Senin, 10 Februari 2014

Imam Hasan Al Bana, Ustadzul Alam, dalam Cita Petani


Telah sering dikatakan bahwa Rasulullah adalah seorang pengembala yang baik, pedagang yang baik, kepala keluarga yang baik, panglima perang yang baik dan pemimpin negara yang baik. Namun satu hal yang mengganjal bagi para petani ketika disebutkan bahwa Rasulullah bukanlah petani yang baik.

Pandangan demikian bisa jadi berangkat dari sebuah kisah tentang Rasulullah dan penyerbukan kurma. Tetapi dari kejadian tersebut terpetik sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kemaslahatan umat manusia. Dari ungkapan “Engkau lebih mengetahui urusan duniamu,” terlahir kaidah yang menempatkan dengan proporsional kerasulan Beliau Salallahu alaihi wassalam dengan tugas kekhalifahan yang diemban umat manusia dalam upayanya memakmurkan bumi.

Dalam taujihnya beberapa tahun silam, Ustadz Anis Matta memaparkan bahwa cita jamaah ini tentang ustadzul alam, cita untuk menjadi guru bagi dunia, bermula dari Imam Hasan Al Bana dan sekelompok petani.

Petani? Semuliakah itu? Bukankah penyebaran agama Islam ini sejak generasi awal hingga lebih banyak merupakan jasa para pedagang yang mengembara menjelajahi berbagai negeri? Termasuk juru dakwah yang membawa Islam ke Nusantara ini adalah para pedagang, pengembara-pengembara tangguh, bukan petani yang berdiam di ladang-ladang mereka.

Dilihat dari beberapa sisi memang seolah-olah Islam lebih mengutamakan perdagangan, termasuk memberi nilai lebih pada aspek kejujuran para pedagang. Profesi yang memungkinkan lebih banyak menjalin interaksi dan mendapatkan relasi dengan banyak orang. Meski secara keseluruhan  Islam menghargai semua pekerjaan yang bermanfaat, baik berupa pemecah batu, mencari kayu bakar, menggembalakan ternak, bercocok tanam maupun berdagang. Islam menghargai semua upaya untuk mencari penghidupan dengan jerih payah yang diupayakan tangannya sendiri, serta mencela kemalasan dan mental bergantung pada orang lain atau menjadi peminta-minta.

Dari sisi kewajiban zakat bagi petani yang seolah lebih berat, sepertinya di balik itu memang Islam sengaja mengkondisikan umatnya untuk tidak terlalu berkutat pada pertanian. Selain aspek pertanian lebih banyak memanfaatkan nikmat Allah di alam, sebuah hikmah yang tersembunyi di balik keadilan suatu syariat kemudian terkuak. Pasca Rasulullah hasilnya segera terlihat, umat Islam menguasai perdagangan dunia, ke negeri India, Cina dan terutama lalu lintas perdagangan di Laut Tengah, sekaligus mengurung bangsa Eropa pada suatu fase kemunduran peradaban, terkurung di ladang-ladang mereka sebagai petani.
Dengan mendorong umatnya menjadi pedagang, Islam mendapatkan posisi yang lebih kuat secara politik maupun ekonomi. Penguasaan sektor perdagangan pada masa tersebut lebih strategis dibandingkan dengan terpaku pada pertanian.

Era industrialisasi tiba, situasi dunia banyak berubah, pertanian tergilas dan terpinggirkan. Menjadi petani kebanyakan adalah keterpaksaan atau pilihan terakhir ketika tidak mampu mendapatkan profesi lain yang lebih baik. Kondisi alam yang makin tidak ramah dan industrialisasi menjadi pukulan berat bagi petani pada era ini. Petani menempati posisi sebagai profesi dhuafa, bahkan bisa dikatakan sulit untuk eksis tanpa dukungan subsidi dan berbagai kebijakan protektif dari negara.

Sekian lama dikesampingkan, kenyataan lain dihadapi, ketahanan pangan suatu negara adalah variabel penting bagi kedaulatan negara tersebut. Ternyata kemajuan industri tidak membuat pertanian bisa serta merta dikesampingkan.

Perdagangan, Pertanian dan Karakteristik Zaman

Mengutamakan perdagangan adalah sebuah pilihan tepat, dalam perspektif karakteristik zaman pada masa salaful umah tersebut. Ketika Islam berada pada fase perkembangan, Islam membutuhkan karakter pedagang-pedagang tangguh, yang memiliki kemampuan logistik tak terbatas untuk mengembara ke berbagai negeri menyebarluaskan dakwah, bukan para petani yang mobilitasnya terbatas di kampung halamannya.

