Kamis, 30 Januari 2014

Pertemuan Mukjizat, Dogma dan Sains, Proses di Balik Proses


Seorang muslim menerima sepenuhnya keberadaan suatu mukjizat, sebagai bentuk keimanan kepada Allah yang berkuasa untuk melakukan apa saja, meski secara logika manusia mustahil terjadi. Seiring tingkat pengetahuan umat manusia yang terus berkembang, makin banyak orang yang mencoba menjelaskan keajaiban yang terjadi dalam sudut pandang ilmiah. Mereka tidak puas dengan jawaban ‘Kuasa Tuhan’ atau ‘Kehendak Tuhan’ semata.

Cara pandang terhadap suatu mukjizat menjadi berubah, dari sudut pandang yang menganggapnya semata-mata merupakan kehendak Tuhan dan pekerjaan malaikat-malaikat yang diutusNya, kemudian meluas pada sudut pandang di luar dogma, bahwa mukjizat-mukjizat itu secara ilmiah memang dimungkinkan terjadi, dan bisa dijelaskan secara rasional.

Taraf pengetahuan yang dicapai umat manusia tidaklah sempurna. Implikasinya, ia akan senantiasa dinamis. Upaya menjelaskan suatu mukjizat secara rasional, tetaplah akan berhadapan pada keterbatasan manusia. Lahirlah teori-teori sesuai dengan tingkat peradaban yang dicapai oleh suatu generasi. Bukan hanya satu teori, bahkan memungkinkan muncul beberapa teori yang kontradiktif satu sama lain. Dinamika peradaban selanjutnya akan menguji kebenaran teori-teori tersebut, menguatkan kebenarannya atau menetapkannya menjadi usang.

Rasionalitas Nabi Musa Membelah Laut dan Ashabul Kahfi

Banyak pihak yang mencoba mengungkap rahasia terbelahnya laut yang dilalui Nabi Musa bersama pengikutnya, mendorong banyak penelitian ilmiah tentangnya. Apakah peristiwa tersebut benar nyata pernah terjadi dan bagaimana proses ilmiah yang berlangsung. Untuk tidak puas dengan berhenti pada penjelasan dogmatis semata, pukulan tongkat Nabi Musa atau pertolongan Allah dan bantuan malaikatNya.

Banyak teori bermunculan, beberapa di antaranya saling kontradiktif, namun sebenarnya juga bisa saling mendukung. Dari beberapa informasi yang berbeda mengenai satu hal, maksimal hanya ada satu yang paling tepat. Tetapi yang terpenting dari upaya mengungkap misteri ini adalah bahwa fenomena tersebut secara ilmiah memang dimungkinkan terjadi.

Teori tiupan angin kencang, badai, gempa, gunung meletus dan tsunami muncul untuk menjelaskan penyebab tersibaknya air laut sehingga terbentang sebuah jalan yang bisa dilalui. Bahkan juga mencoba mensimulasikan melalui program komputer.

Tetapi apakah hal tersebut terjadi dengan sendirinya secara kebetulan, bahkan kebetulan air laut tersibak begitu saja tepat ketika rombongan Nabi Musa dan pengikutnya dalam kondisi terdesak? Dan ternyata kejadian-kejadian alam yang luar biasa seperti angin, gempa dan sebagainya tidak pernah begitu saja membuat sebuah laut terbelah sebagaimana yang terjadi pada waktu itu.

Mengenai rahasia Ashabul Kahfi, di balik kehidupan manusia yang tertidur selama 309 tahun, memunculkan upaya untuk menggali keterangan dalam Al Qur’an dan pengetahuan yang dicapai manusia saat ini. Taraf pengetahuan sebelum kita hanya memandang peristiwa tersebut dalam perspektif keajaiban mukjizat semata, tetapi dengan pengetahuan yang telah dicapai generasi ini telah membuka jalan untuk mengungkapkan mekanisme ilmiah pada mukjizat tersebut. Muncullah beberapa teori yang mencoba menjelaskannya, yaitu teori hibernasi dan yang lebih spesifik yaitu teori penonaktifan fungsi telinga.

Sudut pandang hibernasi mengkaitkan fenomena Ashabul Kahfi dengan mekanisme mempertahankan hidup yang dimiliki hewan mamalia saat musim dingin dengan cara menurunkan level aktivitas metabolisme tubuh, ciri yang paling jelas adalah tidur panjang. Sedang dari sudut pandang teori penonaktifan fungsi telinga fenomena itu dijelaskan merujuk kepada ayat dalam QS. 18:11, “Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua.

Indra pendengar di telinga bekerja secara terus menerus dalam semua kondisi, termasuk ketika tidur. Sehingga dalam kondisi tidur sekalipun, seseorang akan tetap terkena pengaruh lingkungan sekitarnya. Itulah mengapa suara dari luar bisa membangunkan orang yang sedang tidur. Jika telinga dalam keadaan nonaktif, tidur seseorang menjadi suatu istirahat yang sempurna, menghentikan hampir seluruh proses dalam tubuhnya, sehingga memungkinkan kondisi fisik tetap tanpa perubahan dalam masa yang panjang.

Namun dalam kondisi hibernasi, pada makhluk hidup tetap terjadi pertumbuhan rambut, kuku dan pembuangan kotoran, juga tetap memerlukan nutrisi. Ketika dihubungkan dengan kejadian Ashabul Kahfi yang tidur selama 309 tahun tanpa perubahan apa pun, sejauhmana teori-teori itu memadai untuk menjelaskan fenomena tersebut dengan sempurna?

Kembali pada keyakinan bahwa proses ilmiah pada kejadian tersebut tetaplah merupakan intervensi kehendak dan campur tangan Allah, dan bukan terjadi secara kebetulan dengan sendirinya. Namun Al Qur’an sendiri mengisyaratkan tentang kondisi yang dipersiapkan untuk menunjang kehidupan Ashabul Kahfi secara fisik.
Pertama, membolak balik badan terus menerus selama tidur. “Kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur, Kami bolak balikan mereka ke kanan & ke kiri” (QS. 18:18). Secara medis, tidur dalam posisi tetap dalam waktu yang lama akan menyebabkan luka dan pembusukan pada bagian tubuh yang menerima beban, juga terjadinya penggumpalan darah dan paru-paru. Di rumah sakit, pasien yang telah jompo, koma atau lumpuh diberi jadwal yang memandu perubahan berkala posisi berbaringnya.

Kedua, tubuh Ashabul Kahfi mendapatkan paparan sinar matahari pada pagi dan sore secara seimbang dan memadai. Keberadaan cahaya berperan dalam menjaga kehidupan mereka, menjaga kesehatan tulang dan kulit, melindungi tubuh mereka dari kadar basah dan keracunan di dalam gua yang gelap, paparan sinar juga tidak berlebihan yang bisa berakibat memanggang mereka. “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu” (QS. 18:17).

Ketiga, mereka berada dalam gua dengan ventilasi yang baik yang memungkinkan mendapatkan sirkulasi udara dan cahaya yang cukup. “Mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu” (QS. 18:17).

Keempat, perlindungan eksternal berupa rasa takut terhadap mereka. Allah menjadikan mereka dalam kondisi yang sangat asing, orang akan mendapati mereka seperti orang yang belum tidur tetapi tidak bangun. Keberadaan anjing yang berada di halaman pintu gua juga berperan dalam menjaga mereka. Sebagaimana firman Allah “sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka” (QS. 18:18).

Kelima, Allah melindungi mata dan memberikan ketakutan pada mereka, firman Allah “kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur” (QS. 18:18).

Kondisi gua yang amat menunjang kehidupan mereka, ventilasi cahaya dan sirkulasi udara yang baik, serta keberadaan anjing yang menyertai mereka merupakan isyarat bahwa Allah  juga mempersiapkan pra kondisi di samping keajaiban tersebut. Lantas bagaimana juga menjelaskan mekanisme yang menyebabkan tubuh mereka berbolak-balik, sejauh mana tingkat pengetahuan yang kita capai bisa menjelaskannya, masih merupakan misteri.

Penemuan yang lebih mutakhir mungkin akan menguji kebenaran teori ini, sebuah keterbatasan pengetahuan manusia dalam mengungkap rahasia ciptaan Tuhan dengan ilmuNya yang tak terhingga. Namun bagi peradaban kita ini, masih banyak mukjizat yang hanya bisa diterima sebatas dogma. Akankah peradaban yang lebih mutakhir dari kita suatu saat nanti akan mampu menjelaskannya secara rasional?

Sebagai contoh, seperti apa yang diceritakan dalam QS. 2: 259, yang memiliki kemiripan dengan kejadian Ashabul Kahfi,  tetapi ada yang lebih spesifik dan rumit untuk dijelaskan. Seorang yang tertidur selama seratus tahun, ketika bangun makanan dan minunan yang dibawanya belum berubah, sedang keledai yang menyertainya telah berubah menjadi tulang belulang. Juga tentang Nabi Ibrahim yang selamat dari pembakaran, bagaimana menjelaskan mekanisme mengapa api tidak membakar tubuh Nabi Ibrahim.

Ketika Sains Memengaruhi Penafsiran

Al Quran bukan sebuah kitab yang mencakup pengetahuan segala hal, nabi juga tak berkewajiban menyampaikan dengan detail semua tentang sains dan teknologi. Tetapi keduanya mendorong manusia untuk bertafakur pada Sang Pencipta melalui ciptaanNya yang sempurna, hingga mengajarkan banyak hal yang bersinggungan dengan fenomena alam, bahkan yang belum dicapai peradaban manusia pada saat ia diturunkan. Berbagai rahasia fenomena alam yang disingkapnya menjadi bukti bahwa ia berasal dari Sang Pencipta alam semesta.

Namun upaya memahami ayat-ayat yang bersinggungan dengan fenomena alam tetap terbingkai keterbatasan pengetahuan yang dicapai suatu peradaban. Adakalanya suatu generasi memasukkan puncak-puncak pengetahuan yang mereka capai ke dalam penafsiran kitab suci, padahal pengetahuan tersebut bukan puncak pengetahuan manusia, ia hanyalah puncak pengetahuan pada masa itu. Ketika pengetahuan berkembang lebih maju, suatu teori menjadi usang, padahal ia terlanjur dimasukkan ke dalam dogma, maka kesalahan tangan-tangan penafsir ini akan menimbulkan persepsi yang kurang baik terhadap kesucian suatu dogma yang dibawanya. Hal inilah yang telah menodai berbagai agama dan teks suci sebelum kita.

Di sinilah perlunya kehati-hatian dalam memasukkan penemuan-penemuan baru ke dalam penafsiran kitab suci, meski dengan maksud baik menunjukkan kemukjizatannya. Hal-hal yang sudah pasti dari keduanya tidak mungkin bertentangan, tetapi menyandarkan pada teori-teori yang belum pasti membawa resiko ketika di kemudian hari ternyata ia salah. Bagi yang telah sepenuhnya mengimani kebenaran kitab suci, kesalahan tersebut tidak akan menggoyahkan keyakinan pada kesuciannya, kesalahan tersebut disadari sebagai keterbatasan manusia yang menafsirkannya, dan kemudian tinggal dilakukan koreksi atas penafsiran tersebut. Tetapi bagi mereka yang belum mengimani atau masih dalam pencarian, akan mengakibatkan kredibilitas sebuah kitab suci turun di mata mereka.

Sebagai contoh misalnya, dalam suatu peradaban  sebelum kita, tujuh lapis langit dan bumi dikaitkan dengan tujuh buah planet dalam sistem tata surya yang dikenal pada masa itu. Ketika ilmu pengetahuan berkembang, lebih banyak planet yang ditemukan, tafsir tersebut direvisi menjadi tujuh buah planet yang berada di atas bumi (planet-planet luar), dan ketika makin banyak planet ditemukan, bahkan definisi planet sendiri masih menjadi kontroversi, menjadi indikasi bahwa tafsir tujuh lapis langit dengan tujuh buah planet tidak tepat.

Kata alaq dalam Al Qur’an selama ini selalu diartikan dengan segumpal darah. Secara bahasa alaq bisa diartikan ‘segumpal darah’, tetapi juga ada arti lain yaitu ‘sesuatu yang menggantung’. Peradaban sebelum kita tidak merasakan kejanggalan jika alaq diartikan dengan segumpal darah. Seiring perkembangan pengetahuan, keyakinan tersebut mulai menjadi kontroversi, sesuatu yang menggantung dipandang lebih sesuai dengan maksud alaq, di mana menurut ilmu medis modern tahapan perkembangan embrio tidak melewati fase sebagai segumpal darah.

Adnal ardhi dalam QS. 30:3 biasanya diartikan dengan negeri yang terdekat, maksudnya tempat di mana Persia mengalahkan Romawi berada di negeri yang dekat dengan Arab. Tetapi seiring kemajuan pengetahuan yang dicapai manusia, kata adna yang berarti rendah dihubungkan dengan tempat kalahnya Romawi di sekitar Laut Mati yang merupakan daratan terendah dari permukaan laut di muka bumi ini.

Demikian pula kata fauqoha dalam QS. 2:26, yang selama ini diartikan dengan lebih kecil, maksudnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Tetapi hal tersebut menyisakan pertanyaan karena kata fauqo secara bahasa berarti ‘di atas’. Ketika ada penemuan tentang mikroorganisme yang tinggal di atas kepala nyamuk, memunculkan wacana bahwa yang dimaksudkan dengan fauqoha dalam ayat tersebut adalah ‘yang berada di atas nyamuk’, yaitu mikroorganisme tersebut.

Dalam QS. 27:88, diisyaratkan bahwa gunung-gunung berjalan sebagaimana jalannya awan. Di samping ada yang menghubungkan ayat ini dengan revolusi bumi, kemudian ada yang menghubungkannya dengan pergerakan lempeng benua. Selain itu juga ada pihak yang memahaminya sebagai bergeraknya gunung-gunung pada hari kiamat kelak.

Membawa Dogma di Antara Ketidakpastian Teori

Sebaliknya, ketika pengetahuan manusia belum mampu mengungkap suatu misteri dengan tuntas, penafsiran dalam agama sering dibawa di antara teori-teori dan dugaan yang masih kontradiktif. Sebelum misteri itu tuntas, membawa klaim-klaim penafsiran dogma masih merupakan hal yang menarik, mendukung salah satu pihak. Sebelum teori bumi bulat dan pemuaian alam semesta menjadi suatu kepastian, klaim-klaim dogmatis senantiasa menyertai perdebatan suatu kontroversi.

Pada tafsir klasik, petir dalam Al Qur’an ditafsirkan dengan cemeti malaikat. Seiring perkembangan pengetahuan manusia, sudut pandang tafsir pun berubah, Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al Manar menyebut petir sebagai tumbukan udara, sebuat lompatan untuk menerima masukan pengetahuan terkini ke dalam tafsir, di tengah apriori yang masih kuat pada masa tersebut. Jika pengetahuan terkini menyatakan petir merupakan lompatan arus listrik, sudut pandang tafsir terkini akan cenderung terpengaruh.

Mengenai banjir Nabi Nuh, di luar agama ini menempatkannya sebagai peristiwa banjir yang menenggelamkan seluruh permukaan bumi hingga puncak gunung tertingginya, memusnahkan semua spesies di permukaan bumi kecuali yang berada dalam kapal Nabi Nuh. Ilmu pengetahuan akan sulit menerima penjelasan ini meski dalam bingkai ‘Tuhan mampu melakukan apa saja’, demikian pula fakta sejarah juga tidak mendukung keterangan tersebut. Sementara dalam Al Qur’an tidak spesifik menjelaskan seperti itu, cenderung memberi isyarat banjir tersebut terjadi secara lokal, sebatas menimpa kaum Nabi Nuh sebagaimana juga menimpa kaum-kaum lain (QS. 9:70), tetapi juga bukan merupakan banjir biasa, jauh lebih besar. Dari informasi tentang banjir ini memunculkan beberapa teori yang mencoba menjelaskannya, teori mencairnya es di kutub, teori benda angkasa yang mendekati bumi sehingga gravitasinya memengaruhi konsentrasi air, dan sebagainya.

Pembangunan piramid masih menyisakan misteri, keterangan dalam teks suci seringkali dibawa untuk menguatkan salah satu teori. Adanya keterangan dalam agama tentang manusia zaman dahulu yang berpostur raksasa hingga setinggi  30 hasta dipakai sebagai argumentasi untuk mendukung pihak yang mengemukakan teori bahwa batu-batu besar piramid disusun oleh manusia-manusia raksasa tersebut, karena dengan postur kecil seperti manusia masa kini tidak mungkin menyusun batu-batu seukuran tersebut, tanpa bantuan teknologi berat. Di pihak lain, dengan membawa penafsiran QS. 28:38, yang mengisyaratkan adanya tekhnik pembakaran tanah liat, memunculkan teori bahwa batu-batu besar piramid tidaklah diangkut dari tempat lain tetapi dicetak di tempat, dengan bahan yang berasal dari tanah liat.

Pembagian kadar makanan dalam empat masa dalam ayat tentang penciptaan bumi, QS. 41:10, sering dikaitkan dengan empat masa dalam ilmu geologi. Keterangan tentang langit yang tercipta dari asap dalam QS. 41:11, sering dipakai untuk mendukung teori nebula. Sedangkan keterangan dalam QS. 21:30 tentang langit dan bumi yang dahulu merupakan sesuatu yang padu seringkali dipakai untuk mendukung teori Big Bang.

Misteri keberadaan makhluk di luar bumi telah lama menarik perhatian para peneliti. Beberapa ayat sering terbawa dalam kontroversi ini, misalnya QS. 42:29. Tentunya misteri tersebut tidak bisa terpecahkan begitu saja dengan ayat-ayat itu, penafsirannya juga belum pasti. Keterangan tentang kehidupan Nabi Adam merupakan suatu kepastian mengenai adanya kehidupan di luar bumi ini, tetapi menjadi pertanyaan apakah kehidupan tersebut memiliki spesifikasi sama dengan yang sebagaimana menjadi obyek penelitian selama ini, terjangkau secara fisik, ataukah kehidupan dalam spesifikasi lain. Demikian pula tentang upaya memecahkan misteri keberadaan manusia purba dan peradaban tinggi masa lampau.

Jika kontroversi bumi berbentuk bulat telah selesai, lain halnya dengan kontroversi masalah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya, matahari yang sebenarnya mengelilingi bumi. Selain adu argumentasi dalam ranah ilmiah, dalam ranah agama pun adu argumentasi dan dalil-dalil masih berlangsung.

Prediksi Sebelum Suatu Mukjizat Terwujud

Tidak hanya untuk menjelaskan secara ilmiah keajaiban-keajaiban yang telah terjadi di masa lalu, seperti terbelahnya bulan, utuhnya jasad Firaun, misteri Nabi Yunus di perut ikan, dan sebagainya. Bahwa semua itu memang benar-benar pernah terjadi memungkinkan adanya penjelasan ilmiah tentangnya. Di samping itu agama juga menginformasikan keajaiban yang baru akan terjadi di masa depan, seperti hadits-hadits Nabi tentang terbitnya matahari dari arah barat, kembalinya negeri Arab menjadi subur seperti pada masa lalu, dan terjadinya kiamat.

Pada hal-hal tersebut, memunculkan upaya-upaya mengemukakan argumentasi bahwa hal tersebut secara ilmiah memang akan terjadi. Sekaligus memunculkan teori-teori yang menjelaskan tentang bagaimana prosesnya secara ilmiah.

Informasi terbitnya matahari dari barat memunculkan beberapa teori. Teori perlambatan rotasi bumi hingga titik jenuh, teori pergantian kutub magnetik matahari dan bumi, teori gangguan sistem Tata Surya dan sebagainya. Sedang tentang suburnya kembali Tanah Arab, memunculkan beberapa teori seperti teori zaman es dan perubahan arus angin. Waktu yang akan menguji kebenaran teori-teori tersebut.

Sebuah Pelajaran Sempurna

Bahwasanya Allah  mampu menciptakan apa pun tanpa proses sama sekali dan mengerjakan sendiri tanpa bantuan siapa pun, tetapi kesempurnaan hikmah yang Dia karuniakan kepada kita agar kita merasakan keagungan KerajaanNya. Dari perkara yang besar hingga yang terkecil di alam semesta ini, dari pergerakan bintang dan planet hingga pergerakan partikel, tidak begitu saja terjadi tanpa penjelasan, berlangsung dari proses-proses yang tersusun, baik dari sudut pandang ilmiah maupun peran para malaikatNya pada semua proses tersebut dalam sudut pandang dogma, dan akhirnya menjadi kesempurnaan ibrah bagi hamba-hambaNya.

Firman Allah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:190-191) “Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya). (QS. 21:16-17)

Keimanan yang kita miliki tetap menempatkan segala sesuatu yang terjadi tanpa menafikkan keberadaan dan peran Sang Pencipta, bukan hanya untuk kejadian-kejadian yang luar biasa, tetapi juga pada kejadian-kejadian keseharian dalam kehidupan kita. Sebagaimana firman Allah dalam QS.41:47, “Kepada-Nyalah dikembalikan pengetahuan tentang hari Kiamat. Dan tidak ada buah-buahan keluar dari kelopaknya dan tidak seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuanNya. Pada hari Tuhan memanggil mereka: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku itu?", mereka menjawab: "Kami nyatakan kepada Engkau bahwa tidak ada seorangpun di antara kami yang memberi kesaksian (bahwa Engkau punya sekutu)." Juga dalam QS. 35:11, “Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.

Pelajaran lain yang kita dapatkan, dari sisi proses yang kita jalani, yaitu tentang bagaimanapun Allah berkuasa melakukan apa pun untuk menolong hambaNya, tetapi peran kita melakukan sesuatu sebagai suatu bentuk ikhtiar juga tidak bisa dinafikkan. Bukan hanya pada bentuk usaha yang rasional, sempurna dan memadai, ketika kondisi seperti itu tidak mampu dipenuhi, peran suatu ikhtiar tetap bernilai. Laut tidak begitu saja membelah atau mata air begitu saja memancar atas perintah Allah, tetapi tetap dikehendaki adanya peran Nabi Musa yang memukulkan tongkatnya. Nabi Ibrahim tidak begitu saja diselamatkan dari api, tetapi ia diperintahkan mengucapkan sebuah doa sebagai permohonan.

Di antara kekhawatiran pada persinggungan antara penemuan ilmiah dengan penafsiran teks suci, sebuah kehati-hatian memang perlu terjaga. Namun sejauh ini penemuan-penemuan yang telah tercapai justru makin menunjukkan kebenaran Al Qur’an, mengungkap berbagai fakta ilmiah menakjubkan di dalamnya. Banyak keajaiban yang telah terungkap dengan pasti, tentang kegelapan di dalam laut (QS. 24:40), batas pertemuan dua laut (QS. 25:53), proses terjadinya awan dan hujan (QS. 24:43, QS. 30:48), embriologi dalam berbagai ayat dan sebagainya yang baru terungkap oleh pencapaian iptek modern, hingga mengantarkan pada kesimpulan bahwa kitab ini benar-benar berasal dari Pencipta alam semesta.

Wallahua’lambishawwab.


Referensi:
- Al Qur’anul Karim
- Harun Yahya
- Berbagai sumber lain

MK, Neo-Aristokrasi dan Ketidakpercayaan Demokrasi


Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dilangsungkan serentak pada 2019. Hal ini berarti MK menganulir sebagian materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang yang dihasilkan melalui proses politik di DPR harus berakhir pada putusan hakim di MK. Sebuah otoritarianisme yang mengatasnamakan konstitusi dan kepentingan negara, yang mencari pembenaran di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Begitu mudahnya UU yang dihasilkan melalui proses politik di DPR dimentahkan oleh MK. Berbagai proses politik di DPR, pembahasan panjang sebuah RUU, tawar menawar dan lobi-lobi politik, hingga hasil voting di DPR tak ada artinya di tangan keputusan MK. Masing-masing anggota DPR yang merepresentasikan keterwakilan rakyat melalui proses pemilihan, mendapatkan mandat secara riil melalui bilik-bilik suara, dipilih langsung oleh puluhan ribu pemilih, tak ada artinya ketika berakhir dengan opini segelintir hakim di MK. Keputusan yang final dan mengikat, tanpa membuka celah untuk adanya proses hukum selanjutnya. Kewenangan membuat keputusan yang mengunci mati semua pro kontra yang masih berlangsung.

Sangat subyektif untuk menempatkan ranah konstitusi dan ranah teknis penyelenggaraan negara. Dalam kontek calon perseorangan, nomor urut vis suara terbanyak atau parliamentary threshold dan presidential treshold, tidaklah mutlak bisa dikatakan berada pada ranah konstitusi. Bahkan sebenarnya lebih mengarah pada hal-hal teknis yang senantiasa menyisakan plus-minus, dampak positif dan negatif dari masing-masing opsi yang ada. Tidak serta merta penetapan Aleg berdasarkan suara terbanyak atau pemilihan langsung adalah baik menurut konstitusi, baik bagi demokrasi dan kepentingan rakyat, ada kemungkinan juga menyisakan dampak negatif berupa maraknya money politik, tingginya biaya politik yang berakibat meningkatnya korupsi, penurunan kualitas calon terpilih, politik individual yang tak terkontrol dan terjadinya berbagai konflik.

Memberikan kewenangan luar biasa kepada sekelompok orang untuk menentukan arah kebijakan negara bisa menjadi alternatif opsi ketika mayoritas publik tak lagi memiliki kepercayaan terhadap lembaga perwakilan yang ada, ketika mereka merasa lembaga tersebut tak pernah merepresentasikan keterwakilan mereka. Suatu pilihan untuk memberikan kewenangan otoriter kepada orang tertentu yang memiliki keahlian untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan.

Sebuah ketidakpercayaan pada demokrasi, ketika upaya melibatkan semua unsur rakyat dan mengakomodasi semua kepentingan mereka berakibat proses-proses kenegaraan menjadi berbelit-belit dan alot, hingga akhirnya juga tidak dapat menghasilkan proses-proses politik yang efektif. Atau cukup menyerahkan pengelolaan negara kepada beberapa orang terbatas yang dianggap ahli?

Namun apakah menyerahkan kewenangan negara kepada sekelompok orang (yang diharap) baik merupakan pilihan terbaik dalam semua kondisi? Apakah membuka akses yang sama kepada seluruh rakyat, baik kaum bar-bar maupun intelektualnya, orang baiknya atau penjahatnya mampu menghasilkan kehidupan politik yang baik bagi negara? Jika kewenangan melakukan intervensi terhadap proses demokrasi ini disalahgunakan, bagaimana mekanisme yang menjamin pengawasan dan regenerasinya tetap terjaga?

Mekanisme apakah yang bisa menjamin sistem tersebut terpelihara di tangan orang-orang baik? Bagaimana jika kewenangan yang otoriter tersebut jatuh dan disalahgunakan tangan-tangan kotor? Kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi suatu indikasi bahwa pengelolaan negara berbau sedikit neo-aristokrasi ini tak selamanya menjadi jalan pintas yang terbaik, bahkan bisa lebih beresiko dalam jangka panjang. Model seperti ini jika ia baik akan membawa kebaikan yang lebih pada tatanan negara, tetapi bila ia buruk dan disalahgunakan, akibat yang ditimbulkannya akan lebih buruk, pilihan berresiko yang harus dipertaruhkan bagi negara.

Dimanakah rasa keadilan ketika keputusan-keputusan yang telah melewati proses politik panjang berakhir sia-sia di tangan segelintir orang, dengan opini-opini yang mengatasnamakan konstitusi, tanpa memberi kesempatan untuk menyelesaikan pro kontra yang masih tersisa? Sekaligus juga pertanyaan sejauh mana efektifitas membiarkan demokrasi berlangsung apa adanya dengan membuka kesempatan beragam kepentingan untuk turut serta di dalamnya, membiarkan penyelesaian masalah dalam kondisi penuh tarik menarik kepentingan secara alot.

Lantas, relevankah keberadaan MK baik dari sudut pandang demokrasi atau sudut pandang penyederhanaan pengelolaan negara?


Zuhud Politik, Ikhlas Politik


Dalam kondisi negeri yang seperti ini, wajar bila masyarakat merindukan sosok-sosok pemimpin bersahaja, yang membawa kesan pengabdian, serta tidak mengutamakan kepentingan pribadinya semata. Namun sulit untuk mengukur harapan ini apakah merupakan ekspektasi dan kepedulian ataukah sebenarnya hanya merupakan bentuk dari egoisme publik.

Tak sebagaimana sosok-sosok teladan pada masa salafus shalih, pemimpin besar yang mengganjal perutnya dengan batu karena lapar, pemimpin yang hanya memiliki sebuah pakaian dan telah dipenuhi tambalan, atau pemimpin yang bermaksud mencari hutang hanya karena ingin membeli seuntai anggur, kerinduan publik saat ini mungkin tidak terlalu muluk, cukup diobati dengan hadirnya pemimpin yang kehidupannya sederhana, tempat tinggal, kendaraan dan berbagai fasilitas yang dipakai jauh dari kesan mewah, tidak mengambil gaji yang semestinya diterima, tidak memanfaatkan fasilitas negara yang legal sekali pun dan memang menjadi haknya. Namun apakah keberhasilan seorang pemimpin hanya diukur dari hal-hal seperti itu?

Harapan ini membutuhkan suatu konsistensi, ketika para pemimpin berada di antara pilihan, kebutuhan biaya politik dan amanah yang diemban. Tuntutan biaya politik berimbas menjadikan jabatan yang diperoleh sebagai kesempatan untuk mengumpulkan lebih banyak modal-modal politik. Pilihan amanah berbuah konsekwensi sebuah paradigma bahwa jabatan yang diperoleh adalah tanggung jawab dan tuntutan yang lebih besar untuk berkorban, bukan sebaliknya, menjadikan suatu jabatan sebagai lahan subur yang bisa mendatangkan banyak hasil.

Harapan ini terbingkai sebuah dilema, seseorang yang menjadi pejabat dituntut tampil sebagai sosok penolong, penyantun, dermawan, banyak memberikan bantuan sosial, meng-goalkan banyak proyek untuk daerah asalnya, juga memberikan kontribusi bagi konstituen dan pendukung politiknya. Sementara semua tuntutan itu jelas berada di luar kemampuan pribadinya, sehingga berpotensi mendorong penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pencitraan diri sendiri. Kemampuan melakukan semua kebaikan itu didapatkan dari proses-proses ilegal, berhubungan dengan deal-deal kotor, yang bertentangan dengan amanah sebenarnya mesti diemban.

Suatu pilihan untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya, tanpa memedulikan popularitas dirinya terekspos, tanpa menghitung besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan itu, bisa berakibat fatal pada kekurangan modal politik yang diperlukan untuk menopang kekuatan politiknya, ketika mencalonkan diri kembali kelak atau melanggengkan dinasti politik pada masa selanjutnya.

Bagi rakyat jelata, cukup sulit juga untuk menempatkan idealisme dan pragmatisme, ketika mereka dihadapkan pada situasi sudah tidak ada pilihan lagi. Hingga ketegaran untuk bertahan pada idealisme pun terasa tak lagi ada artinya bagi mereka, apalagi bagi bangsa. Sebuah pesimisme tentang negara yang sepenuhnya jatuh ke tangan para penjarah. Imbalan politik yang tak seberapa kemudian menjadi penawar kekecewaan akan bobroknya negeri, merasa rugi bila tidak ikut ambil bagian sama sekali dari bancakan masal ini, berpikir buat apa menjaga diri bersih, toh orang lain semuanya menikmati kekotoran ini.

Memang, dambaan tentang terwujudnya kepemimpinan zuhud terkadang bertabrakan dengan egoisme publik. Upaya mendudukkan figur-figur terbaik berhadapan dengan mahalnya jual beli pemilih pragmatis. Hanya dalam survei-survei, opini publik kompak pada konsep ideal dalam memilih pemimpin bersih, sementara dalam realitas politik yang sesungguhnya, idealisme itu tenggelam dalam imbalan sesaat dan pencitraan semu. Imbalan pragmatis memang tidak mungkin menaklukkan seluruh idealisme publik, pencitraan semu menjadi pelengkap untuk menyempurnakannya, menyesatkan idealisme publik dengan mempermainkan opini.

Amanah dan zuhud para pemimpin juga dihadapkan pesimisme, ketika fokus bekerja sebaik-baiknya, tanpa terbebani upaya mengumpulkan modal-modal politik, toh prestasi tersebut begitu mudah dilupakan para pemilih, begitu cepat pilihan berbalik oleh imbalan yang tak seberapa, begitu mudah terbuai pemberian sesaat menjelang pemilihan. Sehingga kesibukan mengumpulkan bekal yang dibutuhkan untuk membeli suara dalam memenangkan pemilihan selanjutnya, berakibat merugikan kepentingan publik secara keseluruhan.

Zuhud dan pencitraan semu, keduanya bisa tampak mirip, menampakkan kesederhanaan, tanpa ambisi. Meski di baliknya adalah sesuatu hal yang bertolak belakang, antara ketulusan dan kepura-puraan, antara keikhlasan memberi dan tipu muslihat untuk mendapatkan yang lebih banyak. Idealisme yang tersisa, ketegaran untuk memberi yang terbaik bagi bangsa, memilih pemimpin terbaik, harus tersesat pada pencitraan-pencitraan apik yang penuh harapan, dai hal itu bisa terus berulang. Dengan demikian niat baik menjaga idealisme mesti juga diikuti kedewasaan sikap berpolitik.

Ketika kebobrokan telah meluas pada hampir keseluruhan sendi-sendi bangsa, memunculkan sikap apatis, juga pandangan tak ada gunanya lagi bertahan pada wilayah terkucil idealisme. Hingga patut dipertanyakan, masihkah bergunakah pribadi-pribadi ikhlas yang kian langka, ketika hampir semua tenggelam dalam kerusakan? Jika mempertahankan idealisme, pengorbanan dan keikhlasan tidak menjamin perbaikan kondisi, apakah menanggalkannya menjamin kerusakan negara tidak bertambah? Dalam hal ini, mewujudkan kepedulian dalam bentuk partisipasi efektif menjadi penting agar pengorbanan dan keikhlasan yang tersisa tidak sia-sia begitu saja.

Pada akhirnya, idealisme dan keikhlasan harus bisa berhadapan dengan realitas yang ada. Membiarkan keduanya kukuh pada tempatnya masing-masing atau membiarkannya tenggelam dalam kerusakan sistem tidak menjadi sebuah solusi. Maka diperlukan terobosan-terobosan agar dari potensi-potensi baik bisa muncul peran efektif untuk sebuah perbaikan. Zuhud dan keikhlasan diri memang harus terjaga sebisa mungkin, namun tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana darinya bisa terwujud zuhud dan keikhlasan bangsa.


Senin, 27 Januari 2014

Menampakkan dan Menyembunyikan Amal


Pujian dan sanjungan manusia memang terasa cukup manis, tapi ikhlas yang sesungguhnya akan lebih lezat, bagi hamba yang sebenar memilikinya.

Jika ikhlas itu sebutir biji yang lezat, sangat beruntunglah orang yang diberi anugerah untuk menikmatinya. Namun jika ia menanamnya agar tumbuh, dan kelak banyak orang yang bisa ikut menikmatinya, kelezatan yang terlewatkannya tak akan sirna, bahkan akan didapatinya lebih.

Menampakkan dan menyembunyikan suatu amal tetaplah suatu pilihan. Menyembunyikannya, agar sempurna kemesraan seorang hamba dengan Rabbnya, berdua semata. Atau menampakkannya, untuk memotivasi orang lain melakukan kebaikan serupa, mengenalkan kebaikan dakwah, memikat hati para mualaf, akhirnya menjadi kemaslahatan bagi umat. Dari keterpaksaan bisa menjadi sebuah latihan. Lantas kemesraan seorang hamba yang melakukannya tak akan terganggu oleh faedah-faedah yang menyertainya.

Ikhlas yang sejati, tak tergerus oleh sanjungan, tak kusam oleh cacian, ia akan tetap utuh dalam kesendirian maupun keramaian. Dalam persembunyiannya, ia terhindar dari ujub, dalam penampakannya ia terbebas dari riya. Pada keduanya ia tetap merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya.

Hati yang jernih yang bisa dengan tepat menentukan kapan suatu amal disembunyikan atau ditampakkan, mana yang lebih besar kemaslahatan bagi dirinya, sesamanya, syiar Islam dan dakwah. Mesti melewati berbagai batu ujian, karena darinya akan didapat tambahan kemuliaan. Tak semua ditampakkan, tak seluruhnya disembunyikan, agar semua sisi hati terasah dengan sempurna, semua bagian-bagiannya terawat sempurna. Karunia terbaik itu berupa kepahaman menentukan kadar yang tepat dalam situasi dan kondisi yang beragam.

Kesempurnaan dinul Islam, menyeluruh pada semua aspek kehidupan manusia. Di antara amal-amal yang lebih utama ditampakkan atau disembunyikan, terdapat hikmah yang baik bagi manusia dengan berbagai tabiatnya, sesuai dengan fitrah ketika ia tercipta. Baik ketika ia sendiri atau dalam jamaah, syariat senantiasa hadir, tanpa menyisakan kekosongan sedikitpun dalam luasnya relung Islam. Dzikir seorang hamba, qiyamul lail, dan munajatnya adalah contok suatu amal yang lebih lezat dihidangkan ketika dalam kesendirian. Sedang zakat, id dan shalat fardhu sempurna kelezatannya bersama jamaah.

Jadi teruslah beramal tanpa memedulikan kesendirian dan keramaian, sanjungan dan cacian. Jika ada rasa takut ikhlas itu sirna dan hilang, ia akan kembali jua. Tampakkan ketika tampak lebih bermaslahat, sembunyikan jika sebaliknya. Namun pundi-pundi keduanya mesti tetap terisi untuk kesempurnaan nutrisi jiwa, baik yang menjadi simpanan, maupun yang berfaedah untuk mengangkat sesama.

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 271)