Jumat, 27 Desember 2013

(Tak) Seindah Kanker Bangsa

Bangsa ini dan korupsi, telah menyatu dalam kepedihan. Semua yang telah kita rasakan semestinya membuat kita berbuat sesuatu, sekecil apapun, dari yang kita mampu, mulai dari diri kita sendiri. Bukan sikap acuh, putus asa, hingga tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, tetapi dibutuhkan partisipasi kita untuk menyembuhkannya.

“Mengapa ya, di sini perawatnya ramah-ramah, nggak ada yang bentak-bentak seperti di ruangan?”

“Pantes saja, kita ini kan orang-orang yang mau mati.”

Di ruang Radioterapi ini semua pasien berbaur, yang berasal dari ruang VIP hingga ruang kelas III semua menyatu. Di sini seperti tak ada kelas, semua dilayani dengan telaten, ramah, penuh dengan kesabaran. Pasien-pasien saling berbincang akrab, sharing dengan sesama, tampak guyub, semua sudah seperti keluarga sendiri. Di tempat ini sangat terasa berbeda bagi pasien yang berasal dari ruang kelas III, yang berobat dengan bekal jaminan sosial, yang masih sering mengalami perlakuan kurang mengenakkan.

Apakah karena kanker itu mematikan? Mengapa ia mengubah orang-orang yang bersentuhan langsung dengan para pengidapnya menjadi pribadi-pribadi yang berperasaan? Bukankah penyakit lain juga sama-sama bisa mematikan? Apa yang membedakan? Mengapa ia membuat kematian itu menjadi terasa dekat, hingga perpisahan seolah bergegas dipersiapkan?

Hanya orang-orang yang mengidapnya dan orang dekat yang bersentuhan langsung dengan mereka yang mengetahui jawabannya, meski cukup sulit untuk menjelaskannya. Yang membuat para survivor kanker merasa perlu memiliki perhatian lebih terhadap mereka yang senasib, memberi motivasi, membangkitkan semangat mereka, hingga terbentuklah perkumpulan-perkumpulan, untuk bisa saling berbagi dan memberi support atas apa yang sama-sama mereka alami.

Keluarga dekat dan mereka yang pernah bersentuhan langsung dengan kanker menjadi memiliki atensi lebih bila mendengar kata kanker disebut,  menjumpai orang-orang yang bernasib sama, melebihi mereka yang mendengar kanker melalui pelajaran-pelajaran ilmiah, novel, film, atau cerita dari mulut ke mulut.

Dalam sebuah acara talk show di TV, seorang ibu bercerita kepada anaknya, “Dulu ketika mengandung kamu, mama ketahuan mengidap kanker. Kata dokter mama harus sesegera mungkin dioperasi. Tapi mama tak mau mengorbankan kamu, untuk operasi mama nunggu beberapa bulan, nunggu kamu lahir.” Mendapat cerita itu si anak ekspresinya biasa saja, “O, gitu ya.” Hingga ketika ia dewasa, menjadi seorang dokter dan bersentuhan langsung dengan para penderita kanker, baru ia merasakan nilai pengorbanan sang ibu kepadanya, ibu yang mempertaruhkan nyawa untuknya.

Kanker itu hidup bersama kehidupan pengidapnya, mereka merasakannya betul. Kadang untuk menghibur mereka, kita katakan agar mereka bersahabat dengan kanker, entah itu sebenarnya menipu, kita hanya ingin membangkitkan motivasi mereka, hingga mereka memiliki kekuatan jiwa. Agar dengan itu mereka bisa tersenyum, sebagaimana yang biasa dikatakan orang, “Belum ada obat kanker yang bisa menjamin kesembuhannya, obat yang terbaik adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan usahakan untuk bisa tersenyum tiap hari.”

Kanker itu hidup, pengobatannya mungkin sepanjang kehidupan para sahabat kanker itu. Pengobatannya membutuhkan waktu yang lama, menata satu demi satu sel-sel dalam tubuhnya agar kembali normal, berpacu dengan sel-sel ganas yang terus menyebar. Tahap demi tahap pengobatannya amat panjang, melelahkan, bahkan menyakitkan. Untuk menghiburnya agar mereka tak putus asa, lantas kita katakan pada sahabat-sahabat kanker itu bahwa mereka sedang berjuang.

Tentang korupsi yang membelit bangsa ini bagai kanker, yang kita semua merasakan kepedihannya, hingga sempat terlontar sebuah ucapan, “korupsi akan hilang dari Indonesia bila semua penduduknya pergi dan digantikan manusia-manusia lain.” Sebuah ungkapan yang menghibur berbingkai keputusasaan, di antara karut marut yang tak kunjung usai.

Meski pedih, kanker tubuh menjadi indah bagi banyak orang, memperindah empati mereka, melembutkan perasaan mereka, menumbuhkan rasa kasih dalam hati-hati mereka. Di antara perjuangan itu terangkai doa-doa yang indah, membuat banyak orang belajar tentang arti kehidupan. Di antara itu lahir orang yang mengerti arti kesetiakawanan dan pengorbanan.

Dapatkah kanker bangsa ini menjadi seindah kanker tubuh?

Teramat sulitkah membebaskan bangsa ini dari kanker yang membelitnya? Ketika berbagai upaya telah ditempuh hingga banyak orang berpikir tak tahu lagi harus berbuat apa. Bagaimanakah mengurai satu per satu sel-sel korupsi yang menggerogoti bangsa ini? Bagaimana berpacu dengan mereka yang kalap, buta dan ganas? Menyerah dan Membiarkan tubuh bangsa ini hancur digerogotinya, dan engkau juga mau ikut bersama kehancurannya?

Tapi tidak, perhatikan baik-baik bahwa sel-sel kanker tubuh dan kanker bangsa berbeda satu sama lain. Sejahat apapun sel-sel kanker bangsa itu, jika kesadaran mereka terbuka dan insyaf, dalam sekejap mereka sudah kembali menjadi sel-sel bangsa yang normal. Tak butuh proses panjang seperti membersihkan kanker tubuh, sekronis apapun organ-organ bangsa yang telah digerogoti olehnya, bisa pulih seperti sedia kala. Setebal apapun catatan-catatan hitam, tak perlu lama untuk menghapusnya, bisa ditukar dengan catatan-catatan putih bersih saat ini juga, oleh sekejap taubat yang sebenarnya.

Sekronis apapun bangsa ini, harapan itu senantiasa ada. Separah apapun kerusakan organ-organ bangsa, tak mesti berpikir tentang amputasi. Ia bisa pulih, kembali menjadi organ sehat yang bermanfaat bagi bangsa ini. Tak ada kata paliatif dalam kamus penyembuhan bangsa ini. “Maaf, sehubungan dengan kondisi pasien yang sedemikian, kami menyarankan keluarga membawa pulang, untuk selanjutnya dipasrahkan saja kepada Tuhan, mungkin ini adalah sebuah pilihan terbaik,” bangsa ini tak membutuhkan kalimat-kalimat seperti ini. Ia membutuhkan optimisme dan perjuangan yang tak kenal menyerah.

Hanya saja jika para koruptor itu lebih takut akan konsekwensi yang menyertai bila mereka insyaf daripada takut akan akibat dosa-dosa bila terus mereka lakukan. Saat mereka tak mengerti bahwa sebesar apapun dosa mereka, senyum dan tangan terbuka akan menyambut jika mereka kembali. Saat mereka tak menyadari jika tak mau insyaf saat ini, suatu saat nanti pasti mereka akan insyaf juga, meski penyesalan saat itu akan menjadi tak berguna sama sekali. Hal ini berarti sebuah kabar gembira bagimu, bahwa uluran tanganmu untuk menyembuhkan bangsa ini masih berarti. Selemah apapun keadaanmu, saat engkau merasa hanyalah orang kecil yang tak berdaya, bukankah engkau yakin akan adanya Kuasa Tuhanmu?

Namun bagaimana engkau berharap Tuhan mengetuk hati sel-sel kanker bangsa untuk insyaf jika engkau sendiri tak mau mengambil keindahan pembelajarannya.

Kanker bangsa ini tak membuat amarahmu indah, bukankah tanganmu sendiri yang memilihnya dalam bilik-bilik suara hingga mereka bisa menempati jabatan tersebut.

Kanker bangsa ini tak membuat penyesalanmu indah, pemberian yang tak seberapa dari mereka kau rasakan teramat berarti, meluluhkan sumpah serapahmu pada para koruptor itu. Pemberian itu nilainya tak seberapa dibanding penghasilan yang kau dapatkan dari hasil jerih payahmu, apalagi dibandingkan dengan harga dirimu. Engkau tak lagi merasa aneh dengan kegembiraanmu saat menerima pemberian itu, padahal engkau tahu, semua yang mereka berikan kepadamu tak sebanding dengan hak-hakmu yang dirampas oleh mereka.

Saat-saat para koruptor itu melakukan pencitraan dan tebar pesona, engkau menyembutnya dengan gempita, menengadahkan tanganmu, merengek-rengek dan mengharap pemberiannya. Engkau puji mereka sebagai dermawan, peduli pada rakyat. Saat-saat orang yang memiliki integritas, yang lebih layak memimpin bangsa ini engkau acuhkan begitu saja.

Kanker ini tak membuat kepedulianmu indah, engkau inginkan bangsa ini terbebas dari cengkeraman para koruptor itu, namun engkau duduk-duduk saja di rumahmu, sibuk dengan urusanmu sendiri, kepentinganmu dan pekerjaanmu. Apakah engkau berandai-andai malaikat penyelamat begitu saja turun dari langit, memperbaiki bangsa ini, dan engkau cukup diam menunggu?

Apakah engkau merasa langkahmu dalam ketidakberdayaan ini sia-sia? Engkau merasa tak ada gunanya melawan sel-sel ganas itu? Lantas engkau enggan berpayah-payah menghadapinya, malah membiarkan dirimu menjadi bagian darinya, engkau menjadi kanker bangsa juga. Bukankah besarnya nilai kepahlawanan sebanding dengan kesulitan yang mesti dipecahkan?

Saat-saat mereka yang berjuang melawan kanker bangsa itu terbelit oleh sel-sel ganas itu, berubah haluan menjadi kanker bangsa juga, mengapa engkau sama sekali tak merasa kehilangan, tanpa berupaya menyelamatkan mereka, engkau biarkan kanker-kanker bangsa itu bersorak menikmati kemenangannya?

Saat-saat mereka yang berhadapan dengan belitan ganasnya sel-sel kanker bangsa itu kelimpungan, berhadapan dengan hukum, kekuasaan dan media yang telah dikuasai para koruptor itu, tertimpa berbagai fitnah, hingga menjadi pesakitan, kemudian para koruptor itu tertawa terbahak-bahak, engkau pun ikut tertawa terbahak-bahak. Ketika para koruptor itu kegirangan, engkau pun ikut kegirangan. Ketika para koruptor itu mencemooh mereka, engkau pun ikut mencemooh mereka.

Di antara ketidakberdayaanmu, masih ada yang bisa engkau lakukan, dari yang engkau mampu, mulai dari dirimu, agar engkau dicatat di sisi Tuhan sebagai orang yang telah berusaha, agar engkau tidak merasa kecilnya pengorbananmu sia-sia saja. Jika engkau tak mau mati bersama kanker ini maukah untuk sekedar mengatakan tidak pada pencitraan, tebar pesona dan money politik.


Selasa, 24 Desember 2013

Yang Terlahir dari Kesendirian

Suatu nikmat yang besar dari Allah manakala kita termasuk dalam segolongan kecil umat manusia yang memiliki kepedulian terhadap dakwah. Meski kontribusi kita terhadap dakwah ini teramat belum memadai. Sehingga medan dakwah ini sebagian besar masih berupa padang luas yang belum terjamah, masih ditelantarkan, padahal sebenarnya memendam potensi yang amat berharga.

Kepergian ini mungkin terasa lebih berat andai kami tahu sepeninggal beliau hari-hari yang akan kami jalani bagai tanpa keberadaan seorang murabbi. Baru dua tahun beliau sekeluarga merintis dakwah di tempat kami, semenjak bertugas di tempat terpencil ini. Sebenarnya kami ikut senang ketika mendengar kabar beliau mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Rasa kehilangan itu pasti ada, meski sedikit terobati oleh harapan bahwa sepeninggal beliau kelak, akan ada murabbi lain yang menggantikannya.

Nyatanya tahun-tahun berlalu sesudah kepergian beliau, kami seperti anak ayam yang ditinggal induknya. Terkadang dalam waktu sekian bulan baru kami bisa berjumpa dengan murabbi. Dulu kami mendapatkan kisah tentang para pendahulu kami, berjalan kaki Solo-Wonogiri pada malam hari sekedar untuk mengikuti liqo’, namun azzam yang kami miliki tak sebanding dengan mereka. Kadang-kadang kami masih bermalas-malasan untuk sekedar berangkat liqo’, masih butuh orang yang tak bosan-bosan mensupport dan menyemangati kami tuk terus berada di jalan dakwah ini.

Tanpa keberadaan murabbi di samping kami, satu per satu dari kami pergi meninggalkan halaqoh. Dengan berbagai sebab, semata-mata futur, menikah, pindah domisili, atau pindah ke harakah lain. Hingga dalam satu kecamatan ini tersisa tiga ikhwan yang mengikuti liqo’ ditambah seorang dari kecamatan tetangga.

Sebenarnya daerah ini tak lagi terlalu terpencil secara geografis. Namun di balik keindahan alamnya, daerah ini bagaikan padang tandus yang gersang bagi tumbuhnya harakah-harakah, bukan hanya tarbiyah. Hanya satu dua orang di daerah ini yang merantau atau kuliah kemudian bersentuhan dengan harakah-harakah itu. Kemudian kebanyakan dari mereka memilih berdomisili, menikah atau bekerja di luar, sedang yang pulang ke kampung halamannya, rata-rata menjadi vakum atau setidaknya semangatnya mengendur.

Di balik kesuburan tanahnya, minat penduduk di daerah ini untuk menempuh pendidikan tinggi menjadi rendah. Beberapa dekade lalu, pegawai dan guru yang mengajar di sini didominasi pendatang dari daerah lain seperti Yogyakarta, Klaten, Kebumen, Grobogan dan beberapa daerah yang minus. Dari daerah-daerah dimana mereka berhadapan dengan kondisi alam yang keras dan tantangan hidup yang sulit, membuat mereka memiliki motivasi kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Pernah seorang guru bercerita tentang pengalamannya mengajar di suatu daerah yang teramat subur, kemudahan untuk mencari penghidupan membuat siswa-siswa di sana seperti tak memiliki motivasi belajar.

Daerah ini tak sempat terkena efek booming harakah-harakah yang terjadi di kota-kota dan kampus. Baru pada Tahun 2007 kami kedatangan murabbi yang menetap bersama kami, halaqoh ini baru mulai menggeliat. Menjelang Pemilu 2009 perpisahan itu terjadi. Melengkapi kepergian orang yang membimbing kami, pada Pemilu 2009 itu kami juga kehilangan kursi di dewan. Sebelumnya pada Pemilu 2004, kami memiliki anggota dewan yang berasal dari eksternal, akibat kekecewaan demi kekecewaan yang kami rasakan kemudian kami mengusung kader sendiri, dan ternyata memang belum mampu.

Lengkap sudah kesendirian kami, nyaris tanpa aspirasi dan tanpa murabbi. Namun yang sebenarnya lebih mendasar mungkin adalah ketsiqahan dan azzam kami yang masih teramat lemah, kami bukan siapa-siapa, kami masih anak-anak yang sekedar mencoba bertahan di halaqoh ini sembari menyaksikan teman-teman kami satu per satu berguguran dari jalan ini. Sementara di masyarakat dakwah kami juga nyaris terhenti, beberapa masjid di desa pelosok yang kami bantu pembangunannya, tanpa diikuti pembinaan lebih lanjut.

Dari puing-puing yang tersisa, semoga asa ini tetap terjaga. Dari kesendirian ini semoga menjadikan kami sempat memungut apa yang terluput dari derap langkah saudara-saudara kami di depan sana. Dari kesunyian ini semoga kami bisa mengais apa yang terlewatkan dari hiruk pikuk mereka yang berada di garis depan. Sekedar menopang ketika mereka goyah, menyisakan bekal ketika mereka kehabisan dan lelah.

Dari ketertinggalan kami semoga menumbuhkan keinginan untuk melangkah lebih cepat. Dari kejatuhan ini, hami berharap terperosok pada telaga hikmah yang sempat terlewatkan oleh para penempuh jalan.

Bukankah mahalnya nilai muasis sebelum kita adalah dari kesendirian mereka. Tatkala mereka melangkahkan kaki, memulai dari seorang diri. Tanpa memedulikan jauhnya cita yang dituju, namun bagaimana langkah itu terus melaju. Perjalanan itu menjadi lebih bernilai daripada apa yang diterima para pewaris kejayaan, penerima estafet kebesaran, sekalipun mereka melangkah dalam gegap gempita.

Dari apa yang terlewatkan, semoga ada sisi-sisi lain yang kami bisa lakukan, sekecil apa pun. Sekedar menjadi kerikil kecil yang berarti, setitik debu di jalan Allah atau setetes embun di jalan dakwah.

http://www.dakwatuna.com/2013/12/23/43692/yang-terlahir-dari-kesendirian/

Mandela, Abu Thalib, Antara Proses Dakwah yang Belum Sempurna

Sebagian umat Islam ikut terhanyut dalam perasaan duka dan kehilangan atas meninggalnya tokoh anti-apartheid Nelson Mandela. Bukan saja melihat sisi-sisi perjuangan beliau menghapuskan penindasan, namun juga hubungan beliau yang baik terhadap umat Islam. Namun di tengah mengalirnya euforia duka itu muncul juga suara-suara sumbang yang mempersoalkan akidah yang dianut mendiang, statusnya sebagai seorang non-Muslim.

Sering menjadi terlewatkan begitu saja, mereka yang belum menerima dakwah ini secara sempurna, namun mereka bukanlah penghalang dakwah ini. Mereka menyambut upaya dakwah ini dengan baik, mensupportnya, sekaligus melakukan usaha-usaha yang sinergis dengan sebagian agenda dakwah, melawan penindasan, membela orang-orang lemah, hingga melakukan amal-amal sosial dan kemanusiaan.

Fokus dakwah ini lebih sibuk untuk merespon pada mereka yang menentang, menghambat, menghancurkan upaya dakwah ini secara frontal, sekaligus melakukan upaya-upaya menghalangi manusia dari dakwah ini. Terkadang memunculkan perasaan pedih, marah dan geram pada sikap mereka, atas celaan dan fitnah terhadap dakwah ini.

Terhadap mereka yang menjadi penentang dakwah ini, apapun kepedihan yang mereka timpakan pada kita semestinya disadari merupakan konsekwensi bahwa dakwah ini memerlukan kesabaran para pengusungnya. Betapa pun pahit apa yang kita terima dari mereka, pahala, azab dan konsekwensinya akan kembali pada diri kita masing-masing. Kita tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk memaksa mereka menerima dakwah ini.

Namun Sebenarnya ada sisi yang perlu diperhatikan lebih mendalam. Terhadap mereka yang bersikap baik terhadap dakwah ini, membantu upaya dakwah ini, menjadi pelindung tatkala dakwah ini berhadapan dengan kesulitan sementara diri mereka sendiri belum menerima dakwah ini, dalam arti hidup mereka berakhir dalam keadaan belum seakidah dengan kita. Sedang kita tahu konsekwensi di balik semua itu, apa yang akan ditemui kelak di negeri akhirat, seberapa pun banyaknya sisi-sisi kebaikan mereka terhadap sesama manusia, termasuk kebaikan mereka pada dakwah ini.

Seperti potret tentang Abu Thalib, dari perspektif sebuah miniatur tentang pribadi-ribadi yang kehidupan mereka bersama dengan dakwah ini namun mereka sesungguhnya tidak menjadi bagian dari dakwah ini.

Banyak Abu Thalib-Abu Thalib lain, Mandela-Mandela lain di sekitar kita, keluarga, teman atau tetangga kita. Satu per satu dari mereka menemui ajal sebelum proses dakwah ini selesai. Andai kehidupan mereka berlanjut hingga proses dakwah ini selesai, rasanya ada suatu optimisme bahwa mereka akan menjadi bagian dari dakwah ini, menyempurnakan sisi-sisi kebaikan mereka.

Lantas sebagaimana kerisauan Rasulullah tatkala paman yang mengasuh beliau meninggalkan kehidupan ini, atau kerisauan Salman Al Farisi akan nasib mereka yang mati dalam kejahiliyahan sementara akhlak mereka terhadap sesama teramat baik, mengapa kerisauan itu tidak hadir di tengah-tengah kita?

Terhadap figur-figur seperti Fir’aun atau Abu Jahal, betapa pun pedihnya perasaan kita terhadap mereka, kepergian mereka tak memperberat beban dan tanggung jawab kita. Tak sebagaimana figur-figur Abu Thalib atau Mandela, ketika kerisauan dan empati ini harus berakhir sia-sia.

Bahwa mungkin mereka belum menerima hidayah, ada faktor dari diri kita yang kurang maksimal dalam mennyampaikan pesan-pesan dakwah tersebut, kita belum bisa menampilkan Islam ini dengan sebaik-baiknya. Di antara proses dakwah yang belum selesai ini, makin banyak figur-figur seperti Abu Thalib atau Mandela akan terus berguguran, menyisakan kerisauan yang teramat tragis.

http://www.portalrabbani.web.id/2013/12/mandela-abu-thalib-antara-proses-dakwah.html