Rabu, 10 Desember 2014

NU, Terorisme dan Ancaman Sesungguhnya

Kepulan asap dari berbagai jenis merk rokok terlihat memenuhi ruangan belakang Aula Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok. Sementara di bagian depan sejumlah orang masih tampak serius menyimak penuturan para penceramah yang didatangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Pekan ini, tepatnya pada Sabtu hingga Senin, 6-8 Desember 2014, Ponpes Al-Hikam bekerjasama dengan BNPT menggagas sebuah acara bertajuk “Silaturahim Nasional Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasional”. Acara itu mendatangkan sekitar 300 pengurus cabang dan wilayah salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Saat Kiblat.net mengikuti acara tersebut, sebagian peserta cukup antusias mengikuti acara itu. Sebagian lainnya ada juga yang memilih lesehan sambil merokok di pinggir aula yang terletak persis di depan Masjid Al-Hikam. Tak sedikit pula para peserta dari luar daerah ini malah tiduran di teras masjid.

Pada hari pertama dibukanya acara, sejumlah pejabat tinggi negara tampak hadir. Sebut saja, Kepala BNPT Saud Usman Nasution, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, serta Menteri Sosial Khofifah I. Parawansa. Kepala BIN Marciano Norman dan Menlu Retno Marsudi sedianya akan hadir, namun keduanya mengutus perwakilannya masing-masing.

Dua hari sebelumnya, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, KH Hasyim Muzadi menggelar konferensi pers dan mengundang sejumlah wartawan untuk mensosialisasikan acara yang disebutnya hajatan BNPT ini. Tujuannya adalah untuk membentengi pengurus dan para kader NU dari berbagai gempuran ideologi asing termasuk terorisme. Maka, dari porsi jadwal acaranya sudah bisa terbaca dengan jelas, agenda deradikalisasi dan sosialisasi bahaya terorisme menjadi bahasan utama.
kiblat.net

Dalam acara tersebut, Deputi I Bidang Pencegahan & Deradikalisasi BNPT, Agus Surya Bakti terang-terangan meminta dukungan para ulama terkait sosialisasi cetakbiru pencegahan terorisme. BNPT berencana mengajukan diberlakukannya aturan yang tegas mengadopsi dari UU Internal Security Act (ISA) seperti di Malaysia dan Singapura. Pasalnya, UU yang ada saat ini (UU No 15/2003) dianggap kurang tegas untuk menghukumi para pelaku teror di Indonesia. Bahkan, Kepala BNPT Saud Usman Nasution dengan tegas menyatakan, “terorisme tidak akan berakhir sebelum Islam tegak.”

Jika dilihat dari sudut pandang BNPT sebagai penggagas acara, maka para tokoh-tokoh NU ini merupakan para opinion leader yang diharapkan dapat membantu BNPT melakukan sosialisasi terorisme ke kalangan akar rumput. Dalam teori ilmu komunikasi, dikenal istilah gatekeeper atau opinion leader dalam model-model komunikasi massa. Para tokoh NU ini merupakan gerbang informasi, tokoh yang dipercaya masyarakat dalam hal agama. Maka, BNPT memandang perlu untuk men-brainwash tokoh-tokoh ini demi kepentingan mereka.

Pemberantasan Terorisme, kepentingan siapa?

Tapi yang patut menjadi catatan bersama, pertemuan ini ternyata sejalan dengan agenda dan kepentingan asing. Visinya sejalan dengan visi pemberantasan terorisme ala Barat. Rand Corporation pada 2007 silam pernah menerbitkan laporan berjudul “Building Moderate Moslem Networks” yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Bernard, Lowell H. Schwartz, dan Pieter Sickle.

Menurut, laporan Rand Corporation, untuk memerangi apa yang mereka sebut “ekstremisme Islam”, ada tiga partner potensial yang bisa digunakan Amerika. Mereka adalah kelompok sekuler, kelompok muslim liberal dan kelompok moderat tradisionalis dan kalangan sufi. Kelompok tradisional moderat akan dipancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, dibuatkan propaganda tentang bahaya kelompok Wahabi dan dimunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu.’ Selain itu, juga dengan dibuatlah beragam stigmatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “wahabisasi global”, “ideologi transnasional”, dan lain sebagainya.

Padahal, sebelumnya KH Hasyim Muzadi menegaskan bahwa ia tidak mau ditunggangi kepentingan asing. Tapi faktanya, cara-cara BNPT dalam memberantas terorisme masih memakai manual book dari Barat. Maka, tak aneh jika kemudian pertemuan itu menghadirkan para pembicara yang justru meneror para pengurus NU dengan adanya ancaman ideologi transnasional.
nasir-abbas

Di acara itu, ada sosok Nasir Abbas yang menggantikan Ali Imron dan Ali Fauzi yang batal hadir. Nasir selalu mengulangi lagu lama yang sering diceritakan di mana-mana perihal kisah tobatnya dari seorang teroris. Konon, kabarnya ia tobat karena terkesima melihat polisi penjaganya lebih rajin shalat berjamaah dan puasa sunnah Senin-Kamis ketimbang dirinya.

Ada juga seorang Abdi Kurnia yang mengaku pengamat gerakan Ikhwanul Muslimin, ia meracau di depan para kiai NU dengan mengatakan bahwa Sayyid Qutb adalah agen Yahudi. Abdi menuduh Sayyid Qutb sebagai agen freemason karena dia lahir di Ramses, Mesir dan berprofesi sebagai tukang jam. Persis dengan Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurutnya, pada masa itu yang pake jam tangan cuma kaum yahudi. Otomatis, Sayyid Qutb adalah agen freemason, organisasi zionis internasional.

Yang lebih menyakitkan justru datang dari Dr. Solahudin, penulis buku “NII Sampai JI” yang juga orang kepercayaan peneliti IPAC, Sidney Jones. Dengan nada tegas ia menyatakan SD-IT dan kegiatan Rohis (ekstrakurikuler bimbingan Islam, red) merupakan biang intoleransi dan sarang kelompok teror.

Pada sesi diskusi, tanggapan para peserta diskusi juga menarik. Ada salah seorang peserta dari Riau yang gerah dengan sikap toleransi NU yang kebablasan. Menurutnya, NU selama ini hiper toleran kepada aliran sesat. “Sehingga kalau tidak dijadikan seperti FPI, tahun 2020, NU akan hancur,” ujar Fathurrohman dari PCNU Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Atau salah satu perwakilan NU dari Aceh yang membantah ucapan Nasir Abbas dan Solahudin soal definisi terorisme. Menurutnya, ketidakjelasan definisi terorisme menimbulkan adanya standar ganda dalam penerapan hukum anti terorisme. “Teror itu pelakunya bisa individu, kelompok/jaringan bisa juga negara. Selama hal itu berdampak meluas dan merugikan masyarakat. Seharusnya kebijakan Jokowi dalam menaikkan harga BBM juga bisa dikategorikan perbuatan teror,” tandasnya.

Syiah dan Liberalisme, ancaman NU sesungguhnya

Meski demikian, patut kita berikan apresiasi yang mendalam ketika pertemuan tersebut membahas bahaya liberalisme dan ideologi syiah. Kedua hal inilah yang sesungguhnya menjadi ancaman faktual bagi Nahdlatul Ulama. Paska reformasi, Nahdlatul Ulama seolah mengalami krisis identitas ketika dipimpin oleh para tokoh liberal. Kader-kader NU sekonyong-konyong meninggalkan akar historis mereka dan mengidolakan sekularisme dan liberalisme.

Apalagi, NU sebagai ormas yang diperhitungkan di Indonesia dan punya basis massa yang mengakar selama ini justru selalu ribut di kalangan internal mereka sendiri. Acara yang digagas Mbah Hasyim Muzadi ini justru tak dihadiri oleh Ketua Umum mereka yang sangat gandrung terhadap Syiah, Said Agil Siradj. Belum lagi kalau berbicara perpecahan NU di ranah politik.

Maka, menghadapi asupan informasi yang disuplai oleh BNPT dalam hajatan anti terorisme ini, para kader-kader NU di daerah harus benar-benar memilah dan memilih. Mana informasi yang sahih dan dapat dipercaya, mana kabar burung yang justru meneror dengan pepesan kosong.

Benarlah kata pepatah Arab kuno, هَلَكَ امْرُؤٌ لَمْ يَعْرِفْ قَدْرَهُ “Hancurlah seseorang yang tidak tahu dirinya sendiri.”

Wallahu a’lam.

Penulis: Fajar Shadiq

*sumber: http://www.kiblat.net/2014/12/10/nu-terorisme-dan-ancaman-sesungguhnya/

Selasa, 09 Desember 2014

Menohok Amerika, Beda Jepang, Beda Tiongkok

Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut AS Pearl Harbor menjadi kemenangan sesaat yang gemilang bagi Jepang. Akan tetapi, dalam jangka panjang ternyata merupakan sebuah kesalahan strategi, menentukan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Serangan tersebut menjadi blunder, seperti mengusik raksasa yang sedang diam. Menjadi alasan bagi AS untuk ikut serta dalam Perang Dunia II.

Jepang memang dengan mudah menaklukkan seantero Pasifik Barat dan Asia Tenggara, tapi tidak mampu menjangkau jantung kekuatan AS sama sekali. Sedang jantung kekuatan Jepang justru terjangkau oleh musuh. Dengan demikian, AS leluasa mengkonsolidasikan sumber daya, kekuatan, dan teknologi untuk keberlangsungan perang. Sebaliknya bagi Jepang, sumber daya dan kekuatan yang dimiliki semakin melemah.

AS memenangkan Perang Dunia II, untuk selanjutnya memenangkan Perang Dingin. Kemenangan tersebut dipakai untuk mendikte dunia bahwa Komunisme telah gagal dan tidak relevan, sedang Kapitalisme adalah konsep ideal untuk peradaban dunia kita.

Disadari atau tidak oleh AS, superioritas dunia tak pernah langgeng. Sejak runtuhnya Uni Sovyet, AS memang menjadi seperti satu-satunya kekuatan super power dunia. Tetapi hanya kurang dari dua dekade kemudian, RRC sudah tampak berpotensi menyalip posisi tersebut.

Lantas apakah AS membiarkan begitu saja posisinya sebagai super power dunia jatuh ke pihak lain, membiarkan rivalnya mengambil alih posisi tersebut, tanpa melakukan upaya-upaya meredam laju kompetitornya, juga upaya mempertahankan posisinya?

Dunia dan kompetisi memperebutkan supremasinya, adalan pertarungan strategi yang teramat pelik. Seringkali yang terjadi bukan hanya kompetisi yang fair. Sehingga, di balik pencapaian menakjubkan yang dicapai RRC, seharusnya kita bertanya, jika di balik itu ada hal tak tampak, yang tidak diketahui publik pada umumnya?

AS memenangkan Perang Dingin tidak dengan kekuatan senjata atau nuklir sekalipun, tetapi Uni Sovyet dieksekusi dengan pertarungan dalam bentuk lain. Dan ini bisa diambil pelajaran oleh rival-rival AS untuk menundukkan superioritasnya. Bukan hanya kekuatan, tetapi strategi yang jitu, lihai dalam memainkan situasi.

Jika demikian, munculnya RRC ke pentas dunia tentunya juga tidak mungkin dengan tangan kosong belaka, bukan melenggang dengan cuma-cuma. Tetapi sebelum melangkah telah mempersiapkan suatu perencanaan yang sistematis, mengidentifikasi tantangannya, dan mempersiapkan semua sarana untuk mengamankan agenda yang dijalankan. Mewujudkan agenda yang membutuhkan backup dan pengawalan dari berbagai bidang lain, ditunjang secara politik, kekuatan lobi, hingga intelijen.

Reformasi Indonesia beserta benturan kepentingan-kepentingan besar di dalamnya, bisa menjadi gambaran awal untuk melihat pertarungan strategi serta perebutan pengaruh di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Asia Tenggara sejak lama menjadi medan perebutan pengaruh antara Barat dan Timur. AS sempat menancapkan hegemnoninya, menyingkirkan pengaruh Uni Sovyet. Tetapi kompetisi terus berlanjut, seiring menguatnya pengaruh RRC, AS harus menghadapi kompetitor baru.

Kepentingan AS untuk untuk mengkhiri kekuasaan penguasa-penguasa lokal yang tak dikehendaki, termasuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Reformasi Indonesia, yang tampak sepertinya memang kepentingan AS yang bekerja, sarana-sarana kepentingan AS yang dipakai.

Tetapi beberapa tahun pasca reformasi berlangsung, justru tampak pengaruh RRC semakin menguat di kawasan ini, lebih signifikan dibanding masa Orde Baru. Sudah bisa dilihat siapa yang lebih banyak memanen reformasi yang bergulir di Indonesia.

Bekerja, mengeluarkan keringat, sementara pihak lain lebih menuai hasilnya. Untuk tidak dikatakan sekadar diperalat, tetapi sebuah pertarungan strategi, tempat di mana penuh pengkhianatan dan intrik, tinggal mana yang lebih piawai membaca dan mengendalikan situasi. Sebuah indikasi adanya penumpang gelap yang ikut bermain.

Sebuah titik lemah bagi AS di Asia Tenggara, mitra utama kepentingan AS di kawasan ini justru ditopang etnis keturunan Tionghoa. AS terlalu plural, berakibat ancaman dekadensi loyalitas.

Secara geografis Asia Tenggara lebih dekat ke RRC. Tetapi bukan semata faktor tersebut, ancaman terhadap hegemoni AS juga menjangkau ke kawasan lain, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur.

Berkaca dari reformasi Indonesia, kemungkinan berulang di Timur Tengah. AS bersusah payah mengerahkan sumber daya untuk melakukan perang melawan terorisme dan Arab Spring, termasuk indikasi menciptakan semacam ISIS dan bersusah payah menumpasnya sendiri, bisa jadi pihak lain yang akan meraup hasilnya. Rival-rival AS bisa bermain memanfaatkannya, untuk kian mengokohkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Ada beragam kepentingan yang sulit dikendalikan, seperti rivalitas antara Suni dengan Syiah, menuntut kejelian dalam memilih mitra yang loyal.

AS boleh merasa jumawa dalam memenangkan Perang Dingin, mampu meluluhlantakkan Blok Timur. Situasi bisa berbalik, ide segar bisa berpindah, Ukraina bisa menjadi contoh awal, AS dan Barat tak berdaya mempertahankan kepentingannya di negara tersebut.

Era Perang Dunia II memang diselesaikan dengan senjata. Sejauh mana Jepang tidak mampu menyentuh jantung kekuatan AS, tetapi AS mampu menjangkau jantung kekuatan Jepang. Kini adalah sebuah era yang berbeda, tak hanya bergantung pada pertarungan fisik, era perpaduan adu strategi.

AS terlalu plural, memungkinkan lobi-lobi dari luar memengaruhi kebijakannya. Membuatnya lebih cepat menjadi jenuh, terlalu banyak kepentingan yang bisa menjadi beban. Sejauh mana lobi rival-rival AS masuk ke jantung pusat pengambil keputusannya, dan sejauh mana lobi AS tidak mampu menembus rivalnya.

Penting diperhatikan oleh rival-rival AS, dalam menentukan mitra kepentingan, tidak semata berorientasi jangka pendek, tetapi memperhatikan juga aspek ideologi dan religi, untuk terjaminnya suatu loyalitas. (dakwatuna)