Dunia memasuki era digital dan teknologi informasi. Interaksi sosial tidak lagi mengenal jarak. Dakwah kemudian tidak terbatas pada pengembaraan fisik.

Karakteristik akhir zaman kelak ketika Islam telah menyebar dengan sempurna akan berbeda. Ketika Islam berada pada fase pemeliharaan, Islam lebih membutuhkan karakter pemelihara. Dan karakter tersebut ada pada petani.

Kebahagiaan Akhir Zaman adalah Kabar Gembira bagi Petani

Dari beberapa atsar tentang kebahagiaan akhir zaman, digambarkan tentang kesuburan seluruh penjuru muka bumi, keberkahan tanaman dan hasil ternaknya. Setelah sebelumnya kekayaan yang keluar dari perut bumi tidak mampu memberi kedamaian, kemegahan dunia tak memberi kebahagiaan penduduknya. Kemudian akan terjadi saat yang diimpikan.

“Langit akan setia menurunkan hujan dan bumi subur dengan tanaman yang menghasilkan dan bermanfaat, meskipun kamu menaburkan benih di atas sebuah batu yang licin. Manusia dengan singa hidup berdampingan tanpa saling membunuh, menginjak ular berbisa sekalipun tidak berbahaya. Tidak akan ada kebencian atau permusuhan.”
“Tumbuhkanlah buah-buhanmu dan keluarkanlah semua barakahmu, sehingga orang-orang cukup makan satu buah delima dan dapat benaung dengan kulitnya, susu juga diberi berkah, sehingga satu unta cukup untuk beberapa kelompok bangsa dan satu lembu cukup untuk beberapa kelompok orang.”

Cita tentang ustadzul alam, menjadi guru bagi dunia, adalah cita yang memiliki makna paling dalam, lebih tinggi dari keinginan menjadi penakluk atau penguasa dunia semata. Sehingga sudah semestinya cita yang berharga ini diikutu kesungguhan untuk menjaga dan mewujudkannya.
Wallahua’lambishawwab.


Perseteruan Jokowi dan Islamis, Akankah Berujung Berkoalisi?


Hubungan antara kalangan Islam dan Nasionalis sebenarnya sudah relatif cair. Berbagai koalisi yang terbangun dari tingkat lokal dalam pilkada hingga pada tingkat nasional sudah tidak terpaku pada dikotomi Islam-Nasionalis. Kalangan Islamis sudah tidak terlalu mengingat latar belakang Jokowi yang berasal dari partai yang sering berseberangan dengan visi keumatan di masa lalu, demikian pula menerima realitas keberadaan Ahok sebagai seorang non-muslim yang memenangkan suatu pemilihan. Tetapi ketika kalangan politik Islam lebih cenderung mencitrakan dirinya semakin ke tengah, moderat, mengayomi semua kalangan, melepaskan diri dari sekat-sekat ideologis, justru bola-bola panas terus terlontar dari pihak Jokowi-Ahok, keberanian melempar isu-isu yang menohok kalangan Islamis.

Ahkirnya hingga saat ini terjadi perseteruan yang sengit antara pendukung Jokowi dan kubu Islamis, melalui perang opini di berbagai media, pertarungan di jejaring sosial, mengambil posisi yang saling menjatuhkan satu sama lain. Namun apakah perseteruan ini akan berakhir dengan koalisi keduanya?

Meski perseteruan ini tidak semata-mata hanya berada di ranah persaingan politik, tetapi juga merambah lebih jauh pada isu-isu ideologis. Statemen-statemen panas yang yang sering dilontarkan Ahok tentang agama, dimulai episode ayat konstitusi, dilanjutkan tentang dompet, dempet dan akhlak, kebijakan pembongkaran beberapa masjid, pengangkatan lurah non-muslim, wacana tentang lokalisasi dan penghapusan identitas agama di KTP dan sebagainya. Meski demikian tetaplah politik itu bundar, tidak ada kawan atau lawan abadi. Berbagai benturan ideologis dan politis antara keduanya tidak serta merta membuat peluang untuk menjalin koalisi telah sepenuhnya tertutup.

Perang opini dan kritik yang berlangsung sengit di dunia maya antara Jasmev dengan PKS Cyber Army, perseteruan yang tak henti-hentinya antara Ahok dengan Ketua DPW PPP DKI Jakarta Lulung Lunggana, keterlibatan Jokowi dalam mendukung kandidat dalam berbagai pilkada yang berhadapan head to head dengan kandidat yang diusung partai Islam, perseteruan dengan Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam, sikap kritis kalangan Islamis terhadap berbagai kebijakan Jokowi-Ahok dalam masalah penggusuran, penanganan kemacetan, penetapan UMP, hingga penanganan banjir, mis-komunikasi yang sering terjadi dengan kepala daerah tetangga yang kebetulan berasal dari kalangan Islam, akankah semua konflik ini kemudian luluh ketika terdesak pada realitas politik dan kepentingan yang pragmatis?

Atau justru sebaliknya, tetap mempertahankan keberanian menghadapi resiko politik, mengesampingkan politik kompromi dan akomodasi, kukuh mempertahankan idealisme masing-masing serta membiarkan konflik-konflik terus bergulir mewarnai jalannya pemerintahan. Meninggalkan pilihan berbagi kekuasaan demi terciptanya suasana yang lebih sinergis.

Hubungan politik antara kalangan yang dipersepsikan sebagai Nasionalis dan Islamis pada era sebelumnya menempatkan keduanya masih signifikan untuk mengambil pilihan akomodatif dalam suatu koalisi bersama, baik pada masa Megawati maupun SBY. Polemik kepemimpinan wanita antara PPP dan Megawati berakhir dengan koalisi Mega-Hamzah. SBY yang sebelumnya diterpa isu-isu yang tidak baik bagi kalangan Islamis, berujung merapatnya kekuatan politik islam dalam koalisi di pemerintahannya.

Seiring realitas melemahnya kekuatan politik Islamis, pada pemerintahan SBY jilid II mulai memilih opsi menjaga jarak dengan sebagian kalangan Islam, terutama unsur ormasnya. MUI, Muhammadiyah dan sebagian NU sudah tidak terakomodasi dalam kebijakan pemerintahan SBY jilid II, sementara kekuatan politik Islam tetap dipertahankan sebagai penyokong koalisi.

Pilkada DKI Jakarta 2012 memberi suatu pelajaran, akankah suatu saat kekuatan politik Islamis sepenuhnya terlempar dari pusat kekuasaan, dalam arti eksistensinya sudah tidak diperhitungkan lagi?  Pada Pilkada DKI 2012, kubu Jokowi-Ahok tampak sejak awal sudah tidak mengakomodasi kekuatan politik Islam, kontrak politik yang disodorkan PKS tentang kebijakan yang tidak merugikan umat Islam, tidak mendapat respon dari pihak Jokowi. Toh realitanya kalangan Islamis kemudian tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan Jokowi-Ahok yang berseberangan dengan visi keumatan. Hal ini akan dipakai sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana kekuatan Islamis masih eksis.

Jika saat ini salah satu kubu telah merasa berada di atas angin untuk memenangkan pertarungan 2014, atau salah satu kubu dipersepsikan makin melemah secara signifikan, maka sesungguhnya segala kemungkinan tetap bisa terjadi, kondisi senantiasa tetap cair, sehingga peluang masih terbuka. Bola liar dan kuda hitam masih mungkin untuk muncul. Sebagaimana pengalaman pada Pemilu 1999 dan 2004 yang lalu serta pada berbagai Pilkada, kandidat yang diunggulkan atau yang telah memenangkan pertarungan di Legislatif, bisa juga gagal memenangkan pertarungan Eksekutif.

Maka bagi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk kalangan yang membawa kepentingan umat, untuk tidak sekedar menunggu dan menyaksikan proses yang tengah berlangsung. Kepentingan masing-masing dipertaruhkan melalui berbagai langkah taktis dan lobi-lobi yang efektif. Besarnya kekuatan politik yang dimiliki adalah sesuatu yang berharga, untuk memperkuat posisi tawar, tapi tidak kalah pentingnya adalah kemampuan menggerakkannya dengan gesit.

Apa yang dicapai dengan keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi pemerintahan SBY, hanyalah menjadi pelengkap semata. Dihadapkan dengan isu keumatan seperti RUU Ormas, jilbab Polwan dan kondomisasi, keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi di pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya berada pada posisi yang makin terpinggirkan. Di sinilah pentingnya menetapkan target yang optimal dalam kompetisi, berhadapan dengan resiko terpental dari arena.