Ketika beberapa waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke
tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus mengubah peta kekuatan politik dan militer
di negara tersebut, seharusnya menjadi sebuah warning bagi keberlangsungan entitas muslim
Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih dominasi Sunni atas dunia
Islam.
Pelan tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni
beralih ke tangan Syiah. Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak
pasca invasi AS, dan dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro
Iran. Lebih luas lagi, secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan,
termasuk diuntungkan oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring.
Bahkan termasuk di Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar,
melampaui statusnya sebagai minoritas.
Untuk membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah
ada proses panjang di balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan
dengan baik oleh kaum Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu
saja tiba-tiba menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak
disadari oleh kaum Sunni sendiri.
Tulisan ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah
dogma, bukan untuk menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif
usaha-usaha yang dilakukan dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah
peradaban. Di antara klaim kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah
masing-masing di antara kita menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki,
seobyektif mungkin dan tanpa prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan
mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban
Generasi kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama
didominasi oleh paham Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah
mayoritas, sedang Syiah hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita
bisa lengah, dengan mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh
Syiah, apalagi dalam waktu dekat.
Tetapi dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan
berbagai ideologi dan peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan
keruntuhannya, sesungguhnya sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada
dalam situasi yang cair. Pintu sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci,
sehingga tidak ada tempat yang aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat
dan tidur dengan tenang, sekokoh apapun mereka.
Pasca dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa
diibaratkan seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika
segelintir orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban
besar. Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan
peradaban besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.
Bukan sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak
juga terjebak pada sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia.
Bukan hanya khayal dan angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan
retorika-retorika kosong, tetapi membutuhkan usaha-usaha luar biasa,
upaya-upaya taktis dan terukur untuk merealisasikannya. Mencari celah-celah
sempit untuk menembus kukuhnya benteng dominasi Sunni, menaklukkan sebuah
kemustahilan.
Bukan sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan
kesabaran dan waktu, bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang
terarah pada target yang ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia,
memanfaatkan berbagai friksi dan konflik kepentingan, serta bermain di antara
berbagai benturan ideologi dan peradaban besar.
Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan
Tradisionalisme
Sebuah retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya
dominasi Sunni dalam dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus
menghadapi mayoritas Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti
hanya perlu menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi
lebih ringan, bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam
tubuh Sunni itu sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.
Islam pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab
menjadi sesuatu yang tak bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang,
situasi dan kultur yang bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin
komplek. Antara menjaga orisinalitas agama dengan mengakomodasi
fleksibilitasnya akan terus memunculkan dinamika.
Nabi Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang
dibawanya bukan hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak
ada lagi nabi sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang
mengembalikan orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para
pembaharu tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat,
tetapi orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama
terdahulu. Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab
semua problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.
Tidak semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara
detail, tak mungkin tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan
generasi, Islam tak memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek
yang dijelaskan secara global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam
beragam kondisi dan zaman yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu
mencerna Islam sesuai kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi
abad pertama Islam tidak terbebani semua permasalahan generasi kita.
Sebaliknya, bagi generasi kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang
belum dirumuskan secara langsung oleh generasi terdahulu.
Di antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan
hidup umat Islam, muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam
menyikapinya. Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring
perjalanan panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak
tradisionalis, puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.
Antara menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama,
sering menjadi sebuah persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa
tegak di atas penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari
penyelewengan, tetapi keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut
membutuhkan sikap obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan.
Jika tidak, hal ini akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan
kontraproduktif bagi umat ini sendiri.
Terlepas dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai
friksi yang terjadi, dalam catatan-catatan gelap seperti Memoar of Hempher atau Lawrence of Arabiya, yang
kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan, tetapi kenyataannya memang
dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme, persaingan politik,
persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.
Friksi antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal
seperti polemik tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan
meneguhkan eksistensi Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil
medan konfrontasi Syiah dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah
dengan Syiah, pada sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh
untuk mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi
dengan kaum puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri
lebih dekat dengan Syiah.
Antara Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya
memiliki kesamaan akar keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani,
hadis kutubussitah dan madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan
di antara keduanya mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan
praktek keagamaan di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi
sulit untuk dipertemukan.
Ketika salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta
penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan
keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya,
sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk
mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi
oleh kalangan Sunni.
Sebaliknya, antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar
keagamaan yang berbeda sama sekali, tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang
serupa, dan mengakomodirnya, sehingga penampakannya memiliki banyak kesamaan,
misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur, istighatsah, tawasul, tasawuf,
wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin menarik kedekatan mereka dengan
kalangan Syiah.
Menjaga eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk
menyikapi friksi yang terjadi, membutuhkan pandangan yang obyektif dan
komprehensif mengenai perkara ushul
dan furu’, serta
berbagai ikhtilaf
yang sulit disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki.
Jika tidak, justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus
menjadi beban internal yang cukup melemahkan.
Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme Barat
Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al
bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak
menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk
memperebutkan supremasi dunia.
Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang
didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia
Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme.
Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara
ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram
dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas
Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah
superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki
kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah
kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan
lebih berat yang harus dihadapi Sunni.
Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah)
menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan
Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada
era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi
politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang
kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara
Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada
kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan
Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak
kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang
didominasi Syiah.
Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya
pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya
berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja.
Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang
dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi
antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan
memfasilitasi kemunculan ISIS,
berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di
wilayah tersebut.
Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga
menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah
satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik
Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian
menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah
konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat,
Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya,
hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis
dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi
berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian
berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca
Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis
sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan
jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan
kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi,
tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini. Sebagaimana halnya ketika
Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad
karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak
sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis
begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi,
segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan
diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan
Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di
Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin,
bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal,
tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang
hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran
lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan
seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan,
revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat,
termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir
tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru
memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran
berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian
pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk
upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang
berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan
segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan,
tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi
dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh
pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam
sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik
peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan
sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas
genderang yang ditabuh orang lain.
Dunia Islam di Ambang Syiah
Ketika di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah
bisa memadukan gerak langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah
Imamiyah, Zaidiyah, Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi
dengan kalangan sekuler, liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam. Di
sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit
dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis,
konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para
pemegang kekuasaan.
Arab Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit
meluasnya pengaruh Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki
kemampuan sumber daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai,
tidak punya pilihan lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan
bersyarat yang membuat mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis.
Sedang Barat sendiri tidak tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan
yang sangat rapuh.
Menjadi ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas
muslim Sunni dalam mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami
situasi agar tidak terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk
makin melemahkan Sunni itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun
benturannya dengan kalangan eksternal.
Sejauh mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan
kalangan nasionalis, atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik
kepentingan, yang bisa menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk
meninggalkan identitas Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga
komunitas Sunni makin terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin
sempit.
Demikian pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim
dan penguasa lokal, yang notabene masih muslim, dengan kebaikan dan
keburukannya, agar terhindar dari benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan
kepada penguasa yang lebih buruk. Benturan antara Islamis dan penguasa lokal
seperti yang terjadi di Libya, Sudan atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan
agar tidak menjadi blunder di belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak
luar untuk makin melemahkan kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan
realitas adanya kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di
sisi lain mereka adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri
menjadi solusi, mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang.
Daripada kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut
jatuh sepenuhnya ke pihak lain.
Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang
Di suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini
dari segala penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya
untuk memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup
hanya dihadapi secara emosional buta.
Kebenaran memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah
kebaikan bagi kehidupan, tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit.
Sedang takdir yang baik senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan
cara-cara curang, menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh
dan mudah diperdaya.
Dalam keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan
kesulitan yang menimpa, nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal
pikirnya memiliki kesadaran, yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara,
sebuah nilai unggul yang akan menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan
untuk menguasai dan menaklukkan manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan
mereka untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki.
Menjadi sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang
dibangun dengan aliansi dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para
pencari kebenaran yang hakiki?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar