Upaya Muhammadiyah dalam mengawal pengungkapan kasus kematian korban penangkapan 
Densus 88 Siyono, mendapat perhatian masyarakat secara meluas. Tetapi ada 
sesuatu yang menjadi pertanyaan dan perlu juga untuk dicermati, mengingat upaya 
serupa yang telah sering dilakukan Muhammadiyah sebelumnya tidak terekspos 
secara meluas.
Perlu dicermati apakah misalnya ada kepentingan lain yang sengaja menyeret 
Muhammadiyah untuk masuk dalam peran ini. Kita berada pada era bertarungnya 
berbagai kepentingan besar. Kasus terorisme, sebagaimana kasus korupsi, politik 
dan lainnya, tentunya juga tidak berdiri sendiri, sekaligus rawan festivalisasi 
untuk kepentingan-kepentingan di baliknya.
Berbeda dengan alm. Siyono yang diakui bukan merupakan warga Muhammadiyah, 
kasus-kasus terkait tindakan Densus 88 sebelumnya seperti di Tulungagung dan 
Temanggung bahkan menyangkut warga Muhammadiyah sendiri. Pada kasus-kasus 
sebelumnya benar-benar ada indikasi kuat mereka merupakan korban salah tangkap, 
jadi bukan hanya menyangkut persoalan kemanusiaan semata, HAM, atau kesalahan 
prosedur penanganan kasus terorisme.
Penting juga untuk diperhatikan oleh Muhammadiyah, mengingat Kapolri saat ini 
Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti berasal dari keluarga Muhammadiyah. Kasus 
kematian Siyono bisa jadi dikehendaki dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang 
ingin untuk mengadu domba antara Muhammadiyah dengan Polri. Ketika saat ini bisa 
dikatakan Muhammadiyah sepenuhnya terlempar dari pemerintahan, dimana tak 
seorang pun dalam kabinet yang merepresentasikan perwakilan Muhammadiyah, kasus 
Siyono bisa merupakan test loyalitas bagi Muhammadiyah, batu uji untuk 
memisahkan Polri dari Muhammadiyah.
Muhammadiyah perlu belajar dari Reformasi 1998, Muhammadiyah saat itu 
mendapatkan posisi cukup baik pada pemerintahan Orde Baru, terutama pada periode 
akhirnya, kemudian Muhammadiyah justru menjadi motor untuk menumbangkan 
pemerintahan saat itu. Di antara euforia arus dukungan Muhammadiyah pada 
Reformasi 1998, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah saat itu 
Hajriyanto Y. Tohari, memberikan sebuah opini berbeda sebagai warning bagi 
Muhammadiyah, NU akan segera bertukar posisi mengungguli Muhammadiyah, dan 
ternyata benar. Hasil yang kemudian didapat Muhammadiyah dari reformasi tersebut 
adalah, Muhammadiyah terlempar dari kekuasaan, bahkan perannya dalam kehidupan 
bangsa ini termarjinalisasi, sementara cita-cita ideal yang diharapkan dari 
reformasi belum terwujud, jika tidak dikatakan makin jauh.
Di antara euforia melambungnya Muhammadiyah dalam persoalan Siyono ini, 
Muhammadiyah perlu tetap berada pada peran tengahnya, menjaga sikap 
proporsionalitasnya serta tidak terjebak pada sikap emosionalitas sesaat. 
Sehingga Muhammadiyah bisa menempatkan diri, berperan lebih komprehensif, 
menyuarakan sikap kritisnya tanpa kehilangan kesempatan untuk melakukan 
perbaikan dari dalam.
Dari satu sisi saja, ketika pimpinan Polri dipimpin oleh orang yang berasal 
dari keluarga Muhammadiyah, ada sisi-sisi perubahan positif yang dicapai. Salah 
satunya yang tampak adalah merebaknya anjuran untuk shalat tepat waktu dan 
berjamaah pada jajaran kepolisian. Jangan sampai sisi-sisi positif ini kemudian 
pupus, jangan sampai Muhammadiyah mendapatkan sesuatu tetapi kehilangan sesuatu 
yang lebih besar.
Upaya yang dilakukan Muhammadiyah ini sekaligus juga merupakan peluang, 
sejauh mana Muhammadiyah bisa memainkan peran secara apik menyangkut persoalan 
bangsa. Serupa dengan yang dilakukan NU ketika berhadapan dengan upaya 
marjinalisasi, kemudian keluar dari zona tersebut dan mengambil alih posisi 
dominan yang dipegang Muhammadiyah sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga 
akhir Orde Baru. Peran untuk menempatkan diri pada perputaran roda zaman, antara 
naik dan tergilas. (dakwatuna) 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar