Sabtu, 26 April 2014

(Bukan) Maju Untuk Kalah, Mundur Untuk Menyerah

Tentang suatu pasukan, tatkala harus mengambil keputusan yang berat, sebuah pilihan yang sangat dilematis. Memaksa untuk maju, bersama bayang-bayang kekalahan dan kehancuran. Atau terpaksa untuk mundur, meski juga tak semata-mata ingin menyerah.

Bukan hanya soal keberanian, tidak pula tentang kalah dan menang semata, tetapi menyangkut kepentingan besar bagi umat, yang benar-benar sedang dipertaruhkan di atasnya, teramat mahal akibat yang akan dibayar.
Apalah artinya keberanian, melaju dalam gempita, jika hanya melangkah menuju lubang jebakan yang telah dipersiapkan oleh lawan, akhirnya hanya menjadi bulan-bulanan, tercatat sebagai keberanian konyol seorang pecundang.
Terkadang, jalan mesti berliku, saat-saat di mana langkah harus memutar, mengambil strategi yang lain. Memang mundur tak selamanya berarti menyerah, tapi tetap saja ada bayang kekhawatiran jika langkah ini akan tercatat sebagai keputusan seorang pengecut.
Hati-hati, bukan sekedar keberanian, tetapi ia buta. Bukan sekedar pengorbanan, tetapi ia sia-sia. Tetapi juga bukan keraguan, yang akhirnya berbuah ketakutan, menafikkan apa yang sebenarnya telah mampu untuk dicapai. Peluang, bahkan mungkin yang terakhir, mungkin tersandera oleh keraguan ini.
Atau bila menempuh pilihan untuk nekat, mengabaikan perhitungan, logika dan realitas, bersandar semata kepada pertolongan-Nya yang tak kurang-kurang, semata-mata berbekal keyakinan atas kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Namun jangan-jangan ini hanyalah optimisme semu belaka.
Di antara ketergesaan dan keberlambatan, untuk membuat keputusan dengan tepat, mampu mengukur kekuatan diri dan lawan. Bukan keputusan emosional semata, bukan menuruti ambisi tanpa perhitungan.
Ya Allah, kami hanyalah hamba-hamba yang lemah, tak semestinya kami bersandar pada kemampuan kami semata. Agar kelemahan kami menjadikan kami lebih bersimpuh memohon pertolongan-Mu. Meski kami tak dibebani kewajiban untuk berhasil, tapi yang kami ketahui, ikhtiar yang kami lakukan mesti sebaik-baiknya.
Ya Allah, untuk para pemimpin kami, berikan sebaik-baik bimbingan kepada mereka, pilihkan keputusan yang terbaik bagi kami, agar benar-benar berhitung dengan seksama, ketika tipu daya yang kami hadapi di luar kemampuan kami
Bukannya kesatuan dan tekad tak cukup, tapi ada fase-fase yang harus ditempuh untuk sebuah kemenangan, agar ia layak untuk disematkan, dan mungkin selama ini belum dilakukan. Agar tekad tak berbuah kecerobohan, agar kesatuan tak justru menjadi sandungan.
Berusaha terbaik, berharap pilihan terbaik, sebelum semuanya terlambat, agar tak menjadi penyesalan kelak.


Jumat, 25 April 2014

Plus Minus Mengusung Capres Partai Islam

Sebenarnya cukup riskan untuk membuat dikotomi tentang Islam dalam lingkup ketatanegaraan kita. Piagam Madinah menjadi gambaran awal bahwa Islam telah menggariskan untuk mengakomodasi seluruh komponen masyarakat dalam kehidupan bernegara, termasuk terhadap non-muslim. Terlepas dalam praktek selanjutnya memang tidak seluruh umat Islam mampu mengimplementasikan substansi Piagam Madinah tersebut secara moderat.

Akan tetapi, dalam perjalanan negara ini maupun pengalaman di berbagai negara lain, seringkali umat Islam berada pada posisi sulit, mimpi buruk termarjinalisasi, terdiskriminasi, serta kesulitan untuk mendapatkan hak-hak yang semestinya diperoleh. Bahkan seringkali kediktatoran sebuah penguasa, kelaliman mereka dalam mengeksploitasi rakyatnya, berkorelasi dengan kondisi tidak baik yang didapatkan umat Islam.

Keyakinan terhadap kebaikan Islam dan tekad untuk mewujudkannya dalam kehidupan melahirkan sebuah komitmen bagi umat untuk mengambil peran optimal dalam kehidupan bernegara. Target ideal itu adalah mengusung Capres dari kalangan Islam, bertepatan dengan momen peningkatan suara yang diraih partai-partai Islam dalam Pileg 2014 ini, juga seiring terwujudnya komunikasi berbagai elemen kekuatan politik dan ormas Islam untuk menjalin koalisi dalam Pilpres mendatang.

Upaya ideal ini sebenarnya menyisakan masalah, ketika harus berhadapan dengan realita yang ada. Pertama, kekuatan politik Islam memiliki masa lalu yang tak pernah akur. Selama ini masih teramat sulit untuk memadukan langkah di antara elemen umat yang terpolarisasi dalam beragam corak. Persoalan friksi di antara umat ini tentunya tidak akan begitu saja terselesaikan dengan mudah.

Kedua, kekuatan politik Islam realitanya juga dibangun dari proses politik yang korup, juga belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari money politic. Tanpa keduanya parpol-parpol besar termasuk partai-partai Islam tak ubahnya akan seperti partai gurem. Inilah realitas yang dihadapi, termasuk kondisi masyarakat yang makin pragmatis, termasuk umat Islamnya. Sementara kekuatan pendanaan dan media yang dimiliki umat kalah jauh dengan yang dimiliki rival-rivalnya.

Kedua persoalan ini bisa menjadi bom waktu yang menjadi sandungan untuk menjalankan suatu pemerintahan bersama yang efektif.

Ketiga, Pilpres berbeda dengan Pileg. Elektabilitas tokoh yang diusung tak mesti berkorelasi dengan komposisi di legislatif. Bisa melihat dalam berbagai Pilkada, misalnya di Jawa Barat. Elektabilitas Aher lebih menentukan daripada kecilnya perolehan suara partai yang mengusungnya. Elektabilitas tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan Islam dalam beberapa Pilkada dan Pilpres terakhir, harus diakui memang masih merupakan problem. Kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja test case Pilkada DKI Jakarta yang lalu. Tokoh-tokoh umat seperti Amin Rais, Jusuf Kalla atau Hidayat Nur Wahid memiliki pengalaman elektabilitasnya jauh di bawah mesin politik yang mengusungnya dalam suatu pemilihan langsung.

Target optimal mengusung Capres dari kalangan Islam sendiri, sebenarnya juga memiliki resiko jika nantinya kalah dalam pertarungan, umat akan terdepak sepenuhnya dari pusat kekuasaan.

Bukan soal menang kalah semata, bukan soal keberanian menjadi oposisi, tetapi tentang kepentingan dan agenda keumatan. Di tengah bayang-bayang kekuasaan akan jatuh ke tangan pihak yang tidak ramah terhadap agenda keumatan, kekuasaan akan digunakan secara efektif untuk memuluskan agenda-agenda mereka, kaum sekuler, liberalis dan aliran sempalan, melalui kedekatan mereka dengan pusat kekuasaan. Di sinilah kepentingan umat dipertaruhkan.

Bayang-bayang upaya memarjinalisasi secara represif terhadap umat Islam sebagaimana yang terjadi pada awal Orde Baru, meski bisa jadi terwujud dalam bentuk lain yang lebih halus tapi dahsyat, dalam situasi perang opini dan media. Kasus jilbab, kondomisasi, regulasi miras, jaminan produk halal dan RUU Ormas menjadi gambaran awal.

Di bawah opsi mengusung Capres sendiri, ada pilihan untuk mengusung Cawapres atau hanya sekedar mendukung calon dari kalangan lain yang dipandang paling bisa mengakomodasi kepentingan dan agenda umat, untuk meminimalisasi resiko, mempertimbangkan kepada realitas yang ada.

Meski juga bukan berarti tanpa resiko. Dunia politik yang tak mengenal balas budi. Gus Dur yang memenangkan pemilihan dengan dukungan kalangan Islam, begitu mudahnya menohok kalangan yang mengusungnya begitu berkuasa. Keberadaan JK sebagai Wapres dan keberadaan politikus Islam di kabinet dan Setgab, tidak bisa mendikte sepenuhnya pada kebijakan yang bersinggungan pada kepentingan umat. Faktor track record masa lalu dan posisi tawar ke depan menjadi penting diperhatikan.

Termasuk resiko kehilangan kesempatan bagi umat, pada saat memiliki momen bisa menyatukan visi bersama. Tetapi juga penting mencermati apakah prasyarat dan fase-fase untuk terwujudnya visi tersebut sudah ditempuh umat ini. Untuk membuat sebuah keputusan dengan seksama, sebelum semuanya terlambat. Keputusan terbaik, tak tersandera oleh keraguan, tapi juga tak terjebak pada optimisme semu.
Melihat beratnya kondisi yang dihadapi umat, semestinya masing-masing elemen umat tidak mengedepankan ego, emosi dan ambisi pribadi.

Selayaknya mencermati dengan seksama setiap keputusan yang diambil, kepentingan umat sedang dipertaruhkan. Bukan sedang memperebutkan sebuah jabatan yang empuk tetapi memikul tanggung jawab yang berat menyangkut umat ini. Jangan sampai mengedepankan semata-mata ambisi pribadi mengatasnamakan kepentingan umat.(pksnongsa)

Rabu, 23 April 2014

Mudahkan Ya Allah

Berhadapan dengan gelombang, ketika harus menghadapinya. Atau berjumpa dengan badai, ketika harus melewatinya. Serasa tak kan mampu menghadapinya, mungkin juga serasa tak akan selamat melewatinya.
Jalan buntu, yang hampir memaksa untuk menyerah, tak tahu lagi apa yang mesti dilakukan. Begitu banyak ketidakmungkinan, dari hal-hal kecil dalam keseharian, hingga perkara besar yang menyangkut sebuah negeri.
Kesulitan hidup yang seperti tak kan terpecahkan, sakit yang seolah tak menyisakan harapan untuk sembuh, hingga sebuah negeri yang terbelit dalam cengkeraman kezhaliman, terjajah oleh perilaku nista, seolah tak bisa diperbaiki lagi, tak tahu jalan untuk membebaskan diri. Bahkan ketika harus menghadapi suatu prahara atau revolusi yang berat, seperti menghadapi pertarungan yang berdarah-darah.
Betapapun besarnya aral, ketika ia telah terlampaui, tak sehoror ketika baru akan menghadapinya. Seperti yang dirasakan mereka yang selamat dari sebuah bencana yang dahsyat. Apalagi orang-orang, dirinya sendiri bahkan tak mengerti, merasakan betul suatu keajaiban. Mereka yang pernah melewati kesulitan hidup yang berat, merasakan betul adanya keberuntungan.
Negeri yang pernah merasakan cengkeraman imperialisme dunia, serasa tak berdaya, tapi tak menyurutkan cita untuk meraih kemerdekaan. Cita yang seolah teramat jauh untuk dituju, teramat tinggi untuk digapai. Ternyata yang terjadi, ada jalan tak terduga yang mempermudah kemerdekaan itu tercapai, sesuatu yang tak mungkin kemudian menjadi terwujud. Betapa banyak rezim yang kokoh, seperti tak akan runtuh, namun dalam sekejap segalanya berubah. Kekuasaan begitu mudah untuk berganti, tak terbayangkan situasi begitu mudah berubah.
***
Dunia ini, zaman ini, dalam cengkeraman kezhalimannya, belitan kerusakannya, tak berdaya menghadapinya, seolah tak lagi bisa diperbaiki. Betapapun beratnya, menjaga tekad untuk memperbaikinya agar tetap hidup, agar tak menyurutkan ikhtiar. Dari ikhtiar yang tak seberapa ini, berbuah pertolongan-Nya, agar diberi kemudahan, sebuah jalan keluar yang terbaik.
Apa yang mustahil menjadi mudah, apa yang tak mungkin akhirnya terwujud. Agar dari kelemahan ini, lebih terasa kebutuhan akan pertolongan-Mu, hingga kami lebih merendahkan diri kepada-Mu. Apapun yang kami capai nantinya, tetap dirasa bukan karena kekuatan dan kehebatan kami, melainkan pertolongan dan karunia-Mu semata, sehingga sempurna syukur kami kepada-Mu.
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali ‘Imran: 186)
Semakin beratnya ujian yang dihadapi adalah semakin besar kemuliaan yang di dapat. Tetapi kami merasa terlalu lemah untuk memikulnya, berharap dimudahkan, diringankan, mendapat karunia dari ampunan dan rahmat-Mu.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al Baqarah:186)

Selasa, 22 April 2014

Menatap Kekalahan

Telah kesekian kalinya, dipaksa untuk menerima kekalahan. Tak ada lagi pilihan, dibuat tak berdaya. Kali ini mungkin juga terulang, hanya bisa termanggu membiarkan mereka melibas dan memporak-porandakan semuanya.
Pada titik terendah kelemahan seorang hamba, yang tak lagi bisa berbuat apa, hingga membuat angan tentang strategi dan optimisme terlalu naif, tetapi bayang tentang kekalahan dan menyerah juga terlalu pahit.
Di antara dahsyatnya intrik dan tipu daya, hingga semua yang dipersiapkan untuk menghadapinya menjadi urung, tanpa tahu apa yang mesti dilakukan, tetapi tidak dengan doa, ia akan senantiasa bisa terucap, bahkan menjadi lebih berarti pada hamba-hamba yang berada dalam keadaan lemah terzhalimi. Bersimpuh dan kepasrahan, dalam ketidakberdayaan menjadi lebih bermakna, berharap membalikkan suatu ketidakmungkinan.
Tak apa kami tumbang dan binasa, tetapi cita ini ya Rabb, mohon untuk diselamatkan, agar ia tetap hidup, dan menyelamatkan kami. Di antara banyaknya kealpaan kami, masih tersisa pengharapan terhadap-Mu. Di antara banyaknya hamba-hamba yang lalai di antara kami, ada jiwa-jiwa yang tsiqah memegang cita tentang umat ini, teguhkan mereka dengan sebaik-baik karunia-Mu, berikan kekuatan agar menjadi penolong kami.
Berharap dari kejatuhan ini, mendapatkan jalan lain yang lebih baik. Dari kekalahan ini, menjumpai kemenangan yang lebih besar esok. Kemenangan sempurna, yang bertolak dari ketidakmungkinan. Agar drama kehidupan ini lebih spektakuler, menjadi rangkaian cerita yang indah. Sebuah prestasi menjadi lebih berharga manakala ia telah melewati kesulitan-kesulitan besar.
Yakinkan kami, Kemenangan-kemenangan musuh itu tak lebih dari tipu daya-Mu, untuk sempurnanya kemenangan kami. Ketika tipu daya telah sempurna, semua hampir tercapai, mata mereka terbelalak dan berkata: “Celaka kami, sesungguhnya kami berada dalam kelengahan tentang ini.” Membuyarkan semua yang telah tersusun, yang tinggal selangkah. Berhadapan dengan sebaik-baik Pembuat tipu daya.
Aral, tak tergambarkan sebelum ia datang, amat berat dirasa tatkala berjumpa, namun setelah berlalu ia menjadi ringan. Seperti tertatih dan payah di kegelapan malam, namun sebentar lagi menyongsong fajar. Tak seperti berada di puncak kemenangan yang megah, namun sebentar lagi malam menjelang, sepahit menatap kekalahan.
Kesabaran untuk menanti sebuah janji yang pasti,
Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah Kami tulis dalam Az Zikr (Lauh Mahfuzh), bahwasanya bumi ini akan diwarisi ole hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al Anbiyaa’: 105)
Kemenangan untuk hamba-hamba yang terpilih,
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)