Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaiahi
Wassallam belum lama berlalu. Meskipun peristiwa Isra Miraj diperingati di
Indonesia secara khusus, namun pesan mendalam dari peristiwa tersebut hendaknya
tak menguap seiring berlalunya waktu. Selain tentang mukjizat, dan salat, Isra
Miraj juga mengungkapkan betapa istimewanya kedudukan Masjid Al Aqsa dalam
Islam. Namun keistimewaan itu tidak sejalan dengan nasibnya saat ini. Di tengah
penjajahan Israel atas tanah Palestina, Al Aqsa tampaknya tengah dijauhkan dari
umat Islam. Termasuk kebijakan Israel yang tidak membebaskan umat Islam untuk
beribadah di sana.
Isra Miraj yang diperingati di Indonesia mengingatkan
kita agar tetap peduli dengan nasib rakyat Palestina dan khususnya Masjid Al
Aqsa.
Kepedulian ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa kita.
Bahkan sejak bangsa ini belum merdeka dari penjajahan, rakyat Indonesia bersama
tokoh-tokoh Islam telah menunjukkan solidaritas mereka. Persaudaraan yang
membentang melintas lautan tak melunturkan kepedulian para pendahulu kita.
Meskipun dengan penuh keterbatasan, namun persoalan penderitaan rakyat Palestina
yang terusir serta teraniaya diketengahakan kepada umat Islam di Indonesia ,
baik oleh para ulama maupun tokoh pemuda –pemuda Islam di masa
silam.
Solidaritas kepada Palestina ditunjukkan dengan sangat
gigih oleh Nadhlatul Ulama. Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU, pada
tahun 1938 mengedarkan seruan kepada berbagai ormas dan Partai Islam seperti
Muhammadiyah, Al Irsyad, PSII dan lainnya.
PBNU kala itu menyerukan kepada ormas dan partai Islam
untuk bersikap tegas atas apa yang dilakukan bangsa Yahudi dan bahu membahu
membantu rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan mereka dari
kaum Zionis penjajah.
PBNU menyerukan pula agar diadakannya Palestine
Fonds (Dana Palestina). Bahkan cabang-cabang NU di seluruh Indonesia
diinstruksikan untuk menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai ‘Pekan Rajabiyah.’
Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra Miraj dengan solidaritas terhadap
perjuangan rakyat Palestina merdeka. PBNU pun menyerukan kepada seluruh anggota
NU dan umat Islam untuk melakukan Qunut Nazilah pada setiap salat
fardhu.
Atas seruan ini, pemerintah kolonial bereaksi keras.
Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) memanggil KH Mahfudz Shiddiq, selaku
ketua PBNU. Hoofd Parket melarang Qunut Nazilah dan ‘Pekan
Rajabiyah.’ Ulama besar KH Hasyim Asy’ari, kemudian merespon reaksi
pemerintah kolonial. Pada Mukatamar ke -14 Nadhlatul Ulama di tahun 1939, saat
memberikan khotbah iftitah (pidato pembukaan), beliau mengungkapkan
bahwa doa tersebut bukan untuk menghina golongan lain, seperti yang dituduhkan,
namun, semata-mata sebuah kewajiban solidaritas sesama umat Islam dan perintah
Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaiahi Wassallam, kepada umatnya setiap
menghadapi bencana. Hadratus Syaikh ketika itu dalam bahasa Arab
mengemukakan,
“Tetapi para pembesar pemerintah meilhatnya tidak
seperti yang dilihat Nadhlatul Ulama, sebab itu, melarang kita mengerjakan
hal-hal yang telah lalu, yang telah kita lewati selama ini.” (K.H. Saifuddin
Zuhri; 2013)
Pembelaan tidak saja datang dari kalangan ulama, namun
juga dari para pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond
(JIB). Kelompok pemuda yang digerakkan tokoh-tokoh seperti M. Natsir, Kasman
Singodimedjo, Samsurizal dan lain-lain ini, melakukan pembelaan terhadap
Palestina. Bekerja sama dengan Jamiat Al Khair di Mesir, mereka mendukung
perjuangan rakyat Palestina, dan menolak tembok ratapan yang berada di dekat Al
Aqsha. Mereka melihat hal ini merupakan sebuah ancaman terhadap Masjid Al Aqsha
(Dardiri Husni; 1998). Tahun 1941, salah seorang tokoh JIB, M. Natsir kembali
mengemukakan kepedulian terhadap penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung
selesai. Ia mengkritik cacatnya perjanjian Balfour.
“Djanji Balfour tidak memberi penjelesaian; ia hanja
menimbulkan soal, jang berkehendak kepada penjelasan. Lebih-lebih disaat ini, di
saat berbagai basa jang beragama Islam turut berdjuang disamping Negara Serikat,
di saat blok bangsa Arab penuh Simpati terhadap pihak serikat-, sungguh bukan
suatu perbuatan bidjaksana, apabila orang merajakan 24 tahun lahirnja ‘Balfour
Declaration’, jang oleh milliunan bangsa-bangsa jang beragama Islam terasa
sebagai duri dalam daging itu.” (M. Natsir ; 1954)
Gencarnya dukungan para ulama serta tokoh-tokoh Islam
sejak lama, memberikan kesan yang begitu nyata. Bagi umat Islam di Palestina,
meskipun dukungan tersebut terpisah sangat jauh, namun rupanya hal ini membuat
mereka merasakan pula penderitaan rakyat Indonesia yang terjajah sekian lama.
Maka ketika tersiar Mufti Besar Palestina, Amin Al Husaini, mengucapkan selamat
atas ‘pengakuan Jepang’, untuk kemerdekaan Indonesia, hal ini turut menjadi
dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio
Berlin berbahasa Arab tersebut, disebarluaskan oleh para mahasiswa Indonesia di
Kairo untuk menggelorakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, sehingga kabar
tersebut dimuat berbagai media di Mesir. (M. Zein Al Hassan; 1980)
Hubungan saling mendukung ini terus berlanjut,
melintasi waktu. Bahkan setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia secara
khusus mendukung eksistensi Masjid Al Aqsha. Tahun 1965, Presiden Sukarno, kala
itu melalui perantara menteri agama, KH Saifuddin Zuhri, turut membantu
pemugaran Masjid Al Aqsha. Indonesia menyumbang $ 18.000 yang disampaikan kepada
Menteri Urusan Waqaf Kerajaan Yordania. (KH. Saifuddin Zuhri,;
2013).
Bangsa Indonesia sejatinya memang menolak segala bentuk
penjajahan, bahkan ketika dirinya masih dalam keterbatasan akibat penjajahan.
Penolakan atas segala macam penjajahan yang dilandasi ukhuwah Islam mampu
menjadi daya dorong yang luar biasa. Kepedulian ulama serta tokoh-tokoh Islam,
meskipun dirintangi kebijakan kolonial, mampu mengatasi jarak yang membentang
hingga ke timur tengah. Berkaca dari sejarah para pendahulu kita dimasa silam,
dukungan terhadap rakyat Palestina, seharusnya menjadi semakin kuat dan gencar.
Jika di masa lalu saja, dengan segala keterbatasan, bangsa ini mampu memberikan
dukungan yang membuat penguasa kolonial resah, apalagi dimasa kini, saat kita
sudah mengecap nikmatnya kemerdekaan.
Fatwa ulama dan langkah ormas Islam tak disangkal mampu
menggerakkan masyarakat. Yang dibutuhkan kembali saat ini adalah kebijakan yang
mampu menyentuh masyarakat, contohnya, semacam Pekan Rajabiyah ala NU dahulu,
sehingga perayaan semacam Isra Miraj tak lagi sekedar peringatan belaka, namun
mampu memberikan langkah nyata bagi rakyat Palestina yang mengayun bersama derap
masyarakat kita.*
Oleh: Beggy Rizkyansyah
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB)
Pustaka :
Hassan, M. Zein. 1980. Diplomasi Revolusi Indonesia
di Luar Negeri. Bulan Bintang : Jakarta
Husni, Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada : McGill University
Natsir, M. 1954. Djublium Balfour-Mac Mahon..! dalam Capita Selecta. W. Van Hoeve : Bandung
Zuhri, KH Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. LKiS : Yogyakarta.
Husni, Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada : McGill University
Natsir, M. 1954. Djublium Balfour-Mac Mahon..! dalam Capita Selecta. W. Van Hoeve : Bandung
Zuhri, KH Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. LKiS : Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar