Bertepatan dengan apa yang
disampaikan Bapak Amin Rais pada pengajian Ahad pagi MTA tanggal 16 Maret 2014,
ketika beliau me-review saat-saat terakhir yang dramatis menjelang Pilpres 1999
dalam Sidang Umum MPR, saya juga bermaksud me-review apa yang pernah saya tulis
dalam konteks sekarang, pada tahapan politik 2014 yang kian panas.
Malam menjelang pilpres 1999
dilaksanakan, para tokoh politik berkumpul di kediaman Pak Habibi. Pimpinan
Golkar, TNI, PPP, PBB dan PK menunggu hingga larut malam, tinggal menanti
kedatangan seorang Amin Rais. Sebuah tawaran yang sangat dilematis, meminta
kesediaan Pak Amin Rais untuk dimajukan sebagai Capres berhadapan dengan
Megawati besok. Semua tokoh yang berada di situ baik dari Golkar, TNI, PPP dan
sebagainya sudah tidak ada yang sanggup menjadi Capres.
Dilema yang berat, yang oleh Pak
Amin Rais diserahkan kepada ibundanya. Keputusan sang ibunda sejalan dengannya,
beliau baru 11 hari disumpah menjadi Ketua MPR, tak mungkin ditinggalkan hanya
untuk mendapatkan jabatan lain. Di samping itu, merasa sebagai penggagas poros
tengah yang memajukan Gus Dur sebagai Capres, nuraninya tak menghendakinya
menjadi pengkhianat. Cukup baginya menjadi Ketua MPR.
Apa yang pernah saya tulis
sebelumnya tentang hal ini, bukan dalam konteks mistik atau rencana pencapresan
Gus Dur sejak jauh sebelum Pemilu 1999, tetapi dipersempit dalam konteks
memainkan politik secara lihai, sebagaimana apa yang sedang kita hadapi pada 2014
ini. Semoga menjadi pembelajaran, ketika ada pemain yang telah merasa kalah
sebelum pertandingan usai, atau dengan ditetapkannya Jokowi sebagai Capres,
seolah pertandingan sudah usai.
Kala Gus Dur Menembus Kemustahilan Politik
Siapa yang akan memenangkan
pertarungan pada 2014? Apakah pemenangnya adalah kandidat yang saat ini paling
populer? Atau yang memiliki pendukung paling banyak?
Bagi kita, pertarungan masih
sangat cair. Seringkali kemenangan tidak diraih atas dasar popularitas atau
banyaknya pengikut. Bagi kandidat yang tak diunggulkan, tak semestinya pesimis
dan menyerah begitu saja. Suatu permainan cantik bisa memunculkan kuda hitam
yang tak terduga, segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Mengembalikan ingatan pada 1999,
pertarungan pertama pasca Reformasi, justru kuda hitam yang muncul menjadi
pemenang. Meski PDI-P dan Partai Golkar pada waktu itu adalah peraih kursi
terbanyak, pertarungan untuk memperebutkan RI-1 tidak terjadi pada kandidat
yang mereka usung, Megawati dan Habibi, tapi pertarungan yang sesungguhnya
justru terjadi antara Gus Dur dan Amin Rais.
Pemilu 1999 baru saja berlalu,
namun gambaran hasilnya sudah bisa dibaca. Amin Rais yang menghadapi Pemilu
dengan penuh optimisme sebagai tokoh terdepan Reformasi, menghadapi kenyataan
bahwa suara yang diperoleh partainya jauh di bawah yang ia prediksikan, hanya
sekitar 7 persen suara. Ia tidak memandang pencapaian ini sebagai modal awal
untuk suatu perjuangan yang harus berlanjut tanpa kenal menyerah. Malah ia
shock, sempat ingin mundur dari gelanggang politik, sekaligus mengubur
dalam-dalam cita-citanya menjadi Presiden Indonesia. Seolah merasa bahwa
peluangnya telah pupus sama sekali.
Di sisi lain, perolehan suara
yang diperoleh PKB yang menjadi kendaraan Gus Dur sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan PAN. Bedanya, pencapaian tersebut tidak disikapi dengan pesimisme. Dari
kalkulasi politiknya, suara sebesar itu sudah cukup untuk menjadi modal untuk
bermain di antara dua kubu besar yang ada, PDI-P dan Golkar. Komposisi
keanggotaan MPR yang akan memilih presiden dihitungnya dengan matang. Sebuah
peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menawarkan pilihan alternatif di antara
dua kubu yang sedang bertarung dengan sengitnya.
Bagi kubu Golkar-Habibi, toh
meski dirinya kalah dalam pertarungan memperebutkan RI-1 nantinya, asalkan
bukan Megawati yang menjadi pemenangnya. Sebaliknya bagi Gus Dur, kedekatannya
dengan Megawati bukan sekadar pertemanan pribadi, melainkan juga pertalian
ideologis yang teramat kuat. Gus Dur tak akan rela begitu saja membiarkan kursi
Presiden jatuh ke tangan lawan politik Megawati. Dan permainan Poros Tengah
inilah yang sebenarnya merupakan jasa terbesar Gus Dur kepada Megawati, yang
hingga saat ini bisa jadi belum disadari oleh Megawati, bahkan belum
dimaafkannya.
Posisi Gus Dur dan Amin Rais
waktu itu relatif sama, tinggal siapa yang bisa membaca peluang. Kondisi Amin
Rais yang sedang shock memudahkan Gus Dur memulai sebuah permainan. Gus Dur
kemudian menemui Ahmad Syafi’i Ma’arif Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu.
Memainkan sebuah argumentasi jika Mega yang menjadi presiden akibatnya akan
begini-begini…, jika Habibi yang menjadi presiden akibatnya akan
begini-begini…, sehingga bagaimana jika dirinya saja yang menjadi presiden?
Sebuah ide yang cukup gila.
Kemudian dilanjutkan dengan
obrolan-obrolan ringan tentang pembagian kekuasaan yang sudah dipetakan oleh
Gus Dur, tentang siapa yang akan menjadi ketua MPR, komposisi kabinet, dan
sebagainya. Selanjutnya Gus Dur mengemukakan, “Tapi maaf, posisi Menteri Agama
kami ambil.” Syafi’i Maarif hanya menjawab, “Ambil saja semua!” Makanya ketika
pada era Gus Dur menjadi Presiden terjadi NU-isasi Departemen Agama,
posisi-posisi orang Muhammadiyah di Depag dan IAIN dihabisi, sebenarnya adalah
permintaan dari Syafi’i Ma’arif sendiri. Seandainya jawaban dari Syafi’i
Ma’arif begini, “Bagi-bagi dong, antara NU dan Muhammadiyah,” ceritanya mungkin
akan lain.
Ternyata begitu mudahnya
memanfaatkan orang-orang yang telah merasa kalah dalam Pemilu, sambil sedikit
mengobati shock mereka, dengan iming-iming sebuah hiburan tentang pembagian
kekuasaan. Dan ketika kemenangan Poros Tengah tinggal selangkah, muncul sebuah
tawaran krusial dari Golkar kepada Amin Rais untuk menjadi Presiden. Cerdiknya
Gus Dur menunjuk Amin Rais menjadi pahlawan terdepan Poros Tengah sebenarnya
mengunci langkah Amin Rais itu sendiri, sekaligus menutup peluang yang
berpotensi menggagalkan agendanya.
Tak mungkin tiba-tiba Amin Rais
mengkhianati Gus Dur karena tergiur tawaran Golkar. Ia sudah terlanjur tulus,
bahkan ia terlanjur dikenal sebagai orang terdepan yang mengusung Gus Dur
sebagai Presiden. Namun ketika di kemudian hari kebijakan Presiden Gus Dur
mengecewakannya, mungkin ia menyesal. Tetapi kesempatan sama tidak datang dua
kali.
Amin Rais mungkin merasa cukup
beruntung, di tengah keterpurukan partainya masih mendapatkan posisi Ketua MPR.
Namun andai sejak awal ia bisa membaca situasi dengan baik, peluangnya bisa
lebih. Seperti orang Jawa mengatakan, “Sak bejo-bejone wong kang lali, isih
bejo wong kang eling lan waspodo.” Seberuntungnya orang yang lalai, masih lebih
beruntung orang yang ingat dan waspada.
Meski
Gus Dur hanya ‘main-main’ menjadi seorang Presiden, namun memberi sebuah
pelajaran tentang optimisme dan strategi yang brilian dalam mengarungi
pertarungan di dunia politik. Selanjutnya pada Pilpres 2004, kandidat yang
memenangkannya hanya bermodalkan suara 7 % dalam Pemilu Legislatif. Dalam
kondisi Pilkada langsung, tetap saja peluang yang telah terbuka lebar, bisa
luluh lantak oleh kuda-kuda hitam yang bermain lihai. (kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar