Jumat, 29 November 2013

Win-Win Solution



Dapatkah suatu kemenangan menjadi indah bagi semua, seindah Fathu Makkah? Saat-saat kita berbicara tentang suatu kemenangan yang indah, namun terasa amat kecut dalam pendengaran mereka.
Adakalanya kejayaan dalam bahasa kita adalah kehancuran dalam bahasa mereka. Kita menganggap sebagai pembebasan namun mereka menganggap sebagai penaklukan. Target-target yang kita incar dalam perjuangan dimaknai sebagai kehilangan posisi-posisi strategis bagi mereka. Agenda-agenda yang ingin kita capai diterima sebagai ancaman bagi eksistensi mereka. Kita merasa tengah menabur harapan, sementara mereka menangkapnya sebagai tebaran ketakutan. Keadilan yang ingin kita tegakkan adalah merampas kekuasaan yang mereka miliki. Kehadiran kita adalah ancaman bagi kepentingan mereka.
Bagaimanakah suatu pesan indah dikomunikasikan secara tepat? Bagaimana kita meyakinkan agar ketulusan ini tidak dilihat sebagai ancaman? Agar sikap welas asih ini tidak tampil dalam wajah garang yang menyeramkan.
Sehingga rintangan mereka buat untuk menahan laju kita berubah menjadi jembatan yang memudahkan kita melangkah. Kuda-kuda yang dipersiapkan untuk menghadang kita berubah menjadi kendaraan yang mengantarkan kita ke tempat yang akan dituju.
Langkah-langkah kemenangan menjadi lebih ringan, korban-korban yang seharusnya berjatuhan malah menjadi pihak yang ikut serta menikmati kemenangan.
Namun bagaimana kita akan meyakinkan mereka kalau kita belum mampu meyakinkan diri sendiri. Tentang apa yang dilakukan ini, apakah benar-benar terbebas dari ego dan kepentingan sesaat kita. Sudahkah yakin dalam perjuangan ini kita benar-benar memberi bukan merampas, memuliakan bukan merendahkan, membebaskan bukan menaklukkan. Benarkah ikhlas dan zuhud ini akan senantiasa terpelihara nantinya? Kesabaran untuk menanti pahala yang lebih baik di akhirat.
Suatu contoh kecil, kita berbicara tentang penaklukan Roma, begitu ringan mengalir tanpa terasa, bahkan teramat indah. Sementara bagi mereka tak seindah yang kita angankan, menjadi sesuatu yang horor, ancaman yang mengerikan, hingga akhirnya melahirkan sikap Islamophobia.
Ketika kita berbicara tentang sebuah kemenangan yang sempurna, dalam gambaran yang dikedepankan adalah  dihancurkannya salib, dibunuhnya semua Yahudi. Mengapa tidak melihat juga sisi-sisi lain kemenangan yang teramat indah tentang kedamaian dan kemakmuran dunia, hingga tak seorang pun mau menerima pemberian, terbukanya hati seluruh Ahli Kitab menerima keimanan. Seindah ayat ini:
“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. An Nisaa’: 159)
Seindah Fathu Makkah, meski tak semuanya bisa seindah itu. Tentang orang-orang yang telah pasti berlaku ketetapan atas mereka, harus berpayah-payah untuk kebinasaan mereka sendiri. Juga tentang orang-orang yang telah ditetapkan menerima pahala dari besarnya kesulitan dalam perjuangan yang mereka hadapi.
Agar  sebagian mereka mengetahui, dari kekalahan yang mereka derita memang mereka akan kehilangan sesuatu, namun dari kemenangan yang kita raih akan memberi mereka sesuatu yang lebih berharga sebagai gantinya. Akhir yang indah bagi semua.


Pelajaran dari Kehidupan Seekor Anak Bebek


Dari individu-individu yang masing-masing merasa memiliki ketidak sempurnaan, terlahir kebutuhan untuk saling melengkapi, membentuk suatu kolaborasi yang menjadikan dakwah ini lebih kokoh dalam amal-amal jama’i. Kelebihan dan kekurangan masing-masing individunya menjadikan kolaborasi ini lebih erat, saling mengkait, saling menopang, berbagi tugas. Terhindar dari perasaan merasa super yang menimbulkan sikap egois dan individual.
Masih kuingat cerita yang kudengar diwaktu kecil, peristiwa yang membuat seorang pemburu monyet tersentuh hatinya, membuatnya insyaf.
Ia telah mengarahkan bidikannya, di hadapannya seekor anak monyet bersama sepasang induknya. Namun induk monyet itu tidak lari. Ia melindungi anaknya dalam dekapan. Ketika peluru telah menembus tubuhnya ia serahkan si kecil itu kepada induk jantan, baru ia menjatuhkan dirinya.
Anak bebek, jika engkau saat itu berada di sana mungkin kamu merasa sangat iri. Kerinduanmu akan kasih sempurna yang tak kau dapatkan.
Saat aku masih kecil, kulihat ibu membeli beberapa telur bebek. Telur-telur itu ditaruh di sarang tempat bertelurnya ayam.
“Bebek tidak mengeram, kalau mau menetaskan telurnya dititipkan sama ayam atau menthok,” kata ibu.
“Kalau begitu bebek bertelur terus, tak pernah istirahat?” tanyaku.
Aku pikir menguntungkan sekali si bebek ini, hanya bertelur dan bertelur tak kenal henti, tak seperti ayam yang setelah bertelur beberapa saat mesti berhenti dan menunjukkan tanda-tanda akan mengeram. Apalagi ketika ia kebingungan kesana kemari mencari telurnya yang telah diambil, kasihan juga. Yang kulihat, mengerami telur itu suatu pekerjaan yang menyiksa baginya, hanya sesekali beranjak untuk makan dan membuang kotoran, tubuhnya menjadi kurus. Tapi aku paham sekali kalau ia ikhlas menjalani kodrat ini.
Yang aku tak mengerti, lantas bagaimana keberlangsungan kehidupan bebek-bebek itu sebelum manusia menitipkan telur-telurnya kepada ayam, atau menetaskannya dalam mesin-mesin penetas.
Saat itu aku terlalu kecil untuk bertanya tentang saat-saat ia melewati masa sulit di zaman es selama ribuan tahun, kemusnahan masal kehidupan di bumi akibat hantaman komet atau letusan Toba yang dahsyat. Hanya takdir Allah yang telah menetapkan spesies ini tetap lestari, memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Bahwasanya Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ketika di satu sisi ada suatu kelebihan, di sisi lain kita mungkin mendapati kekurangan yang serupa. Hingga bagaimana dalam kebersamaan ini kita bisa saling melengkapi, saling meringankan.
Manusia, bebek dan ayam, dari kelebihan dan kekurangannya masing-masing menghasilkan suatu kolaborasi indah. Andai manusia memiliki kemampuan bertelur, bebek mampu mengeram, atau ayam memiliki akal pikir yang sempurna, niscaya kolaborasi ini tidak lagi diperlukan.
Anak bebek, jangan engkau keluhkan takdir tentang indukmu yang tak mampu mengeramimu, tak punya sayap lebar untuk menaungi anak-anaknya, tapi ingat pula takdir kemandirianmu dari saat engkau baru saja menetas, engkau telah diberi kemampuan untuk mengurus kehidupanmu. Selemah inikah kita manusia, ketika keluh kesah atas kekurangan dan kelemahan masih menghiasi hari-hari kita.
Manusia hanya senang dengan produktifitasmu, mendapatimu bertelur tanpa henti. Namun apakah mereka berpikir bahwa di balik itu ada sebuah ketidak sempurnaan, kepiluan dari telur-telur yang ditelantarkan begitu saja.
Juga tentang kenikmatan Islam, yang saat ini kita nikmati, di balik itu ada jerih payah para perintis dakwah yang mendahului kita. Jika kita terkagum-kagum atas pengorbanan dan keteguhan mereka, sebenarnya di balik itu ada pengorbanan dari keluarga-keluarga yang ditelantarkan, anak-anak yang ditinggalkan, kepentingan pribadi yang dikesampingkan, untuk sebuah kepedulian menyampaikan risalah agar manusia-manusia lain menikmatinya.
Mereka yang telah berbuat meski kondisi mereka sendiri dalam keadaan kekurangan, azam yang mereka miliki membuat mereka mampu menyiasati keterbatasan, dari kesulitan-kesulitan itu apa yang mereka lakukan menjadi lebih bernilai.
Meski buah-buah dari pengorbanan itu terkadang telah datang dari arah yang tak dimengerti, waktu dan materi yang dikorbankan diganti dengan rizki atau pertolongan dalam berbagai bentuknya. keluarga dan anak yang ditelantarkan mendapatkan kemudahan atau anugerah dalam bentuk lain. Sebagian dari pahala yang telah bisa dinikmati sebelum pahala yang sesungguhnya di akhirat kelak.
Menikmati buah dari pohon yang ditanam para pendahulu tentunya menjadi kebahagiaan bagi kita. Namun yang semestinya lebih membahagiakan, manakala kita juga menanam pohon serupa yang buah-buahnya akan dinikmati generasi sesudah kita.
Semestinya kita juga tidak hanya menikmati buah-buah dari apa yang telah diusahakan para pendahulu kita. Tapi bagaimana kita melakukan pengorbanan serupa untuk keberlangsungan dakwah ini di masa datang. Buah-buah pengorbanan itu pada hakekatnya akan kembali kepada kita jua.


Sabtu, 23 November 2013

Ditempatkan dengan Unik, Kisah Nabi Yusuf dalam Al Qur’an


Setiap perputaran tilawah kita memasuki Surat Yusuf, ada sesuatu yang kurang bila kandungan surat tersebut terlewatkan begitu saja.  Sebuah untaian kisah yang indah dan memberikan kesan lebih mendalam di dalamnya. Maka cobalah untuk menikmati keindahannya dengan mempelajarinya atau setidaknya menyempatkan membaca terjemah surat tersebut dengan seksama.
Diawali dengan sebuah mimpi seorang Yusuf kecil yang mengabarkan suatu ketetapan Allah yang akan terjadi atas dirinya, berupa karunia dan kemuliaan yang besar. Namun kemudian yang terjadi adalah aral cobaan silih berganti menimpanya. Berbagai kedengkian dan tipu daya menghadangnya, tetapi semua itu setapak demi setapak justru menghantarkan pada terwujudnya ketetapan tersebut.
Kisah Nabi Yusuf menjadi lebih unik dan terasa berbeda, dimana kisah yang terjadi dari awal hingga akhir disajikan dalam sebuah alur yang panjang dan berurutan. Tidak ada kisah lain yang disajikan sedemikian runtutnya.
Keunikan lain, kisah Nabi Yusuf terkumpul secara lengkap peristiwa demi peristiwanya pada satu tempat. Kisah lain dalam Al Qur’an pada umumnya disajikan dengan terpisah-pisah, tersebar dalam beberapa surat yang berbeda.
Selanjutnya, kita tidak menjumpai kisah Nabi Yusuf di tempat lain dalam Al Qur’an kecuali pada surat tersebut, sehingga kesan yang dirasakan lebih mendalam.
Dari beberapa keunikan ini, memunculkan berbagai pelajaran atau ibrah yang tiada habisnya. Namun satu yang khas dari kisah ini adalah proses demi proses yang berakhir pada kemenangan sempurna. Mungkin bagi sebagian besar orang-orang beriman, kemenangan sempurna baru bisa di dapat di akhirat kelak. Kehidupannya di dunia ini masih penuh dengan berbagai cobaan. Adakalanya ajal telah menjemput tatkala kemenangan belum tiba.
Lebih istimewa lagi, kemenangan yang akhirnya diraih Nabi Yusuf tidak terjadi melalui keajaiban atas dasar mukjizat semata. Pertolongan Allah kepadanya tidak diberikan dalam bentuk sulap kemenangan berupa banjir, angin topan, letusan gunung atau gempa bumi yang membuat musuh-musuhnya binasa tanpa ampun. Jalan menuju kemenangan menjadi lebih indah untuk dinikmati karena melalui peristiwa demi peristiwa yang seolah-olah nature. Satu per satu persoalan yang menimpa Nabi Yusuf diselesaikannya secara apik.
Sebagaimana halnya proses kemenangan yang dijalani Nabi Muhammad, tidak dengan azab yang secepat kilat membinasakan para penentangnya begitu saja, melainkan dengan proses demi proses yang penuh dengan strategi, kesabaran dan pengorbanan yang indah untuk disajikan sebagai pelajaran kepada kita. Hanya jika perjuangan Nabi Muhammad adalah sebuah potret perjuangan jama’i, pada Nabi Yusuf di dapat sebuah potret perjuangan individu. Seorang diri yang menghadapi satu per satu persoalan yang menimpanya. Berbekal hikmah dan ilmu yang dikaruniakan Allah, seorang terlunta-lunta yang akhirnya menaklukkan sebuah negara besar.
Tidak dengan bertarung untuk mengalahkan satu per satu dari mereka, namun hanya menempatkan diri pada posisi mengambil hati-hati itu. Menaklukkan berbagai tipu daya tidak dengan menghinakan mereka, melainkan merengkuh mereka bersama-sama dalam suatu kemenangan.Tipu daya Allah membuat suatu kemenangan yang seolah mustahil, ternyata begitu mudah terwujud.
Maka kisah ini layak dijuluki sebagai ahsanul qashash (kisah yang terbaik), serta membuat kita terhanyut dalam keharuan happy endingnya, di kala kita juga tengah merindukan sebuah kemenangan sempurna untuk umat ini. (dakwatuna)

Senin, 18 November 2013

Geert Wilders dan Wajah Ambigu Imperialis Eropa

Geert Wilders yang selama ini dikenal sebagai politisi Anti-Islam menjalin aliansi dengan rekannya dari Prancis Marine Le Pen pada (13/11) di Den Haag. Poros baru yang dibentuk menghadapi pemilu Parlemen Eropa tahun depan. Di samping memperjuangkan agenda Eurosceptic (anti-integrasi Eropa), juga agenda yang selama ini mereka usung tentang memerangi Islam dan imigran yang dianggap sebagai beban bagi Eropa, bahkan berpotensi menghancurkan nilai-nilai Eropa.

Apakah Benua Eropa terlalu suci bersahabat dengan ras dan nilai-nilai lain? Sisa-sisa imperialisme Eropa masih membekas di seantero dunia pada abad ini. Koloni Bangsa Kulit putih mencengkeram dunia selama berabad-abad. Bahkan hampir memusnahkan ras penduduk asli di benua Amerika dan Australia. Ketika mereka sudah tidak mampu mempertahankan kolonialisme fisik, kemerdekaan di negara-negara dunia ke-tiga memang diberikan, namun cengkeraman politik, ekonomi dan kebudayaan tak dilepaskan begitu saja. Dari monopoli sistem keuangan, eksploitasi sumber daya alam, berbagai produk budaya pop dan masih banyak lagi instrumen yang sebenarnya melanggengkan penjajahan dalam bentuk baru.

Ketika kolonialisme membawa membawa konsekwensi adanya interaksi antara negara yang terjajah dengan koloninya, di antaranya berupa arus imigran baik dengan motif ekonomi maupun pendidikan, kemudian mereka merasa kedatangan unsur-unsur asing tersebut membahayakan eksistensi mereka, apakah mereka tidak siap untuk berkompetensi secara sehat?

Apakah jika Benua mereka tertutup rapat bagi para imigran, bagaimana jika seluruh ras kulit putih di Benua Amerika, Australia dan berbagai penjuru dunia yang lain diusir dan disuruh pulang ke tempat asalnya? Jika Islam mengajarkan berbagai suku bangsa yang berbeda untuk saling mengenal (ta’aruf), tanpa merendahkan satu sama lain, apakah mereka pantas memandang rendah terhadap nilai-nilai Islam sehingga menjadi sama sekali tidak boleh memasuki Eropa?

Mereka mengajarkan sosok Malcolm X tentang kebencian suatu ras atas ras yang lain. Sementara Islam menyadarkannya tentang persaudaraan seluruh umat manusia.

Tentang Islam yang mereka khawatirkan, seberapa bar-barkah nilai-nilai Islam dibandingkan dengan yang mereka miliki? Tidakkah mereka mengetahui, ketika Islam menaklukkan suatu wilayah termasuk sebagian Eropa, yang terjadi bukanlah genosida, penjajahan atau eksploitasi sumber-sumber alam, melainkan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi? Islam datang di Andalus menjadikannya sebagai puncak peradaban yang pada akhirnya juga membawa Eropa secara keseluruhan keluar dari masa kebodohan dan kegelapannya. Islam telah datang ke Benua Amerika sebelum Columbus, bukan untuk memusnahkan penduduk asli, melainkan membawa transfer ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Islam menaklukkan wilayah Nusantara, sementara penduduknya tidak merasa dijajah dan dieksploitasi oleh Islam.

Ketika kezhaliman dan penindasan yang bertubi-tubi menimpa Muslim di berbagai penjuru dunia, kemudian pada sebagian kecil dari orang yang tertindas secara semena-mena itu tumbuh reaksi berlebihan yang dipandang sebagai radikalisme, terorisme atau fundamentalisme, maka mengapa mereka lebih mempersalahkan orang-orang tak berdaya yang tertimpa penindasan secara kelewat batas dari pada para tiran dunia yang leluasa melakukan kesewenang-wenangan?

Ketika Eropa dilanda berbagai krisis, tidakkah mereka sedikit membuka mata tentang Islam yang mungkin bisa menjadi solusi atas permasalahan mereka? Dimulai dari hal terkecil dalam kehidupan pribadi dan keluarga, lihatlah sosok-sosok Muslim di tengah-tengah mereka yang hidup secara halalan-thayyiban, sedang mereka terjerumus ke dalam pola hidup yang berantakan, free sex, alkohol, kehancuran keluarga dan sebagainya.

Akhirnya bagi Muslim, tantangan yang mereka hadapi hendaklah disikapi dengan dewasa, berbekal keyakinan kita akan keunggulan Islam itu sendiri. Tidak reaktif dan emosional tapi berupaya memberi solusi. Jangan sampai kebaikan Islam tertutup oleh perilaku pemeluknya yang tidak baik. (dakwatuna)

Minggu, 17 November 2013

Syiah, Republika dan Aher


Syi’ah! Tak tahu lagi ungkapan apa yang masih tersisa untuk sebuah kata ini.

Di satu sisi kerinduan akan ukhuwah dan persaudaraan membuat kita terpaksa mengesampingkan perbedaan manhaj meski di tengah kekhawatiran sisi-sisi aqidah yang terkorbankan. Anggaplah dalam kondisi darurat di mana permasalahan yang membelit umat ini begitu pelik, untuk sementara bisa memaklumi dan menahan diri demi agenda-agenda yang lebih penting. Sebagaimana yang dikatakan Ustadz Bachtiar Nashir, saling bekerjasama dalam perkara-perkara yang disepakati tanpa mengorbankan aqidah kita masing-masing. Namun realistiskah ini?

Di sisi lain, terlalu berat sekedar mempertahankan sebuah kata ‘husnuzhan’ di tengah datangnya arus yang begitu  deras yangkita rasakan tentang pengkhianatan, kekejaman, fitnah yang teramat semena-mena dari mereka. Semakin berat untuk bertahan pada keyakinan bahwa itu hanyalah sekedar isu, rumor atau adu domba untuk memecah belah kita.

Ketika kita sudah sulit untuk menggambarkan kezhaliman apa yang menimpa saudara-saudara kita di Mesir, empati datang dari seluruh penjuru dunia, namun di tengah keperihan ini, berbagai situs Syi’ah berpesta pora di atas kepedihan ini, menambahkan dengan berbagai fitnah dan celaan yang seolah tak dapat dipercaya bila semua itu tega dilakukan apalagi mereka yang mengaku muslim.

Bukan sekedar rumor dari jauh, sebuah tulisan di blog ini pernah di pelintir oleh sebuah blog Syi’ah terkemuka, diputarbalikkan untuk tujuan yang bertentangan dengan misi tulisannya sendiri. Jika mereka mengutip, membantah atau mengkoreksi, saya anggap tak menjadi soal.

Satu yang menjadi bukti tentang apa sebenarnya mereka, hingga Harian Republika edisi Ahad 17 November 2013 harus menyediakan sebuah kolom yang tak biasa seperti ini:

RALAT DAN PERMOHONAN MAAF

Terdapat kesalahan fatal dalam berita berjudul Peringatan Asyura Berjalan Aman yang dimuat di Harian Republika edisi Sabtu, 16 November 2013. Dalam berita itu disebutkan bahwa Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menghadiri peringatan Asyura di aula Al-Muthahari, Jalan Kiaracondong, Bandung. Faktanya, Ahmad Heryawan tidak pernah menghadiri acara tersebut.

Dengan ini kami meralat berita tersebut dan menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar.bantahan atas berita itu juga dimuat dalam Harian Republika edisi Ahad, 17 November 2013.

Kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada pembaca dan khususnya kepada Bapak Ahmad Heryawan atas kesalahan tersebut. Kami pun akan mengambil langkah-langkah internal agar kesalahan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Klarifikasi dari pihak Aher bisa dibaca di:
Islamedia - Di tengah-tengah kesibukannya memimpin Jabar, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dikejutkan dengan pemberitaan yang menyebutkan bahwa dirinya telah menghadiri perayaan Asysyura pada Hari Kamis 14 November yang bertempat di Kampus Muthahari, Bandung. Berita tersebut termuat pada harian Republika edisi hari ini (16/11) pada halaman 3, tertulis bahwa Gubernur Jabar ikut menghadiri dan memberikan sambutan pada perayaan Asysyura di Muthahari Bandung. Berikut cuplikan berita tersebut:
"Sementara, acara di aula Muthahari dihadiri oleh Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Dalam Sambutannya, Gubernur meminta semua pihak agar saling menghormati satu sama lain dan mengembangkan pemahaman ajaran agama yang benar."

Saat dikonfirmasi langsung, kepada redaksi Islamedia, Ahmad Heryawan yang juga tengah merawat Ayah mertuanya yang sedang sakit, mengatakan pada hari Kamis 14 November 2013 yang bertepatan dengan 10 Muharam dirinya memiliki agenda padat semenjak shubuh hingga malam hari dan tidak pernah menghadiri perayaan Asysyura yang diselenggarakan IJABI sebagaimana yang diberitakan Harian republika.

Berikut agenda Ahmad Heryawan pada hari Kamis 14 November :

1. Sebelum Subuh sahur bersama PUI,

2. Pukul 8 pagi Upacara HUT ke 68 Korps Brimob Polri dan penyerahan hibah kendaraan bermotor dari Gub. Jabar di mako Brimob cikeruh Jatinangor,

3. Jam 10 Seminar bertema 'Menuju Jabar sebagai Provinsi Termaju Tahun 2025' di Hotel Preanger Bandung,

4. pukul 14.30 menerima Penghargaan Pendekar Kelas 1/Pembina Tingkat 1, Pencak Silat,

5. Pukul 17.45 buka bersama di Pakuan,

6. Pukul 19.30 - 23.00 memberikan sambutan dalam tabligh akbar dalam rangka memperingati tahun baru Islam 1435H tk Provinsi Jabar di Masjid Raya Bandung Prov. Jabar.

Demikian agenda Aher pada tanggal 14 November semenjak pagi hingga malam. Oleh karena itu, Sangat disayangkan adanya berita keliru mengenai kehadiran lulusan Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA).  (ismed)

