Senin, 30 Mei 2016

Muhammadiyah, NU, Preferensi Global, dan Roda Zaman

Serangkaian intimidasi dan kriminalisasi menimpa Muhammadiyah, ekskalasinya meningkat dalam waktu dekat ini. Terjadi insiden yang menimpa kendaraan, penembakan gedung  dakwah, hingga pembakaran sekolah milik Muhammadiyah, termasuk kejadian tidak mengenakkan yang menimpa beberapa kadernya. Secara sederhana muncul asumsi bahwa hal-hal tersebut terkait dengan advokasi yang dilakukan Muhammadiyah dalam kasus kematian Siyono, termasuk juga merupakan buntut atas sikap kritis Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah, terutama gugatan yang dilakukan Muhammadiyah terhadap beberapa Undang-Undang seperti, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Ormas.

Akan tetapi ada yang perlu digaris bawahi, bahwa (pemegang kebijakan) dunia tidak sedang berjalan seiring asumsi-asumsi mayoritas publiknya. Kita tidak hanya berada pada era kemajuan teknologi fisik dengan segala kecanggihannya, yang bahkan belum pernah dicapai di masa lampau, tetapi kita juga berada pada era kerumitan aspek-aspek non fisiknya, aspek-aspek kebijakan dan strategi yang kini berlangsung, tak lepas dari sisi-sisi konspirasi. Maka kita juga perlu membaca apa yang sedang menimpa Muhammadiyah tersebut tidak hanya dari aspek luar yang tampak.

Baiklah kita mereview apa yang menimpa kalangan modernis dan tradisionalis, dalam hal ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU pada pertengahan abad ke 20. Kalangan modernis dipersepsikan lebih ramah terhadap nilai-nilai modernisme yang sedang menjadi tren global. Sebaliknya, persepsi Islam yang anti kemajuan, kolot dan radikal lebih melekat pada kalangan tradisionalis. Namun kemudian tren ini berbelok terbalik, pada awal abad ke 21 persepsi militan dan radikal lebih melekat pada kalangan modernis dan puritan. Sebaliknya, kalangan tradisionalis justru mendapatkan image lebih terbuka dan ramah terhadap nilai-nilai liberalisme dan sekularisme.

Maka, ketika pada awal Orde Baru NU didepak secara menyakitkan dari kekuasaan dan mengalami marginalisasi, baiknya kita ‘membaca’ hal tersebut dari dua sisi sekaligus. Bukan hanya agenda global tidak menghendaki model Islam yang kolot dan lebih menghendaki model Islam yang lebih ramah terhadap nilai-nilai modernisme, tetapi perlu juga dibaca aspek yang justru berkebalikan sama sekali dengan yang tampak dari luar, upaya menghentikan laju kalangan Islam modernis meski dalam perspektif saat itu merupakan mitra yang lebih loyal.

Berbagai perlakuan diskriminatif dan intimidasi yang menimpa NU ternyata memang bukan membunuh NU, tetapi justru menguatkannya secara kultur. Akses dan fasilitas yang lebih baik yang diperoleh kalangan modernis di kekuasaan, tidak serta merta berarti mereka lebih diterima dan dikehendaki. Hal tersebut kemudian malah membunuhnya, terbunuh oleh suasana nyaman kedekatannya dengan kekuasaan. Ada aspek-aspek yang tampaknya menekan, namun ia sesungguhnya sedang menguatkan militansi. Sebaliknya, ada aspek-aspek yang tampaknya memberi fasilitas dan proteksi, namun sesungguhnya ia sedang meninabobokan.
Preferensi global telah berubah secara dinamis. Tidak serta merta kalangan modernis melaju seiring arus modernisme zaman, justru kalangan tradisionalis kemudian mengambil alih dominasi dan hegemoni yang ditempati kalangan modernis sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga awal perjalanan negara ini. Ada masa di mana Islam modernis dipandang lebih ramah dan diterima, tapi tren itu tidak statis, kemudian dipersepsikan lebih militan dan radikal. Sebaliknya, persepsi jumud, kolot dan anti kemajuan kemudian berubah menjadi antitesis militan dan radikal yang menghantarkannya untuk lebih terbuka pada nilai-nilai liberalisme dan sekularisme.

Akan tetapi kunci dan benang merah dari dinamika ini tetap, kepentingan global tampaknya tidak menghendaki suatu aliran keagamaan tertentu dalam Islam untuk terlalu dominan. Sebelum terus melaju dan sulit dikendalikan, maka hegemoni tersebut harus diestafetkan. Sebuah kepentingan untuk mempertahankan friksi dan polarisasi dalam tubuh umat Islam, hingga mereka tak beranjak dari problematika internal.

Jika preferensi global tetap berada dalam kondisi dinamis, maka arah perubahan dari preferensi ini tetap merupakan sebuah pertanyaan. Bukan lagi antara radikalisme dan liberalisme misalnya, tetapi preferensi itu bergeser pada kepada Islam yang lebih privat, yang syiarnya tidak terlalu berisik, serta kulturnya tidak terlalu kuat, sehingga lebih mudah tereliminasi dari kehidupan publik. Bisa juga bergeser pada Islam yang apolitik, yang tidak mengganggu dan merepotkan kekuasaan.

Sebagaimana hegemoni Islam modernis yang tidak dikehendaki terus melaju, maka bisa pula terjadi hal serupa, jika tradisionalisme telah menancapkan hegemoninya, maka ia tetap saja tidak boleh terus membesar lagi. Maka konsep Islam Nusantara tampak sejalan dengan upaya menciptakan suasana nyaman bagi NU, melepaskannya dari sebagian akarnya, melepaskannya dari tantangan.

Namun yang ideal bagi umat Islam sesungguhnya adalah melepaskan diri dari preferensi global, upaya untuk mengukuhkan eksistensi sebagai pemegang superioritas peradaban. Meski saat ini Islam sendiri sedang melewati fase inferiornya, tetapi sudah merupakan sunatullah bahwa kejayaan itu terus dipergilirkan. Namun pemilik masa depan bukanlah pemilik (zona nyaman) masa kini. (dakwatuna)

Muhammadiyah dan Kasus Siyono, antara Jebakan dan Peluang

Upaya Muhammadiyah dalam mengawal pengungkapan kasus kematian korban penangkapan Densus 88 Siyono, mendapat perhatian masyarakat secara meluas. Tetapi ada sesuatu yang menjadi pertanyaan dan perlu juga untuk dicermati, mengingat upaya serupa yang telah sering dilakukan Muhammadiyah sebelumnya tidak terekspos secara meluas.

Perlu dicermati apakah misalnya ada kepentingan lain yang sengaja menyeret Muhammadiyah untuk masuk dalam peran ini. Kita berada pada era bertarungnya berbagai kepentingan besar. Kasus terorisme, sebagaimana kasus korupsi, politik dan lainnya, tentunya juga tidak berdiri sendiri, sekaligus rawan festivalisasi untuk kepentingan-kepentingan di baliknya.

Berbeda dengan alm. Siyono yang diakui bukan merupakan warga Muhammadiyah, kasus-kasus terkait tindakan Densus 88 sebelumnya seperti di Tulungagung dan Temanggung bahkan menyangkut warga Muhammadiyah sendiri. Pada kasus-kasus sebelumnya benar-benar ada indikasi kuat mereka merupakan korban salah tangkap, jadi bukan hanya menyangkut persoalan kemanusiaan semata, HAM, atau kesalahan prosedur penanganan kasus terorisme.

Penting juga untuk diperhatikan oleh Muhammadiyah, mengingat Kapolri saat ini Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti berasal dari keluarga Muhammadiyah. Kasus kematian Siyono bisa jadi dikehendaki dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin untuk mengadu domba antara Muhammadiyah dengan Polri. Ketika saat ini bisa dikatakan Muhammadiyah sepenuhnya terlempar dari pemerintahan, dimana tak seorang pun dalam kabinet yang merepresentasikan perwakilan Muhammadiyah, kasus Siyono bisa merupakan test loyalitas bagi Muhammadiyah, batu uji untuk memisahkan Polri dari Muhammadiyah.

Muhammadiyah perlu belajar dari Reformasi 1998, Muhammadiyah saat itu mendapatkan posisi cukup baik pada pemerintahan Orde Baru, terutama pada periode akhirnya, kemudian Muhammadiyah justru menjadi motor untuk menumbangkan pemerintahan saat itu. Di antara euforia arus dukungan Muhammadiyah pada Reformasi 1998, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah saat itu Hajriyanto Y. Tohari, memberikan sebuah opini berbeda sebagai warning bagi Muhammadiyah, NU akan segera bertukar posisi mengungguli Muhammadiyah, dan ternyata benar. Hasil yang kemudian didapat Muhammadiyah dari reformasi tersebut adalah, Muhammadiyah terlempar dari kekuasaan, bahkan perannya dalam kehidupan bangsa ini termarjinalisasi, sementara cita-cita ideal yang diharapkan dari reformasi belum terwujud, jika tidak dikatakan makin jauh.

Di antara euforia melambungnya Muhammadiyah dalam persoalan Siyono ini, Muhammadiyah perlu tetap berada pada peran tengahnya, menjaga sikap proporsionalitasnya serta tidak terjebak pada sikap emosionalitas sesaat. Sehingga Muhammadiyah bisa menempatkan diri, berperan lebih komprehensif, menyuarakan sikap kritisnya tanpa kehilangan kesempatan untuk melakukan perbaikan dari dalam.

Dari satu sisi saja, ketika pimpinan Polri dipimpin oleh orang yang berasal dari keluarga Muhammadiyah, ada sisi-sisi perubahan positif yang dicapai. Salah satunya yang tampak adalah merebaknya anjuran untuk shalat tepat waktu dan berjamaah pada jajaran kepolisian. Jangan sampai sisi-sisi positif ini kemudian pupus, jangan sampai Muhammadiyah mendapatkan sesuatu tetapi kehilangan sesuatu yang lebih besar.

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah ini sekaligus juga merupakan peluang, sejauh mana Muhammadiyah bisa memainkan peran secara apik menyangkut persoalan bangsa. Serupa dengan yang dilakukan NU ketika berhadapan dengan upaya marjinalisasi, kemudian keluar dari zona tersebut dan mengambil alih posisi dominan yang dipegang Muhammadiyah sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga akhir Orde Baru. Peran untuk menempatkan diri pada perputaran roda zaman, antara naik dan tergilas. (dakwatuna)