Sahabat, di antara persahabatan kita masih ada sebuah ganjalan, perbedaan keyakinan yang sangat prinsip.
Sahabat,
 di antara persahabatan kita, kebaikan-kebaikan yang tertanam di antara 
kita, kebaikan itu kian menambah perih. Sebagaimana kedengkian yang 
ditimpakan Abu Jahal memang sakit, tapi lebih perih lagi kebaikan yang 
ditanamkan Abu Thalib. Kerisauan tentang orang-orang terkasih, 
sahabat-sahabat terbaik, namun tidak sekeyakinan.
Aku meyakini 
sepenuhnya, jalan kebenaran adalah jalan yang aku tempuh ini. Sebaliknya
 di seberang sana, sepenuh keyakinanmu bahwa kebenaran adalah jalan yang
 kau tempuh. Bagaimana jika kita telah bersungguh-sungguh 
mempersembahkan pengabdian, tapi tertolak di hadapan-Nya, keyakinan itu 
ternyata keliru. Jika di hari keputusan nanti, aku benar dan engkau 
salah, aku sudah sulit membayangkannya. Tapi, jika di hari itu justru 
aku yang salah dan engkau benar, aku lebih sulit untuk membayangkannya.
Aku
 sadar ada konsekwensi besar atas perbedaan ini. Aku risau bila nantinya
 aku berenang di taman-taman surga yang penuh kenikmatan, sementara 
engkau sedang diliputi api yang menyala-nyala, membakar sekujur tubuhmu.
 Sama halnya, di seberang sana engkau justru merisaukanku, jika akulah 
yang berada dalam siksa pedih itu, sedang dirimu berada dalam kedamaian.
Bagaimana
 aku tega mendapatimu terjerembab dan menahan perih, sementara aku hanya
 berlalu membiarkanmu. Jika engkau tergelincir, aku semestinya berupaya 
menolongmu, menyelamatkanmu. Jika engkau tersesat, semestinya aku 
menunjukkan jalan untukmu. Bagaimana rasanya jika aku tergelincir dan 
meminta tolong sementara engkau berlalu begitu saja dan membiarkanku. 
Dapatkah dikatakan persahabatan ini sejati?
Sahabatku, mungkin 
selama ini aku sungkan untuk mengatakan bahwa keyakinanmu salah, aku 
segan untuk menyeru engkau kepada kebenaran yang kuyakini akan membawa 
keselamatan, aku khawatir akan mencederai persahabatan kita. Aku tahu 
engkau di seberang sana juga demikian, segan untuk mengatakan aku adalah
 domba yang tersesat, engkau takut mengajakku kepada kebenaran yang kau 
yakini, engkau takut akan membuatku marah dan kehilangan persahabatan 
kita.
Namun jika demikian, bukankah berarti kita saling membiarkan
 kepada celaka dan kesesatan? Di saat aku terpikir untuk mengesampingkan
 perbedaan ini demi persahabatan kita, aku khawatir jika kelak aku 
menyesal dan merasa bersalah, persahabatan kita berlalu begitu saja 
tanpa saling mengingatkan.
Sahabat, sempat kita terbersit untuk 
menghilangkan sejenak kerisauan ini dengan sebuah konsep yang bernama 
pluralisme, anggap saja jalan yang berbeda ini muaranya sama. Tetapi 
akal sehat kita sepakat bahwa di antara berbagai informasi yang saling 
bertentangan tentang suatu hal, maksimal hanya satu yang benar. Konsep 
ini sejenak bisa menjadi obat yang menghilangkan kerisauan di antara 
persahabatan kita, ia memang menghibur, tapi ia semu dan menipu. Mau 
tidak mau, atau akan terlambat sama sekali, masing-masing kita harus 
mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Aku
 muak dengan keributan tentang toleransi. Bagiku yang terpenting adalah 
bagaimana menyelamatkan seorang sahabat terbaik. Aku risau bila salah 
satu di antara kita kelak berada dalam kebinasaan. Sebelum ketika hari 
itu telah tiba, segalanya sudah terlambat, tinggallah penyesalan yang 
kekal, sedang tak ada lagi kesempatan untuk kembali.
Sahabatku, 
bagaimanapun perbedaan ini, semestinya kita pernah saling mengingatkan, 
masing-masing kita seharusnya telah berusaha, dan ini adalah bentuk 
kepedulian kita. Jika aku menyerumu kemari, bukan berarti aku dengki 
kepadamu, tetapi karena aku peduli kepadamu, untuk menyelamatkanmu. Juga
 saat engkau menyeruku kesana, yang membuat aku tersinggung dan marah, 
sebenarnya aku mengerti, berarti engkau peduli kepadaku, engkau ingin 
menyelamatkanku. Agar persahabatan kita menjadi persahabatan yang 
sebenar-benarnya, sampai hari nanti yang kekal.
Sahabatku, 
bagaimanapun perbedaan ini, masing-masing dari kita sendiri yang akan 
mempertanggungjawabkannya. Bagaimanapun keadaan kita saat ini, 
berharaplah kepada-Nya agar mendapatkan sebenar-benar petunjuk. Agar 
termasuk orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang 
paling baik di antaranya, sebagaimana aku diingatkan oleh firman-Nya, “Yang
 mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di 
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk 
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az Zumar: 18)
Aku
 berharap di antara kita berupaya dengan sebaik-baiknya, menguji dengan 
sungguh-sungguh untuk sebuah pedoman hidup. Sebaik-baik usaha, dengan 
sepenuh akal sehat, tanpa prasangka. Memohon petunjuk-Nya, memohon 
setulusnya, dari kepasrahan seorang hamba yang lemah, agar ditunjukkan 
jalan yang benar.
Sahabatku, demikianlah dilema ini. Saat menurut 
keyakinanku aku mendapati engkau berjalan menuju kebinasaan, aku 
mengajakmu kemari, aku ingin menyelamatkanmu, dari seberang sana engkau 
malah mengajakku kesana, karena menurut keyakinanmu jalan itulah jalan 
kebenaran yang akan menuju pada kedamaian. Aku mengajakmu untuk 
mengesakan-Nya dengan sebenar-benarnya, tidak membuat tandingan 
sesuatupun terhadap-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada
 sesuatupun yang setara dengan Dia, tetapi bagimu, aku mendustakan Sang 
Putra yang Dia utus dengan kasih untuk menebus dosa anak manusia. Saat 
bagiku keberadaan Sang Putra adalah menodai keesaan-Nya, membuat 
tandingan terhadap-Nya, sedang bagimu itu berarti aku tidak memuliakan 
karunia-Nya.
Maka maafkan aku sahabatku, menjelang Natal ini bukan
 kata-kata yang ringan dan manis yang kusampaikan, karena aku tahu 
konsekwensinya teramat berat. Aku lebih ingin di antara kita melakukan 
perenungan untuk menemukan sebuah jalan kebenaran yang sebenarnya.
http://www.dakwatuna.com/2015/12/23/77680/77680/