Selasa, 27 Mei 2014

SDA, Korupsi Menohok Umat, dan Kedewasaan Kita

Kita berharap upaya penegakan hukum berlangsung fair, bebas dari tendensi politik, serta tanpa ditunggangi kepentingan tertentu. Akan tetapi bila kita cermati, sejauh ini kondisi penegakan hukum di negeri ini belum seperti yang diharapkan. Kalangan tertentu seperti tidak terjamah oleh hukum, sementara instrumen hukum yang sama ditimpakan pada kalangan lain dengan profesional, bahkan seperti mengoyak terlalu tajam. Penanganan kasus tertentu berjalan lambat bahkan terbengkelai, sedang kasus lain seperti didramatisir.

Islam sangat menjunjung amanah dan kejujuran. Setiap upaya pemberantasan korupsi seharusnya kita dukung. Namun persoalan tidak sesederhana itu. Penting mengedepankan sikap yang obyektif dan jeli menyikapi ketidakpastian hukum di negeri ini. Bila tidak, kita akan mudah terseret dan terombang-ambing pada pusaran kepentingan tertentu.

Untuk kesekian kalinya umat ini harus menerima kenyataan pahit, terseret dalam pusaran suatu kasus. Untuk kesekian kalinya, umat ini harus kehilangan elemen potensial yang dimilikinya. Sejak kasus zaman Ya Muallim, Buloggate, kasus impor daging sapi, hingga kasus korupsi yang sedang menimpa Bupati Bogor Rachmat Yasin dan Menteri Agama Suryadharma Ali.

Kita mengakui umat ini tetaplah sekumpulan manusia yang bisa berbuat kesalahan dan memiliki kekurangan, tetapi di sisi lain kita juga merasakan upaya penegakan hukum yang ditimpakan tidak fair dan lurus, yang semestinya membuat kita peka menyikapi kejanggalan yang menyertainya, merasakan diskriminasi dan kebijakan yang tebang pilih, agar kita mewaspadai suatu agenda tertentu terhadap umat ini. Apa yang menimpa PPP, PKS, Susno Duaji dan Mantan Ketua BPK Hadi Purnomo seharusnya memberi pelajaran yang cukup bagi kita.

Kita tidak ingin umat ini menjadi tempat berlindung bagi koruptor. Tak sepantasnya kita menjustifikasi korupsi untuk kepentingan umat. Tak mungkin dakwah ini ditegakkan di atas pilar-pilar yang korup, nantinya tetap akan runtuh juga. Meski dalam kekurangan dan keterbatasannya dakwah ini seringkali masih ditopang oleh pilar-pilar yang tak sepenuhnya bersih. Kelemahan ini suatu saat bisa menjadi beban dakwah.

Berhadapan dengan opini yang menempatkan Islam dalam persepsi korup di mata publik. Kondisi tidak ideal pada umat dimanfaatkan untuk menggiring umat Islam keluar (tersingkir) dari lingkaran politik dan kekuasaan yang kotor, memudahkan kelompok lain mengambilalih negara dan mengendalikan masyarakat. Meski seburuk-buruknya kondisi umat, di samping opini buruk yang dipersepsikan terhadapnya, lebih sulit untuk membayangkan bila kekuasaan dan kebijakan publik berada di tangan mereka yang berseberangan dengan visi dakwah, tidak saja berkaitan dengan kemaksiatan, penyakit masyarakat, pornografi, miras dan semacamnya, akan tetapi mereka sebenarnya tidak kalah korup (bahkan sebenarnya lebih), meski dipoles oleh manisnya opini yang dimainkan media.

Bertahan pada upaya dakwah di jalur kekuasaan memang berat, dalam dilema antara menjaga kepentingan dakwah dengan tuntutan biaya politik tinggi. Meski demikian, jangan sampai mengesampingkan upaya menjaga proses dakwah ini berada di jalur lurus, juga tanpa mengabaikan upaya pembenahan di dalam tubuh umat itu sendiri, sehingga tujuan sebenarnya dari dakwah tersebut tetap terjaga. Tetapi tantangan dakwah tidak sederhana, tatkala berhadapan dengan persaingan tidak sehat, intrik, konspirasi dengan segala bentuknya, kriminalisasi, festivalisasi, atau upaya-upaya semacam jebakan Batman, sangat membutuhkan sikap hati-hati dan waspada.

Dari kasus yang menimpa SDA ini, semestinya kita sikapi secara bijak, komprehensif, tidak hanya parsial. Sebagaimana ketika PKS terbelit kasus korupsi yang sangat berat, berbagai elemen umat yang lain masih menjaga empati, solidaritas dan praduga tak bersalah, sekaligus mensupport PKS untuk berbenah, tidak begitu saja mengikuti opini tendensius yang dibangun oleh media-media. Mereka memiliki pandangan bahwa PKS adalah aset yang sudah banyak memberi kontribusi bagi umat, sehingga jangan sampai umat Islam bergembira dengan kasus yang menimpa PKS.

Tak henti-henti umat ini tertimpa berbagai prahara, persoalan hukum, korupsi, masalah koalisi dan perpecahan, semestinya menjadi momentum untuk menumbuhkan kedewasaan kita. Jangan sampai sebagian kita berharap keuntungan atas musibah yang menimpa sesama umat. Persoalan yang dihadapi diletakkan secara proporsional, tidak memendam, tidak pula mendramatisir. Menjalin sebuah hubungan yang konstruktif. Setiap persoalan dilihat secara utuh, diletakkan dalam perspektif yang luas, hadapi tantangan ini bersama, sebuah umat sebagai satu kesatuan. Masalah kita dan tanggungjawab kita bersama. Sikap yang sebaliknya akan memuluskan upaya divide et impera yang akhirnya melemahkan umat ini secara keseluruhan, sehingga akan makin mudah termarjinalisasi.

Ketika kita telah merasakan sendiri bagaimana pahitnya terzhalimi, semestinya menjadi pelajaran agar kita tak melakukan kezhaliman serupa. Sebagaimana yang dijanjikan Allah bahwa kekuasaan itu dipergilirkan, pada saat diberikan kepada orang-orang lemah yang teraniaya ini, agar menegakkan keadilan yang sebenarnya baik terhadap kawan maupun lawan. Sebuah teladan dari generasi terbaik umat ini, dalam kekuasaannya bukan hanya muslim, Yahudi dan Nashrani sekalipun merasakan keadilan dengan sempurna.


Islamnya Pak Harto

Jika Islam terlalu suci untuk menjadi menjadi tempat berlindung bagi diktator, tetapi mengapa seringkali  ia terlalu mudah menjadi kuda tunggangan. Memang tampak berjalan lurus, tak sedikit pun berbelok, tapi tetap saja terombang-ambing. Meski sebuah Hamparan bisa dikatakan menghijau, tapi dari dalam tanahnya tetap terlihat hitam pekat. Baru saja diberi sedikit angin untuk bernafas, berbalas hembusan badai yang meluluhlantakkan.

Jilbab-jilbab, ribuan bahkan jutaan, berkerumun menjadi lautan menghampar, menjadikan harganya sama sekali tak terasa. Belum terlalu lama, satu jilbab yang dikenakan berhadapan dengan intimidasi dan diskriminasi. Saat-saat harga satu jilbab yang tersisa adalah tekad membaja untuk menjalani pahitnya sebuah perjuangan.

Berada antara teriakan lantang yang mengalir dari mimbar-mimbar dan panggung, mudah sekali melupakan saat-saat sulit seorang dai, seorang diri berhadapan dengan tindakan represif. Tak ada tempat untuk berbicara mengenai hak, keadilan dan demokrasi, tetapi mengapa kemudian begitu mudah bersama-sama mendengungkannya.

Angin segar dan ruangan yang disediakan mungkin terasa tak layak. Begitu lantangnya mereka mengepung dan menantang. Tanpa mereka sadari, meski sebuah pemberian itu memang tak seberapa, kelak tak lagi bisa didapat dengan cuma-cuma. Tanpa mengerti sebuah permainan yang sedang berlangsung, jika tak mau dikatakan terhasut.

Sudah terlalu banyak yang dijatuhkan karena mendekat ke Islam, butuh waktu terlalu lama baru bisa diakui. Di antara kenyataan yang harus diterima, yang menjatuhkannya adalah Islam itu sendiri, meski sekedar menjadi eksekutor terdepannya. Bukan saja kedekatan itu tak sempurna, masih menyisakan noda, tetapi tuntutan-tuntutan itu sama tak sempurnanya, tak diletakkan pada sudut pandang yang luas.

Menyisakan kepayahan dan letih, menjalani berbagai reformasi, revolusi dan pergolakan, hasilnya tetap saja dinikmati orang lain. Jatuh dari satu rezim kepada rezim berikutnya. Gegap gempita sebuah euforia hanya sesaat, mengiringi perjalanan menuju kondisi yang lebih buruk. Berpayah-payah memanjat untuk memetik buah, sementara mereka di bawah sana telah bersiap berpesta pora menikmatinya.

Kuda tetaplah kuda, tak berharap mencuri perbendaharaan tuannya, meski ia yang berpayah membawakannya. Tak lagi sempat bertanya, ketika jalan menjadi mudah, aral yang dijanjikan tak kunjung tiba. Logistik dan bekal dakwah tiba-tiba melimpah, tanpa sempat menyadari bahwa sesungguhnya segalanya ada yang mempersiapkan. Saat menikmati umpan yang diberikan, arah perjalanan bukan lagi menuju tujuan, tetapi tersesat pada sebuah jebakan.

Melaju dengan gempita, langkahnya tegap, namun ia hanya tunggangan. Tak sesederhana mengoyak sebuah kebatilan, hanya terpikir untuk menghancurkan penghalang, tetapi juga memporak-porandakan pelindung. Menghadapi sebuah dilema, adakalanya tiang-tiang rapuh itu menopang dan menjadi pelindung bagi dakwah ini dalam keterbatasannya, adakalanya pula ia runtuh dan menimpa, menjadi sebuah beban.

Terlalu sulit untuk dipenuhi, tak seperti mereka, ketika sebuah rezim yang korup meminta untuk menjadi stempel atas kezhalimannya, seburuk apapun, untuk duduk dengan nyaman di belakang penjilat. Namun keteguhan itu mungkin belum sempurna, ketika mengusir seorang sahabat yang berlepotan dengan kotoran, menjauhkannya agar ia tak mengotori. Bukannya menolongnya, membersihkannya, untuk kemudian bisa nyaman berdekatan dengannya.

Agar masa lalu menjadi pembelajaran, sebuah nikmat itu memang terlalu sedikit untuk disyukuri, tetapi terlalu berharga untuk disia-siakan dan sirna. Kejatuhan demi kejatuhan semestinya bisa mendewasakan. Sebuah umat yang kelemahannya meruntuhkan satu sama lain, kekuatannya memporak-porandakan satu sama lain, berhadapan satu sama lain atas nama kebenaran, sehingga tanpa terasa kesemuanya kian termarjinalkan.


Jumat, 23 Mei 2014

Jika Yenny Wahid (Tak) Menolak Menjadi Imam Shalat

Menjadi lebih heboh karena bertepatan pada momen-momen penuh politisasi. Bermula dari kicauan Ipang Wahid di jagat Twitter, Sabtu (17/5). Putra sulung tokoh NU KH Shalahuddin Wahid itu mengabarkan ada capres yang minta Yenny Wahid menjadi imam shalat saat sang capres datang ke kantor PBNU. “Konon ada capres main ke PBNU. Pas solat, ia diminta jd imam. Tapi dia nolak & malah minta Yenny jd imam. "Kan Yenny anak kyai", katanya :D” kata Ipang di akun twitternya, @ipangwahid.

Baiklah kita Husnuzhan saja, bahwa yang dilakukan capres tersebut hanya bercanda. Masalah larangan keras bermain-main dalam agama, kita juga bisa husnuzhan jika yang bersangkutan belum mengetahuinya. Gitu aja kok repot.

Yang sebenarnya penting untuk dicermati, perkara besar yang tersirat di balik kejadian tersebut. Bukan main-main, menyangkut perjalanan suatu pemikiran dan ideologi. Menyangkut masa depan Islam dan NU, di antara benturan berbagai ideologi, liberalisme, feminisme dan semacamnya.

Yenny Wahid, sekedar melihatnya dari luar, terlahir dan tumbuh dari arus deras liberalisme dan feminisme. Namun tak seperti yang diduga, ia tak tumbuh menjadi Amina Wadud atau Irshad Manji,  garis pemikiran yang ia anut juga tak seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi atau Sumanto al Qurtuby. Sebuah apresiasi yang jujur terhadap sosok Yenny Wahid, ketika background liberalisme yang membayanginya sebenarnya teramat kuat.

Saat Yenny ditanya mengenai kriteria pendamping hidup yang diinginkannya, jawaban yang ia berikan, menginginkan yang seiman. Di antara pro kontra, kekerasan, dan keberadaan Ahmadiyah, Yenny cenderung pada pandangan untuk memerangi Ahmadiyah dengan dakwah. Dari sini bisa dinilai, kalau ia tak mengikuti jejak para pluralis yang tak lagi risih soal perbedaan keyakinan, gigih memperjuangkan legalisasi nikah beda agama. Ia juga tidak mengikuti mereka yang berupaya melegalisasi penodaan agama atas nama kebebasan berkeyakinan, demokrasi dan HAM.

Kembali kepada beberapa dekade silam, sebuah dikotomi antara modernis dan tradisionalis. Salah satu pihak dipersepsikan sebagai pembaharu dan intelektual, sementara pada pihak lain disematkan persepsi jumud dan kolot.

Seperti tak mungkin, akhirnya dikotomi tersebut luluh lantak juga. Dengan sangat vulgar, lahirlah komunitas Utan Kayu, anak-anak muda NU yang berani mengeluarkan ide-ide tentang liberalisme, jauh lebih liar dari yang disuarakan komunitas Paramadina atau PSAP, yang memang berlatarkan belakang spirit membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Meski berasal dari komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan adab, tidak saja mendobrak batas-batas pakem yang sudah ada, bahkan tanpa tabu menggugat berbagai kesakralan dogma, kitab suci, syariat dan rasul. Komunitas intelektual baru, menikmati euforia kebebasan, jauh melampaui intelektualitas kaum modernis.

Menginginkan sesuatu yang belum dimiliki, pintu masuk sebelum segalanya terjadi. ‘Mencari dokter di NU sulitnya sama dengan mencari qari’ di Muhammadiyah’. Sebuah kerinduan untuk mengejar ketertinggalan yang dialami NU, kerinduan munculnya dokter, insinyur, dan para intelektual dalam berbagai bidang, saat menjadi kyai atau membaca kitab menjadi sesuatu yang amat biasa di NU. Mungkin seperti yang dialami kalangan Muhammadiyah, yang mengajinya saja masih belepotan, merindukan anak-anak mereka bisa membaca kitab dan menjadi hafiz, mengirimkan mereka ke pesantren.

Termasuk yang ditempuh keluarga besar KH Hasyim Asy’ary, mengeluarkan anak-anak mereka dari lingkaran pesantren, bahkan menempuh pendidikan sekuler sama sekali. Hingga akhirnya berinteraksi dengan berbagai ideologi, terutama filsafat dan isme-isme yang kemudian amat memengaruhi arah perjalanan NU pada generasi berikutnya.

Dominasi pemikiran liberalisme dan pluralisme telah menancap dalam tubuh NU, terutama intelektual mudanya. Meski untuk akar rumput, masih harus dikemas dalam bentuk yang lebih halus, semacam Islam rahmatan lil alamin atau model Islam moderat. Tampaknya kurang disadari, tetapi cukup mengkhawatirkan bagi eksistensi  NU di masa depan, di antara derasnya arus percaturan pemikiran global.

Menyisakan harapan, dari sosok seperti Yenny Wahid, untuk mengembalikan NU pada khittahnya. Meskipun menjadi sebuah dilema tersendiri, membawa beban sebagai anak biologis liberalisme dan pluralisme, untuk membawa anak-anak ideologis liberalisme kembali ke pangkuan NU yang sebenarnya. Sebuah peran yang strategis tapi tak mudah, sebagaimana yang terjadi pada Nation of Islam pasca generasi Elijah Muhammad.

Jumat, 16 Mei 2014

Kursi Terakhir


Semestinya membuahkan rasa syukur, mengingatkan tentang keberuntungan, mengerti rasa sebuah pertolongan, saat terselamatkan dari keadaan genting. Kursi terakhir, menanti dengan harap-harap cemas untuk mendapatkannya, bertaruh pada sisa suara memperebutkan satu kursi yang tersisa.

Agar menjadi cambuk untuk kerja keras, berbuat sebaik mungkin. Kursi terakhir, memang ia bersama dengan kursi pertama dalam gerbong, tapi sesungguhnya ia dekat dengan kursi pertama yang terdepak, dekat dengan sebuah penyesalan. Kursi terakhir yang terangkut, meski menempati gerbong paling belakang. Memandang kursi pertama yang terdepak, mesti merasakan sungguh sebuah karunia.

Menjadi pelajaran, sebelum kehilangan benar-benar terjadi. Pelajaran tentang abai dan waspada dalam sebuah kompetisi. Tak ada tempat untuk bersantai, bukan waktunya untuk main-main. Tak ada zona aman sebelum usai, tak boleh sedikit pun lengah. Bersiap dan waspada akan segala kemungkinan terburuk, akan tantangan yang tak terduga. Mungkin ia  menjadi kursi terakhir yang sesungguhnya, akhirnya terlempar dari gerbong.

Menjadi penggugah, agar tak menyia-nyiakan kesempatan, kesempatan terakhir yang dimiliki, mungkin itu terjadi. Untuk menumbuhkan semangat, totalitas dalam melayani, dan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Tak mengulangi kesalahan, agar perjalanan senantiasa berlanjut, memiliki kesempatan untuk meneruskannya.

Tantangan untuk bisa menjawab, ketika nilainya dipertanyakan. Tantangan untuk berbuat, ketika dipandang sebelah mata. Pengorbanan menjadi sebuah keharusan. Untuk menjawab pertanyaan, apakah akan terus melaju menuju kursi pertama ataukah akan terlempar dan tenggelam, ajal bagi sebuah gerakan dakwah.

Dakwah ini tak kan terhenti, akan terus melaju, memang benar demikian. Tapi wasilah dakwah bisa berganti, tak ada jaminan. Menjadi peringatan bagi para penempuh jalannya, agar ajal tak terburu menghampiri.


Jangan Terlalu Berharap pada Suatu Koalisi


Mempertanyakan persahabatan sejati di dunia politik, seperti dunia yang tak menyisakan tempat bagi balas budi. Eratnya jalinan persahabatan menjadi perseteruan dalam sekejab, kebersamaan berbuah pengkhianatan, harapan dan semangat berbuah kekecewaan.

Tak semudah menuntut dan menuntut, meskipun menjadi hak. Tak sebodoh membiarkan pengkhianatan, memberi dengan sepenuh ketulusan, tanpa mengharap apa pun. Terlalu berharap mendapatkan sesuatu, tak menjamin akan memperolehnya, tetapi memiliki cita bisa memberikan sesuatu, tak jua mesti kehilangannya.

Agar menjadi pembelajaran, terlalu berharap berujung kekecewaan. Ketika suatu koalisi yang terjalin, dimaknai sebagai pembagian kue kekuasaan dan bagi-bagi jabatan semata, bukan upaya terbaik, pilihan untuk mewujudkan cita.

Dikhianati dan dicampakkan, sebuah resiko memang. Tetapi maknanya bisa berbeda jika partisipasi yang diberikan bukan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi untuk memberikan sesuatu, memberi kontribusi, bukan mendulang. Bukan saling memperebutkan tanggung jawab untuk didapat, tetapi memperebutkan amal untuk dikerjakan.

Tak memaksa dan tak kan bisa memaksakan. Diperlukan kedewasaan mengambil sikap di antara tahu diri dan tidak tahu diri. Lebih mudah untuk menuntut dan meminta, meski tak membuahkan hasil. Lebih terasa berat untuk memberi, meski tak kan diikuti kekecewaan.

Ketulusan buta dan harapan bodoh, posisi yang sama-sama sulitnya. Biarlah terlalu mudah dicampakkan, tetapi jangan terlalu mudah diperbodoh. Antara bersikap tahu diri dan sikap bisa menempatkan diri, hingga bisa memaksimalkan potensi. Bukan tempat mencari belas kasih, tetapi jangan jua mempertontonkan kebodohan, tinggal bagaimana memolesnya. Diperlukan langkah cerdas agar bisa mendapatkan posisi terbaik, menjaga nilai sebuah pengorbanan tetap berharga.

Yang termudah memang memulai dari diri, agar harapan kepada mereka untuk mengikuti, menjadi layak diungkapkan. Lakukan dari apa yang mampu, jalankan amanah sebaik-baiknya, ketulusan yang tak pudar hingga berbalas empati, meski entah kapan. Bekerja dan bekerja, memberi dan memberi, apapun yang terjadi tetap melayani.

Kecilnya amanah yang diberikan, bukan alasan untuk tak berbuat. Berbuat yang terbaik, untuk menyempurnakan pengabdian pada-Nya, agar Dia memberikan yang terbaik. Semata berharap kepada Dia yang lebih mengetahui tentang bangsa ini dan kita, kemampuan kita, ujian-ujian yang mesti kita lalui dan bangsa ini, sampai pada saatnya yang tepat.

Menempatkan diri yang terbaik dalam kolaborasi, jika mereka memiliki kekurangan, toh kita tak jua lepas dari kekurangan. Tinggal bagaimana dengan kelebihan dan kekurangan ini, menjadi sebuah kolaborasi untuk saling melengkapi dan menguatkan. Melibas dan mencampakkan, menjadi cinta, kerja dan harmoni.


Sabtu, 10 Mei 2014

Sahabat, Sebenarnya Ukhuwah itu (Tak) Mahal

Sahabat, saat dulu aku menyangka musibah yang menimpamu memberi keuntungan bagiku. Aku bergembira dan bersorak karena kemalangan yang menimpamu. Hingga ketika musibah serupa menimpaku, baru aku bisa mengerti apa yang kau rasakan.

Sahabat, saat aku berharap keuntungan dari kejatuhanmu, membiarkanmu terjerembab, hingga saat aku menginginkan pertolonganmu, engkau sudah tak mamiliki kemampuan untuk menolongku.

Sahabat, ketika aku lapang, pintu maaf kututup terlalu rapat, sedang keangkuhanku benar-benar aku tegakkan. Tak terbayangkan suatu saat aku pun akan menemui saat-saat sempit, saat di mana aku membutuhkanmu.

Ketika akhirnya ukhuwah itu terwujud, tapi ia tak bernilai lagi. Ukhuwah, sering ia baru dipungut pada saat-saat sempit, sementara ketika lapang ia dicampakkan. Ketika ia baru terwujud di saat-saat terdesak, ketika kita sama-sama terlanjur terperosok dalam kehancuran, ketika semuanya sudah terlambat.

Ukhuwah memang mahal, ketika harus mengorbankan begitu besar ego, tetapi mengorbankan ukhuwah itu, lebih mahal lagi yang akan harus dibayar. Keuntungan menyia-nyiakannya belum tentu, malah kerugian bersama yang didapat. Ego telah membuat persoalan kecil menjadi besar, sesuatu yang dekat menjadi jauh.

Ukhuwah menjadi berharga, karena ia harus melewati banyak ujian, harus mematahkan banyak ego. Sebelum tak ada yang lebih berharga dari musibah, yang membawa hikmah, mengerti harga ukhuwah yang dicampakkan di waktu lapang. Namun saat itu harga ukhuwah telah menjadi mahal.

Ujian itu, menyapa berupa nasihat-nasihat indah, kepedulian yang amat, padahal sebenarnya bentuk bentuk lain dari iri dan prasangka yang tersembunyi. Ukhuwah yang tak memiliki nilai, kecuali hanya dalih.

Sahabat, ukhuwah seperti inikah yang bisa kita rajut, ukhuwah yang mesti melewati ujian pahit kembali, ketika harus memberikan kepercayaan setelah untuk kesekian kalinya dikhianati. Kesabaran itu memang tak layak untuk habis, tetapi keraguan, keraguan bahwa ukhuwah ini semu belaka. Pintu-pintu curiga bisa ditutup, tetapi lubang-lubang waspada tetap mesti terbuka. Kekhawatiran, akan kembali dicampakkan ketika tak lagi dibutuhkan.

Ukhuwah itu tak ternilai, meski untuk mendapatkannya tak mesti mahal, andai diulurkan sejak masa lapang, bukan ketika telah berada dalam kondisi terdesak. Tulus karena-Nya, bukan keterpaksaan, bukan kepentingan yang berlindung di baliknya.


Kamis, 08 Mei 2014

Ketika Sapi Menjadi Kambing Hitam

Di negeri yang kaya raya ini, kebanyakan penduduknya masih harus bersusah payah memeras keringat membanting tulang, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang ala kadarnya.

Zaman ini, tetap tak ubahnya seperti zaman kolonial atau VOC. Di rumah ketua SI, HOS Tjokroaminoto, sekelompok pemuda biasa berkumpul dan berdiskusi berbagai masalah negeri, Soekarno dan kawan-kawannya yang kebanyakan mereka kemudian menjadi founding father negara ini. Perbincangan tentang penduduk negeri yang subur makmur tapi kerja keras mereka tiap hari tak layak untuk sekedar makan. Waktu itu jawabannya masih sederhana, jutaan gulden yang diangkut oleh penguasa kolonial ke negara mereka.

Menerima nasib sebagai sapi perah, yang masih menyimpan mimpi, mimpi orang-orang lemah yang tertindas. Mimpi menikmati sedikit kekayaan negeri yang luar biasa melimpah, emas, minyak, gas, kesuburan tanah, hasil hutan dan lautnya. Mimpi kecil tentang kemandirian, tentang swasembada pangan dan mobil nasional.

Lebih bisa dimaklumi jika negeri ini kebanjiran mainan anak impor. Tapi apa salahnya jika negeri yang subur menghijau ini kebanjiran pangan, buah dan daging impor. Apa salahnya juga jika mimpi tentang swasembada itu mulai direalisasikan. Setelah swasembada beras tercapai, pengurangan kuota impor daging sapi terus dilakukan secara bertahap, turun dari 53% pada tahun 2010 menjadi 13% di tahun 2013. Di atas kertas, ketersediaan sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, tetapi kenyataan yang terjadi di pasar lain, harga daging sapi melambung, menjadi harga termahal di dunia, barangnya pun sulit diperoleh.

Mungkin sapi-sapi pada ngambek, tak mau dipotong, menghilang entah kemana. Tapi yang lebih logis, tak mungkin sapi-sapi itu bisa menghilang begitu saja, melainkan berubah menjadi kambing hitam. Kuota daging sapi, sama seperti pembatasan buah impor, berbuah pahit akibatnya.

Sapi, sapi, sapi! Korupsi sapi! Kompak dengan opini yang dibangun media-media milik para cukong yang selama ini menguras kekayaan negeri ini. Segelintir orang kuat yang menikmati sebagian besar kekayaan negeri, yang berkepentingan mengamankan kekuasaan mereka.

Semestinya kita semua tahu kalau para importir itu akan marah. Tapi kita mungkin belum tahu kalau mereka tak perlu bersusah payah menyuarakan kemarahan tersebut, tak perlu bagi mereka berteriak-teriak sampai lelah. Malah kebanyakan penduduk negeri ini dengan sukarela bersedia membantu melontarkan hujatan dan cemoohan sepuasnya, mewakili ekspresi kemarahan para importir itu. Cukup bagi para importir itu tersenyum puas menyaksikannya.

Begitu mudahnya sapi menjadi kambing hitam, semudah menjawab pertanyaan mengapa ketika sapi-sapi itu mengamuk, bukan hanya harga dagingnya yang melambung, harga bawang pun tak kalah melejit, 75 ribu rupiah sekilonya. Memangnya apakah ketika harga daging sapi tak terjangkau, para konsumennya beralih memakan bawang secara besar-besaran? Apakah ketika para pedagang bakso kesulitan mendapatkan daging sapi, lantas mereka beralih menggunakan bawang sebagai bahan baku pengganti pembuatan baksonya?

Biarlah sapi tetap menjadi sapi, tak perlulah ia dipaksa-paksa menjadi kambing hitam, agar ia bisa menikmati segarnya rumput di negeri yang subur ini, tak hanya boleh hidup di negeri seberang sana, meski tidak nyaman bila didengar para importir daging itu. Agar membuka kesadaran orang-orang yang tak mau dikatakan bodoh, supaya mengerti seperti apa dunia ini sebenarnya.

Sebuah jawaban mengapa kita hanya terombang-ambing dari satu rezim kepada rezim yang lain. Sebelum bermimpi tentang emas, minyak dan gas yang kian raib, kita sudah cukup terhibur dengan suguhan semacam serial drama atau festivalisasi ala KPK, sudah cukup menikmati pertunjukan seperti mobil ESEMKA atau mobil listrik.

Mewujudkan mimpi itu tak semudah membalik telapak tangan, dunia ini bukan tempat untuk berharap penguasanya berbaik hati. Tapi sepahit-pahitnya menjadi orang lemah yang terzhalimi, sesungguhnya lebih pahit menjadi mereka yang menebar kezhaliman dan angkara murka.

Begitu mudahnya membeli negeri ini dengan hanya 50 ribu rupiah per orang, diterima dengan senang hati pula. Daripada ditolak, toh juga tidak mendapat apa-apa, sama saja untuk kesekian kalinya terjebak pada pencitraan-pencitraan semu. Ketika kadang-kadang masih ada usaha untuk tidak bersikap apatis, tetapi pilihan itu benar-benar sudah tidak ada. Permainan sudah diselesaikan sebelum pertandingan dimulai.

Tentang ribuan triliyun yang raib dari negeri ini, tak tahu lagi seperti apa rasanya, sudah terlalu banyak kehilangan, anggap saja sebagai sedekah kita. Agar di antara banyaknya kelalaian kita kepada-Nya, kezhaliman yang menimpa menjadikan diri ini masih cukup istimewa di hadapan-Nya, setidaknya untuk menolong diri, syukur-syukur mendapat kekuatan untuk menolong dunia, termasuk menolong para tiran yang zhalim itu, membebaskan mereka dari perbuatan zhalimnya, menggapai kebersamaan dalam dunia yang penuh kedamaian.

Toh sebenarnya ada kekayaan yang lebih besar, yang selama ini kurang kita sadari. Kekayaan yang oleh para penguasa dunia itu dipandang sebelah mata. Untuk melihat saja enggan, apalagi mau bersusah payah merampas dari kita. Padahal kekayaan itu, diambil seberapa pun, tak kan berkurang sedikit pun bagi pemiliknya. Bahkan kita sendiri sering mengabaikannya. Kekayaan hati.

Kekayaan hati, sebagaimana yang telah membuat suatu kaum menjadi mulia, yang tiap-tiap mereka mampu mempersembahkan emas sebesar dua Gunung Uhud kepada Penguasa alam semesta, bahkan lebih. Sementara ratusan juta penduduk negeri ini, hanya mampu berpatungan memberikan emas sebesar gunung Freeport kepada penguasa dunia, itupun tak terlalu memberi kebahagiaan yang sesungguhnya bagi mereka.

Kekayaan hati, yang banyak disia-siakan kebanyakan penduduk dunia, padahal ia bisa menjadi kebahagiaan sejati, yang ketika penduduk dunia ini mau mengambilnya, selembar sajadah lebih berharga dibanding dunia seisinya.


Jumat, 02 Mei 2014

Saat Muslim Menjadi Rahmat, Perilaku Ramah Air

Islam membentuk umatnya untuk menjadi pribadi yang memiliki nilai lebih, memiliki semangat menebar kemanfaatan bagi lingkungan sekitarnya, memiliki motivasi untuk senantiasa berbuat baik dan berupaya mengadakan perbaikan.

Nilai-nilai Islam melingkupi semua aspek kehidupan secara utuh, membentuk umatnya menjadi pribadi yang ideal. Termasuk mengatur hal-hal kecil yang sepertinya sederhana, tak terpikirkan oleh menusia kebanyakan, tetapi ternyata memiliki hikmah yang besar. Tentang pola hidup yang baik, etika, perilaku hidup sehat, menjaga kebersihan, etos kerja dan efisiensi. Upaya mengefektifkan potensi hidup untuk menjadi amal shalih semaksimal mungkin, bahkan agar yang kita kerjakan bisa memiliki manfaat ganda.

Hal-hal kecil yang sepele begitu diperhatikan oleh Islam, tidak memasuki masjid sesudah mengkonsumsi bawang, tidak meninggikan rumah sehingga menghalangi rumah tetangga, menyingkirkan duri dari jalan, tidak membiarkan makanan terbuang, atau tidak membuat masakan yang baunya sampai kepada tetangga melainkan berbagi kepadanya. Berbuat sebaik-baiknya, memberi dengan baik, menerima dengan baik, atau bertamu dengan baik. Mengutamakan orang lain, mengikis ego, menempatkan dengan baik hak dan kewajiban, serta memupuk kepedulian dan kesetiakawanan.

Sehingga semestinya seorang muslim memiliki kepekaan sosial, mampu merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain, mempermudah urusan mereka, bukan mempersulit, serta memiliki keikhlasan untuk berbagi .

Bukan hanya terhadap sesama, binatang dan benda-benda tak bernyawa pun tak lepas dari rahmat yang dibawa Islam. Islam mengajarkan untuk tidak menyakiti binatang, memberi minum binatang yang haus, menajamkan pisau ketika menyembelih agar tidak menyakiti. Islam melarang memubazirkan barang, sekecil apapun agar menjadi sebuah kemanfaatan.

Ikhlas, kunci agar semua amal shalih itu tidak dirasa sebagai beban yang berat, mendapatkan kemudahan untyuk melakukan amal shalih tersebut, menjalani sebuah fitrah yang lurus, menjadi kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.

Menjadi tantangan bagi kita mewujudkan kesempurnaan Islam ini, untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Dari persoalan sampah, rokok, lingkungan hidup, hingga persoalan kejujuran dan krisis yang dialami dunia.

Ada yang menarik dari pembahasan mengenai Fikih Air pada Munas Tarjih Muhammadiyah beberapa waktu lalu. Bagian dari upaya mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata, menjadi rahmatan lil alamin yang sesungguhnya. Berikut hasil Munas Tarjih yang dikutip dari www.Sangpencerah.com.

Pada level individu dan keluarga perlu pembiasaan untuk membetulkan kran atau sambungan pipa di rumah, kantor, masjid atau pipa irigasi yang bocor. Kemudian tidak membiarkan anak bermain dengan kran atau selang air di halaman atau di kamar mandi dan tidak membiarkan kran air terus mengucur pada saat mencuci mobil atau sepeda motor, serta mematikan air bila tidak diperlukan. Juga membiasakan untuk mematikan kran ketika sedang menggosok gigi, mandi atau mencuci peralatan rumah tangga dengan sabun atau detergen. Mengganti ukuran kran dengan ukuran kecil sehingga tidak terlalu banyak mengeluarkan air. Menggunakan shower untuk kamar mandi. Sedapat mungkin tidak menggunakan kamar mandi yang banyak menggunakan air (semisal bath-up).

Demikian pula dalam berwudlu, hindari penggunaan air yang berlebihan. Menyisakan halaman rumah untuk resapan air hujan, dengan tidak menutup seluruh halaman rumah dengan pengerasan (aspal dan beton,) karena air hujan tidak akan bisa meresap ke dalam tanah untuk menambah cadangan air tanah. Arahkan kucuran air hujan dari atap rumah untuk dapat asuk ke sumur peresapan di halaman rumah, sehingga tidak langsung dibuang ke jalan atau selokan. Memilih tanaman hias, perkebunan atau tanaman pangan yang tidak rakus air. Siramilah tanaman di lahan pada waktu pagi atau sore hari pada waktu suhu udara tidak terlalu panas dan tiupan angin tak terlalu kencang, sehingga bisa mengurangi kehilangan air melalui evaporasi. Gunakan pupuk organik untuk tanaman daripada pupuk buatan. Pupuk organik disamping lebih sehat, lebih menghemat air untuk prosesnya. Sedangkan pupuk buatan (pupuk kimia/non-organik) prosesnya memerlukan air yang lebih banyak per kg berat pupuk, merusak tanah dan menjadi sumber polusi. Bila memungkinkan buatlah lubang-lubang pembuangan sampah organik di halaman rumah. Sampah organik akan bisa memperbaiki struktur tanah sehingga memudahkan air hujan meresap ke dalam tanah serta memperbaiki kesuburan tanah. Apabila di dalam rumah terdapat kolam renang, maka tutuplah kolam renang dengan penutup dari lembaran plastik pada saat tak digunakan, hal ini akan bisa menghambat penguapan air. Gunakan air kolam renang yang kotor untuk keperluan menyiram tanaman atau disalurkan ke kolam atau media lainnya sehingga tidak langsung terbuang.

Demikian pula tampungan air kucuran kran dan bekas air wudlu. Air ini masih bisa digunakan untuk menyiram tanaman atau untuk memelihara ikan di kolam dan keperluan lainnya. Gunakan peralatan dapur yang terbuat dari bahan alamiah (kayu, bambu, daun tanaman dan sebagainya) daripada menggunakan bahan yang terbuat dari plastik. Pilihan ini disamping lebih berwawasan lingkungan juga lebih sehat dan menghemat air. Bahan-bahan peralatan atau perlengkapan dapur dan perlengkapan rumah tangga yang terbuat dari plastik memerlukan air yang cukup banyak per kg bahan dalam proses pembuatannya. Jika berbelanja ke pasar, supermarket atau ke toko, usahakan membawa keranjang atau tas belanja dari rumah utnuk mengurangi pemakaian tas plastik (tas kresek). Tas plastik dalam proses pembuatannya memerlukan banyak air dan tidak bisa didegradasi sehingga menjadi bahan polusi lingkungan. Pilihlah bahan makanan dan minuman yang proses pembuatannya tidak memerlukan banyak air untuk memprosesnya. Pilihlah untuk membuat jus buah sendiri daripada membeli jus buah siap saji. Cara ini disamping lebih sehat juga bisa menghemat air. Pada waktu mencuci pakaian (pakai tangan atau pakai mesin cuci) atau peralatan dapur, pilihlah detergen yang ringan dan ramah lingkungan, sehingga tidak memerlukan banyak air untuk membilas. Untuk membilas detergen kuat, diperlukan lebih banyak air dibandingkan dengan detergen ringan. Hindari tumpahnya minyak (goreng atau minyak lain) ke dalam tampungan atau sumber air. Hal ini karena untuk memurnikan atau membilasnya memerlukan banyak air.

Pada level masyarakat, kegiatan pengelolaan air berbasis masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian daya rusak air. Tingginya tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini, diharapkan menjadikan daerah tangkapan hujan di hulu semakin berfungsi sebagai hutan lindung yang bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Wilayah hulu semakin produktif dengan basis jasa lingkungan wilayah hilir dan kawasan perkotaan terbebas dari ancaman daya rusak air, antara lain bencana banjir dan kekeringan. Melakukan sistem pengolahan limbah domestik di kawasan permukiman sehingga dapat menjaga kualitas air. Misalnya, pengolahan limbah domestik cair dan sampah untuk kompos. Juga bisa melalui teknologi tepat guna untuk membuat air berkualitas sesuai baku mutu untuk keperluan air minum penduduk di kawasan lingkungan dengan kualitas air rendah. Melakukan upaya penampungan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) untuk irigasi, mencuci, bilasan toilet, peternakan, dll. Upaya ini bisa melalui penggunaan ember atau lainnya. Melakukan irigasi tetes atau sprinkler atau alur yang lebih hemat air daripada cara irigasi dengan penggenangan (basin). Mewujudkan gerakan “Shadaqah Air” bagi masyarakat yang minus air, secara langsung atau melalui penggalangan dana untuk pembuatan saluran air bersih.

Pada level dunia usaha, perlunya sinergitas pelestarian air antara dunia usaha dan masyarakat melalui CSR (Corporate Social Responsibility). Mewujudkan usaha-usaha produktif yang berbasis pada penghematan air. Menciptakan lingkungan kerja yang ramah air melalui edukasi, ceramah, kampanye pelestarian lingkungan, poster, cek rutin sarana air serta audit lingkungan sekitar perusahaan.

Pada level pemerintah perlunya kontrol pelestarian air dan lingkungan sesuai aturan yang berlaku. Upaya penegakan hukum (law inforcement) terhadap perusahaan atau warga yang tidak ramah air dan lingkungan. Upaya membangun sinergitas pengelolaan sumberdaya air antar sektor dan wilayah pemerintahan setempat. Pengembangan sistem pembiayaan pengelolaan air sesuai prinsip cost recovery maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada.

Demikianlah sebagian kecil dari luasnya rahmat yang dibawa Islam. Diriwayatkan dari Jabir ia berkata, Rasulullah saw bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah, dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini (yaitu Masjid Madinah) selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani) Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib” (2623).