Selasa, 30 September 2014

Seorang Anak PKI yang Shalih

Sebenarnya malam belum terlalu larut, tetapi kabut tipis yang menyelimuti pinggiran kampung membuat suasana tampak lebih gelap. Seorang anak kecil berjalan tergopoh-gopoh menuju sebuah rumah kayu di pinggir ladang.

“Assalamualaikum, Mbok bukakan pintu.”

“Iya sebentar.”

Seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Di tangannya masih membawa alu yang biasa dipakai untuk menumbuk jagung.

“Darimana le, sampai malam begini belum pulang? Simbok nunggu-nunggu kamu dari tadi, kalau-kalau hujan turun. Kamu ke tempat Kyai Badrun lagi?”

“Iya Mbok, aku ikut mengaji, nggak apa-apa ya? Boleh ya Mbok?”

“Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya. Sebenarnya Kyai Badrun itu paklikmu juga, Cuma bapakmu saja yang tidak mengijinkan kamu ke sana.”

“Oh ya Mbok, kapan ya bapak pulang? Aku sudah kangen sama bapak.”

Perempuan itu terdiam. Di wajahnya seolah menyiratkan sesuatu yang dalam. Tangannya terus mengayunkan alu untuk menumbuk, tetapi seperti sekenanya saja.

“Apa besok bapak akan pulang Mbok?”

Terdiam sesaat, lalu dengan sedikit senyuman ia bicara, “Kalau kamu sudah tidak nakal lagi, masak tiap hari bapak harus marah-marahi kamu.”

“Habis, bapak ngelarang aku ngaji. Padahal aku ingin banget ikut ngaji. Kata Pak Kyai, bacaan Fatihahku paling bagus lho.”

Anak itu melanjutkan, “Mbok, sebelum bapak pergi, bapak sudah tidak galak seperti dulu. Malah aku sering mendapati bapak sering terdiam, seperti mau nangis. Kenapa ya Mbok?”

“Sudah, tidur sana! Sudah malam.”

“Begini Mbok, waktu itu aku tanya sama bapak, apa aku boleh ngaji lagi. Bapak hanya diam saja, aneh, sedih banget. Sebelum menjawab, lalu datang Kyai Badrun bersama pak tentara-tentara itu, membawa bapak pergi. Aku dicium dan dipeluk sama bapak, sepertinya bapak sayang banget.”

Lalu anak itu menyambangi ibunya, ia memegang tangannya, seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Aku tanya sama Pak Kyai, bapak ada di mana? Katanya kalau aku sudah sampai Juz Ama, nanti mau dikasih tahu.”

Butir-butir air mata membasahi wajah perempuan itu. Dipeluknya anak kecil itu.

***

“Bawa apa le?”

“Ini, dikasih Pak Kyai. Peci dan sarung.”

“Bilang terima kasih ya sama Pak Kyai.”

“Bilang gimana Mbok, setiap aku tanya bapak ada di mana, Pak Kyai tidak juga menjawab. Padahal dulu sudah janji kalau aku sampai Juz Amma, akan dikasih tahu.”

“Memangnya apa yang dikatakan Pak kyai?”

“Pokoknya kamu mengaji yang rajin, doakan bapakmu. Kalau kamu pintar, lebih pintar dari teman-temanmu, biar mereka malu mengejekmu lagi.”

“Memangnya kamu masih sering diejek sama teman-temanmu?”

“Aku sering dikatakan anak PKI, belum sunat, macam-macam. Kapan Mbok aku disunat?”

“Kalau Mbok sudah punya uang, untuk makan kamu dan adik-adikmu saja susah. Bapakmu sudah tidak ada, simbok kan kerja sendirian.”

***

“Drun, Sudrun! Rajin amat kau shalat, mengaji! Kau dapat apa dari Tuhan?”

“Insyaf Kang, kalau sekarang engkau belum merasakan kehadiran Tuhan, barangkali suatu saat engkau membutuhkan-Nya,” jawab Kyai Badrun.

“Apa kamu tidak tahu, Quran saja bilang fawailul lil mushalin, orang shalat itu bakal celaka.”

“Memangnya Kang Suhud pernah baca quran?”

“Aku memang tidak bisa baca Quran, tapi aku tahu semua isinya, lebih tahu dari kamu.”

Sambil membawa anak kecil itu pergi, lelaki itu berbicara dengan lantang pada semua yang ada di tempat, “Memangnya di mana Tuhan? Di mana Tuhan yang kamu sebut-sebut itu ketika orang-orang kecil diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan tanah, ditindas para penguasa? Kita sendiri yang harus mengubah nasib. Kaum buruh, tani, kaum Proletar harus melawan, bukan dengan komat-kamit berdoa.”

“Ingat siapa yang menciptakan kita Kang, memberi rezeki, dan setelah hidup ini berakhir kita akan ke mana?”

“Pokoknya kamu jangan ngajak-ngajak anak saya ngaji lagi. Awas besok kalau sudah keterjang roda revolusi, Drun, kamu tidak bakal menempati lagi rumahmu lagi. Masih mending, kalau bukan kerabatku kamu sudah tak undang ke MMC.”

***

“Tumben sudah pulang, kamu tidak ngaji? Kamu diejek lagi sama teman-temanmu?”

“Enggak Mbok, akhir-akhir ini teman-teman sudah pada baikan, tidak seperti dulu.”

“Memangnya ada apa?”

“Tadi aku berangkat lebih awal, mau tanya Pak Kyai tentang bapak.”

“Sudahlah le, kamu jangan ngejar-ngejar terus. Apa yang dikatakan Pak Kyai? ”

“Pak Kyai hanya diam Mbok. Seperti ada yang dipikirkan. Pak Kyai hanya berkata, maafkan paklik le, paklik dan bapakmu hanya orang-orang kecil yang tak tahu apa-apa. Kamu belajar yang baik ya, agar kamu bisa menolong orang-orang lemah.”

“Terus mengapa kamu pulang, tidak ngaji dulu?”

“Kemudian datang Pak Lurah bersama pak tentara yang seperti yang dulu membawa bapak, aku ingat Mbok, seragamnya sama. Baru saja aku ingin tanya pada mereka tentang bapak, tapi tiba-tiba Pak Lurah langsung teriak-teriak memarahi Pak Kyai. Katanya, awas Drun, kalau besok masih ada yang nyoblos gambar jagad, talinya tak buat njiret kamu! Lalu mereka bentak-bentak Pak Kyai.”

Kemudian anak itu melanjutkan, “Mbok tidak usah kerja di Pak Lurah lagi ya, Pak Lurah itu orang jahat.”

“Kita ini orang susah le, beruntung kita masih boleh kerja sama Pak Lurah. Bapakmu sudah tiada, tanah garapan kita juga sudah diambil semua. Untuk makan kamu sama adik-adikmu, mau nyari di mana?”

“Memangnya kenapa dulu Kyai Badrun ngajak-ngajak bapak sama pak tentara. Apa Kyai Badrun itu jahat sama bapak? Mbok, apa pak tentara-tentara itu orang jahat semua?”

“Le, barangkali kalau semua ini tidak terjadi, sampai sekarang bapakmu mungkin belum mengenal Gusti Allah. Kamu juga tidak bisa ngaji seperti sekarang. Semua ini menjadi jalan bagi bapakmu untuk menemukan Sang Pencipta kita. Kesedihan kamu dan simbok semoga diganti dengan pertemuan yang membahagiakan di surga kelak.”


Senin, 29 September 2014

Mereka Mengambil Agama Kita di Saat Kita Meninggalkannya

Kisah berikut saya dapatkan dari Facebook Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia.  Sebuah contoh kecil, tapi seharusnya bisa lebih jauh lagi menggugah kesadaran dalam kita sebagai seorang muslim, kepekaan kita, dan mengevaluasi kekurangan kita dalam mengamalkan agama ini.

***

Jerman adalah sebuah negara industri terkemuka. Di negara seperti ini, banyak orang yang mengira warganya hidup berfoya-foya.

Ketika saya tiba di Hamburg, saya bersama rekan-rekan masuk ke restoran. Kami melihat banyak meja kosong. Ada satu meja di mana sepasang anak muda sedang makan. Hanya ada dua piring makanan dan dua kaleng minuman di meja mereka.

Saya bertanya dalam hati, apakah hidangan yang begitu simple itu dapat disebut romantis, dan apakah si gadis akan meninggalkan si pemuda kikir tersebut?

Kemudian ada lagi beberapa wanita tua di meja lainnya. Ketika makanan dihidangkan, pelayan membagi makanan tersebut dan mereka menghabiskan tiap butir makanan yang ada di piring mereka.

Karena kami lapar, rekan kami pesan lebih banyak makanan. Saat selesai, tersisa kira-kira sepertiganya yang tidak dapat kami habiskan di meja. Begitu kami hendak meninggalkan restoran, wanita tua yang dari meja sebelah berbicara pada kami dalam bahasa Inggris, kami dan teman-teman paham bahwa mereka tidak senang kami memubazirkan makanan.

Lalu temanku berkata kepada wanita tua itu: "Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian berapa banyak makanan yang tersisa."

Wanita-wanita itu meradang. Salah satunya segera mengeluarkan HP dan menelpon seseorang. Sebentar kemudian seorang lelaki berseragam Sekuritas Sosial pun tiba. Setelah mendengar tentang sumber masalah pertengkaran, ia menerbitkan surat denda Euro 50 (kira-kira 750.000 Rupiah) kepada  kami.

Kami semua terrdiam...

Petugas berseragam tersebut berkata dengan suara yang galak: “Pesan hanya yang sanggup anda makan, uang itu milikmu tapi sumber daya alam ini milik bersama. Ada banyak orang lain di dunia yang kekurangan. Kalian tidak punya alasan untuk mensia-siakan sumber daya alam tersebut.”

Pola pikir dari masyarakat di negara makmur tersebut membuat kami semua malu, sungguh kami harus merenungkan hal ini. Kita ini dari negara yang tidak begitu makmur. Untuk gengsi, kita sering memesan banyak dan sering berlebihan saat menjamu orang.

Pelajaran ini mengajari kita untuk serius mengubah kebiasaan buruk kita.

“Money is yours but resources belong to the society.”

Jadi kawan-kawan, mari mulai mengurangi pemubaziran karena, “Uang memang milikmu, tapi sumber daya alam itu milik bersama.”

Orang non-muslim maju karena meninggalkan agamanya, mengambil norma Islam. Kaum muslimin mundur karena meninggalkan agamanya.

***

Sering kita menjumpai buah-buah kebaikan dalam kehidupan, tentang empati, kepedulian pada sesama dan alam sekitar, tentang kedisiplinan, keteraturan, etos kerja dan semangat hidup, juga tentang kejujuran, tanggung jawab dan amanah, justru terdapat pada mereka yang belum mengenal Islam.

Buah-buah kebaikan yang semestinya kita sebagai umat Islam lebih dulu melaksanakannya, antara keyakinan kita akan kesempurnaan Islam, ketinggian dan kemuliaannya dengan realitas bahwa kita belum mampu mengaplikasikannya secara sempurna dalam kehidupan.

Dengan Islam, dengan kesadaran akan muraqabah dan hari pembalasan, semestinya kita lebih dahulu memiliki kesadaran untuk melakukan hal-hal semacam itu. Kesadaran menjauhi sikap mubazir, menebar kemanfaatan bagi kehidupan, seperti pada perilaku tidak membuang sampah sembarangan, memiliki mental hemat energi, menjaga sungai-sungai di sekitar kita, menjauhi contek-menyontek, atau menghormati hak-hak orang lain, tetapi realitasnya berbeda.

Antara kesempurnaan Islam dan ketidaksempurnaan kita, seringkali ritual yang kita jalani belum membekas ke dalam perilaku kita sehari-hari, keshalihan kita secara ritual belum berdampak pada kesadaran sosial kita, semestinya harus membuat kita mau berbenah. Mengapa dengan Islam perilaku kita yang tidak baik belum terkikis, seperti kita belum menjadi orang yang jujur, memiliki kepedulian dan kepekaan.

Seharusnya menjadi harapan, jika Islam kita menjadi sebagaimana Islamnya Rasulullah dan para sahabat, berubah secara drastis dari kejahiliyahan menjadi manusia-manusia beradab, menjadi pribadi-pribadi yang menakjubkan. Islam menjadi keyakinan yang membekas, kekuatan dahsyat yang menumbuhkan motivasi, menemukan kesadaran baru, memberi corak yang khas, sehingga benar-benar terwujud menjadi umat terbaik.

Bagi kita, setidak-tidaknya berupaya menumbuhkan kepahaman tentang agama ini secara menyeluruh, hal-hal kecilnya yang sepele sampai perkara-perkara yang besar bagi kehidupan. mengikis sedikit demi sedikit kekurangan yang dimiliki, memperbaiki secara berangsur-angsur dari aspek-aspek yang semestinya kita mampu. Agar kita memiliki andil dalam menampilkan Islam ini dalam wajah yang sebaik-baiknya, mewujudkannya sebagai peradaban yang menakjubkan, dan Islam menyapa pada dunia dengan kebaikannya yang elok.

Sehingga bagi mereka yang belum mengenal Islam, menjumpainya dalam kesan yang luar biasa, menemukan hikmah dan kebaikannya sebagaimana menemukan mutiara kebenaran yang hakiki. Agar mereka menerima Islam, menyempurnakan kebaikan mereka baik aspek hablumminallah maupun aspek hablumminannas, menjadi kebaikan sempurna di dunia dan akhirat.


Selasa, 23 September 2014

Fase Berbeda Perjalanan Tarbiyah

Ketika sahabat yang menemani perjuangan ini nyaris tak lagi bertambah, malah satu per satu berguguran pergi. Memandangi hengkangnya kawan-kawan terbaik, meninggalkan jalan ini yang telah sekian lama bersama-sama dilalui dalam suka dan duka.

Dari kesendirian, menjadi lautan manusia, berbondong-bondong, menyisakan kenangan indah.

Keterbatasan tak menyurutkan tekad. Kekurangan tak membatasi semangat. Kecilnya raga tak melemahkan jiwa. Dari keadaan tak punya apa-apa, terasing, tak dikenal, berada dalam kondisi serba keterbatasan, tapi terus tumbuh dan tumbuh, menakjubkan, mewujudkan satu per satu mimpi yang dicitakan.

Perjuangan ini, pasang surutnya, menghempaskan sebagian kita, terjatuh dan tenggelam.

Dengan kebesaran raga, berbagai sarana yang dimiliki, bahkan kekuasaan, tetapi makin sarat dengan beban, lelah, derap langkahnya kian senyap, semakin sepi.

Berharap membangkitkan kembali azam, mendapatkan kembali izah, bangkit, tetapi raga ini tak lagi berdaya. Tak mampu lagi mengobarkan semangat yang dulu pernah menyala-nyala. Terjebak dalam berbagai problematikanya, terbelenggu dalam pusarannya. Apa yang pernah dicapai, hanya untuk mendapatkannya kembali, yang dulu mampu diraih, tapi situasinya memang telah berbeda, begitu terasa.

Mengenang kebesaran, tapi tak berdaya. Berharap masa itu terulang kembali, masa-masa indah perjuangan ini, kebahagiaan bersamanya. Meski waktu telah berlalu, tak mungkin kembali, tapi bukankah waktu masih terus berlanjut?

Bersama asa yang tersisa, menjaga agar cita ini tak lepas, atau ia tak luruh, dan mungkin juga harus karam bersama cita ini, riuh kejayaan yang berangsur-angsur sepi. Akankah menjadi ajal bagi sebuah gerakan dakwah?

***

Seperti fase-fase yang dialami sebuah pohon. Bukan untuk terus tumbuh, tapi ada saatnya ia harus mempersiapkan buahnya. Saat harus merelakan kesuburannya memudar, berguguran daunnya, menghabiskan cadangan makanan yang disimpannya, agar pada saatnya, sebaik-baik buah yang dihasilkan.

Bukan merindukan masa lalu yang indah, tetapi menikmati tantangan ini, untuk merangkai masa depan, ketika fase yang dijalani pasti berbeda dari yang telah dialami sebelumnya. Agar penat dan letih ini menjadi indah pada suatu saat nanti.

Bukan hanya tumbuh dan tumbuh, bukan menikmati dan memperindah, ada saat-saat harus belepotan, berkubang tugas-tugas berat.

Beban ini, kesulitan ini, kesemuanya adalah ujian terbaik untuk kita, yang sesuai dengan tingkatan kita. Bukan saatnya menikmati masa-masa indah ditimang dan disuapi, saat-saat menyenangkan bermain-main dan dimanja, tetapi saat-saat harus memikul beban dan menanggung tanggung jawab yang berat.

Sebuah ujian, terasa berat ketika dihadapi, pasti. Setelah ia terlampaui ia akan terasa manis. Dan ujian selanjutnya yang dihadapi akan lebih sulit. Kemungkinan itu tetap menanti, gagal atau berhasil melampauinya. Menjadi sejarah atau tenggelam, hanya sedikit yang sampai pada puncak tertinggi. Jalinan cerita antara keteguhan seorang hamba dan pertolongan Allah.


Wahai Umat Islam, Tolonglah PPP

Silih berganti persoalan menimpa umat ini. Ironisnya, masing-masing elemen umat ini cenderung menghadapi sendiri-sendiri persoalan yang menimpanya. Seharusnya kita bisa memandang persoalan tersebut dalam perspektif yang lebih luas, sebagai upaya sistematis terhadap umat ini secara keseluruhan, sehingga harus dihadapi secara bersama-sama, dalam perspektif umat sebagai sebuah kesatuan.

Tanpa terasa sejengkal demi sejengkal aset umat ini terlepas, baik aset politik, ekonomi, sosial dan sebagainya, dan kita mengabaikannya. Tanpa disadari kita sudah banyak kehilangan aset-aset tersebut, dan ketika umat ini banyak kehilangan potensi kekuatan yang dimilikinya, posisinya dalam kancah percaturan di negeri ini kian melemah dalam segala aspeknya.

Sejengkal demi sejengkal, tanah kita yang kotor sekalipun, adalah aset kita sekaligus tanggung jawab kita mempertahankannya dan sekaligus juga tanggung jawab kita untuk memperbaikinya. Dari sejengkal-demi sejengkal yang lepas itu menjadi jalan bagi rubuhnya benteng-benteng umat.

Upaya melemahkan umat, mempersepsikan Islam buruk di mata publik, belitan problematika dalam berbagai bentuknya, pusaran kasus, konflik internal dan sebagainya, seharusnya kita sikapi secara dewasa, tidak parsial. Bukannya kita sendiri malah terbawa arus, begitu mudah mengikuti keinginan dan agenda dari luar, terseret opini media, yang ujungnya membantu memuluskan agenda rival-rival dakwah tanpa sadar.

Persoalan yang menimpa partai-partai Islam seperti PPP saat ini, kasus impor daging sapi yang pernah menimpa PKS, bahkan lebih jauh lagi, persoalan yang juga menimpa orang-orang yang berlatar belakang Islamis di partai-partai nasionalis sekalipun seperti Akbar Tanjung dalam kasus buloggate, Anas Urbaningrum, dan sebagainya, semestinya harus kita cermati jika di balik itu ada agenda sistematis yang sebenarnya menyasar pelemahan umat secara keseluruhan, bukannya sebagian dari kita malah ikut andil dalam skenario yang ingin melemahkan umat ini sendiri.

Jangan sampai sebagian elemen umat bermaksud mengambil keuntungan dari permasalahan yang menimpa elemen umat yang lain, sehingga membuka ruang bagi divide et impera model baru. Di antara umat ini memang terkadang saling bersaing, berseteru, bahkan memiliki banyak perbedaan persepsi. Tapi adakalanya kita akan saling membutuhkan, ketika berhadapan dengan agenda sekularisme dan liberalisme, persoalan regulasi nikah adalah salah satu contohnya. Semestinya kita menyikapi permasalahan yang terjadi secara proporsional, agar tidak menambah beban bagi umat. Karena tak mungkin urusan umat ini diserahkan pada orang lain, apalagi kepada rival-rival dakwah.

Melemahnya kekuatan umat, baik secara politik maupun aspek lain, kemudharatannya akan kembali pada umat ini sendiri. Sebelum terlambat, kita berada dalam keadaan lemah tak berdaya. Semua persoalan umat, termasuk yang kini sedang menimpa PPP sebagai salah satu aset besarnya, semestinya mengundang keprihatinan bagi segenap umat Islam, menumbuhkan kepedulian, memandang umat ini sebagai satu kesatuan tubuh, mengutamakan kepentingan umat secara keseluruhan. (suara-islam)

Rabu, 03 September 2014

Agama Fitrah, Ahok dan Idul Fitri

Madrasah Ramadan telah menghampiri kita beberapa waktu lalu. Seharusnya banyak aspek positif dari puasa dan Ramadan yang membekas dalam kehidupan kita. Seharusnya saat-saat ini kita sedang menikmati buah-buah Ramadan, merasakan kebaikannya dalam kehidupan, tak hilang begitu saja bersama kepergiannya.

Tetapi benarkah demikian? Secara jujur memang bisa dikatakan belum sesuai harapan. Masjid-masjid yang kembali sepi, makin jauhnya kita dari Alquran serta makin malasnya kita melakukan qiyamul lail menyisakan pertanyaan tentang apa kesalahan kita dalam melewati Ramadan tersebut.

Teringat beberapa tahun silam, dan hal seperti ini sepertinya masih terus terulang. Dalam sebuah acara kesehatan di televisi, pada hari-hari sehabis Lebaran, rata-rata muncul keluhan yang hampir sama. Jika puasa Ramadan membuat kondisi kesehatan mereka membaik, membaiknya tekanan darah, kolesterol, kadar gula darah, berbagai gangguan pencernaan, rasanya badan menjadi lebih sehat. Tetapi baru beberapa hari Lebaran keadaan malah menjadi berantakan. Bahkan biasanya hari-hari sehabis Lebaran begitu banyak saudara dan teman kita yang jatuh sakit, membuat rumah sakit penuh sesak, kelelahan oleh hiruk pikuk dalam merayakan Idul Fitri.

Bukankah seharusnya puasa itu menyehatkan? Dampak baik puasa, tak hanya pada aspek rohani saja, tetapi juga pada aspek jasmani, dan memang diakui dari sisi medis bahwa keduanya saling terkait. Dan ketika Lebaran memporak-porandakan itu semua, tentunya ada hal-hal yang salah dan perlu kita perbaiki.

Menarik untuk mencermati gagasan Plt. Gubernur DKI Jakarta Ahok tentang penghapusan cuti bersama Lebaran, sekaligus untuk menyikapinya dengan bijak. Agar tak tergesa-gesa memandang dari perspektif negatif, sebagai kebijakan yang tak akomodatif terhadap umat dan tradisi yang telah berlaku, tetapi juga merespon dari perspektif positif, sebuah kritik untuk perbaikan bagi umat.

Melalui akun twitternya, beberapa waktu lalu Ahok mewacanakan menghapus cuti bersama dilihat dari banyaknya ekses negatif akibat mudik Lebaran. Dalam kicauannya Ahok membeberkan fakta, “Perjalanan mudik Lebaran tahun 2014 merenggut 515 Jiwa, Jumlah yang menderita luka 3.616 orang. Korban tewas dan cedera sebanyak itu akumulasi dari 2.003 kasus kecelakaan lalu lintas. Ini adalah tragedi kemanusiaan, tidak boleh dibiarkan berulang-ulang, Setiap merayakan Lebaran selalu saja terjadi kematian konyol. Lebih-lebih mencapai ratusan orang, Mudik Lebaran 2013 menelan korban 686 orang tewas dan 1.120 orang luka parah. Jumlah yang meregang nyawa tahun 2012 sebanyak 757 orang dan 1.222 luka berat. Korban belum termasuk kerugian materi mulai dari akibat pemborosan bahan bakar minyak sampai dengan lenyap akibat disikat penjahat. Hanya karena demi tradisi silaturahmi di kampung halaman, sebagian dari kita kehilangan akal sehat.”

Dari hal tersebut ia menilai, “Menurut hemat kita, tragedi harus distop, Khusus bagi warga Ibukota Jakarta agar memilih langkah cerdas. Rindu untuk bermaaf-maafan dengan orang-tua atau famili di kampung halaman nun jauh disana tetap bisa dilakukan. Banyak pilihan yang dapat ditempuh, kecanggihan teknologi telepon genggam dan layanan internet adalah solusi yang murah-meriah. Belum juga puas? Pulang kampung menunggu sampai pelayanan kereta api, Bus antarkota-antarprovinsi atau kapal laut normal. Tarifnya murah, tidak rebutan kursi, keamanan-kenyamanan perjalanan terjamin baik, masa depan pun masih tetap milik kita. Peran ulama sebagai agen perubahan sangat diharapkan guna mengikis perilaku mudik yang banyak mudarat. Umat butuh bimbingan spiritual agar terhindar dari pemborosan dan kecelakaan yang mematikan.”

Sebagai solusinya, Ahok menilai pemerintah wajib menghapus sistem cuti bersama bagi PNS. Libur hanya berlaku pada hari Lebaran pertama dan kedua, karena mudik bukanlah bagiannya.

Islam selaras dengan fitrah manusia, meski sering berhadapan dengan realitas ketidaksempurnaan kita-kita umatnya untuk mengaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan. Sebaliknya, orang-orang yang belum mengenal Islam sepenuhnya, dengan akal pikiran yang dimilikinya sebagai seorang manusia, mampu mengenali bagian-bagian tertentu dari ketidaksempurnaan tersebut, yang bagi kita bisa menjadi koreksi untuk terwujudnya kesempurnaan Islam.

Cara kita menyikapi Idul Fitri yang berlebihan, terjebak dalam hal-hal yang konsumtif dan hura-hura, tentunya bukan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam yang sesungguhnya tentunya tidak menghendaki hal-hal demikian. Sebelum orang lain merasakan ketidakbaikan dari Islam, semestinya kita terlebih dahulu bisa merasaka dan memperbaikinya.

Ketika orang lain terganggu oleh berisiknya pengeras suara masjid yang berbunyi hingga larut malam, atau suara berisik membangunkan orang sahur sejak jauh sebelum fajar, sehingga memunculkan wacana pembatasan penggunaan pengeras suara masjid, bukankah sebenarnya kita juga menyadari jika bukan hal-hal semacam itu yang dikehendaki oleh Islam. Cara kita beribadah, berzikir dan mengaji semestinya tidak seperti itu. Banyak di antara kita sendiri yang sebenarnya juga terganggu.

Ketika di antara kita melakukan takbir keliling dengan menggelar arak-arakan di jalan raya, bahkan kebanyakan tidak melantunkan lafaz takbir, malah teriak-teriak dan membunyikan petasan, bersikap ugal-ugalan, kemudian orang lain terganggu dan mewacanakan larangan takbir keliling, semestinya kita lebih dulu mengetahui jika hal-hal demikian bukan ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan kita sendiri juga merasa tidak nyaman oleh tindakan demikian.

Sebelum kita mampu mengaplikasikan Alquran dalam kehidupan, kita baru mampu menyetel kaset muratal Alquran melalui pengeras suara di masjid. Ketika kita belum mampu menampakkan syiar-syiar Islam yang sesungguhnya, dengan keterbatasannya kita baru bisa menampilkan simbol-simbol yang tak bisa mewakili substansi dari Islam yang sesungguhnya.

Ketika Islam baru bisa muncul dalam wajah ketidaksempurnaannya, tapi dengan ketidaksempurnaan itu Islam menjadi tampak dalam kehidupan. Daripada tidak tampak sama sekali, ketika kita belum bisa menampakkan kesempurnaannya, agar tidak sepenuhnya nihil dalam kehidupan ini. Tetapi upaya menuju kesempurnaan tetap menjadi keniscayaan, bagaimanapun kekurangan tersebut akan menjadi beban bagi agama ini, dan kemudharatannya akan kembali kepada kita juga.

Kritik yang datang dari luar, terlepas dari apapun motifnya, seharusnya kita respon secara positif sebagai upaya perbaikan bagi umat ini. Merupakan sebuah tantangan bagi kita untuk menampilkan Islam dalam wajahnya yang terbaik.