Hubungan antara kalangan Islam
dan Nasionalis sebenarnya sudah relatif cair. Berbagai koalisi yang terbangun
dari tingkat lokal dalam pilkada hingga pada tingkat nasional sudah tidak
terpaku pada dikotomi Islam-Nasionalis. Kalangan Islamis sudah tidak terlalu
mengingat latar belakang Jokowi yang berasal dari partai yang sering
berseberangan dengan visi keumatan di masa lalu, demikian pula menerima realitas
keberadaan Ahok sebagai seorang non-muslim yang memenangkan suatu pemilihan.
Tetapi ketika kalangan politik Islam lebih cenderung mencitrakan dirinya
semakin ke tengah, moderat, mengayomi semua kalangan, melepaskan diri dari
sekat-sekat ideologis, justru bola-bola panas terus terlontar dari pihak
Jokowi-Ahok, keberanian melempar isu-isu yang menohok kalangan Islamis.
Ahkirnya hingga saat ini terjadi
perseteruan yang sengit antara pendukung Jokowi dan kubu Islamis, melalui
perang opini di berbagai media, pertarungan di jejaring sosial, mengambil posisi
yang saling menjatuhkan satu sama lain. Namun apakah perseteruan ini akan
berakhir dengan koalisi keduanya?
Meski perseteruan ini tidak
semata-mata hanya berada di ranah persaingan politik, tetapi juga merambah
lebih jauh pada isu-isu ideologis. Statemen-statemen panas yang yang sering
dilontarkan Ahok tentang agama, dimulai episode ayat konstitusi, dilanjutkan
tentang dompet, dempet dan akhlak, kebijakan pembongkaran beberapa masjid,
pengangkatan lurah non-muslim, wacana tentang lokalisasi dan penghapusan
identitas agama di KTP dan sebagainya. Meski demikian tetaplah politik itu
bundar, tidak ada kawan atau lawan abadi. Berbagai benturan ideologis dan
politis antara keduanya tidak serta merta membuat peluang untuk menjalin
koalisi telah sepenuhnya tertutup.
Perang opini dan kritik yang
berlangsung sengit di dunia maya antara Jasmev dengan PKS Cyber Army,
perseteruan yang tak henti-hentinya antara Ahok dengan Ketua DPW PPP DKI
Jakarta Lulung Lunggana, keterlibatan Jokowi dalam mendukung kandidat dalam berbagai
pilkada yang berhadapan head to head
dengan kandidat yang diusung partai Islam, perseteruan dengan Muhammadiyah dan
berbagai ormas Islam, sikap kritis kalangan Islamis terhadap berbagai kebijakan
Jokowi-Ahok dalam masalah penggusuran, penanganan kemacetan, penetapan UMP, hingga
penanganan banjir, mis-komunikasi yang sering terjadi dengan kepala daerah
tetangga yang kebetulan berasal dari kalangan Islam, akankah semua konflik ini kemudian
luluh ketika terdesak pada realitas politik dan kepentingan yang pragmatis?
Atau justru sebaliknya, tetap
mempertahankan keberanian menghadapi resiko politik, mengesampingkan politik
kompromi dan akomodasi, kukuh mempertahankan idealisme masing-masing serta
membiarkan konflik-konflik terus bergulir mewarnai jalannya pemerintahan.
Meninggalkan pilihan berbagi kekuasaan demi terciptanya suasana yang lebih
sinergis.
Hubungan politik antara kalangan
yang dipersepsikan sebagai Nasionalis dan Islamis pada era sebelumnya
menempatkan keduanya masih signifikan untuk mengambil pilihan akomodatif dalam
suatu koalisi bersama, baik pada masa Megawati maupun SBY. Polemik kepemimpinan
wanita antara PPP dan Megawati berakhir dengan koalisi Mega-Hamzah. SBY yang
sebelumnya diterpa isu-isu yang tidak baik bagi kalangan Islamis, berujung
merapatnya kekuatan politik islam dalam koalisi di pemerintahannya.
Seiring realitas melemahnya
kekuatan politik Islamis, pada pemerintahan SBY jilid II mulai memilih opsi
menjaga jarak dengan sebagian kalangan Islam, terutama unsur ormasnya. MUI,
Muhammadiyah dan sebagian NU sudah tidak terakomodasi dalam kebijakan
pemerintahan SBY jilid II, sementara kekuatan politik Islam tetap dipertahankan
sebagai penyokong koalisi.
Pilkada DKI Jakarta 2012 memberi
suatu pelajaran, akankah suatu saat kekuatan politik Islamis sepenuhnya
terlempar dari pusat kekuasaan, dalam arti eksistensinya sudah tidak
diperhitungkan lagi? Pada Pilkada DKI
2012, kubu Jokowi-Ahok tampak sejak awal sudah tidak mengakomodasi kekuatan
politik Islam, kontrak politik yang disodorkan PKS tentang kebijakan yang tidak
merugikan umat Islam, tidak mendapat respon dari pihak Jokowi. Toh realitanya
kalangan Islamis kemudian tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan
Jokowi-Ahok yang berseberangan dengan visi keumatan. Hal ini akan dipakai sebagai
barometer untuk mengukur sejauh mana kekuatan Islamis masih eksis.
Jika saat ini salah satu kubu
telah merasa berada di atas angin untuk memenangkan pertarungan 2014, atau
salah satu kubu dipersepsikan makin melemah secara signifikan, maka
sesungguhnya segala kemungkinan tetap bisa terjadi, kondisi senantiasa tetap
cair, sehingga peluang masih terbuka. Bola liar dan kuda hitam masih mungkin
untuk muncul. Sebagaimana pengalaman pada Pemilu 1999 dan 2004 yang lalu serta
pada berbagai Pilkada, kandidat yang diunggulkan atau yang telah memenangkan
pertarungan di Legislatif, bisa juga gagal memenangkan pertarungan Eksekutif.
Maka bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, termasuk kalangan yang membawa kepentingan umat, untuk tidak
sekedar menunggu dan menyaksikan proses yang tengah berlangsung. Kepentingan
masing-masing dipertaruhkan melalui berbagai langkah taktis dan lobi-lobi yang
efektif. Besarnya kekuatan politik yang dimiliki adalah sesuatu yang berharga, untuk
memperkuat posisi tawar, tapi tidak kalah pentingnya adalah kemampuan
menggerakkannya dengan gesit.
Apa yang dicapai dengan
keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi pemerintahan SBY, hanyalah
menjadi pelengkap semata. Dihadapkan dengan isu keumatan seperti RUU Ormas,
jilbab Polwan dan kondomisasi, keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi
di pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya berada pada posisi
yang makin terpinggirkan. Di sinilah pentingnya menetapkan target yang optimal
dalam kompetisi, berhadapan dengan resiko terpental dari arena.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar