Rabu, 10 Desember 2014

NU, Terorisme dan Ancaman Sesungguhnya

Kepulan asap dari berbagai jenis merk rokok terlihat memenuhi ruangan belakang Aula Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok. Sementara di bagian depan sejumlah orang masih tampak serius menyimak penuturan para penceramah yang didatangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Pekan ini, tepatnya pada Sabtu hingga Senin, 6-8 Desember 2014, Ponpes Al-Hikam bekerjasama dengan BNPT menggagas sebuah acara bertajuk “Silaturahim Nasional Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasional”. Acara itu mendatangkan sekitar 300 pengurus cabang dan wilayah salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Saat Kiblat.net mengikuti acara tersebut, sebagian peserta cukup antusias mengikuti acara itu. Sebagian lainnya ada juga yang memilih lesehan sambil merokok di pinggir aula yang terletak persis di depan Masjid Al-Hikam. Tak sedikit pula para peserta dari luar daerah ini malah tiduran di teras masjid.

Pada hari pertama dibukanya acara, sejumlah pejabat tinggi negara tampak hadir. Sebut saja, Kepala BNPT Saud Usman Nasution, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, serta Menteri Sosial Khofifah I. Parawansa. Kepala BIN Marciano Norman dan Menlu Retno Marsudi sedianya akan hadir, namun keduanya mengutus perwakilannya masing-masing.

Dua hari sebelumnya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, KH Hasyim Muzadi menggelar konferensi pers dan mengundang sejumlah wartawan untuk mensosialisasikan acara yang disebutnya hajatan BNPT ini. Tujuannya adalah untuk membentengi pengurus dan para kader NU dari berbagai gempuran ideologi asing termasuk terorisme. Maka, dari porsi jadwal acaranya sudah bisa terbaca dengan jelas, agenda deradikalisasi dan sosialisasi bahaya terorisme menjadi bahasan utama.
kiblat.net

Dalam acara tersebut, Deputi I Bidang Pencegahan & Deradikalisasi BNPT, Agus Surya Bakti terang-terangan meminta dukungan para ulama terkait sosialisasi cetakbiru pencegahan terorisme. BNPT berencana mengajukan diberlakukannya aturan yang tegas mengadopsi dari UU Internal Security Act (ISA) seperti di Malaysia dan Singapura. Pasalnya, UU yang ada saat ini (UU No 15/2003) dianggap kurang tegas untuk menghukumi para pelaku teror di Indonesia. Bahkan, Kepala BNPT Saud Usman Nasution dengan tegas menyatakan, “terorisme tidak akan berakhir sebelum Islam tegak.”

Jika dilihat dari sudut pandang BNPT sebagai penggagas acara, maka para tokoh-tokoh NU ini merupakan para opinion leader yang diharapkan dapat membantu BNPT melakukan sosialisasi terorisme ke kalangan akar rumput. Dalam teori ilmu komunikasi, dikenal istilah gatekeeper atau opinion leader dalam model-model komunikasi massa. Para tokoh NU ini merupakan gerbang informasi, tokoh yang dipercaya masyarakat dalam hal agama. Maka, BNPT memandang perlu untuk men-brainwash tokoh-tokoh ini demi kepentingan mereka.

Pemberantasan Terorisme, kepentingan siapa?

Tapi yang patut menjadi catatan bersama, pertemuan ini ternyata sejalan dengan agenda dan kepentingan asing. Visinya sejalan dengan visi pemberantasan terorisme ala Barat. Rand Corporation pada 2007 silam pernah menerbitkan laporan berjudul “Building Moderate Moslem Networks” yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Bernard, Lowell H. Schwartz, dan Pieter Sickle.

Menurut, laporan Rand Corporation, untuk memerangi apa yang mereka sebut “ekstremisme Islam”, ada tiga partner potensial yang bisa digunakan Amerika. Mereka adalah kelompok sekuler, kelompok muslim liberal dan kelompok moderat tradisionalis dan kalangan sufi. Kelompok tradisional moderat akan dipancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, dibuatkan propaganda tentang bahaya kelompok Wahabi dan dimunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu.’ Selain itu, juga dengan dibuatlah beragam stigmatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “wahabisasi global”, “ideologi transnasional”, dan lain sebagainya.

Padahal, sebelumnya KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa ia tidak mau ditunggangi kepentingan asing. Tapi faktanya, cara-cara BNPT dalam memberantas terorisme masih memakai manual book dari Barat. Maka, tak aneh jika kemudian pertemuan itu menghadirkan para pembicara yang justru meneror para pengurus NU dengan adanya ancaman ideologi transnasional.
nasir-abbas

Di acara itu, ada sosok Nasir Abbas yang menggantikan Ali Imron dan Ali Fauzi yang batal hadir. Nasir selalu mengulangi lagu lama yang sering diceritakan di mana-mana perihal kisah tobatnya dari seorang teroris. Konon, kabarnya ia tobat karena terkesima melihat polisi penjaganya lebih rajin shalat berjamaah dan puasa sunnah Senin-Kamis ketimbang dirinya.

Ada juga seorang Abdi Kurnia yang mengaku pengamat gerakan Ikhwanul Muslimin, ia meracau di depan para kiai NU dengan mengatakan bahwa Sayyid Qutb adalah agen Yahudi. Abdi menuduh Sayyid Qutb sebagai agen freemason karena dia lahir di Ramses, Mesir dan berprofesi sebagai tukang jam. Persis dengan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurutnya, pada masa itu yang pake jam tangan cuma kaum yahudi. Otomatis, Sayyid Qutb adalah agen freemason, organisasi zionis internasional.

Yang lebih menyakitkan justru datang dari Dr. Solahudin, penulis buku “NII Sampai JI” yang juga orang kepercayaan peneliti IPAC, Sidney Jones. Dengan nada tegas ia menyatakan SD-IT dan kegiatan Rohis (ekstrakurikuler bimbingan Islam, red) merupakan biang intoleransi dan sarang kelompok teror.

Pada sesi diskusi, tanggapan para peserta diskusi juga menarik. Ada salah seorang peserta dari Riau yang gerah dengan sikap toleransi NU yang kebablasan. Menurutnya, NU selama ini hiper toleran kepada aliran sesat. “Sehingga kalau tidak dijadikan seperti FPI, tahun 2020, NU akan hancur,” ujar Fathurrohman dari PCNU Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Atau salah satu perwakilan NU dari Aceh yang membantah ucapan Nasir Abbas dan Solahudin soal definisi terorisme. Menurutnya, ketidakjelasan definisi terorisme menimbulkan adanya standar ganda dalam penerapan hukum anti terorisme. “Teror itu pelakunya bisa individu, kelompok/jaringan bisa juga negara. Selama hal itu berdampak meluas dan merugikan masyarakat. Seharusnya kebijakan Jokowi dalam menaikkan harga BBM juga bisa dikategorikan perbuatan teror,” tandasnya.

Syiah dan Liberalisme, ancaman NU sesungguhnya

Meski demikian, patut kita berikan apresiasi yang mendalam ketika pertemuan tersebut membahas bahaya liberalisme dan ideologi syiah. Kedua hal inilah yang sesungguhnya menjadi ancaman faktual bagi Nahdlatul Ulama. Paska reformasi, Nahdlatul Ulama seolah mengalami krisis identitas ketika dipimpin oleh para tokoh liberal. Kader-kader NU sekonyong-konyong meninggalkan akar historis mereka dan mengidolakan sekularisme dan liberalisme.

Apalagi, NU sebagai ormas yang diperhitungkan di Indonesia dan punya basis massa yang mengakar selama ini justru selalu ribut di kalangan internal mereka sendiri. Acara yang digagas Mbah Hasyim Muzadi ini justru tak dihadiri oleh Ketua Umum mereka yang sangat gandrung terhadap Syiah, Said Agil Siradj. Belum lagi kalau berbicara perpecahan NU di ranah politik.

Maka, menghadapi asupan informasi yang disuplai oleh BNPT dalam hajatan anti terorisme ini, para kader-kader NU di daerah harus benar-benar memilah dan memilih. Mana informasi yang sahih dan dapat dipercaya, mana kabar burung yang justru meneror dengan pepesan kosong.

Benarlah kata pepatah Arab kuno, هَلَكَ امْرُؤٌ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَهُ “Hancurlah seseorang yang tidak tahu dirinya sendiri.”

Wallahu a’lam.

Penulis: Fajar Shadiq

*sumber: http://www.kiblat.net/2014/12/10/nu-terorisme-dan-ancaman-sesungguhnya/

Selasa, 09 Desember 2014

Menohok Amerika, Beda Jepang, Beda Tiongkok

Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut AS Pearl Harbor menjadi kemenangan sesaat yang gemilang bagi Jepang. Akan tetapi, dalam jangka panjang ternyata merupakan sebuah kesalahan strategi, menentukan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Serangan tersebut menjadi blunder, seperti mengusik raksasa yang sedang diam. Menjadi alasan bagi AS untuk ikut serta dalam Perang Dunia II.

Jepang memang dengan mudah menaklukkan seantero Pasifik Barat dan Asia Tenggara, tapi tidak mampu menjangkau jantung kekuatan AS sama sekali. Sedang jantung kekuatan Jepang justru terjangkau oleh musuh. Dengan demikian, AS leluasa mengkonsolidasikan sumber daya, kekuatan, dan teknologi untuk keberlangsungan perang. Sebaliknya bagi Jepang, sumber daya dan kekuatan yang dimiliki semakin melemah.

AS memenangkan Perang Dunia II, untuk selanjutnya memenangkan Perang Dingin. Kemenangan tersebut dipakai untuk mendikte dunia bahwa Komunisme telah gagal dan tidak relevan, sedang Kapitalisme adalah konsep ideal untuk peradaban dunia kita.

Disadari atau tidak oleh AS, superioritas dunia tak pernah langgeng. Sejak runtuhnya Uni Sovyet, AS memang menjadi seperti satu-satunya kekuatan super power dunia. Tetapi hanya kurang dari dua dekade kemudian, RRC sudah tampak berpotensi menyalip posisi tersebut.

Lantas apakah AS membiarkan begitu saja posisinya sebagai super power dunia jatuh ke pihak lain, membiarkan rivalnya mengambil alih posisi tersebut, tanpa melakukan upaya-upaya meredam laju kompetitornya, juga upaya mempertahankan posisinya?

Dunia dan kompetisi memperebutkan supremasinya, adalan pertarungan strategi yang teramat pelik. Seringkali yang terjadi bukan hanya kompetisi yang fair. Sehingga, di balik pencapaian menakjubkan yang dicapai RRC, seharusnya kita bertanya, jika di balik itu ada hal tak tampak, yang tidak diketahui publik pada umumnya?

AS memenangkan Perang Dingin tidak dengan kekuatan senjata atau nuklir sekalipun, tetapi Uni Sovyet dieksekusi dengan pertarungan dalam bentuk lain. Dan ini bisa diambil pelajaran oleh rival-rival AS untuk menundukkan superioritasnya. Bukan hanya kekuatan, tetapi strategi yang jitu, lihai dalam memainkan situasi.

Jika demikian, munculnya RRC ke pentas dunia tentunya juga tidak mungkin dengan tangan kosong belaka, bukan melenggang dengan cuma-cuma. Tetapi sebelum melangkah telah mempersiapkan suatu perencanaan yang sistematis, mengidentifikasi tantangannya, dan mempersiapkan semua sarana untuk mengamankan agenda yang dijalankan. Mewujudkan agenda yang membutuhkan backup dan pengawalan dari berbagai bidang lain, ditunjang secara politik, kekuatan lobi, hingga intelijen.

Reformasi Indonesia beserta benturan kepentingan-kepentingan besar di dalamnya, bisa menjadi gambaran awal untuk melihat pertarungan strategi serta perebutan pengaruh di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Asia Tenggara sejak lama menjadi medan perebutan pengaruh antara Barat dan Timur. AS sempat menancapkan hegemnoninya, menyingkirkan pengaruh Uni Sovyet. Tetapi kompetisi terus berlanjut, seiring menguatnya pengaruh RRC, AS harus menghadapi kompetitor baru.

Kepentingan AS untuk untuk mengkhiri kekuasaan penguasa-penguasa lokal yang tak dikehendaki, termasuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Reformasi Indonesia, yang tampak sepertinya memang kepentingan AS yang bekerja, sarana-sarana kepentingan AS yang dipakai.

Tetapi beberapa tahun pasca reformasi berlangsung, justru tampak pengaruh RRC semakin menguat di kawasan ini, lebih signifikan dibanding masa Orde Baru. Sudah bisa dilihat siapa yang lebih banyak memanen reformasi yang bergulir di Indonesia.

Bekerja, mengeluarkan keringat, sementara pihak lain lebih menuai hasilnya. Untuk tidak dikatakan sekadar diperalat, tetapi sebuah pertarungan strategi, tempat di mana penuh pengkhianatan dan intrik, tinggal mana yang lebih piawai membaca dan mengendalikan situasi. Sebuah indikasi adanya penumpang gelap yang ikut bermain.

Sebuah titik lemah bagi AS di Asia Tenggara, mitra utama kepentingan AS di kawasan ini justru ditopang etnis keturunan Tionghoa. AS terlalu plural, berakibat ancaman dekadensi loyalitas.

Secara geografis Asia Tenggara lebih dekat ke RRC. Tetapi bukan semata faktor tersebut, ancaman terhadap hegemoni AS juga menjangkau ke kawasan lain, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur.

Berkaca dari reformasi Indonesia, kemungkinan berulang di Timur Tengah. AS bersusah payah mengerahkan sumber daya untuk melakukan perang melawan terorisme dan Arab Spring, termasuk indikasi menciptakan semacam ISIS dan bersusah payah menumpasnya sendiri, bisa jadi pihak lain yang akan meraup hasilnya. Rival-rival AS bisa bermain memanfaatkannya, untuk kian mengokohkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Ada beragam kepentingan yang sulit dikendalikan, seperti rivalitas antara Suni dengan Syiah, menuntut kejelian dalam memilih mitra yang loyal.

AS boleh merasa jumawa dalam memenangkan Perang Dingin, mampu meluluhlantakkan Blok Timur. Situasi bisa berbalik, ide segar bisa berpindah, Ukraina bisa menjadi contoh awal, AS dan Barat tak berdaya mempertahankan kepentingannya di negara tersebut.

Era Perang Dunia II memang diselesaikan dengan senjata. Sejauh mana Jepang tidak mampu menyentuh jantung kekuatan AS, tetapi AS mampu menjangkau jantung kekuatan Jepang. Kini adalah sebuah era yang berbeda, tak hanya bergantung pada pertarungan fisik, era perpaduan adu strategi.

AS terlalu plural, memungkinkan lobi-lobi dari luar memengaruhi kebijakannya. Membuatnya lebih cepat menjadi jenuh, terlalu banyak kepentingan yang bisa menjadi beban. Sejauh mana lobi rival-rival AS masuk ke jantung pusat pengambil keputusannya, dan sejauh mana lobi AS tidak mampu menembus rivalnya.

Penting diperhatikan oleh rival-rival AS, dalam menentukan mitra kepentingan, tidak semata berorientasi jangka pendek, tetapi memperhatikan juga aspek ideologi dan religi, untuk terjaminnya suatu loyalitas. (dakwatuna)

Senin, 17 November 2014

Pidato Ir. Soekarno Soal Gerakan Pemurnian Islam

Disaat ummat muslim Indonesia saling tuding dan menyalahkan. Mereka Pemikir Islam yang berbendera sekuler, pluralisme dan para pengagung harta makin merasa di atas angin dengan kedudukannya di pemerintahan negeri mayoritas muslim. Sang Pendiri negeri ini, yang foto-foto mereka pampang berdampingan saat caleg dan pemilu merasa paling akrab dan tahu persis sang Proklamator acuh dengan pemahaman dan pemikirannya yang murni. Kebanyakan dari mereka bahkan mungkin sebagian dari kita sudah merasa paling benar. Istilah wahabisme yang populer dilontarkan pengikut agama Syiah akhir-akhir ini yang menuduh berbagai macam. Bahkan dianggap sebagai ancaman bagi NKRI karena semangatnya memperjuangkan kemurnian Islam. Merasa risih saat orang-orang yang mengajak kembali ke petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Kembali mengamalkan amalan Sahabat dan orang shaleh yang telah dijamin kesholehannya.

Presiden Pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno pernah berbicara tetang pengikut salaf ini.

Buku berjudul "Dibawah Bendera Revolusi" (yaitu kumpulan tulisan dan pidato-pidato beliau) jilid pertama, cetakan kedua,tahun 1963 menjadi saksi bahwa ia mengajak untuk merenungi bahkan mengakui perjuangan dan jasanya di negeri ini. Di halaman 398, beliau mengatakan dengan jelas,
" Tjobalah pembatja renungkan sebentar "padang-pasir" dan "wahabisme" itu. Kita mengetahui djasa wahabisme jang terbesar : ia punja kemurnian, ia punja keaslian, - murni dan asli sebagai udara padang- pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada islam dizamanja Muhammad!"

Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannja seribu satu tahajul dan seribu satu bid'ah."
Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bid'ah itu, tjahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kemusjrikan!

Nampak jelas bahwa presiden pertama RI. Ir. Sukarno, sendiri menganggap gerakan wahabi adalah suatu gerakan "PEMURNIAN ISLAM", gerakan yang menentang seribu satu Tahayul dan Bid'ah yang ada dalam islam, Dengan semboyan "Kembali kepada Allah dan kepada Nabi".

Mari wahai saudaraku kita kembali kepada Al-qur'an dan As Sunnah kedua warisan Nabi Muhammad shallahu 'alayhi wassalam, agar kita selamat dunia dan akhirat. Aamiin (islamedia)

Senin, 10 November 2014

Masa’ Islam Kita Kalah dengan Bali!

Suatu ketika Ustadz Bachtiar Nasir bertanya bertanya kepada suatu jamaah, “Islam manakah yang paling baik?” Menurut Beliau Islam yang paling baik itu bukan Aceh, Sumatera Barat atau Yogyakarta, tetapi Islam terbaik di Indonesia itu adalah Bali.

Bagaimana mungkin? Ternyata hanya di Bali jamaah Shalat Subuh lebih banyak dari pada jamaah Shalat Jumat. Di Masjid Baitul Makmur Denpasar misalnya, jamaah Shalat Subuhnya bisa mencapai 700 orang, bahkan untuk hari Ahad lebih banyak lagi, sehingga tidak muat lagi di dalam masjid.

Bukan shalat-shalat jamaah saja yang semarak, kegiatan-kegiatan seperti taklim dan kajian keislaman tak kalah semangat. Mereka sangat antusias dalam mengkaji tafsir, hadis dan sebagainya, bahkan mendatangkan ustadz-ustadz dari luar. Demikian pula dalam berinfak, tak heran bila amal-amal sosial muslim di Bali lebih terurus dengan baik dibanding dengan yang dikelola umat lain yang mayoritas sekalipun.

Bali selama ini kita persepsikan tak identik dengan Islam. Para pendatang dari luar di Bali kebanyakan memang beragama Islam, tetapi mungkin kita lebih mengasumsikan mereka yang memilih bekerja di sana bukan muslim yang taat. Mungkin kita mengasumsikan muslim yang taat cenderung tidak memilih bekerja di Bali. Tetapi kenyataan yang terjadi, Islam di Bali justru tumbuh menakjubkan.

Lantas bagaimana dengan kita? Dalam kondisi sebagai mayoritas, kita lebih mengenal Islam, lingkungan dan tempat kita bekerja lebih kondusif untuk menjalankannya, lebih tersedia berbagai sarana di sekitar kita yang mempermudah untuk kita menjalankan ibadah. Tetapi ternyata kemalasan membuat amal kita tak sebanding dengan peluang yang semestinya bisa diraih.

Masjid-masjid kita yang sepi, padahal hampir tiap RT ada masjid. Sedikitnya orang yang mau mendatangi majelis-majelis ilmu. Nyaris tak ada lagi rumah-rumah yang membiasakan membaca Alquran di dalamnya. Tak sebanding dengan semaraknya hal-hal yang bersifat hiburan duniawi dan hura-hura di sekitar kita.

Beberapa dekade lalu, suasana di Bali masih seperti di negara-negara Barat, nyaris tanpa simbol-simbol Islam yang menonjol. Untuk mencari tempat shalat saja sulit. Tak dinyana jika di kemudian hari, syiar Islam di sana justru tampak bergairah. Sebaliknya kita, sepertinya malah seperti sudah jenuh dalam beragama. Beragama bagi kita rasanya seperti hanya turun-temurun semata.

Antara kuantitas dan kualitas, kita yang secara jumlah mayoritas tampak seperti hanya minoritas, mungkin seperti buih di lautan. Sebaliknya, mereka dalam kondisi sebagai minoritas, mampu melampauinya, dan benar-benar menampakkan syiar Islamnya.

Begitulah, dalam kondisi minoritas, penuh keterbatasan, tak menjadikannya penghalang, melampaui keterbatasan tersebut. Sedang kita, begitu banyak kesempatan yang terbuka, tetapi kita menyia-nyiakannya. Tidakkah kita malu dengan prestasi yang dicapai saudara-saudara kita di Bali?

Seringkali dengan berbagai nikmat yang diberikan kepada kita, tak membuat kita lebih dekat kepada agama, malah kita lebih banyak lalai, kita seperti tidak butuh dengan Islam. Sementara, saudara-saudara kita yang sedang terkena berbagai musibah, cobaan yang berat, menjadi korban konflik dan peperangan, tetapi dalam kondisi demikian sulit justru membuat mereka mendekat dengan agama.

Jika lebih banyak kesempatan kita sia-siakan, bagaimana jika nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita ini dicabut? Apakah kita menunggu mendapat cobaan-cobaan seperti itu, baru mau mendekat kepada-Nya?




Sabtu, 08 November 2014

Dua Wajah Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Muflih

Bulan September lalu saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di ujung paling barat Kabupaten Bogor. Di sela-sela kegiatan yang padat, saya banyak bersilaturahim dengan berbagai tokoh masyarakat. Termasuk berdiskusi dengan seorang kyai muda, pemimpin sebuah pondok pesantren salafi. Kami berbicara mengenai beragam isu yang berkembang di desa dan bahkan sampai pada pembahasan kebencian warga pada Muhammadiyah.


Menurut pak Kyai, cara dakwah orang Muhammadiyah terlalu keras, merasa benar sendiri, terkesan ingin menguasai wilayah, dan stigma negatif lainnya. Di desa ini memang ada satu kampung yang didominasi oleh warga Muhammadiyah. Tokohnya sangat keras dalam menyampaikan ceramah, terutama terkait hal-hal yang menurut Muhammadiyah merupakan bid’ah. Saya terus menyimak tanpa mengakui bahwa saya kader Muhammadiyah.



Cara dakwah yang keras itulah yang tidak bisa diterima warga. Pernah suatu ketika, setelah sholat jumat, seorang ustadz dari Muhammadiyah berdiri di depan mimbar dan berkata, “yang sholat zuhur setelah sholat jumat, ke neraka!” Tentu saja warga kaget. Di beberapa masjid kampung di desa ini, memang ada yang melaksanakan sholat zuhur setelah sholat jumat. Apapun yang ‘difatwakan’ orang Muhammadiyah disana, selalu warga sampaikan pada sang Kyai salafi. Dengan ringan si Kyai menjawab keluhan warga, “tanyakan saja dalilnya.” Sayangnya, ketika ditanyai warga, sang ustadz dari Muhammadiyah tadi mengaku tidak tahu dalilnya. Tentu saja ini jadi senjata Kyai Salafi untuk ‘menyerang’ balik. Muballigh Muhammadiyah punya banyak PR.



Ketika Kepala Desa yang sekarang menjabat belum terpilih, isu yang berhembus pada masa kampanye 2 tahun yang lalu adalah dia orang Muhammadiyah. Warga yang begitu alergi sempat terpengaruh isu ini. Namun pada akhirnya, sang calon mengklarifikasi bahwa dia bukan lagi orang Muhammadiyah. Bahkan, dia mengajak warga untuk sholat subuh berjama’ah. Dia akan bertindak sebagai imam dan ber-qunut.



Tantangan pak Kades pada warga saat itu hanya trik politik. Kenapa saya sebut trik? Karena beberapa hari setelahnya, dia mengakui sendiri dirinya adalah orang Muhammadiyah. “Waktu masa pemilihan, di depan rumah saya banyak orang mengirim macam-macam; telur busuk, bangkai ayam, dan lain-lain. Pihak lawan berusaha mencelakai saya dengan cara-cara ganjil. Tapi kan saya orang Muhammadiyah tulen, hal-hal seperti itu saya gak percaya, merusak tauhid. Saya lawan saja dengan puasa,” ujar Pak Kades. Sebagai catatan, lagi-lagi saya tidak mengaku sebagai orang Muhammadiyah waktu itu. Jadi, Kepala Desa disana memimpin dengan ‘ruh’ muhammadiyah, tetapi menyembunyikan identitasnya sebagai orang Muhammadiyah.



Beberapa hari setelah KKN selesai, saya mengikuti kuliah umum bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr., di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema yang diperbincangkan adalah “Islam dan Barat”. Ketika Blake menyinggung tentang toleransi beragama, beliau beberapa kali menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi penjaga perdamaian dan toleransi di Indonesia. Tidak sekalipun beliau menyebut NU. Artinya -tanpa mengecilkan peran NU- ada pengakuan di tingkat nasional, bahkan internasional, bahwa Muhammadiyah mempunyai peran besar untuk mewakili wajah Islam yang damai. Ada kontradiksi ketika melihat Muhammadiyah dari dua sisi; dari atas (skala global) nampak berwajah damai, tetapi menyeramkan jika dilihat dari bawah (kalangan akar rumput).



Pada skala nasional, memang kampanye toleransi antar umat beragama terus digalakkan. Kita bisa mengamati, saat ini toleransi umat beragama di Indonesia sudah berjalan baik. Namun di kalangan paling akar rumput, ada sesuatu yang belum selesai. Malahan, perkara-perkara ini menjadi bahan pertengkaran dan memutus silaturrahim antar umat Islam sendiri; konflik yang disebabkan perbedaan paham mengenai yasinan, tahlilan, memperingati hari kematian dan lain-lain.

Pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah memperbaiki persepsinya di kalangan akar rumput? Kita punya jawaban masing-masing. Bagi saya persepsi menjadi penting, bukan untuk pencitraan. Tetapi, dengan diterimanya Muhammadiyah di lapisan masyarakat paling bawah, dakwah amar ma’ruf nahi munkar akan lebih mengena. Ali Bin Abi Thalib pernah berkata, “jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu.” Perlu cara-cara yang lemah lembut untuk memahamkan sesuatu pada masyarakat. Kalau kita bersikap keras dan berhati kasar, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 159, maka tentu mereka (masyarakat) menjauhkan diri dari kita.

Akankah muncul (kembali) kisah heroik seperti kisah Pak AR Fachrudin yang mengubah tradisi yasinan tradisional menjadi pengajian tafsir Al-Qur’an? Pak AR adalah contoh terbaik dari “toleransi khilafiyah”. Beliau mengubah persepsi masyarakat terhadap Muhammadiyah dengan cara yang santun. Muhammadiyah tentu saja mesti punya wibawa, namun bukan dalam pengertian ‘menyeramkan’.

Muhammad Muflih/sangpencerah.com
( Sekretaris Bidang ASBO - PD IPM Kabupaten Bogor )

Super Humas

Pasca diadakannya PR Summit PKS beberapa waktu lalu, tugas kehumasan memiliki posisi sekaligus tanggung jawab yang lebih urgen.

Kita berada pada era teknologi informasi, di mana perang pemikiran (ghazwul fikri) sebagai sarana untuk mewujudkan gagasan dan kepentingan kian dominan, menggeser peran perang secara fisik. Problematika kehidupan tidak melulu diselesaikan dengan cara-cara fisik yang kasat mata, tetapi lebih banyak diselesaikan secara soft. Perang informasi tak kalah dahsyat dengan benturan secara fisik, menimulkan efek yang dampaknya bisa memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan, meski dalam bentuk lain.

Pada tataran ini, peran humas tak ubahnya adalah prajurit yang menempati garda terdepan medan pertempuran. Humas menjadi ujung tombak dalam pertempuran memperebutkan opini publik, membangun citra dan pengaruh. Memainkan media, menjadi sebuah peran signifikan yang berlangsung hampir tak kenal henti.

Tetapi yang harus diperhatikan, saat ini kita bukan hanya berada pada era kecanggihan teknologi nyata yang menakjubkan, tetapi kita juga berhadapan dengankecanggihan teknologi pemikiran, baik metode maupun sarana-sarananya. Kecanggihan teknik dalam merumuskan strategi dan memainkan isu untuk memenangkan perang opini, berada pada level yang lebih rumit dari masa-masa sebelumnya.

Pada pergulatan model ini, kita berhadapan dengan intrik dan permainan, penuh dengan tipu daya dan jebakan. Seringkali arah para pembuat kebijakan tak bisa lagi dimengerti oleh mayoritas publik, termasuk hal-hal menyangkut kepentingan publik itu sendiri, bahkan lebih banyak berlangsung tanpa disadari oleh mereka. Demikian pula ketika harus berhadapan dengan upaya memanipulasi opini publik untuk agenda dan tujuan tertentu. Di antara pergulatan tersebut, banyak kepentingan besar dipertaruhkan.

Sebanding dengan besarnya tantangan, upaya yang dipersiapkan tidak bisa asal-asalan. Bukan sembarang humas, tetapi memiliki daya upaya yang lebih, kemampuan untuk melampaui tantangannya. Memiliki kemampuan memahami situasi, mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan solusinya dengan tepat, untuk memenangkan sebuah perang informasi.

Bukan hanya menyampaikan, tetapi bisa mengukur sejauh mana efektifitasnya, agar bisa dicerna oleh publik. Merubah mindset orang lain, mengambil hati manusia, apalagi membentuk opini publik, bukan merupakan persoalan yang sederhana. Perlu untuk memahami tabiat manusia secara utuh. Sekaligus berhadapan dengan realitas situasi, bahwa mayoritas publik berada dalam kondisi mis-informasi.

Bukan dalam perspektif penyampai informasi, tetapi sejauh mana penerima informasi bisa menerimanya. Tidak bisa seseorang mengasumsikan orang lain adalah dirinya, pemahaman penerima informasi tak bisa seutuh pelaku informasi.

Bukan sekedar membawakan suatu kebaikan, tetapi mengemasnya dengan baik, agar tidak menghasilkan citra yang justru berkebalikan. Di antara pertarungan hitam putihnya dunia, sesuatu yang buruk sekalipun, memungkinkan meraih simpati publik ketika dikemas secara elegan.

Bukan soal kerasnya suara, tetapi sejauh mana bisa didengar. Bukan hanya menjadi angin lalu, tetapi sejauh mana bisa membekas. Ketika hal-hal kecil bisa diblow-up, ketika perhatian publik bisa dialihkan oleh hal-hal yang tidak urgen, tersesat pada upaya memanipulasi opini, dan ketika ketimpangan informasi membelit penguasaan opini publik.

Adakalanya harus bergerak dalam senyap, mengecoh lawan. Adakalanya harus melawan arus dan menyiasati keterbatasan. Ketika sasaran tak mungkin diambil, ia harus dicuri. Biarpun enggan untuk menempuh cara-cara licik, mestinya mampu untuk bersikap cerdik.

Di balik gerak-gerak yang tampak, lebih banyak dibutuhkan dan ditentukan gerak-gerak dalam senyap. Karena bukan hanya persoalan bergerak, tetapi persoalan menggerakkan orang lain.

Berada dalam kondisi melawan arus, di antara permainan, drama dan sandiwara kehidupan. Tidak mudah untuk memahami situasi yang telah berlangsung dan membaca langkah kompetitor, apalagi memprediksi langkah ke depan yang tengah dirumuskan. Jika tidak, akan dengan mudah terseret arus, terbawa pada langkah yang reaktif, bukan mendesain alur permainan.

Urgensi humas, tujuan dan tantangannya, tentunya juga harus sinergis dengan bidang-bidang yang lain, beserta upaya menyiapkan sarana-sarana penunjangnya. Perlu policy yang mengorganisir dengan baik. Sebesar apapun aset dan potensi yang tidak terarah secara efektif, bisa tersesat pada jebakan-jebakan suatu permainan, dan justru akan menjadi blunder yang menguntungkan lawan.


Jumat, 24 Oktober 2014

Etnis Cina, Pribumi, Sebuah Balada Superioritas dan Inferioritas


Kemuliaan seorang manusia tidak ditentukan oleh etnis dan bangsanya tapi oleh ketakwaanya. Setiap manusia dinilai bukan oleh asal-usul keturunannya tapi oleh amal perbuatannya. Al-Quran mengajarkan kita agar di antara beragam suku dan bangsa mengembangkan sikap saling bertaaruf (kenal mengenal).

Kita tak pernah meminta dilahirkan dari suatu etnis tertentu. Kebaikan dan kedurhakaan, ia bisa terlahir dari siapapun. Dari keluarga terdekat Firaun sekalipun, bisa terlahir suatu kebajikan yang luar biasa. Sebaliknya, dari keluarga terdekat seorang nabi sekalipun, bisa terlahir sebuah kedurhakaan yang besar.

Tetapi ada sebuah realitas yang sedang kita hadapi, dirasakan dari sebuah potret ketimpangan, salah satu pihak identik dengan superioritas, sedang pihak lain identik dengan inferioritas, untuk tidak terburu-buru mengidentikkan dengan dominasi dan marjinalisasi.

Dari sebuah realitas, segelintir kalangan tertentu menikmati sebagian besar kekayaan negeri, sedang sebagian besar dari penduduknya berada dalam kesulitan hidup. Mereka bersusah payah bekerja membanting tulang, di antara kesuburan dan kekayaan negeri, tetapi hasilnya seperti tak sepadan dengan jerih payahnya. Menyandang status sebagai pribumi, tetapi menerima kenyataan terus terdesak di kampung halamannya sendiri.

Potret kecil dari rahasia pintu rezeki anak manusia yang melakukan hijrah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, mereka dijanjikan akan mendapat apa yang diniatkannya, baik untuk tujuan-tujuan duniawi maupun untuk tujuan agama.

Seringkali para pendatang di perantauannya lebih sukses dalam menjalankan usahanya, mereka mampu mengungguli penduduk aslinya. Dalam suasana di perantauan, berhadapan dengan tantangan dan kesulitannya, biasanya mereka lebih memiliki spirit, motivasi hidup dan profesionalitas, bertekun menjalani hidup dalam keprihatinan. Berkebalikan dengan penduduk asli yang merasa nyaman hidup di tanah kelahirannya sendiri, dan cenderung berakibat memiliki mental santai.

Introspeksi ke dalam, menjadi hal pertama dan bijak bagi pribumi. Mengoreksi kekurangan diri, tentang kurangnya semangat, etos kerja dan keuletan. Kelemahan dari sisi menjalankan manajemen dan strategi bisnisnya. Hal tersebut menjadi faktor penghambat kemajuan kemajuan dari dalam.

Di luar itu, ada faktor eksternal yang tak bisa dipungkiri, ada upaya untuk mengkondisikan pribumi agar berada dalam keadaan inferior. Di samping kelemahan dari dalam, mereka harus menghadapi kompetisi yang tidak fair, ketidakadilan sistematis dan pelemahan terstruktur dari suatu kekuatan luar.

Sehingga bukannya tanpa masalah, kesuksesan kaum pendatang sering berimplikasi pada tingginya risiko, kecemburuan yang timbul, bahkan bisa terakumulasi pada kemarahan sosial, apalagi bila disertai sentimen SARA dan politik. Sekalipun kesuksesan tersebut dicapai dengan cara fair, tetap ada potensi beban sosial, apalagi bila ada unsur kompetisi tidak sehat di dalamnya. Di antara ketimpangan yang terjadi, ada hal yang perlu dimengerti, penduduk asli yang memiliki perasaan bahwa mereka lebih dahulu mendiami tempat tersebut.

Di antara dua pilihan untuk membayar beban sosial tersebut, antara meredamnya dengan bersikap yang baik terhadap penduduk asli, menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi dan mengulurkan kepedulian. Atau jika tidak, meredamnya dengan mengedepankan angkara dan keserakahan, mengukuhkan dominasi melalui cengkeraman yang membuat pihak lemah dalam kondisi tak berdaya, pelemahan sistematis secara politik, struktur sosial dan berbagai aspek kehidupan lain.

Sebuah harapan di satu sisi, terjalin sebuah hubungan yang positif, pihak yang kuat menolong mereka yang lemah, saling bekerjasama untuk kebaikan bersama. Tetapi juga sebuah kekhawatiran di sisi lain, dikedepankannya nafsu dan angkara, suatu pihak berupaya mendominasi dan menihilkan pihak lain. Bukan hanya melemahkan secara fisik dan mental, bahkan dalam gambaran terburuk, sejarah panjang penaklukkan dan penjajahan bangsa-bangsa, sampai kepada kemungkinan terburuk, upaya yang mengarah pada pemusnahan bangsa lain sebagaimana yang dialami bangsa Indian, Aborigin dan Maori.

Di antara cinta dan kebencian, di antara persahabatan dan permusuhan, dunia ini mungkin bukan tempat meminta belas kasihan, ia lebih banyak memaksa untuk bersaing bahkan bertarung memperebutkan supremasinya.

Silih berganti berbagai bangsa hadir di nusantara ini, disambut dengan tangan terbuka, tetapi adakalanya berbalas lain, cengkeraman kolonialisme dan eksploitasi. Tumbuhnya nafsu serakah atas kekayaan dan kesuburan sebuah negeri. Suatu bangsa yang merasa tanah airnya terlalu sempit, terpikat dengan kesuburan dan kekayaan negeri lain, dan akhirnya berhasrat menguasainya. Setidaknya menjadi suatu kewaspadaan bagi masa depan bangsa ini, bahwa untuk bisa mempertahankan eksistensinya, menuntut suatu perjuangan dan pengorbanan, tidak bisa diniscayakan lagi.

Sebagai muslim kita patut bersyukur, Islam datang ke berbagai penjuru dunia tidak dengan spirit menjajah dan mengeksploitasi, tetapi dengan motivasi dakwah, transfer ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban. Islam datang ke Nusantara ini tanpa kita merasa terjajah oleh Islam. Bukan Islam yang memusnahkan bangsa Indian, Aborigin dan Maori. Bukan Islam yang melakukan perbudakan bangsa kulit hitam secara masif. Islam datang ke Andalusia bukan untuk dieksploitasi, tetapi membebaskannya dari ketidakadilan dan membawanya menjadi sebuah puncak kemajuan peradaban. Islam datang dengan spirit membawa rahmat, keselamatan, berbagi dan taawun (tolong-menolong), bukan menghisap dan merampas.

Di antara dunia yang mengedepankan spirit individualistik dan ego, Islam bisa menjadi sebuah jembatan bagi terwujudnya jalinan kasih sayang dan perdamaian. Keimanan yang sebenarnya, menumbuhkan sebuah orientasi bahwa superioritas bukan didapatkan dengan merampas dan menaklukkan, tetapi dengan memberi dan berbagi.

Namun ada sebuah konsekwensi, Islam menjadi penghalang terbesar tegaknya kebatilan, sehingga Islam harus melewati berbagai stigma buruk di antara pertarungan kebenaran dan kebatilan tersebut, dan ini menjadi ujian bagi kita dalam membawakan Islam pada percaturan dunia.

Realitas di negeri ini, termasuk Islam telah menjadi jembatan antara etnis cina dan pribumi, menjadi sebuah asimilasi yang sebenarnya, tanpa menyisakan sekat. Ia meluruhkan angkara, sekaligus menepis prasangka. Namun sayang, jembatan yang telah terhubung tersebut masih terlalu kecil untuk dua entitas yang teramat besar.

Dengan Islam, kecemburuan akan dunia diredam dengan keyakinan akan akhirat. Bahwasanya kejayaan dan kesenangan duniawi tak ada artinya dibandingkan dengan kebajikan dan amal shalih untuk akhirat (Al Baqarah: 212, Ali Imran: 14-15, Al Kahfi: 45-46). Tetapi kesempurnaan Islam juga menempatkan dunia sebagai sawah ladang akhirat, kekuatan dunia adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan membebaskan orang-orang lemah dari kesewenang-wenangan. bahwasanya kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Sebuah motivasi agar umat ini tidak menjadi lemah, tetapi menjadi kekuatan yang sinergis dengan tugasnya sebagai khalifah, tugas untuk memakmurkan dunia.

Bukan untuk mengharap belas kasih, tetapi untuk menghadapi tantangannya. Memang Tuhan memberikan kerajaan kepada yang Dia kehendaki dan mencabut kerajaan dari orang yang Dia kehendaki. Memuliakan orang yang Dia kehendaki dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Dan Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. Tetapi Allah telah telah menegaskan bahwasanya Dia tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri.
 


Selasa, 21 Oktober 2014

Teman Dakwah, dalam Suka dan Dukanya

Bukan yang menemani saat ia dielu-elukan dan mendapatkan sanjungan, tetapi yang bersabar saat ia mendapatkan cercaan, terhina, dan harus menanggung malu bersamanya.

Bukan yang menemani ketika menjemput kemenangan dan disematkan penganugerahan, tapi yang tak berpaling ketika ia berlepotan dengan kotoran, bahkan tak risih membersihkannya.

Bukan saat-saat bermain-main dalam kegembiraan, tetapi setia pada saat-saat harus berlelah memikul beban. Bukan ketika menikmati buahnya, tetapi yang berpayah merawat dan menyianginya.

Tak meninggalkannya dalam keterpurukan, tak membiarkannya dalam kehinaan. Ketika kepercayaan terhadap dakwah ini terkoyak di depan mata, tapi kukuhnya keyakinan di dalam hati membuatnya tetap bertahan. Di antara ujian, fitnah dan rintangan yang menimpanya, ujian yang mesti dilewati bukan hanya kebaikan, tetapi juga keburukan.

Yang tak berpaling oleh fitnah yang menimpa, keteguhan yang tak goyah oleh prasangka, “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An Nur: 12, 16)

Nilai kesabaran yang sesungguhnya, yang telah teruji. Nilai bagi mereka yang telah menempuh masa-masa sulitnya. Bukan sebatas pecundang, “Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka. Dan jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).” (QS. An Nisa: 72-73)

Bukan yang menemaninya dalam gegap gempita, tetapi yang mengawali dari kesendirian, dari keterasingan. Ketika nilai sebuah pengorbanan lebih berarti, “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid: 10)

Ridha menemani dalam menempuh kemudahan dan kesulitannya, manis dan pahitnya. Bukan sebatas mengharap keuntungan, tetapi merelakan pengorbanan, “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah: 42)

Ridha baik ketika mendapatkan bagian, tetapi juga ridha ketika harus tersisih, “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah: 58-59)

Sebelum pengorbanan tak dibutuhkan lagi, dan tak berguna suatu amal, “Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” (QS. Al An’am: 158)

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)

Bagi mereka yang telah menyisihkan dirinya, merelakan kepentingannya, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS Al Baqarah: 207)

Dan Allah juga mempersiapkan balasan yang sebaik-baiknya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 111)

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At Taubah: 120-121)

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 146-148)

Tetapi teman sejati itu hanya sedikit, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud: 116)

Yang mendekat ketika kebanyakan manusia enggan, menyapa di saat orang lain menjauh, dan peduli ketika kebanyakan abai, akan berbuah kesan yang lebih membekas di sisi-Nya, dan kelak akan lebih berhak atas anugerah yang sesungguhnya, dalam kemenangannya.


Minggu, 12 Oktober 2014

Di Ambang Syiah?


Ketika beberapa waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus mengubah peta kekuatan politik dan militer di negara tersebut, seharusnya menjadi sebuah warning bagi keberlangsungan entitas muslim Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih dominasi Sunni atas dunia Islam.
Pelan tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni beralih ke tangan Syiah. Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak pasca invasi AS, dan dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro Iran. Lebih luas lagi, secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan, termasuk diuntungkan oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Bahkan termasuk di Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar, melampaui statusnya sebagai minoritas.
Untuk membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah ada proses panjang di balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan dengan baik oleh kaum Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu saja tiba-tiba menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak disadari oleh kaum Sunni sendiri.
Tulisan ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah dogma, bukan untuk menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif usaha-usaha yang dilakukan dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah peradaban. Di antara klaim kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah masing-masing di antara kita menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki, seobyektif mungkin dan tanpa prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban
Generasi kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh paham Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah mayoritas, sedang Syiah hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita bisa lengah, dengan mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh Syiah, apalagi dalam waktu dekat.
Tetapi dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan berbagai ideologi dan peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan keruntuhannya, sesungguhnya sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada dalam situasi yang cair. Pintu sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci, sehingga tidak ada tempat yang aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat dan tidur dengan tenang, sekokoh apapun mereka.
Pasca dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa diibaratkan seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika segelintir orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban besar. Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan peradaban besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.
Bukan sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak juga terjebak pada sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya khayal dan angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan retorika-retorika kosong, tetapi membutuhkan usaha-usaha luar biasa, upaya-upaya taktis dan terukur untuk merealisasikannya. Mencari celah-celah sempit untuk menembus kukuhnya benteng dominasi Sunni, menaklukkan sebuah kemustahilan.
Bukan sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan waktu, bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang terarah pada target yang ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia, memanfaatkan berbagai friksi dan konflik kepentingan, serta bermain di antara berbagai benturan ideologi dan peradaban besar.
Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan Tradisionalisme
Sebuah retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya dominasi Sunni dalam dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus menghadapi mayoritas Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti hanya perlu menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi lebih ringan, bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam tubuh Sunni itu sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.
Islam pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab menjadi sesuatu yang tak bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang, situasi dan kultur yang bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin komplek. Antara menjaga orisinalitas agama dengan mengakomodasi fleksibilitasnya akan terus memunculkan dinamika.
Nabi Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang dibawanya bukan hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak ada lagi nabi sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang mengembalikan orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para pembaharu tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat, tetapi orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama terdahulu. Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab semua problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.
Tidak semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara detail, tak mungkin tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan generasi, Islam tak memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek yang dijelaskan secara global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam beragam kondisi dan zaman yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu mencerna Islam sesuai kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi abad pertama Islam tidak terbebani semua permasalahan generasi kita. Sebaliknya, bagi generasi kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum dirumuskan secara langsung oleh generasi terdahulu.
Di antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan hidup umat Islam, muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya. Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring perjalanan panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak tradisionalis, puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.
Antara menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama, sering menjadi sebuah persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa tegak di atas penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari penyelewengan, tetapi keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut membutuhkan sikap obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan. Jika tidak, hal ini akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan kontraproduktif bagi umat ini sendiri.
Terlepas dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai friksi yang terjadi, dalam catatan-catatan gelap seperti Memoar of Hempher atau Lawrence of Arabiya, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan, tetapi kenyataannya memang dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme, persaingan politik, persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.
Friksi antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal seperti polemik tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan meneguhkan eksistensi Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil medan konfrontasi Syiah dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah dengan Syiah, pada sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh untuk mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi dengan kaum puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri lebih dekat dengan Syiah.
Antara Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya memiliki kesamaan akar keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani, hadis kutubussitah dan madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan di antara keduanya mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan praktek keagamaan di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi sulit untuk dipertemukan.
Ketika salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya, sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi oleh kalangan Sunni.
Sebaliknya, antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar keagamaan yang berbeda sama sekali, tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang serupa, dan mengakomodirnya, sehingga penampakannya memiliki banyak kesamaan, misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur, istighatsah, tawasul, tasawuf, wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin menarik kedekatan mereka dengan kalangan Syiah.
Menjaga eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk menyikapi friksi yang terjadi, membutuhkan pandangan yang obyektif dan komprehensif mengenai perkara ushul dan furu’, serta berbagai ikhtilaf yang sulit disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki. Jika tidak, justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus menjadi beban internal yang cukup melemahkan.
Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme Barat
Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi dunia.
Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.
Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini. Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.
Dunia Islam di Ambang Syiah
Ketika di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah bisa memadukan gerak langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah Imamiyah, Zaidiyah, Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi dengan kalangan sekuler, liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam. Di sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis, konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para pemegang kekuasaan.
Arab Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit meluasnya pengaruh Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki kemampuan sumber daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai, tidak punya pilihan lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan bersyarat yang membuat mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis. Sedang Barat sendiri tidak tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan yang sangat rapuh.
Menjadi ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas muslim Sunni dalam mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami situasi agar tidak terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk makin melemahkan Sunni itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun benturannya dengan kalangan eksternal.
Sejauh mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan kalangan nasionalis, atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, yang bisa menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk meninggalkan identitas Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga komunitas Sunni makin terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin sempit.
Demikian pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim dan penguasa lokal, yang notabene masih muslim, dengan kebaikan dan keburukannya, agar terhindar dari benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan kepada penguasa yang lebih buruk. Benturan antara Islamis dan penguasa lokal seperti yang terjadi di Libya, Sudan atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan agar tidak menjadi blunder di belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak luar untuk makin melemahkan kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan realitas adanya kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di sisi lain mereka adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri menjadi solusi, mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang. Daripada kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut jatuh sepenuhnya ke pihak lain.
Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang
Di suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini dari segala penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya untuk memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup hanya dihadapi secara emosional buta.
Kebenaran memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah kebaikan bagi kehidupan, tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit. Sedang takdir yang baik senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan cara-cara curang, menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh dan mudah diperdaya.
Dalam keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan kesulitan yang menimpa, nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal pikirnya memiliki kesadaran, yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara, sebuah nilai unggul yang akan menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan untuk menguasai dan menaklukkan manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki.
Menjadi sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang dibangun dengan aliansi dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para pencari kebenaran yang hakiki?

http://www.dakwatuna.com/2014/10/13/58276/di-ambang-syiah/