Jumat, 15 November 2013

Kala Gus Dur Menembus Kemustahilan Politik

Siapa yang akan memenangkan pertarungan pada 2014? Apakah pemenangnya adalah kandidat yang saat ini paling populer? Atau yang memiliki pendukung paling banyak?
Bagi kita, pertarungan masih sangat cair. Seringkali kemenangan tidak diraih atas dasar popularitas atau banyaknya pengikut. Bagi kandidat yang tak diunggulkan, tak semestinya pesimis dan menyerah begitu saja. Suatu permainan cantik bisa memunculkan kuda hitam yang tak terduga.
Mengembalikan ingatan pada 1999, pertarungan pertama pasca Reformasi, justru kuda hitam yang muncul menjadi pemenang. Meski PDI-P dan Partai Golkar pada waktu itu adalah peraih kursi terbanyak, pertarungan untuk memperebutkan RI-1 tidak terjadi pada kandidat yang mereka usung, Megawati dan Habibi, tapi pertarungan yang sesungguhnya justru terjadi antara Gus Dur dan Amin Rais.
Pemilu 1999 baru saja berlalu, namun gambaran hasilnya sudah bisa dibaca. Amin Rais yang menghadapi Pemilu dengan penuh optimisme sebagai tokoh terdepan Reformasi, menghadapi kenyataan bahwa suara yang diperoleh partainya jauh di bawah yang ia prediksikan, hanya sekitar 7 persen suara. Ia tidak memandang pencapaian ini sebagai modal awal untuk suatu perjuangan yang harus berlanjut tanpa kenal menyerah. Malah ia shock, sempat ingin mundur dari gelanggang politik, sekaligus mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi Presiden Indonesia. Seolah merasa bahwa peluangnya telah pupus sama sekali.
Di sisi lain, perolehan suara yang diperoleh PKB yang menjadi kendaraan Gus Dur sebenarnya tidak berbeda jauh dengan PAN. Bedanya, pencapaian tersebut tidak disikapi dengan pesimisme. Dari kalkulasi politiknya, suara sebesar itu sudah cukup untuk menjadi modal untuk bermain di antara dua kubu besar  yang ada, PDI-P dan Golkar. Komposisi keanggotaan MPR yang akan memilih presiden dihitungnya dengan matang. Sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menawarkan pilihan alternatif di antara dua kubu yang sedang bertarung dengan sengitnya.
Bagi kubu Golkar-Habibi, toh meski dirinya kalah dalam pertarungan memperebutkan RI-1 nantinya, asalkan bukan Megawati yang menjadi pemenangnya. Sebaliknya bagi Gus Dur, kedekatannya dengan Megawati bukan sekedar pertemanan pribadi, melainkan juga pertalian ideologis yang teramat kuat. Gus Dur tak akan rela begitu saja membiarkan kursi Presiden jatuh ke tangan lawan politik Megawati. Dan permainan Poros Tengah inilah yang sebenarnya merupakan jasa terbesar Gus Dur kepada Megawati, yang hingga saat ini bisa jadi belum disadari oleh Megawati, bahkan belum dimaafkannya.
Posisi Gus Dur dan Amin Rais waktu itu relatif sama, tinggal siapa yang bisa membaca peluang. Kondisi Amin Rais yang sedang shock memudahkan Gus Dur memulai sebuah permainan. Gus Dur kemudian menemui Ahmad Syafi’i Ma’arif Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu. Memainkan sebuah argumentasi jika Mega yang menjadi presiden akibatnya akan begini-begini..., jika Habibi yang menjadi presiden akibatnya akan begini-begini..., sehingga bagaimana jika dirinya saja yang menjadi presiden? Sebuah ide yang cukup gila.
Kemudian dilanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan tentang pembagian kekuasaan yang sudah dipetakan oleh Gus Dur, tentang siapa yang akan menjadi ketua MPR, komposisi kabinet, dan sebagainya. Selanjutnya Gus Dur mengemukakan, “Tapi maaf, posisi Menteri Agama kami ambil.” Syafii Maarif hanya menjawab, “Ambil saja semua!” Makanya ketika pada era Gus Dur menjadi Presiden terjadi NU-isasi Departemen Agama, posisi-posisi orang Muhammadiyah di Depag dan IAIN dihabisi, sebenarnya adalah permintaan dari Syafi’i Ma’arif sendiri. Seandainya jawaban dari Syafi’i Ma’arif begini, “Bagi-bagi dong, antara NU dan Muhammadiyah,” ceritanya mungkin akan lain.
Ternyata begitu mudahnya memanfaatkan orang-orang yang telah merasa kalah dalam Pemilu, sambil sedikit mengobati shock mereka, dengan iming-iming sebuah hiburan tentang pembagian kekuasaan. Dan ketika kemenangan Poros Tengah tinggal selangkah, muncul sebuah tawaran krusial dari Golkar kepada Amin Rais untuk menjadi Presiden. Cerdiknya Gus Dur menunjuk Amin Rais menjadi pahlawan terdepan Poros Tengah sebenarnya mengunci langkah Amin Rais itu sendiri, sekaligus menutup peluang yang berpotensi menggagalkan agendanya.
Tak mungkin tiba-tiba Amin Rais mengkhianati Gus Dur karena tergiur tawaran Golkar. Ia sudah terlanjur tulus, bahkan ia terlanjur dikenal sebagai orang terdepan yang mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Namun ketika di kemudian hari kebijakan Presiden Gus Dur mengecewakannya, mungkin ia menyesal. Tetapi kesempatan sama tidak datang dua kali.
Amin Rais mungkin merasa cukup beruntung, di tengah keterpurukan partainya masih mendapatkan posisi Ketua MPR. Namun andai sejak awal ia bisa membaca situasi dengan baik, peluangnya bisa lebih. Seperti orang Jawa mengatakan, “Sak bejo-bejone wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo.” Seberuntungnya orang yang lalai, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Meski Gus Dur hanya ‘main-main’ menjadi seorang Presiden, namun memberi sebuah pelajaran tentang optimisme dan strategi yang brilian dalam mengarungi pertarungan di dunia politik. Selanjutnya pada Pilpres 2004, kandidat yang memenangkannya hanya bermodalkan suara 7 % dalam Pemilu Legislatif. Dalam kondisi Pilkada langsung, tetap saja peluang yang telah terbuka lebar, bisa luluh lantak oleh kuda-kuda hitam yang bermain lihai. (dakwatuna)