengan pandangan yang mendefinisikan ulil amri sebagai otoritas dalam bidangnya masing-masing termasuk ulama atau ormas, bukan monopoli pemerintah. Umat ini tidak lagi berada pada satu kepemimpinan yang otoritasnya diakui seluruh Umat Islam, termasuk persoalan memposisikan keberadaan ormas, persyarikatan, jamiyyah atau majelis keagamaan di antara beragamnya aliran, manhaj atau madzhab yang belum bisa dipertemukan. Juga sikap pada sebaik atau seburuk apapun suatu pemerintahan yang notabene adalah muslim, namun bagaimana bila menyangkut rezim boneka kaum kuffar sekalipun banyak memakai simbol-simbol Islam. Atau jika pemerintah didominasi aliran sempalan, memutuskan tanggal berdasarkan metode yang tidak syar’i seperti aboge, lantas siapa yang memegang otoritas untuk ditaati oleh umat.

Ketika dahulu Umat Islam berada hanya dalam satu Daulah, terjadi perbedaan penentuan tanggal antara wilayah yang berbeda, antara Damaskus dan Madinah. Apakah sekarang dalam satu negara yang luas, penduduknya harus menentukan tanggal secara bersamaan, meski satu negara terdiri dari berbagai wilayah dengan kondisi astronomis, mathla’, dan zona waktu yang berbeda, perbedaan antara Papua dengan Aceh lebih besar dari perbedaan antara Damaskus dan Madinah. Atau dalam sebuah kawasan sempit yang terbagi menjadi banyak negara kecil seperti di kawasan Teluk, apakah akan menentukan tanggal sendiri-sendiri sementara kondisi astronomisnya hampir sama. Apakah terlihatnya hilal mengikat pada satu negara saja, atau wilayah lokal sejauh jarak qoshor shalat saja, ataukah berlaku bagi seluruh dunia di era teknologi informasi yang mengglobal ini.

Banyak lagi persoalan lain seperti  pemahaman mengikuti waktu rangkaian pelaksanaan haji, dengan pemahaman mengikuti tanggal di negeri masing-masing. Misalnya apakah Negeri-negeri di Afrika harus menunda penetapan tanggal meski hilal telah terlihat dikarenakan di negeri tempat pelaksanaan haji hilal belum tampak dan tanggal belum ditetapkan. Ataukah sebaliknya, penetapan rangkaian ibadah haji menunggu penampakan hilal di negeri-negeri Afrika atau sebelah baratnya, jika di Arab Saudi hilal belum tampak.

Pilihan pada metode hisab hanyalah bagian kecil dari paradigma penerimaan nilai-nilai modernisme dalam keberagamaan. Dan ketika paradigma ini bersinggunggan dengan berbagai paradigma lain, seperti konsep ulil amri atau umat sebagai satu kesatuan yang tidak semestinya saling mendahului, maka semestinya diperlukan sikap arif dalam menentukan keputusan, terkait apa yang menjadi prioritas dan lebih bermanfaat.

Dalam kondisi yang begitu komplek, tidak semestinya kita terbelenggu pada permasalahan yang masih sulit dipertemukan. Jika selama ini kalangan Muhammadiyah mendapat manfaat dari sisi keilmuan, tsaqofah dan sumber daya dari interaksinya dengan kalangan Salafy, sementara kalangan Salafy mendapat akses menjangkau masyarakat yang lebih luas melalui Muhammadiyah, semoga sisi positif ini tidak rusak oleh memperuncing masalah-masalah yang tidak begitu bermanfaat.

Kita yakin keberadaan ulil amri merupakan solusi atas semua problematika umat. Namun untuk mewujudkannya bukanlah perkara yang mudah, sebagai imbas atas keragaman pemahaman dalam tubuh umat sendiri. Ulil amri bisa jadi baru akan tegak sempurna kelak di penghujung akhir umur umat ini. Dan berabad-abad sebelumnya, umat ini mesti bisa menyiasati ketiadaan senjata pamungkas ini dalam menghadapi segenap problematikanya.

Persoalan perbedaan pemahaman ini senantiasa ada, bukan sekedar persoalan tingkat keilmuan atau penguasaan kitab semata. Di antara upaya pencarian kebenaran yang mulia ini, semoga tidak terganggu oleh hal-hal yang tidak kontraproduktif bagi kedua belah pihak. (dakwatuna)

Jumat, 18 Oktober 2013

Arti Sebuah Euforia


Seandainya Allah berkehendak memberikan kemenangan terus-menerus kepada para pembelaNya, niscaya hal tersebut sangat mudah bagiNya. Di antara silih bergantinya kejayaan, jatuh bangunnya berbagai peradaban, Kemenangan dan kekalahan sesungguhnya dipergilirkan olehNya, untuk menguji siapa hamba yang terbaik amalnya.

Adakalanya perjalanan ini berada dalam kondisi terseok tertatih di antara ketidakadilan dan kepedihan yang menimpa, berada dalam ketidakberdayaan namun sesungguhnya perjalanan sedang menyongsong sebuah fajar kemenangan.

Adakalanya perjalanan ini berada di atas puncak kemegahan sebuah peradaban, namun dengan fasilitas yang dimilikinya tak kuasa menahan runtuhnya sejengkal demi sejengkal kejayaan peradaban yang terus memudar. Meski memiliki kebesaran masa lalunya yang gemilang, namun perjalanan telah terjebak dalam situasi dipaksa menyaksikan runtuhnya kejayaan itu tanpa bisa berbuat sesuatu pun untuk mencegahnya.

Di antara suka duka perjalanan ini, kadang kala lawan memberi sedikit umpan, berupa pencapaian kecil yang menimbulkan hasrat untuk beristirahat, rasa ingin sejenak melepas kepenatan yang telah sekian lama dirasakan, terlena oleh sedikit kenikmatan yang dirasakan, hingga kewaspadaan memudar, sementara perlombaan ini masih berlangsung dengan sengit, dan terlupa sesungguhnya masih harus berpacu untuk mencapai tujuan yang yang sebenarnya. Membuat tujuan yang akan dicapai terlihat dekat di hadapan, namun sebenarnya jalan yang mesti ditempuh masih harus memutar dan berliku.

Di antara suka duka perjalanan ini, kadang kala terjatuh dan terperosok, namun perih, keluh kesah dan penyesalannya sirna ketika kejatuhan itu mengantarkan untuk mendapatkan jalan lain yang lebih mudah.

Dan kemenangan sempurna din ini tidaklah bertolak dari kebesaran Bani Umayyah, tidak pula dari kemegahan Bani Abasiyyah, juga tidak bertolak dari kekuatan imperium Utsmani, namun kemenangan sempurna din ini menjadi lebih heroik ketika bertolak dari sebuah ketidakberdayaan, benar-benar menunjukkan kuasaNya.

Ketika bumi yang dipijak kian terasa sempit, kondisi terasing dan terkucil kian dirasakan, fitnah dan ketidakadilan begitu mudahnya menimpa, merupakan pertanda bahwa apa yang dijanjikan telah semakin dekat.

Semoga rasa sakit oleh ketidakadilan ini semakin menumbuhkan rasa kesetiakawanan, dalam kondisi terkepung dan terpojok ini tumbuh rasa tawakal dan kepasrahan kepadaNya, dan dari rasa ketidakberdayaan ini kian mengikis kesombongan diri ini, hingga tiada yang bisa diperbuat untuk memohon pertolongan kecuali dengan sabar dan shalat.

Ya Allah, semoga tipu daya dan kedzaliman yang menimpa kami menjadi tambahan pertolongan bagi kami dan mendekatkan kepada kemenangan sebagaimana yang Engkau janjikan dan senantiasa menjadi kabar gembira di antara duka lara kami, tegaknya din ini di semua tempat yang ada timur dan baratnya.

Ya Allah, semoga sisi kebaikan kami yang tak seberapa ini, mengundang rahmatMu yang tiada tara untuk memberi sebaik-baik pertolongan bagi kami, serta menjadi penutup kekurangan dan kelemahan kami. (dakwatuna)

Senin, 14 Oktober 2013

Menjaga Sikap Adil Sekalipun Dalam Keadaan Terzhalimi


Menjaga sikap adil terkadang merupakan sesuatu yang berat, namun akan lebih berat ketika harus menjaga sikap adil di kala kezhaliman sedang menimpa. Tentunya akan ada dorongan yang lebih kuat untuk membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan serupa, membalas fitnah yang diterima dengan fitnah yang serupa atau bahkan melampiaskannya lebih besar lagi.

Ada sebuah pelajaran berharga dari perjalanan hidup Nabiyullah Musa AS kala remaja ketika melakukan sebuah kesalahan. Meski Musa diasuh oleh keluarga Fir’aun dalam istananya sendiri, bahkan menjadi kesayangannya, namun kaumnya Bani Israil mengalami penindasan, kesewenang-wenangan dan diskriminasi oleh Fir’aun. Di samping memperbudak, Fir’aun juga sempat membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil.

Meski Musa tumbuh dalam kasih sayang Fir’aun, namun dia tidak menutup mata atas kezhaliman yang dialami kaumnya. Ketika suatu hari dia melihat dua orang berkelahi, antara seorang dari kaumnya dan seorang dari kaum Fir’aun, solidaritasnya secara spontan muncul. Musa memukul lawannya hingga tewas, meski sebenarnya tak sengaja ingin membunuh. Hal ini dikisahkan dalam Al Qur’an:
Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” (QS. Al Qashash: 15)

Dengan segera Musa kembali pada kesadarannya, timbul penyesalan dan rasa bersalah pada dirinya. Maka dia bersegera untuk meminta ampun kepada Allah.
“Musa mendoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang- orang yang berdosa.” Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya).” Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS. Al Qashash: 16-19)

Maka Allah mengampuninya, begitu mudah Allah mengampuni orang yang berbuat kesalahan kemudian mengakuinya, meminta ampun dan memperbaiki diri.
“Tetapi orang yang berlaku zhalim, kemudian ditukarnya kezhalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Naml: 11)

Bahkan kelak kemudian Nabi Musa AS mengakui kesalahannya di hadapan Fir’aun sendiri, tatkala diutus sebagai rasul kepadanya. Namun sebuah pembelaan juga diutarakan kepada Fir’aun, tentang perlakuannya terhadap Bani Israil yang semena-mena, yang bagaimanapun memengaruhi emosi seorang Musa hingga mendorong tindakan khilaf tersebut.
“Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.” Berkata Musa: “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.” Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (QS. Asy Syu’araa’: 18-22)

Dari peristiwa ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik. Kezhaliman yang menimpa tidak boleh menjadi dalih untuk melakukan kezhaliman serupa. Penindasan, kesewenang-wenangan dan diskriminasi yang diterima, tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan tindakan anarkis, pelanggaran hukum atau main hakim sendiri.

Sekiranya kita mendapatkan fitnah, kecurangan, atau kedustaan secara bertubi-tubi, hendaknya sikap obyektif, kesantunan dan kejujuran tetap terjaga.

Sekiranya kita ditimpa penindasan ekonomi, maka hal itu tidak bisa menjadi pembenaran untuk melakukan perampokan atau penjarahan. Kita tidak dibenarkan merampok dengan alasan mengambil harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin.

Dengan demikian perjuangan yang dilakukan umat ini akan tampak elegan dan memperlihatkan ketinggian akhlak. Perjuangan ini hendaknya tidak ternoda oleh hal-hal yang bertentangan dengan hakikat dan tujuan perjuangan itu sendiri.

Tetapi yang harus diperhatikan, Kezhaliman penguasa terhadap orang-orang lemah tidak bisa disejajarkan dengan kesalahan orang-orang dalam keadaan lemah teraniaya. Kesalahan yang dilakukan orang-orang lemah lebih ringan dan lebih mudah dimaafkan di sisi Allah daripada kesalahan yang dilakukan tiran yang menindas mereka. Kesalahan orang-orang lemah yang berada dalam keadaan tertekan berbeda dengan orang-orang kuat yang berbuat melampaui batas dalam keadaan lapang.

Sehingga upaya mengentaskan orang-orang lemah dari kezhaliman yang mereka terima semestinya lebih diutamakan daripada menghukum mereka atas kesalahan yang diperbuat. Bisa jadi mereka berbuat kesalahan tidak semata-mata karena ingin berbuat kerusakan, namun kondisi tertekan yang mereka alami yang menyebabkan pelanggaran itu dilakukan. Sekiranya keadilan ditegakkan dan kezhaliman dihapuskan, niscaya lebih layak ditegakkan hukuman atas orang-orang berbuat keadaan lapang.
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy Syuura: 39-43)

Tidak semestinya kezhaliman terus dibiarkan terjadi. Upaya yang dilakukan orang-orang teraniaya untuk melepaskan diri dari kezhaliman adalah perbuatan mulia. Allah memberi mereka hak untuk membalas dengan setimpal dari kezhaliman yang menimpa. Hak menuntut balas ini juga menjadi salah satu instrumen pada upaya penegakan keadilan dan mencegah terjadinya kezhaliman. Namun tidak diperbolehkan berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam membalas suatu kezhaliman.

Adakalanya orang-orang lemah yang mengalami penindasan luar biasa, tak mampu lagi mengendalikan diri sehingga melakukan tindakan yang nekad. Sehingga hal ini akan memperburuk kondisi yang mereka alami, dan menjadikan mereka akan semakin ditindas.
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Hajj: 60)
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An Nahl: 126).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al Isra’: 33).

Terkadang ujian datang begitu berat, ketika dituntut untuk bersikap adil ketika tertimpa kezhaliman secara semena-mena. Membutuhkan sesuatu kesabaran yang lebih. Sebagaimana beratnya ketika dituntut untuk berderma di kala kekurangan atau bersikap lapang ketika dalam kesempitan, pahitnya ujian ini akan berbuah pahala dan keutamaan yang lebih besar. Menjaga tegaknya keadilan kepada musuh yang teramat dibenci mungkin akan terasa berat sebagaimana halnya menjaga tegaknya keadilan ketika menyangkut orang-orang yang kita kasihi. Namun demikian Allah telah memerintahkannya kepada kita.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maaidah: 8).
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS. An Nisaa’: 135). (dakwatuna)

Minggu, 13 Oktober 2013

Imam Asy Syahid Al Buthi Muncul Lagi Di MTA

Untuk kesekian kalinya nama Imam Asy Syahid Al Buthi disebut di Radio MTA, tepatnya siaran ulang Jihad Pagi Majelis Tafsir Al Qur’an tanggal 1 September 2013 dengan nara sumber dr. Joserizal Jurnalis Presidium MER-C. Kalau tidak salah, Imam Asy Syahid Al Buthi adalah seorang ulama dari Suriah yang terkenal dengan kitabnya yang berjudul Syafi’i Bukanlah Sebuah Madzhab Tetapi Suaminya Bu Wulan Guru TK (mohon kalau salah dikoreksi ya).
 
Video ceramah tersebut diberi judul Pergolakan di Timur Tengah dan dapat diunduh di www.youtube.com/watch?v=rodgcsxuPHE. Mengenai apa yang disebut oleh dr. Joserizal sebagai Arab Winter (mungkin istilah ini kurang tepat, lebih tepatnya Arab Summer kali). Tapi kalau menyimak uraian secara keseluruhan serta momennya, ceramah dr. Joserizal sepertinya spesifik ke masalah kudeta Mesir disamping Suriah. Apakah dr. Joserizal Jurnalis sedang melakukan Road Show propaganda mendukung kudeta Mesir yang memang sedang musimnya, tentu saja tidak (maksudnya tidak ngaku). Memang tumben MTA  peduli amat pada masalah kudeta Mesir ini, sejak jaman Bahula MTA bukan spesialisnya mengurusi isu-isu beginian.

dr. Joserizal memuji bahwa Mesir, Libya dan Suriah adalah negara dengan kekuatan militer sangat kuat, tapi mungkin beliau lupa menyebutkan bahwa kekuatan militer Mesir yang sangat ‘kuat’ itu juga ditopang oleh bantuan puluhan milyar dollar dari Amerika Serikat tiap tahunnya. Kemudian dr. Joserizal juga memberikan pujian kepada negara-negara tersebut mengenai sikapnya terhadap Israel yang ‘jelas’. Pujian dr. Joserizal memang betul sekali, sikap penguasa Mesir terhadap Israel memang sangat ‘jelas’, apalagi pada masa kekuasaan Hosni Mubarak. Kalau sikap Basyar Asad terhadap Israel juga ‘jelas’, belum pernah menembakkan sebutir peluru pun ke Israel.

Namun pesan yang paling bermakna yang disampaikan dr. Joiserizal adalah agar kita tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain. Coba bayangkan, seandainya Zionis mempunyai gawe dengan membuat kerusuhan di Ambon, kaum muslimin di sana banyak yang menjadi korban dan sangat membutuhkan pertolongan. Kemudian dr. Joserizal tidak sudi datang ke Ambon sehingga kaum Muslimin terheran-heran kenapa dr. Joserizal tidak mau membantu ke sana, tetapi malah sibuk melakukan kegiatan di tempat lain. Maka jawabnya tentu saja karena dr. Joserizal tidak mau mengikuti begitu saja skenario Zionis yang mendesain huru-hara Ambon. Sehingga lebih suka melakukan kegiatan di tempat lain yang merupakan program dan inisiatif yang dibuatnya sendiri.

Namun yang harus diingat, perjuangan umat ini skenarionya memang bukan berasal dari diri kita sendiri, bahkan untuk menciptakan kemanfaatan atau kemudharatan sebesar dzarrah pun kita tidak mampu. Tidak selamanya perjuangan ini melalui fase kemenangan yang penuh gemilang, adakalanya umat ini terpuruk ke titik nadhir dan menjadi bulan-bulanan tak berdaya. Dalam keadaan demikian pun bukan berarti musuh-musuh Islam ini sedang hebat, namun sepenuhnya hanyalah tipu daya Allah atas musuh-musuhnya. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan Allah untuk menguji siapa yang terbaik amalnya dari hamba-hambaNya. Tugas kita bukan menciptakan kemenangan atau menabuh genderang kehidupan ini, namun beramal yang terbaik yang kita mampu. Maka bagi dr. Joserizal hendaknya disadari agar amal-amal beliau yang senantiasa dibangga-banggakan itu jangan sampai menjadi hijab antara dirinya dan RabbNya.

Dan sayang sekali warga MTA belum sempat menghadirkan Imam Asy Syahid Al Buthi untuk memberikan tausiyahnya. Sehingga yang hadir pada Silatnas MTA kemarin adalah Al Imam Al Buthiyono (eh keliru, maksudnya Budiyono Pak Wapres).