Senin, 30 Juni 2014

Mengeja Iman, Memaknai Pluralisme

Kawan, kerisauanku padamu lebih terasa perih, bukan oleh sakit yang engkau hujamkan, tapi oleh budi yang engkau tanam padaku.

Kawan, perih bila mengingat kebaikan-kebaikanmu di antara persahabatan kita, sedang di antara kita ada perbedaan keyakinan.

Kepedihan yang ditimpakan Abu Jahal memang sakit, tapi lebih perih lagi kebaikan yang ditanamkan Abu Thalib. Kerisauan tentang orang-orang terkasih, sahabat-sahabat terbaik, yang belum menerima hidayah.

Aku memandangmu seperti berada di tepi jurang neraka, setulusnya aku ingin menyelamatkanmu, agar engkau beranjak kemari bersamaku. Tetapi sama halnya juga, engkau justru melihatku seperti berada di tepi jurang neraka, mengingatkanku, memanggil-manggilku untuk menyelamatkanku.

Aku tahu engkau merisaukanku yang masih menjadi domba yang tersesat, sebagaimana aku juga memandangmu belum beriman kepada-Nya. Engkau mengkhawatirkan aku yang belum memuliakan anak-Nya yang terkasih, sebagaimana aku merisaukanmu yang menduakan Dia yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Jika aku mengajakmu, bukan karena aku dengki kepadamu, tapi rasa sayangku padamu untuk menyelamatkanmu. Bukankah engkau juga bersikap demikian kepadaku kawan?

Aku ingin memaksamu, tapi tak bisa dan tak mungkin. Tak ada nilai untuk sebuah keterpaksaan. Menjadi bernilai oleh kesadaran yang telah teruji, bukanoleh suatu keotomatisan yang diberikan begitu saja.

Kawan, aku sepenuhnya meyakini telah berada di jalan yang benar, sebagaimana keyakinanmu pada jalan yang engkau tempuh juga demikian. Jika di hari keputusan nanti, aku benar dan engkau salah, aku sudah sulit membayangkannya. Tapi jika di hari itu justru aku yang salah dan engkau benar, aku lebih sulit untuk membayangkannya.

Sepenuhnya bersungguh-sungguh, mempersembahkan pengabdian yang setulusnya, tapi tertolak di hadapan-Nya, keyakinan itu ternyata keliru. Bagaimana jika aku selamat dan engkau celaka, tapi bagaimana juga jika engkau yang selamat dan aku yang celaka.

Kawan, kita bisa menghilangkan sejenak kerisauan ini dengan sebuah konsep yang bernama pluralisme, memang ia menjadi obat yang menghilangkan semua kerisauan di antara persahabatan kita, tapi ia semu, ia menipu, ia menjadi pembiaran. Sampai ketika hari itu telah tiba, segalanya sudah terlambat, tak ada kesempatan tuk kembali.

Akal sehat kita sepakat bahwa di antara berbagai informasi yang saling bertentangan tentang suatu hal, maksimal hanya satu yang benar. Inilah yang membuat kita harus berusaha, mau tidak mau, atau akan terlambat sama sekali, untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Menentukan pedoman hidup yang dipilih, menemukan firman-Nya yang sebenarnya, sebaik-baik usaha, dengan sepenuh akal sehat, tanpa prasangka. Tapi juga mohon petunjuk-Nya, memohon setulusnya, dari kepasrahan seorang hamba yang lemah, untuk ditunjukkan jalan yang benar.

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. az Zumar: 18)


Jumat, 27 Juni 2014

Mencairkan Beban Sejarah Antara Umat Islam dengan (eks) PKI

Terpahat dalam lembaran sejarah, terlanjur terjadi dan tersimpan. Untuk berupaya mencairkannya, agar tak runtuh menimpa bangsa ini, hancur berkeping-keping.

Terlalu berat untuk menutup sebuah luka, tetapi terlalu perih untuk tetap memeliharanya. Tapi ia bisa menjadi pembelajaran bagi generasi sesudahnya. Sebuah kesabaran menghadapi tantangan untuk mewujudkan suatu cita. Mengambil sikap ojo dumeh, meski dalam keadaan leluasa berbuat apapun. Melampiaskan dendam dan angkara, suatu saat bisa menjadi bumerang.

Bangsa ini telah mengalami banyak ujian, dan akan terus menghadapi ujian. Masa lalu semestinya tetap menjadi pelajaran, agar tak mengulangi kesalahan serupa, memperturutkan ego dan ambisi sesaat.

Tak menjadi Salahuddin Al Ayyubi yang baik, menjemput kemenangan dengan duka, meninggalkan luka. Kemenangan itu tak menjadi seindah Fathu Makah, kekerasan berbalas kekerasan, kebencian berbalas kebencian, menyisakan beban sejarah.

Terjebak pada sebuah situasi sulit, antara membunuh dan dibunuh, berada di antara pertarungan global melawan komunisme. Untuk tidak sekedar melihat garis pembatas antara benar dan salah.

Bukan hanya cita tentang Tuhan dan kasih yang bisa bertransformasi menjadi peperangan dan penjajahan, cita indah kaum proletar di Indonesia berujung genosida yang menyakitkan. Tanpa peradilan dan tanpa kesempatan membela diri. Sebuah anomali, ketika di berbagai belahan dunia lain, merekalah yang banyak melakukan tindakan seperti itu. Di Uni Sovyet, RRC, Eropa Timur, Kamboja dan banyak negara, seabad ideologi komunisme membawa korban ratusan juta nyawa manusia.

Sekian lama keluarga dan anak-anak mereka mengalami diskriminasi yang menyakitkan. Penderitaan janda dan anak-anak yatim korban tragedi 1965, menjalani keprihatinan hidup, menjalani hidup dalam keadaan serba kekurangan. Menghadapi diskriminasi dalam berbagai bidang, politik, pemerintahan, sosial hingga budaya. Mendapat stigma buruk, seperti menanggung dosa warisan. Sebuah anomali, ketika di berbagai belahan dunia lain, umat Islam yang lebih banyak mendapatkan perlakuan buruk seperti itu, menjalani hidup dalam tekanan rezim yang otoriter.

Tipu daya dunia ini terlalu luas, tetapi perspektif yang diambil seringkali terlalu pendek, sebatas memainkan luapan emosi sesaat. Perang global melawan komunisme menjadi murah dan mudah, tak semahal yang dihadapi di Prancis, juga tak sebanyak nyawa yang dikorbankan di Vietnam. Memang tak sepenuhnya bisa dikatakan diperalat. Yang tergambar hanya sebatas ketika mereka orang-orang PKI itu sekian lama telah melakukan berbagai intimidasi dan teror, menginjak-injak agama dan melecehkannya, berada pada suatu interaksi yang penuh konflik dan ketegangan.

Wajah-wajah yang garang berbalik menjadi lunglai tanpa daya. Ketakutan yang dirasakan umat Islam telah sirna, berubah menjadi derap langkah gagah sebagai penunjuk jalan, menjemput mereka yang harus diciduk, tetangga-tetangga mereka, bahkan kerabat sendiri. Di antara mereka yang memakai baju loreng itu hanya satu dua yang benar-benar tentara, selebihnya hanyalah sukarelawan Banser yang sebelumnya dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi konflik dengan Malaysia.

Jawa Tengah dan Jawa Timur, wilayah yang sama-sama menjadi basis utama NU dan PKI, sekian lama diliputi ketegangan, kemudian berhadap-hadapan. Nyatanya, euforia kemenangan yang dirasakan NU hanya sesaat, dalam waktu tak lama kemudian disingkirkan, didepak dari kekuasaan secara menyakitkan. Menyadarkan bahwa mereka diperalat oleh kekuatan global melawan komunisme.

Tragedi 1965 menumbuhkan secara spontan rasa trauma para korban kepada Islam, khususnya Banser. Banyak di antara mereka yang kemudian beralih menjadi non-muslim, atau setidak-tidaknya mengikuti Muhammadiyah. Realitanya, sebagian besar dari mereka terserap pada kultur NU beberapa dekade kemudian. Bahkan banyak pula yang tumbuh dalam berbagai harakah. Hanya bisa berharap bahwa semua ini tulus, karena kita tak memiliki kewenangan membolak-balikkan hati.

Pendekatan dan permintaan maaf yang dilakukan NU, menjadi sebuah upaya untuk menyembuhkan luka. Namun sejauh mana ia bisa menyembuhkan luka?

Yang bisa dilakukan hanyalah apa yang bisa diperbuat oleh diri kita sendiri, mengambil pembelajaran dari sejarah masa lalu. Di antara ketegangan yang terjadi antara NU dengan MTA, di antara isu transnasional dan Wahabi, semestinya NU dapat membuktikan dirinya untuk bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi secara moderat. Jika pada tataran pemimpin umat masih mengedepankan emosi, akar rumput akan lebih mudah diprovokasi, dimanfaatkan pihak ketiga. Apa yang dikhawatirkan sangat mungkin terjadi, sejarah terulang dalam bentuknya yang lain.

Orang-orang tertindas, tak berdaya menerima kezhaliman. Namun di balik ketidakberdayaan mereka tumbuh sesuatu yang dahsyat, meski tak tampak dan tak diungkapkan. Untuk mengetahuinya cukup dengan merasakan apa yang dialami umat Islam ketika berada pada puncak-puncak kezhaliman dunia. Teraniaya, lemah, tanpa kuasa membalas semua penaniayaan, tapi di balik itu memendam cita yang tak pudar. Cita yang teruji dalam keprihatinan hidup, menumbuhkan spirit yang menyala-nyala, sebuah pengharapan, menunggu pada saat yang dinantikan tiba.

Terlalu naif jika kehilangan nyawa orang-orang yang dikasihi hanya ditebus dengan kata maaf. Meski hanya itu yang bisa dilakukan, masa lalu tetap tak bisa kembali. Sekedar ikhtiar yang tak seberapa untuk menyembuhkan luka keluarga korban tragedi 1965, agar umat Islam memperbanyak upaya membantu mereka yang ditimpa kesulitan, menyantuni, memberi mereka sedekah yang tulus, berharap mengurangi sakit yang pernah mereka alami, berharap Tuhan Yang Maha Kuasa membuka hati mereka.

Kalah jadi abu menang jadi arang. Sayang jika bangsa ini terus terbelenggu masa lalu, melewatkan masa depan yang menanti untuk diukir. Mengelola konflik dengan bijak, tak mengulangi kecelakaan sejarah. Menunjukkan jalan, berharap membuka mata hati mereka tentang Tuhan Yang Maha Pengasih, meraih surga yang keindahannya tak bisa dibandingkan dengan negeri utopia yang diimpikan. Kebahagiaan yang sebenarnya, yang realistis, bukan hanya yang ada dalam mimpi indah.


Di Ambang Chaos, Gus Dur Datang dan ‘Mengacau’

Ketegangan tahun politik 2014 ini mengingatkan kembali perjalanan bangsa ini yang tak pernah sepi dari berbagai ujian. Beberapa kali negara kita berada pada situasi genting, melewati peralihan kekuasaan dengan berdarah-darah.

Tragedi 1965 meninggalkan luka yang cukup dalam, mewarnai peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sempat diwarnai beberapa tragedi dan sejumlah kerusuhan masal, reformasi 1998 yang mengakhiri Orde Baru sempat memunculkan kekhawatiran ancaman serupa, disintegrasi bangsa yang bisa mengakhiri riwayat negara ini.

Upaya melewati peralihan kekuasaan secara damai, di antara ketegangan antara mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai kekuatan reformis menghadapi mereka yang diberi stigma sebagai pro ststus quo, seharusnya menjadi pembelajaran kita menghadapi kekhawatiran di 2014 ini.

Pemilu 1999 baru saja usai, gambaran hasilnya sudah bisa terbaca, jika diproyeksikan dengan keadaan bangsa secara keseluruhan, potensi konflik yang bisa terjadi memang mengkhawatirkan. Terbelah antara kubu Mega vis kubu Habibi, membutuhkan terobosan politik untuk meredakan ketegangan tersebut, politik kompromi dan akomodasi yang bisa diterima kedua belah pihak.

Gus Dur menemui ketua umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif mengajukan sebuah argumen. Jika Megawati yang menjadi presiden, akibatnya akan begini-begini. Jika Habibi yang menjadi presiden, akibatnya juga begini-begini. Demikian pula jika Amin Rais yang menjadi presiden, akibatnya juga akan begini-begini. Kemudian Gus Dur menawarkan diri, bagaimana jika dirinya saja yang menjadi presiden. Saat itu masih dianggap ide gila.

Dilanjutkan dengan perbincangan tentang bagi-bagi kekuasaan, mengakomodasi semua komponen yang ada. Terbentuklah kabinet Persatuan Nasional yang menjadi pereda ketegangan bangsa ini, meski hanya efek semu untuk solusi sementara.

Gus Dur memang tak punya niat menjadi presiden. Meski juga bukan untuk main-main saja. Pendukungnya tak perlu sakit hati jika ia dilengserkan.

Begitulah Gus Dur dan reformasi 1998, agar tak mengulangi kecelakaan sejarah 1965. Gempa dahsyat yang mengancam bangsa ini, dipecah menjadi gempa-gempa kecil, meminimalisasi dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Gus Dur datang dan mengacaukan keadaan, ketegangan ideologis antara dua kubu yang berhadapan secara frontal, dialihkan kepada masalah-masalah lain. Kita disibukkan oleh korupsi berjamaah, bancakan uang negara dan berebut kekuasaan, melupakan konflik ideologis yang lebih dahsyat.

Di tengah ketegangan, Gus Dur membuat kekacauan. Pihak yang berseteru menjadi kalang kabut, tak sempat melanjutkan perseteruan. Bahkan sesekali harus bahu-membahu dengan lawan, diributkan oleh Gus Dur. Gus Dur memang membuat semua jadi repot.

Gus Dur kini telah pergi, meninggalkan PR bagi bangsa ini, untuk diselesaikan ketika kita beranjak dewasa. Kita harus menyelesaikan tugas ini, mengurai satu per satu permasalahan bangsa yang sangat komplek, bukan meminta orang tua kita yang mengerjakan PR tersebut. Tentunya kita tidak mau dianggap masih seperti anak TK.

Gus Dur kini telah pergi, tak bisa lagi membuat kekacauan di antara kita, di tengah ancaman letusan akumulasi persoalan bangsa yang kian sarat, 2014 ini menjadi ujian berat bagi kita, ujian kedewasaan bangsa ini.

Wallahua’lambishawwab.

Selasa, 24 Juni 2014

Berbuka Lebih Sehat, Hikmah di Balik Sunah

 “Akan lebih terasa enak bagi tubuh, jika berbuka puasa jangan langsung makan banyak.” Begitulah yang saya dengar dari suatu ceramah Ramadhan beberapa tahun lalu.

Ketika tiba waktu berbuka, banyak dari kita yang melakukan aksi “balas dendam”. Di samping seharian sudah menahan lapar, berbagai hidangan istimewa biasanya siap tersaji, sudah menjadi kebiasaan di bulan puasa. Begitu tiba waktu start, maunya langsung tancap gas dan ngebut.

Untuk mesin saja, misalnya motor tua, setelah lama tak dipakai, tidak baik langsung dibuat kebut-kebutan. Sebaiknya, mesin dipanasi dulu. Begitu juga lambung. Setelah lama istirahat, sebaiknya tidak langsung dihantam dengan makanan banyak dan berat. Tidak baik bagi pencernaan. Sehingga perlu beradaptasi dulu.

Rasulullah mengawali berbuka dengan hanya beberapa butir kurma atau meminum air. “Adalah Rasulullah berbuka dengan Ruthab (kurma basah) sebelum shalat. Jika tidak terdapat Ruthab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering). Maka, jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Mengapa kurma? Yang bukan orang Arab bisa protes. Mengapa bukan kolak?

Kurma mudah dicerna dan memulihkan pasokan energi bagi tubuh. Kalau kolak, kandungan lemak di dalam santan akan sulit dicerna. Sehingga dari sisi kesehatan, mengawali berbuka dengan kolak sangat tidak dianjurkan. Keunggulan lain, kurma adalah karbohidrat kompleks, berbeda dengan makanan manis pada umumnya. Berbuka dengan kurma tidak menyebabkan kadar gula darah melonjak naik.

Masih banyak keunggulan lain kurma dari sisi kandungan nutrisi yang dikandungnya. Memang sulit untuk menemukan makanan pengganti yang sama baiknya dengan kurma. Yogurt  dan buah tertentu yang mudah dicerna dan memiliki karakter hangat bisa menjadi alternatif pengganti.

Dengan mengikuti sunah Rasul dalam berbuka, memilih makanan pembuka yang tepat dan tidak langsung makan banyak, banyak hal positif yang bisa kita dapatkan. Puasa tidak membuat kita menunda shalat Maghrib, badan akan terasa lebih enak, sekaligus lebih menumbuhkan rasa kesabaran, pengendalian diri dan keikhlasan.

Tidak langsung disibukkan dengan makan, membawa kebaikan bagi ruh, jiwa, maupun jasad kita. Malam lebih ringan untuk beribadah, siangnya lebih nyaman untuk beraktifitas.

Di balik sunah Rasulullah yang kelihatannya sederhana, ternyata ada hikmah yang luar biasa. Sebaliknya, banyak hal yang sudah menjadi kebiasaan kita manusia modern, ternyata di kemudian hari diketahui ketidakbaikannya. Banyak hikmah yang tersembunyi dari sunah-sunah Rasul. Banyak diantaranya yang belum kita ketahui, bahkan terkadang seolah-olah bertentangan dengan logika, keinginan dan hawa nafsu.

Senin, 23 Juni 2014

PKS dan PDIP, Tetap Semangat, Tapi Jangan Over!

Adakalanya kita berhadap-hadapan, sering terjadi kesalahpahaman antara kita, tetapi adakalanya kita saling membutuhkan. Kita sering berbeda persepsi, tapi kita juga telah banyak berkolaborasi dan bekerja sama. Adakalanya kita berebut, adakalanya pula kita mesti berbagi. Begitulah kita, dengan kekurangan dan kelebihan kita masing-masing.

Semangat PDIP, semangat PKS. Semangat dan militansi kedua partai ini melebihi partai-partai yang lain. Jika pada umumnya mesin partai hanya bergerak kalau ada uang, kedua partai ini berbeda, ada motivasi ideologis, memiliki lebih banyak kader militan yang bisa diajak kerja bakti.

Pantas saja kader-kader PKS menjadi lokomotif koalisi Prabowo-Hatta, padahal Capres yang diusung bukan berasal dari kader PKS. Kalau PDIP wajar saja kalau bermain all out, karena calon yang diusung memang berasal dari kadernya sendiri.

Jika kedua partai itu berhadap-hadapan head to head, pertarungan pasti lebih seru dan menegangkan. Sampai-sampai timbul kekhawatiran jika ketegangan ini akan diikuti ekses negatif, terjadi huru-hara dan kerusuhan misalnya.

Ketegangan Pilpres kali ini memang agak mengkhawatirkan. Mungkin kita perlu introspeksi sejenak. Jangan sampai kepentingan bangsa yang besar dipertaruhkan untuk sebuah proses politik sesaat.

Terjadi gesekan dalam sebuah kompetisi adalah sesuatu yang lumrah. Sikapi dengan kepala dingin. Jika ada ketidaksempurnaan prosesnya, sudah biasa terjadi. Jangan juga menjadi kambing hitam. Saling menyalahkan bukan solusi.

Cairkan ketegangan, jangan terlalu larut, terhanyut dan bisa tenggelam. Ada saat harus serius, perlu juga sesekali untuk rehat sejenak.

Mengakomodasi kepentingan, berbagi partisipasi, untuk sebuah bangsa yang besar dan majemuk. Agar besarnya energi potensial yang dimiliki PKS dan PDI-P, tidak terkuras habis untuk sebuah proses politik semata, tetapi berguna menjadi solusi persoalan bangsa ini.

Tak lupa, agar seluruh rakyat Indonesia berpartisipasi menjadi wasit yang baik bagi kami.

Permainan Berbahaya Menjadi Permainan Menyenangkan

Mengingatkan kembali pesan yang sering disampaikan Presiden PKS Anis Matta ini, sepertinya cukup relevan untuk meredakan situasi yang sudah agak tegang.

“Berpolitik zaman sekarang terlihat menakutkan, karena yang banyak dipertontonkan adalah politik kotor, kejam, hitam, horor dan sikut sana-sini. Horor, ibarat menonton film horor, sudah mengeluarkan uang mahal, menonton tidak tenang karena takut ataupun was-was dengan konten yang disuguhkan. Setelah film selesai bisa jadi tidak mendapatkan apa-apa, malah teringat adegan yang menakutkan dan menjadi trauma. Uang pun hilang dengan percuma. Tak heran jika politik sekarang menjadi permainannya orang dewasa yang tidak mendidik dan menakutkan. Akibatnya, pemuda sekarang pun banyak yang tabu dan takut dengan dunia politik, bahkan mendengarnya saja pun mereka risih.”

“Mari kita buat politik itu menjadi permainan orang dewasa yang lucu dan mendidik. Sehingga semua orang berpartisipasi untuk kebaikan. Mari kita buat politik itu seperti kita minum minuman berkarbonasi atau bersoda, enak dan berkelas tapi tidak memabukkan. Mari kita buat politik itu seperti pemilihan ketua OSIS saat SMP atau SMA, ada persaingan tapi tidak menakutkan dan tidak berbahaya.”

“Salah satu kanal untuk memperbaiki Indonesia adalah dengan politik. Mari ubah persepsi, merubah politik kotor menjadi politik bersih. Mari ubah persepsi, merubah politik horor menjadi film laga atau drama cinta. Mari ubah persepsi, mengubah politik hitam menjadi politik putih. Mari ubah persepsi, berpolitik dengan cinta yang sesungguhnya, memperbaiki Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.”

Tetap konsisten dengan cinta, kerja dan harmoni!

Minggu, 22 Juni 2014

Jangan Membuat Jokowi Terlalu Marah Ya...

Tentu kita sering mengeluh, tapi cobalah sudi mendengarkan keluhan orang lain. Apa yang dikeluhkan pengamat politik Arbi Sanit tentang Pilpres ini barangkali perlu kita cerna dengan bijak, “Sudah brutal. Baik yang dilakukan calon maupun timnya. Ini sudah sangat kalap, sudah main kayu ibaratnya.”

Pilpres ini beda, terasa panas dan tegang. Kompetisi melaju tanpa terkendali, memasuki rute yang membahayakan, tanpa memerhatikan lagi rambu-rambu kelayakan dan keselamatannya, sedang bangsa ini kian terhuyung-huyung. Sebelum benar-benar terjadi ‘boom’, cobalah berpikir untuk cooling down, melepaskan ego, memformat ulang langkah, berkolaborasi dalam suatu harmoni, bersama berayun menuju pintu gerbang tujuan, berkompetisi secara fair.

Negeri ini seperti di ambang chaos. Banyak yang sudah pasang kuda-kuda, main ancam, pokoknya tidak siap kalah, titik. Saling melepaskan kartu As, heboh foto Wimar Witoelar, transkrip percakapan Kejagung, tabloid obor, buku pink dan banyak lagi yang menjadi indikasi ke arah itu. Tak peduli harus membuat gol bunuh diri, yang penting penonton turun ke lapangan mengamuk.

Kita pernah merasakan sakitnya terfitnah, menjadi bulan-bulanan media tanpa mau tahu duduk persoalannya atau tertimpa black campaign, maka jangan melakukan tindakan seperti itu pada lawan kita. Kita marah jika lawan berbuat zhalim kepada kita, tapi mungkin juga kita atau teman kita pernah berbuat khilaf serupa pada lawan. Kita muak terhadap media yang berpihak pada lawan, sebaliknya lawan juga muak kepada media yang berpihak kepada kita.

Saat emosi dan kemarahan ingin ditumpahkan pada lawan, cobalah untuk bersikap lebih bijak, tidak mudah terpancing, barangkali tindakan mereka adalah ketidaksengajaan, miskomunikasi, atau bahkan ada pihak ketiga yang bermain, decoy operation, mengadu domba.

Saat-saat kita berhadapan secara frontal, saling ingin menjatuhkan dan menghancurkan, ingatlah kalau suatu saat mungkin kita akan saling membutuhkan, harus berpadu menghadapi suatu tantangan bersama, dan perseteruan ini kita sesali.

Bagi yang kalah, anggap saja sebagai kemenangan yang tertunda, masih ada kesempatan untuk meneruskan perjuangan, toh di setiap kompetisi biasa ada yang menang dan kalah.

Daripada kita hancur semua, kalah semua, lebih baik kita berbagi kememangan, agar menjadi kemenangan kita bersama.

Maka, jangan membuat (pendukung) Jokowi terlalu marah, agar apapun yang terjadi mereka tetap mengatakan, “Aku ra popo.” Juga sebaliknya, tentunya sebagai pesan untuk kedua belah pihak.

Hadapi kompetisi ini dengan maksimal, tapi tetap dewasa dan fair. Bersikap adil terhadap kawan dan lawan. Pilih yang terbaik. Menang secara sportif, kalah dengan terhormat.

Bravo sportifitas!

Menjual Agama, Politisasi Kebhinekaan

Seringkali Islam diposisikan sebagai antitesis kebhinekaan. Namun faktanya, di berbagai belahan dunia banyak umat Islam kesulitan menjalankan ibadah yang menjadi keyakinannya, mendapatkan hambatan terkait jilbab, shalat, puasa, mengakses produk halal, dan sebagainya.

Pada banyak aspek, umat Islam terpaksa harus menerima kondisi sebagai minoritas, tahu diri untuk tak menuntut hak-haknya secara penuh. Tapi pada sisi lain umat Islam juga dituntut melepaskan hak-haknya sebagai mayoritas atas nama kebhinekaan.

Islam telah memelopori sejak awal sebuah konsep, ‘Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).’ Artinya seseorang menjadi muslim bukan karena suatu keotomatisan, tetapi karena kesadaran dan pilihannya. Ini menjadi jalan tengah untuk menempatkan absolutisme dan relatifisme dalam posisinya yang tepat. Keyakinan atas kebenaran Islam membuatnya siap untuk berkompetisi.

Bukan toleransi semu dan bukan konsep toleransi yang tanpa arah, dalam arti bukan pemaksaan sepenuhnya dan bukan pembiaran sepenuhnya. Agar terbangun sebuah proses yang edukatif, semua memiliki akses secara terbuka untuk menentukan sebuah pilihan, yang akan dipertanggungjawabkan masing-masing kepada Tuhan Sang Pencipta.

Seorang muslim meyakini Islam akan membawa kebaikan dan keselamatan, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dari sini, seorang pemeluk agama yang baik semestinya memberikan kontribusi bagi agamanya, mewujudkan nilai-nilai agamanya dalam kehidupan. Namun di sisi lain, ada umat lain yang memiliki klaim kebenaran yang serupa, menurut keyakinan mereka, memposisikan muslim adalah domba-domba tersesat yang perlu diselamatkan. Atau dari sudut pandang atheisme, penganut berbagai agama dipersepsikan sama, sebagai komunitas yang tertipu suatu ilusi tentang Tuhan.

Keyakinan muslim bahwa Islam satu-satunya jalan menuju keselamatan, diikuti tanggungjawab untuk mengupayakan situasi yang kondusif untuk tumbuhnya agama ini, sekaligus tanggungjawab menawarkan Islam kepada mereka yang belum memeluknya. Sebaliknya juga berbuah konsekwensi jika umat lain berbuat serupa kepada kita. Idealnya kemudian terjadi kompetisi secara fair, bukan relasi yang saling curiga dan timpang.

Kenyataannya kemudian, konsep pluralisme lebih banyak menuntut,  ia hengkang ketika seorang muslim kesulitan mendapatkan hak-hak untuk menjalankan keyakinannya secara pribadi. Apalagi ketika seorang muslim menginginkan kondisi lingkungan yang kondusif untuk menjalankan keyakinannya, misalnya ingin mendapatkan perlindungan diri dari pornografi, konsep pluralisme tidak mampu memberi solusi atas nama kebebasan yang diusungnya.

Atas nama kebhinekaan, terus bergulir wacana penghapusan identitas agama di KTP, menghapus pendidikan agama di sekolah, menghapus regulasi-regulasi yang berkaitan dengan agama, wacana menjauhkan agama dari publik, wacana yang menempatkan agama sebagai hama bagi kehidupan masyarakat.

Sebenarnya untuk apa sebuah negara didirikan kalau bukan untuk memfasilitasi kepentingan rakyatnya. Lantas hanya karena terkait agama, negara harus absen pada banyak kepentingan publik pemeluk agama. Negara tidak boleh memfasilitasi regulasi zakat, ekonomi syariah dan jaminan produk halal, karena terkait suatu agama.

Dari argumentasi agar umat Islam melaksanakan ibadah karena Allah bukan karena Perda atau Bupati, muncul wacana melarang perda yang dianggap berbau syariat. Seorang muslim meyakini Islam membawa kebaikan bagi kehidupan, jika regulasi tentang miras, pornografi dan semacamnya harus di-cut hanya karena terkait agama tertentu, dampak buruknya seperti free sex, kriminalitas dan berbagai penyakit masyarakat, akan kembali kepada bangsa secara keseluruhan.

Mempertanyakan konsistensi para pengusung sekularisme dan depolitisasi agama, untuk tidak menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih dukungan, tidak memakai simbol-simbol agama atau memublikasikan keshalihan untuk mendapatkan suara dalam pemilihan.


Selasa, 17 Juni 2014

Ramadhan Sebagai Riyadhah Menghadapi Tantangan Dakwah

Dakwah ini dan tantangan yang mesti dihadapi, seringkali beratnya di luar kemampuan kita. Silih berganti terus menimpa, bahkan tanpa sempat kita mengerti. Tak sepantasnya jika kita mengandalkan kekuatan diri semata.

Dari suatu tatsqif menyambut Ramadhan, saya mendapatkan sebuah pesan untuk menjadikan momen Ramadhan ini sebagai upaya melatih diri (riyadhah), apalagi di saat umat dan upaya dakwah ini sedang dalam kondisi yang berat, tantangan yang dihadapinya sungguh luar biasa.

Dakwah ini, semestinya tidak mengandalkan usaha lahir saja. Tak hanya mengajak dan mencegah, menyampaikan nasehat kepada orang-orang atau menggalang kekuatan semata. Semestinya usaha tersebut dilakukan tanpa mengesampingkan upaya mendekatkan diri kepada-Nya, agar menjadi sarana untuk meraih pertolongan-Nya, menutup kelemahan dan kekurangan yang masih kita miliki.

Cita tentang perbaikan umat, semestinya dibarengi upaya meningkatkan keshalihan diri. Seringkali kita mengusung dakwah kepada manusia, sedang diri kita banyak melalaikannya.

Di bulan yang penuh rahmat, rasanya kita dimudahkan melakukan jamaah, shalat malam, puasa, tilawah, sedekah dan berbagai amal ibadah yang lain. Namun persoalannya adalah agar bagaimana tetap bisa istiqomah di bulan-bulan selanjutnya, menjaga kontinyuitas atas latihan yang telah dilakukan dalam satu bulan tersebut. Menjaga kebiasaan-kebiasaan baik tersebut agar tetap terjaga seusai Ramadhan.

Agar semua itu menjadi riyadhah kita, mendekatkan diri kita kepada-Nya. Menjadi bekal menapaki jalan dakwah ini, agar dikuatkan menghadapi berbagai tantangan yang menghadang.

Dakwah ini, kemudahan dan kesulitannya, kegagalan dan keberhasilannya, tentunya tak begitu saja diberikan oleh Sang Pemilik. Kelalaian kita, kekurangan kita, membuat anugerah itu memang belum layak diberikan, kita memang belum pantas menyandang predikat mulia tersebut.

Namun tantangan yang menghadang juga tak selayaknya membuat kita berkecil hati. Dakwah ini bukan untuk kepentingan pribadi atau duniawi semata, sehingga selayaknya kita menggembalikan semua persoalan kepada-Nya. Kita meyakini semuanya adalah di bawah kehendak dan ketetapan dan kekuasaan-Nya, dan kita hanya berupaya.

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 63)

Kelemahan ini, semestinya menumbuhkan kerendahan hati dan kepasrahan kepada-Nya. Kesulitan ini, semestinya menumbuhkan kebersamaan. Agar dimudahkan dalam memperbaiki diri  dan menuntun kebaikan bagi umat. Sebuah cita untuk merengkuh kebersamaan dalam naungan-Nya.


Anak Tukang Becak, Anak Bebek, Ketidaksempurnaan Dunia

Bukan sembarang prestasi, terlahir dari keterbatasan. Lulusan terbaik sebuah universitas itu adalah anak tukang becak. Ada lagi, lulusan terbaik universitas ternama diraih seorang anak buruh tani.

Anak-anak bebek, terlahir dalam ketidaksempurnaan, berpayah menggeliat dalam kesendirian. Namun senantiasa tetap terlahir orang-orang terpilih, yang menyiasati keterbatasan, menerobos penghalang, menembus ketidakmungkinan, merajut bilah-bilah kekurangan agar terbentuk menjadi sesuatu yang terbaik.

Dunia tak selalu menghamparkan kesempurnaan. Menorehkan prestasi dari keterbatasan menjadi lebih bernilai, melampaui yang dicapai mereka yang berkecukupan, berlimpah dengan berbagai fasilitas.

Memukau khalayak, takjub, menjadi ibrah, menumbuhkan motivasi dan tekad pada mereka. Mengajarkan mereka untuk bersyukur, berbagi, dan berbuat kebajikan. Dan semua itu menjadi tambahan kebaikan baginya.

***

Dunia tak selalu menyempurnakan pembalasannya. Tak semua kisah berkesan itu menjadi cerita. Tak dikenal dalam senyap, luput dalam pandangan manusia, terseok-seok, terhina, namun ia tetap mulia, tak berkurang sedikit pun nilainya. Masih harus ditempa dengan berbagai ujian kesabaran, agar lebih indah. Tak apa, menjadi simpanan untuk hari nanti, untuk kebahagiaan yang lebih sempurna.

Dunia tak selalu menyempurnakan  pengabarannya. Tak semua yang terlahir berkesan itu sejati. Ketika pengabaran dunia dicuri oleh kepalsuan. Gegap gempita, memukau pandangan manusia, padahal ia hanyalah polesan tipis. Apa yang tersembunyi berbeda dengan yang tampak, sebaik-baik pujian belum tentu sebaik-baik amal. Pencitraan semu, antara kepalsuan dan pura-pura. Mengemas sebuah kepalsuan, memperdaya, mengelabuhi pandangan manusia, memanipulasi empati mereka.

Ketika ketulusan belum mendapatkan tempat, ketika keadilan masih dinanti, masa dimana orang-orang lemah harus terseok-seok, terinjak-injak dalam kerumunan. Masih harus menyempurnakan kesabarannya, berhias dengan keluh kesah. Namun keadilan itu tetap akan terwujud, dan pasti akan terwujud, entah suatu saat nanti. Kebajikan sejati, pada saatnya akan menerjang, tak ada seorang pun mampu menahan lajunya.

***

Hanya sedikit dari biji yang tercipta, yang bisa bersemi dan tumbuh. Dari karunia-Nya yang tak terhingga, hanya sedikit yang berbuah menjadi amal. Begitu sering kesempatan yang terlewat, begitu banyak potensi yang tersia-siakan. Di antara cita dan kesempatan, antara upaya dan takdir pada seorang hamba, membuka sebuah jalan, melewati berbagai ujian yang menghadang.

Kekurangan memperindah kesabaran, ketidaksempurnaan menyempurnakan pengabdian, kelemahan menghias pengharapan, berbuat dalam keterbatasan. Tanpa menunggu berakhirnya ketimpangan dunia.


Rabu, 11 Juni 2014

Saudaraku, Tak Memilih itu Memang Hak, Tapi...

Bukan tentang Umar umat ini, tetapi tentang Habasyah umat ini, yang menyediakan emperan untuk berteduh saat-saat umat ini teraniaya, terlunta-lunta, terhimpit kezhaliman. Bukan tentang Firaun umat ini, tetapi tentang mereka yang memberi kelonggaran, berbaik hati untuk dakwah ini, serta menjadi penopangnya, meski mereka sendiri belum sempurna dalam menerima seruannya.

Bukan tentang tegaknya panji Islam di puncak kesempurnaan, tapi sekedar batu pijakan kecil, untuk menopang ayunan yang tertatih, sedikit langkah memang tak seberapa, tapi berharga, menghindari runtuhan fatal yang hampir menimpa, agar berkesempatan melanjutkan perjalanan yang mungkin masih jauh.

Saudaraku, aku menghargai jika engkau kukuh pada sebuah prinsip. Perbedaan persepsi yang membuat kita seringkali saling membelakangi, saling menafikkan, di antara ego kita, padahal ia terlahir dari sebuah cita yang sama tentang Islam ini. Apakah tantangan berat ini harus mengorbankan prinsip? Tetapi apakah beratnya tantangan itu masih tak membuat kita saling mengerti? Mengorbankan idealismemu, tapi demi umat ini, meski tak sesederhana itu.

Saudaraku, aku mengerti dan merasakan kerisauanmu jika harus mengorbankan prinsip, meski sekedar untuk meminimalisir mudharat, atau demi mencegah mudharat yang lebih besar, sedikit mewarnai, mendulang manfaat sekecil apapun, di antara idealisme dan realitas, ketika dihadapkan pada pilihan dilematis, yang terburuk di antara yang buruk.

Namun saudaraku, apakah prinsip itu harus menutup segalanya, mendudukkan Firaun umat ini di tempat yang sama persis dengan Najasyi umat ini, menempatkan Romawi umat ini sama persis dengan Persia umat ini, menempatkan Abu Thalib umat ini di tempat yang sama dengan Abu Jahal umat ini, hitam putih, tanpa ada timbangan sama sekali?

Pernahkah terbersit olehmu, apakah dengan dengan sikapmu yang kukuh, engkau bisa nyaman mengambil sikap di antara kegembiraan atas kemenangan bangsa Romawi, atau larut dalam kesedihan atas kekalahan mereka, sedang generasi paling ideal dari umat ini pun mengalaminya, dalam kondisi serba keterbatasan yang mereka alami waktu itu?

“Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (QS. Ar Rum: 2-5)

Tak seburuk Romawi, tak sejauh Habasyah, hanya mungkin karena kurang mendapatkan sentuhan dakwah ini, di antara proses dakwah yang belum selesai, di antara tahapan-tahapannya yang belum sempurna.

Berhadapan dengan realitas dan keterbatasan, umat ini membutuhkan solusi jangka pendek yang segera, tanpa bermaksud menafikkan upaya mewujudkan kondisi ideal. Ada hal-hal baik yang bisa diambil umat ini sekecil apapun, untuk menuju sebuah cita yang masih panjang. Ketika umat berada dalam posisi krusial, sedikit partisipasimu mungkin akan menentukan, namun apakah engkau tetap tak bergeming?

Kekhawatiranmu terjatuh bersama kami, dan kekhawatiran kami bila keteguhanmu justru menguntungkan rival dakwah kita, sikapmu justru memberi jalan yang lebih mudah kepada mereka. Mengetuk kepedulianmu agar engkau memberi sedikit partisipasi, untuk menyambung sebuah harapan yang lebih baik bagi umat ini.

Atau apakah engkau malah gembira ketika  umat ini terjatuh, hanya karena terjatuh dalam ketidak sempurnaannya, menyaksikannya kejatuhannya tanpa berbuat sesuatu, hanya karena mereka tak memenuhi suatu kesempurnaan?

Saudaraku, tak memilih itu memang hakmu, tapi aku harap engkau mengerti juga tentang kewajiban dan tanggung jawabmu terhadap umat ini...


Laba-Laba Merah

Menjalani hidup di antara laba-laba kehidupan, aral itu tak selamanya kukuh membentang, adakalanya ia samar tak tampak. Terlena, terpedaya hilang kewaspadaan. Terkecoh, terpikat dalam jeratan.

***

Rasanya seperti tak biasa, banyak sekali bergelantungan di antara dahan-dahan. Dari dulu biasanya memang ada satu dua laba-laba besar di kebun belakang rumah, tapi warnanya hitam. Mulanya hanya seekor, tumben kali ini ada yang berwarna merah. Mungkin musimnya sedang mendukung, kemudian menjadi banyak sekali laba-laba merah itu.

Serangga-serangga yang berterbangan kian kemari, tak lagi bisa leluasa, terjerat dan menjadi santapan. Jangan berharap untuk hinggap istirahat pada sarangnya. Berhadapan dengan tantangan hidup yang kian sulit.

***

Melewati satu ujian berhadapan dengan ujian lain. Tegar melewati berbagai badai, terlena oleh angin sepoi-sepoi, terjatuh dalam kelengahan. Gertakan tak mampu menghentikan laju, terhenti oleh sapaan manis dan senyuman. Kukuh dalam kesulitan, tapi terkecoh oleh keindahan.

Belantara laba-laba, jalan seperti luas terhampar, seperti tak ada apa-apa. Lincah kesana-kemari, menikmati, sedang bahaya mengintai, bersiap menangkap mangsa. Saat-saat aral memperdaya, menghampiri tanpa disadari. Terjebak dalam permainan, menjadi korban pencitraan.

Betapa pun ia indah dipoles, disembunyikan dalam samar, aral tetaplah aral. Ia bisa berubah rupa, menjadi bentuk yang lain, mengecoh, membuat terlena dan memperdaya. Jebakan itu mesti dibuat indah dan menarik, memikat untuk dihampiri. Menyapa dengan ramah, tapi menggigit dengan tajam. Indah tapi berbahaya, tenang tapi menghanyutkan.

Tak hanya memandang apa yang tampak, tetapi kewaspadaan tentang apa yang berada di baliknya. Tak hanya apa yang diperlihatkan, tetapi apa yang disembunyikan. Tak tampak, tapi mengawasi. Terasa mudah, padahal tak dimengerti. Terasa manis, tetapi umpan.

Sebenar kewaspadaan, agar perjalanan tak terhenti sia-sia. Sebenar pengharapan, agar perjalanan terjaga, berlanjut hingga muara akhir kemenangan.

Karena Jokowi itu Terlalu Baik, Maka Saya Ragu

Dari seorang teman di Facebook, mungkin selama ini sedikit-sedikit kita sudah merasakannya sendiri, keganjilan-keganjilan dalam kehidupan ini. Tak sepele, menyangkut persoalan kita-kita seluruh bangsa.
Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis Islam Bersatu yang tahu peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua orang media sudah tahu, dia dipersiapkan oleh media untuk jadi presiden, soft campaign, sejak di Solo, hanya orang lugu saja yang tidak tahu. Makanya ketika Pemilukada Jakarta kita tidak pilih, karena kita yakin usia jabatannya tidak akan sampai 5 tahun.”
“Kok tahu?”
“Ya iyalah, kita sudah tahu planning tim sukses di balik layarnya.”
“Setiap yang ditampilkan di TV itu ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit tahu cara olahannya di dapur, yang banyak memakai bahan pemanis, pewarna buatan yang berlebihan, makanya kita nggak makan.”
Rasanya beda enak banget, eh jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan ya tidak cepat basi, jangan-jangan pakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam, mungkin pakai pewarna tekstil.
Kalau beli sayur jangan memilih yang terlalu bagus, mungkin pakai pestisida dan pupuk kimia berlebihan, pilih saja yang agak kena ulat.
Terlalu murah, jangan-jangan curian, atau jangan-jangan imitasi. Terlalu menggiurkan, jangan-jangan terjebak investasi bodong.
Baru masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main, mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat, sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya yang diblowup besar-besaran?
Jangan remehkan keganjilan meski tak seberapa, bisa jadi ada sesuatu yang besar dibaliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya, ada yang tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya.
Tak mesti curiga, tapi waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar bukan rekayasa. Daripada hebat, tapi akting.
Kita hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita bisa terkecoh, kita bisa saja salah dalam menganalisa, bisa keliru dalam mengambil keputusan. Tetapi kita punya hati, agar menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja, cermati proses di dapurnya. Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka.
Meski bukan yang terbaik, tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Berpikir ulang akan risiko. Karena Jokowi itu terlalu baik, membuat saya ragu memilih produk tersebut. (dakwatuna)

Jumat, 06 Juni 2014

Futur di Bawah Futur

“Mereka yang menjadi KPPS atau saksi, banyak meninggalkan jamaah. Sudah menunda-nunda waktunya, shalatnya pasti terburu-buru. Pasti juga banyak melalaikan tilawah dan zikirnya.”

Semestinya kita lebih merasakannya, sebelum kritik itu datang, karena kita sendiri mengalaminya. Atau mungkin perih itu malah sudah tak terasa lagi, ruh ini telah lumpuh, terlalu banyak luka yang tergores.

Jujur dengan sesungguhnya, sebagian besar dari kita menjalani semua ini bukan berorientasi pada materi dan kekuasaan. Jika di antara kita ada yang memiliki niat berbeda, itu persoalan lain. Menjalani kepayahan ini bukan untuk tujuan dunia. Tetapi kian hari makin banyak yang tersita oleh hiruk pikuk aktifitas politik ini, memporak-porandakan amal-amal kita. Bukan hanya ibadah kita yang berantakan, makin banyak rambu-rambu syar’i yang (terpaksa) diabaikan, makin terbiasa melangkah di wilayah abu-abu.

Mungkinkah kita salah jalan? Mungkin lebih baik diri ini pergi. Meninggalkan jalan sulit yang harus berpayah-payah menyusurinya. Melepaskan kesulitan ini untuk mengejar kesalihan pribadi. Uzlah, sepertinya lebih mudah untuk ditempuh. Tak perlu lagi direpotkan mereka, tak usah pedulikan mereka. Agar dapat mengkonsentrasikan diri dengan ibadah sepuasnya, tanpa banyak terganggu, menikmati kesendirian bersama-Nya.

Sulit untuk menepis kekhawatiran jika diri ini akan terjerumus bersama mereka. Tetapi sama besarnya atas kekhawatiran jika urusan umat ini diserahkan kepada mereka yang tak berakhlak, tak memiliki  komitmen terhadap dakwah ini. Jika orang baik-baik tak sudi menempuh kotornya jalan ini, hanyalah mereka yang bermental makelar dan para preman yang mau menempuhnya, leluasa menentukan kebijakan publik. Berharap sedikit saja mewarnainya dengan sentuhan dakwah.

Teguh bertahan di jalan ini betapapun sulitnya, di antara hingar bingar godaan yang menghujam, meski dari keteguhan ini, banyak hal dari kami yang luluh lantak. Tetapi untuk membiarkan umat ini dalam kepayahan, meninggalkan mereka tertatih-tatih, rasanya terlalu berat meski juga dibayangi kekhawatiran jika diri ini akan terjerumus bersama mereka. Cinta kami kepada umat ini, berbuah keinginan untuk mengayomi dan menuntun mereka, meski kami sendiri juga tertatih. Keinginan menolong mereka, memaksa kami rela menjalaninya.

Dan harus menjalaninya. Agama ini hidup dari dakwah dan perjuangan. Jangan harap untuk bersenang-senang dan menikmatinya sendiri, tantangan itu tak kan membiarkan begitu saja. Regenerasi agar ia tetap kokoh terjaga, dan terus bisa dinikmati. Mungkin kita sanggup menjalani agama ini meski harus memakan akar-akar pohon, tetapi terpikir juga mereka yang masih butuh untuk dituntun dan dipapah.

Rasulullah dan para sahabat pernah bangun kesiangan dan kehabisan waktu shalatnya ketika ditimpa kepayahan dalam perang. Tetapi hiruk pikuk politik ini sungguh berbeda, jika ia terus menjadi justifikasi atas kemalasan demi kemalasan ini, mungkin akan menghanyutkan keteguhan ini dari sisi yang lain, tanpa terasa. Bentuk lain dari futur, bukan karena pergi dari jalan ini, tetapi karena bertahan teguh di atasnya. Harus melewati satu tantangan menuju tantangan berikutnya, tergerus di jalan perjuangan.

Malu untuk berharap mendulang izzah dari kubangan kehinaan, tetapi di balik ketidakberdayaan ini ada niat mulia yang terselip, sungguh ia tetap suci. Menjaga iman dalam suasana tidak kondusif. Agar Dia memberi pertolongan, tetapi agar kita juga berusaha. (pksnongsa/dakwatuna)

Hilangnya Sebuah Peluang, Dunia yang Cair


Menghadapi dunia politik itu tak seperti menghadapi fenomena alam. Antisipasi yang diperlukan berbeda. Bukan menunggu tapi memulai. Bukan mengantisipasi tapi mendesain permainan. Ketepatan memprediksi sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.

Pelajaran berharga itu didapat di tempat kami ketika kehilangan sebuah kursi. Pada Pemilu 2009, persaingan ketat terjadi pada tingkat DPRD Kabupaten, persaingan untuk mendapatkan kursi DPR RI agak longgar. Dalam lingkup wilayah yang sempit, politik uang yang terjadi luar biasa, hilanglah kursi DPRD Kabupaten yang dimiliki sebelumnya.

Mempersiapkan Pemilu 2014, belajar dari Pemilu sebelumnya, energi lebih difokuskan tingkat Kabupaten. Ternyata arah angin berubah. Persaingan untuk memperebutkan kursi DPR pusat tak kalah habis-habisan. Meski kursi DPRD II didapat, kursi DPR RI yang justru hilang. Resiko dari ketidaksiapan mengantisipasi.

Dari sinilah sehingga secara umum perolehan kursi PKS untuk DPRD II mengalami peningkatan, tetapi kursi DPR RI mengalami penurunan. Berbeda dengan era sebelumnya, keberadaan UU Pemerintahan Desa membuat nilai prestisius DPRD II bergeser ke DPR Pusat.

Menjadi pembelajaran menghadapi Pilpres. Pada pilpres 2009 lalu, politik uang tidak banyak bicara, pencitraan lebih dominan. Pola seperti apa yang akan terjadi pada Pilpres 2014? Yang pasti tidak ada yang mau kalah. Jika diperhitungkan merasa akan kalah secara fair, mungkin akan menggunakan cara-cara curang.

Jika pencitraan tak lagi cukup, mungkin akan berpikir tentang politik uang atau apalah. Apakah kita sudah siap mengantisipasinya? Mendokumentasikan dengan baik atau bersiaga pada saat-saat krusial. Yang pasti membutuhkan kewaspadaan ekstra.

Apa yang imposible, justru dipandang pihak lain sebagai peluang. Merasa berada pada aman atau memiliki peluang besar, seringkali menimbulkan kelengahan. (pksnongsa)

Minggu, 01 Juni 2014

Ketulusan Amin Rais pada Gus Dur dan Cinta Buta Muhammadiyah

Lebih mudah mengingat kesalahan seseorang daripada kebaikan yang ia perbuat. Dikhianati seorang sahabat sebenarnya tak lebih perih daripada mengkhianatinya, tetapi ia lebih mudah dirasakan. Kerinduan akan kepaduan terhalang oleh tebalnya ego dan ambisi. Tujuan itu sebenarnya sama, tetapi persepsi yang terbentuk seringkali bertolak belakang.

Bulan madu NU dan Muhammadiyah itu teramat singkat. Pasca terpilihnya Presiden Gus Dur, pengajian bersama NU-Muhammadiyah diadakan di berbagai tempat. Berharap sebagai obat untuk menyembuhkan luka yang telah sekian lama tergores, panas dingin hubungan antara NU dan Muhammadiyah. Momen untuk merajut sebuah kepaduan itu lagi-lagi harus sirna.

Jika seorang Amin Rais ingin mengkhianati Gus Dur sejak awal, kesempatan itu sangat terbuka pada malam sebelum pemilihan presiden dilangsungkan. Semua tokoh yang berkumpul di rumah BJ Habibi sepakat mendaulatnya menjadi calon presiden untuk disandingkan dengan Megawati esoknya. Di antara kebimbangan yang amat, ia sudah terlanjur tulus kepada Gus Dur. Ketulusan yang sulit untuk tak disesali di kemudian hari, kesempatan yang tak datang lagi untuk kedua kalinya.

Dalam keterpurukan yang dialami PAN, Gus Dur begitu mudah meyakinkan Amin Rais untuk mendukungnya menjadi capres alternatif, menggalang kekuatan Poros Tengah, hingga mengantarkannya menuju kursi presiden. Pengorbanan yang tanpa prasangka, untuk dunia yang penuh tipu muslihat, antara menjadi pecundang atau dipecundangi. Bukan hanya persoalan suatu ketulusan yang dikhianati, tetapi sebuah kebodohan yang dipecundangi.

Begitu Gus Dur menjadi presiden, posisi-posisi Muhammadiyah dihabisi, Muhammadiyah tersingkir dengan mudah di Depag, terjadi NU-isasi di IAIN-IAIN. Kekecewaan yang ditimbulkannya teramat buta, baru saja ia berkorban terlalu besar untuk Gus Dur.

Sekian lama NU harus menerima diskriminasi. Menjadi Kepala KUA saja sulit, apalagi menjadi Kakandepag. Hingga di luar birokrasi, NU yang mayoritas harus menjadi warga kelas dua di PPP. Tak sepahit diskriminasi yang diterima NU, Muhammadiyah lebih mendapat angin. Muhammadiyah lebih banyak mendapatkan jatah kue pembangunan untuk menghidupi amal usahanya. Apalagi ketika Orde Baru menjadi ijo royo-royo.

Namun semuanya tenggelam pada euforia reformasi. Semua kebaikan Orde Baru seperti sirna tak berbekas. Di bawah kemudi Amin Rais, Muhammadiyah keluar dari zona nyaman sebagai anak emas kekuasaan. Memilih meninggalkan proteksi dan fasilitas daripada harus mengekor pada penguasa. Orde Baru jatuh, tapi Muhammadiyah juga jatuh.

Seorang Amin Rais tak menginginkan Muhammadiyah menjadi tiran bagi NU. Ia menginginkan demokratisasi yang sebenarnya,  semua bisa berkompetensi secara fair, memiliki kedudukan yang sejajar dan sederajat. Tetapi semua prasangka baiknya pada NU dan Gus Dur, tak menyembuhkan luka, apalagi memadamkan dendam.

Reformasi yang ia gulirkan membuat NU bangun dari keadaannya yang mati suri, menjadi kekuatan politik dan intelektual yang diperhitungkan, pemilik hegemoni sosial keagamaan di Indonesia. Marjinalisasi yang diterima NU selama Orde Baru memang sakit, tetapi ia membuat NU menjadi besar. Mungkin tanpa marjinalisasi model pemberangusan Ya Mualim, NU sudah menjadi komunitas borjuis, kaya raya, tetapi terpisah jauh dari akar rumputnya, lenyap dari belantika sosial keagamaan di Indonesia. Sedang pada pasca reformasi, Muhammadiyah harus menerima kenyataan berada di bawah NU.

Tersapih dari kekuasaan membuat Muhammadiyah mengerti arti kerja keras. Harus berpayah-payah menghidupi amal usahanya dengan keringat sendiri. Hingga ketika kekuasaan tak ramah pada Muhammadiyah, bantuan nyaris dihentikan, justru bermunculan gedung-gedung megah di universitas-universitas milik Muhammadiyah, lebih megah daripada gedung di kampus-kampus negeri. Sulit untuk dimengerti.

Jangan menyerah untuk mempersembahkan sebuah ketulusan. Meski pada langkah-langkah yang ditempuh itu berkubang kesalahan, tetapi berarti  telah ada yang diperbuat. Nilai yang didapatkan dari perbuatan seorang hamba dengan segala keterbatasannya. Dunia memang tak memberi tempat yang baik untuk sebuah ketulusan, tetapi akhirat senantiasa terbuka menerimanya. Meski bukan ketulusan buta yang diharap, ketulusan yang disertai cara pandang cerdas.

Ketulusan Amin Rais pada Gus Dur dan NU berbuah pahit bagi Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah tak sedikit pun kehilangan cinta yang tulus terhadapnya. Bahkan ketika ia kehilangan PAN yang didirikan dengan tangannya sendiri, warga Muhammadiyah tetap menerimanya dengan tangan terbuka dan senantiasa menantikan kehadirannya. Reformasi yang ia gulirkan memang mengorbankan Muhammadiyah, untuk sebuah ikhtiar menuju Indonesia yang lebih baik, meski hingga saat ini belum tercapai.


Baca Juga: