Serangkaian intimidasi dan kriminalisasi menimpa Muhammadiyah, 
ekskalasinya meningkat dalam waktu dekat ini. Terjadi insiden yang menimpa 
kendaraan, penembakan gedung  dakwah, hingga pembakaran sekolah milik 
Muhammadiyah, termasuk kejadian tidak mengenakkan yang menimpa beberapa 
kadernya. Secara sederhana muncul asumsi bahwa hal-hal tersebut terkait dengan 
advokasi yang dilakukan Muhammadiyah dalam kasus kematian Siyono, termasuk juga 
merupakan buntut atas sikap kritis Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah, 
terutama gugatan yang dilakukan Muhammadiyah terhadap beberapa Undang-Undang 
seperti, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Ormas.
Akan tetapi ada yang perlu digaris bawahi, bahwa (pemegang kebijakan) dunia 
tidak sedang berjalan seiring asumsi-asumsi mayoritas publiknya. Kita tidak 
hanya berada pada era kemajuan teknologi fisik dengan segala kecanggihannya, 
yang bahkan belum pernah dicapai di masa lampau, tetapi kita juga berada pada 
era kerumitan aspek-aspek non fisiknya, aspek-aspek kebijakan dan strategi yang 
kini berlangsung, tak lepas dari sisi-sisi konspirasi. Maka kita juga perlu 
membaca apa yang sedang menimpa Muhammadiyah tersebut tidak hanya dari aspek 
luar yang tampak.
Baiklah kita mereview apa yang menimpa kalangan modernis dan tradisionalis, 
dalam hal ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU pada pertengahan abad 
ke 20. Kalangan modernis dipersepsikan lebih ramah terhadap nilai-nilai 
modernisme yang sedang menjadi tren global. Sebaliknya, persepsi Islam yang anti 
kemajuan, kolot dan radikal lebih melekat pada kalangan tradisionalis. Namun 
kemudian tren ini berbelok terbalik, pada awal abad ke 21 persepsi militan dan 
radikal lebih melekat pada kalangan modernis dan puritan. Sebaliknya, kalangan 
tradisionalis justru mendapatkan image lebih terbuka dan ramah terhadap 
nilai-nilai liberalisme dan sekularisme.
Maka, ketika pada awal Orde Baru NU didepak secara menyakitkan dari kekuasaan 
dan mengalami marginalisasi, baiknya kita ‘membaca’ hal tersebut dari dua sisi 
sekaligus. Bukan hanya agenda global tidak menghendaki model Islam yang kolot 
dan lebih menghendaki model Islam yang lebih ramah terhadap nilai-nilai 
modernisme, tetapi perlu juga dibaca aspek yang justru berkebalikan sama sekali 
dengan yang tampak dari luar, upaya menghentikan laju kalangan Islam modernis 
meski dalam perspektif saat itu merupakan mitra yang lebih loyal.
Berbagai perlakuan diskriminatif dan intimidasi yang menimpa NU ternyata 
memang bukan membunuh NU, tetapi justru menguatkannya secara kultur. Akses dan 
fasilitas yang lebih baik yang diperoleh kalangan modernis di kekuasaan, tidak 
serta merta berarti mereka lebih diterima dan dikehendaki. Hal tersebut kemudian 
malah membunuhnya, terbunuh oleh suasana nyaman kedekatannya dengan kekuasaan. 
Ada aspek-aspek yang tampaknya menekan, namun ia sesungguhnya sedang menguatkan 
militansi. Sebaliknya, ada aspek-aspek yang tampaknya memberi fasilitas dan 
proteksi, namun sesungguhnya ia sedang meninabobokan.
Preferensi global telah berubah secara dinamis. Tidak serta merta kalangan 
modernis melaju seiring arus modernisme zaman, justru kalangan tradisionalis 
kemudian mengambil alih dominasi dan hegemoni yang ditempati kalangan modernis 
sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga awal perjalanan negara ini. Ada masa di 
mana Islam modernis dipandang lebih ramah dan diterima, tapi tren itu tidak 
statis, kemudian dipersepsikan lebih militan dan radikal. Sebaliknya, persepsi 
jumud, kolot dan anti kemajuan kemudian berubah menjadi antitesis militan dan 
radikal yang menghantarkannya untuk lebih terbuka pada nilai-nilai liberalisme 
dan sekularisme.
Akan tetapi kunci dan benang merah dari dinamika ini tetap, kepentingan 
global tampaknya tidak menghendaki suatu aliran keagamaan tertentu dalam Islam 
untuk terlalu dominan. Sebelum terus melaju dan sulit dikendalikan, maka 
hegemoni tersebut harus diestafetkan. Sebuah kepentingan untuk mempertahankan 
friksi dan polarisasi dalam tubuh umat Islam, hingga mereka tak beranjak dari 
problematika internal.
Jika preferensi global tetap berada dalam kondisi dinamis, maka arah 
perubahan dari preferensi ini tetap merupakan sebuah pertanyaan. Bukan lagi 
antara radikalisme dan liberalisme misalnya, tetapi preferensi itu bergeser pada 
kepada Islam yang lebih privat, yang syiarnya tidak terlalu berisik, serta 
kulturnya tidak terlalu kuat, sehingga lebih mudah tereliminasi dari kehidupan 
publik. Bisa juga bergeser pada Islam yang apolitik, yang tidak mengganggu dan 
merepotkan kekuasaan.
Sebagaimana hegemoni Islam modernis yang tidak dikehendaki terus melaju, maka 
bisa pula terjadi hal serupa, jika tradisionalisme telah menancapkan 
hegemoninya, maka ia tetap saja tidak boleh terus membesar lagi. Maka konsep 
Islam Nusantara tampak sejalan dengan upaya menciptakan suasana nyaman bagi NU, 
melepaskannya dari sebagian akarnya, melepaskannya dari tantangan.
Namun yang ideal bagi umat Islam sesungguhnya adalah melepaskan diri dari 
preferensi global, upaya untuk mengukuhkan eksistensi sebagai pemegang 
superioritas peradaban. Meski saat ini Islam sendiri sedang melewati fase 
inferiornya, tetapi sudah merupakan sunatullah bahwa kejayaan itu terus 
dipergilirkan. Namun pemilik masa depan bukanlah pemilik (zona nyaman) masa 
kini. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar