Senin, 25 Agustus 2014

Untuk Menanggalkan Jilbab ini Sebentar Saja

Perasaan itu datang setiap saat hendak berangkat ke tempat kerja, ada rasa yang menusuk di dalam dada. Berhadapan dengan sebuah dilema, menanggalkan jilbab ini meski dengan berat hati, atau kehilangan pekerjaan yang menjadi tumpuan hidup. “Memangnya kamu hidup di Arab, apa susahnya menyesuaikan diri dengan budaya kita. Pergi saja dari sini dan tinggal di Arab sana.”

Hanya pada saat bekerja saja jilbab ini harus dilepas, hanya sebentar, tetapi seolah-olah terasa sangat lama. Dan sepulang kerja, kami boleh mengenakannya kembali sesuka hati. Namun yang lebih membuat kami khawatir, jika generasi sesudah kami nantinya akan melepaskan jilbab tanpa ada lagi rasa canggung, terus dikondisikan untuk semakin tak mengenalnya, bahkan agar kelak mencampakkannya sama sekali.

***

Entah, apakah kemuliaan hari Jumat ini masih seperti dulu. Yang pasti kali ini kami menghampirinya dengan perasaan berbeda, ada ganjalan yang berat tertancap di dalam hati. Tentang sebuah peraturan yang harus kami taati, jilbab yang harus kami tanggalkan di hari ini, diganti dengan pakaian model abang none.

Kalau ingin pakai jilbab, sekolah saja di madrasah. Kalau di sekolah umum, ya harus mengikuti peraturan di sini.” Untuk menanggalkan jilbab ini sehari saja, kami sudah merasa sangat sakit. Namun yang lebih menusuk, bahkan kekhawatiran itu sulit untuk kami ungkapkan lagi, jika ini akan membuat adik-adik di belakang kami nantinya tak menyisakan waktu untuk memakai jilbab barang sehari saja, setidaknya mengganti dengan jilbab yang tak syar’i, jilbab gaul, jilboobs dan semacamnya sebelum jilbab itu benar-benar lenyap dalam kehidupan mereka.

***

Mimpi-mimpi buruk tentang kami, saudara-saudara kami, tentang kebebasan untuk menjalankan agama ini, yang suatu saat mungkin makin tak sebebas lagi bisa kami nikmati. Mimpi yang makin sering menghampiri, makin terasa dekat bersama kekhawatiran jika suatu saat benar-benar terwujud.

Ruang yang tersisa untuk kami bisa menjalankan agama ini makin sempit, makin dipinggirkan, dijauhkan dari urusan masyarakat, dibatasi pada urusan pribadi, sedikit demi sedikit banyak hal dari Islam yang dinihilkan, menuju upaya menghapus sama sekali Islam ini dari muka bumi.

***

Mereka mengajarkan kami tentang kebebasan berkeyakinan dan kebebasan hati nurani, tetapi mereka menanam ganjalan di hati kami. Menyangkut keyakinan kami, kebebasan itu kian dipersempit. Untuk kesekian kalinya kami harus merasakan ketidakadilan dan diskriminasi atas nama penyeragaman.

Mereka mengajarkan kami tentang toleransi, indahnya berdampingan dalam perbedaan, dan agar kami berlapang terhadapnya. Tetapi bagi kami, kepentingan kami, atas nama toleransi dan kebebasan itu seperti tak lagi bermakna.

Mereka mengajarkan kami tentang keragaman, menghargai suatu perbedaan, dan memelihara kearifan lokal. Tetapi menyangkut eksistensi kami, seperti tak tersisa tempat untuk berbeda.

***

Mengenang kata-kata manis tentang kehidupan yang bebas dari diskriminasi, berdampingan dengan indah dalam perbedaan, tapi mungkin benar bila semua ini tak realistis.

Kita memiliki harapan dengan sebenarnya, andai mereka merengkuh kebersamaan dengan kita dalam iman ini, yang kita yakini sepenuhnya merupakan kebenaran sesungguhnya, meski kita sadar jika kita tak bisa memaksa mereka. Jika tidak, hanya untuk sekedar mengharap agar mereka menerima keyakinan berbeda yang kita imani, menghargainya, bukannya menghadirkan mimpi-mimpi buruk.

Tatkala cita kita untuk menggapai kedamaian dalam agama ini harus terganggu oleh mimpi-mimpi buruk itu. Untuk menikmati kebahagiaan dalam Islam harus melewati rintangan dan aral yang menyakitkan. Menyadarkan kita tentang suatu hal dalam kehidupan ini, agama ini didapat tidak  dengan cuma-cuma dan tidak akan dibiarkan cuma-cuma.

Kita bisa mengenal agama Islam ini, leluasa menjalankan berbagai macam ibadah dalam kehidupan, menjalankan shalat, puasa, memakai jilbab dan sebagainya. Tapi kita harus mengerti bahwa semua itu tidak diperoleh begitu saja dengan mudah, melalui usaha dan perjuangan yang berat, dan suatu saat mungkin kebebasan itu bisa lenyap, hingga kita tak bisa lagi menjalankan agama ini dengan cuma-cuma.

Generasi pendahulu kita, sejak masa para nabi dan para penerusnya harus berhadapan dengan berbagai macam rintangan. Sampainya Islam kepada kita dibayar dengan penderitaan, kesabaran dan darah, melalui perjalanan panjang perjuangan bahkan peperangan.

Kita sebenarnya hanya ingin menjalankan ibadah ini dengan tenang, menikmati kedamaian dan keindahan dalam Islam. Namun sebelum semua itu terwujud, jalan ke arah itu harus terlebih dahulu melalui berbagai halangan yang menyakitkan dan rintangan-rintangan yang melelahkan, yang membutuhkan tekad, kesabaran dan pengorbanan. Berhadapan dengan kekuasaan yang zhalim yang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghalangi umat manusia dari jalan ini.

Mungkin kita suatu saat tak lagi leluasa bisa mengerjakan shalat, puasa, tak bisa lagi seenaknya memakai jilbab, mengaji atau mendirikan masjid. Agar mimpi buruk itu tak terjadi, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga, membangun kekuatan agar Islam ini kokoh, memiliki kekuatan menghadapi berbagai halangan yang menghadang, termasuk menggunakan kekuasaan.

“Pokoknya semata-mata hanya untuk Islam, tak usah mengaitkan dengan politik. Fokus beribadah saja, memperbanyak amal shalih, tak perlu ngurusi politik.” Dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka akan melakukan segala upaya untuk menghalangi kita dari jalan ini. Kita membutuhkan kekuasaan untuk menopang agama ini, menjadi pelindung kita untuk menjalankannya. Islam tak bisa terpisah dengan semua aspek kehidupan, termasuk politik dan kekuasaan.

“Nyatanya mereka itu hanya menjadikan agama sebagai kedok untuk meraih kekuasaan, menumpuk kekayaan, korupsi, sama saja menjual agama.” Perjalanan untuk meraih cita yang indah, suatu ketika harus berhadapan dengan jalan kekuasaan dan politik yang kotor. Kita tak sebaik para Nabi dan orang-orang yang bersamanya, sedang mereka juga menerima berbagai tuduhan yang menyakitkan, tertimpa berbagai macam fitnah dan stigma yang amat buruk. Kita hanyalah hamba-hamba yang lemah, kita bisa terjerumus, tergoda syahwat kekuasaan, dan ini akan menjadi noda bagi agama ini. Menjadi tanggung jawab kita terhadap agama ini, menjaga kesuciannya, tak mungkin agama ini didirikan di atas pondasi yang bathil dan menghalalkan segala macam cara.

Tetapi dunia tak sesederhana itu. Ada masa-masa yang penuh fitnah dan tipu daya, upaya untuk mengkondisikan agama ini dalam persepsi buruk, memojokkannya, menampilkan Islam wajah yang kotor, korup, haus kekuasaan, terbelakang, kasar, bahkan bengis. Zaman yang terbalik, kebenaran dikondisikan sedemikian rupa sebagai kebatilan, dan sebaliknya. Orang yang amanah dihinakan, sedang orang yang khianat dimuliakan.

Tanggung jawab kita terhadap agama ini, menjaga kesuciannya, terhindar dari kekotoran dan tindakan menghalalkan segala macam cara. Tetapi sekaligus juga ada tanggung jawab kita untuk meneguhkan kewaspadaan, agar keyakinan kita terhadap Islam tak pudar oleh opini yang membangun persepsi buruk tentang Islam, bahkan sesama umat ini sendiri ikut saling menyebarkan persepsi buruk tersebut, tanpa disadari masuk dalam sebuah permainan, di antara berbagai tipu daya yang terus menerus mengecoh opini kita, dan ujung-ujungnya adalah melemahkan umat ini secara keseluruhan.

Bisa jadi kita memiliki andil pada upaya agar umat ini muak, malu, dan membenci Islam. Tantangan yang melelahkan membuat kita apatis, menyerah, bahkan mundur. Padahal tak mungkin mengharap orang lain akan menjaga dan memelihara Islam ini. Hingga ketika kita semakin lemah, pihak lain makin leluasa meneguhkan kekuasaan atas umat ini. Lahirlah berbagai kebijakan yang tak ramah terhadap umat ini. Bukan untuk menanggalkan jilbab ini sebentar saja, tapi selamanya. Bukan untuk meninggalkan Islam ini sebagian saja, tapi seluruhnya.


Senin, 11 Agustus 2014

Fitnah di Jalan Jihad

Sesungguhnya tak ada yang bisa dinikmati dari umpan meski kelihatannya manis. Tak ada yang akan didapat dari jeratan meski tampak memesona. Tak mungkin jua menaruh harap dari jebakan meski terlihat menjanjikan. Jebakan itu pasti dibuat mudah dan umpan selalu dibuat manis.

Niat masih teguh tertancap, tekad selalu kokoh terhujam, tapi musuh tak akan tinggal diam. Dahsyatnya tipu daya dan aral yang disiapkan musuh berbanding dengan besarnya keteguhan itu. Terlalu pelik, aral mungkin tak tampak lagi sebagai aral.

Tenggelam dalam gempita euforia, terpedaya, kewaspadaan hampir terlepas. Namun mestinya tetap menggenggam kesadaran, bahwa masa ini adalah masa-masa penuh fitnah dan tipu daya. Meski kewaspadaan hanya terdengar sebagai suara sumbang para pendengki, sekecil apapun kejanggalan seharusnya tak diabaikan begitu saja.

Ketika langkah menjadi mudah, ketika aral seolah sirna, keberhasilan-keberhasilan menjadi begitu mudahnya diraih. Semu, menyederhanakan persoalan, mengesampingkan kewaspadaan. Lengah, bahwa mungkin di balik semua ini adalah tipu daya musuh.

Tampak sangat menjanjikan, memukau, melaju dengan luar biasa. Terbentang sebuah harapan baru, tibanya kemenangan yang sekian lama dinanti. Sejenak terlena, namun pandangan semestinya tetap jernih, mewaspadai intrik, permainan dan dahsyatnya tipu daya. Bisa jadi semua ini adalah sarana-sarana yang dipersiapkan musuh, dan pasti akan dipakai untuk tujuan mereka.

Terlahir dari tekad yang tak mungkin dipadamkan, melaju dengan gegap. Namun bukannya musuh enggan berpayah menghadapinya, bahkan ingin lebih dari sekedar mengalahkannya. Jika keteguhan itu diolah sedemikian rupa oleh musuh, memanfaatkannya, menungganginya dan melipatgandakan kekalahannya, sehingga berlipat pula kehancuran yang diciptakan.

Tak hanya binasa oleh rapuhnya tekad, bahkan oleh keteguhannya, malah menjadi kehancuran yang lebih tragis. Keteguhan sebuah cita yang menjadi buta, meluluhlantakkan cita itu sendiri. Tak perlu khawatir akan cacian dan kedengkian, tapi khawatirkan jika ia menjadi aral bagi jihad ini, menghancurkan din ini dari dalam. Saling berhadapan satu sama lain, saling menghancurkan satu sama lain, membenci Islam dan jihad ini, terjebak dalam permainan musuh.

***

Hidup dari satu tipu daya kepada tipu daya lain, hampir tak ada pilihan, tanpa tahu berbuat apa. Aral yang tak lagi dimengerti, bahkan tak lagi disadari meski menimpa bertubi-tubi. Tak hanya dari depan, ia juga menghampiri dari belakang. Tak hanya dari atas, tetapi juga dari bawah. Tak hanya dari luar, bahkan menohok dari dalam.

Aral tampak seperti semut hitam di atas batu hitam di malam hari. Jalan-jalan kebenaran bersilangan dengan jalan-jalan kebatilan. Puncak-puncak kebaikan berimpit dengan puncak keburukan. Fitnah menerpa seperti potongan-potangan malam yang datang bergelombang. Tipu daya membuat seseorang beriman di pagi hari, sorenya telah menjadi kafir, atau sore hari beriman, paginya telah menjadi kafir.

Tapi di atas tipu daya ada tipu daya. Sepandai-pandai al Masih Dajjal bermain api, akhirnya akan menimpanya sendiri. Ia yang menghidupkan sendiri, ia yang mematikannya pula. Ia mengobarkan, memainkannya, memadamkannya, namun pada saatnya akan kembali jua kepadanya. Karena di balik semua itu ada yang sebenar berkuasa, sebenar menghidupkan dan mematikan yang sesungguhnya.

"Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal, dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami,sSesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. al Mumtahanah: 4-5)


Minggu, 03 Agustus 2014

Semestinya Bukan Semata Kekuasaan

Tak terlena oleh kemudahannya, tak patah semangat oleh kesulitannya. Tak larut oleh keberhasilannya, tak putus asa oleh kegagalannya.

Semestinya bukan semata kekuasaan, bukan untuk tujuan-tujuan rendah sesaat, bukan semata kepentingan pribadi, juga bukan hanya untuk jabatan dan kedudukan. Menjadi kemaslahatan bagi kehidupan, membawa kebaikan bagi segenap umat manusia.

Bukan semata kekuasaan, tidak mengukur keberhasilan dan kegagalannya dengan pencapaian-pencapaian duniawi semata. Bagaimana berbuat sebaik-baiknya, tak berkecil hati oleh rintangannya, tak meratapi keterpurukannya.

Kalau hanya semata kekuasaan, semestinya tak apa untuk mengalah, juga tak mengapa untuk mundur. Tetapi karena berkaitan juga dengan roboh dan tegaknya keadilan, menyangkut kepentingan masyarakat yang luas, bahkan perseteruan antara kebenaran dan kebatilan, agar jangan terbersit keinginan untuk mundur walau sejengkal, agar kuatkan bertahan dalam tantangannya, dan tabah dalam kesulitannya.

Karena bukan semata kekuasaan, harus menghadapi tantangan yang lebih berat, tipu daya yang lebih dahsyat, melebihi persaingan duniawi untuk tujuan-tujuan rendah. Harus rela berpayah, menerima perlakuan pahit, tertimpa berbagai tipu daya dan kezhaliman.

Jika bukan semata kekuasaan, akan selalu ada sandaran atas kelemahannya, penolong atas kesulitannya, dan pelindung atas ketidakberdayaannya. Selalu ada jalan ketika tantangan yang harus dihadapi teramat dahsyat di luar kemampuan seorang hamba, bahkan tantangan bertubi-tubi menimpa tanpa bisa lagi dimengerti, saat-saat tak tahu lagi mesti berbuat apa.

Karena bukan semata kekuasaan, jangan sampai kemenangan terbangun di atas cara yang tidak baik, tak pula tersusun oleh kotoran hina, atau tercemar oleh noda.

Kesulitan dan kemudahannya, hasil yang diperoleh dan pengorbanan yang harus direlakannya, keluhan dan kesabarannya, tak kan sia-sia. Kepayahan yang harus dijalani dan buah-buah yang dipetiknya, agar kesemuanya sempurna menjadi kebaikan.


Sabtu, 02 Agustus 2014

Tentang Makna Sebuah Cita

Tentang sebuah cita, agar menjadi lebih indah, ia masih harus ditempa dengan berbagai aral dan ujian.
Ketergesaan ini, tak seindah penatnya penantian, jika ia mekar sebelum saatnya, kemudian layu dan tanggal begitu saja, menyisakan sesal dan kecewa.
Panjang perjalanan yang ditempuh, lelah penantian yang ditunggu, sedang ia tak kunjung mekar. Tetapi kesabaran ini, keteguhan ini, mesti tetap utuh terjaga sampai tiba saatnya, sampai saat yang tepat untuk mekar, agar ia menjadi buah yang baik.
***
Bukan benalu, tanpa sempat menjalani masa-masa sulit, tak pernah terseok-seok, tak pernah terinjak-injak. Menjulang di ketinggian, bertengger dengan gagah, menebar angkuh. Namun setiap saat ia bisa dipetik oleh pemilik pohon, terbuang hina ke tanah. Atau mungkin ia akan roboh bersama tumbangnya pokok pohon, tanpa mampu mendapatkan sesuatupun.
Bukan peliharaan, tumbuh subur tanpa perlu bersusah payah. Dirawat, disiangi dan disirami, dilindungi dari gulma dan hama yang mengganggu. Namun kemudian ia dipetik oleh pemilik pada saatnya.
Bukan rangkaian bunga, indah tertata, menempati tempat kehormatan. Tapi kemudian layu terbuang, menjadi onggokan sampah tak berharga, tanpa menyisakan kemuliaan.
***
Awalnya hanya seperti sebutir biji kecil yang tak dianggap, terbawa angin tanpa arah. Namun di dalamnya telah tersimpan sebuah cita yang luar biasa. Meski tak tampak, tetapi telah tertulis rapi dalam DNA yang dikandungnya, tentang takdir sebuah benih pohon sejati.
Malang, tersisih, lemah. Bersemai di sela-sela rumput, terinjak, terseok. Berbalut kesulitan, berkubang rintangan, tapi ia terus tumbuh. Sempat patah, tapi selalu menyisakan tunas. Terkadang harus lelah menanti, terkadang harus kukuh menyimpan.
Perlahan ia menggeliat, menyingsingkan keangkuhan rumput, menembus  kesombongannya. Bahkan tak cukup sebatas semak, tak puas menjadi perdu, ia terus menjulang, melampaui, merendahkan semuanya, melambai, menjadi naungan yang kokoh.
Batangnya menjulang, akarnya menghujam, tapi lebih dari itu, sejengkal demi sejengkalnya, semuanya tersusun dari kisah-kisah yang bermakna. Hingga ia mengerti makna sakit dan perih yang selama ini menimpa, yang tak mungkin ia dapatkan andai benih itu jatuh terhanyut ke sungai atau tumbuh dalam sebuah pot kecil menjadi bonsai.
***
Cita ini bukan cita sembarang. Jalan yang dilewati berliku-liku, rintangan yang dihadapi bukan aral biasa. Sedikit yang bisa menempuhnya, menjadikannya berharga. Perjalanan yang harus dilalui mungkin teramat panjang, terkadang ia terhenti, terkadang harus memutar, bahkan terpaksa harus mundur. Namun cita ini harus tetap terjaga, harus berlanjut sampai pada puncaknya, tak tergoda oleh cita-cita rendahan, yang telah nyaman singgah di tempatnya.
Terlalu banyak dikecewakan, terlalu sering menerima kenyataan pahit, saat mendapati kepincangan dunia. Tapi kesabaran harus tetap utuh, keyakinan mesti terjaga, meski harus berkali-kali menembus rintangan, tergores di antara berbagai benturan.
Agar kezhaliman berganti pertolongan, tipu daya berbuah kemenangan, membuat rangkaian cerita yang tersusun semakin indah, dan bila saatnya tiba, ia berwujud dengan sempurna.