Jalan politik bukan jalan yang
mulus. Tempat saling melibas satu sama lain. Tidak mesti berjalan lurus,
seringkali diperlukan kemampuan gerak lincah, meliak-liuk menghindari aral,
agar selamat sampai tujuan.
Cah Angon: “Gus, kok
bongkar-bongkar sendirian, tidak nyuruh tukang saja?”
Gus Dur: “Lagi tidak punya uang
untuk mengupah, kerjakan sendiri saja.”
Cah Angon: “Memangnya rumah ini
mau direnovasi, Gus?”
Gus Dur: “Boro-boro renovasi,
mengupah orang untuk membongkar saja tidak ada uangnya. Terpaksa bongkar
sendiri.”
Cah Angon: “Anda ini aneh, rumah
baik-baik kok dibongkar. Ada apa?”
Gus Dur: “Kamu ini mestinya tahu
sendiri, rumah ini kena giliran mau digusur. Habis gimana lagi?”
Cah Angon: “Tapi mengapa
susah-susah bongkar sendiri, biar dikerjakan Satpol PP saja, tidak repot.”
Gus Dur: “Itulah masalahnya, uang
lagi nggak ada, kalau bongkar sendiri minimal bongkarannya nanti bisa dibuat
rumah darurat. Kalau dibongkar Satpol PP, nanti rusak-rusakan semua, apalagi
kalau pakai buldozer, habis rata dengan tanah.”
Gus Dur yang membesarkan PKB, ia
pula yang memporak-porandakannya. Sebelum diporak-porandakan orang lain, karena
giliran telah tiba. Setidaknya, puing-puingnya masih bisa diselamatkan. Saat
badai reda, puing-puing bekas bongkaran itu bisa dimanfaatkan, tak harus beli
semua.
Seringkali, politik itu kejam.
Apa yang telah terbangun dengan susah payah, berantakan dalam sekejab. Apa yang
menimpa PPP dengan kasus Al Amin Nasution, PKS dengan Kasus LHI, Demokrat
dengan Nazarudin, Golkar dengan kasus Akil-Atut. Bukan pada masalah siapa yang
benar dan siapa yang salah, tetapi siapa yang memiliki power dan mampu
memainkannya, menggilas dan melibas. Perlu membaca situasi, sebelum semuanya
terlambat, kemudian tidak dapat ditolong.
Gus Dur tak begitu saja
menciptakan PKB dengan mudah. Ia harus menyembuhkan NU yang mati suri akibat
tekanan bertubi-tubi Orde Baru. NU termarjinalkan, terbelakang, jangankan mimpi
menjadi Menteri, menjadi Kepala KUA saja sulit. NU kemudian naik kelas menjadi
pemegang hegemoni kultur keagamaan Indonesia ketika zaman Orde Baru berakhir. Ketika
hegemoni yasinan atau tahlilan mengalahkan hegemoni salat dan zakat di
masyarakat, pemegang hegemoni zaman Kalabendhu ini. Meski hegemoni ini didapat
dengan mengubah wajah NU, wajah inklusif, bukan NU yang dulu lagi. Menjadi
pertanyaan, jika suatu saat nanti zaman Kalabendu ini berakhir, toh semua zaman
tidak ada yang langgeng, akankah hegemoni NU juga berakhir?
Itulah sekelumit imajinasi
tentang Gus Dur. Apakah NU pasca Gus Dur mampu memahami dan meneruskan
pembelajaran yang telah ditinggalkannya?
Sekelumit imajinasi, dari sosok
Gus Dur yang terbungkus berbagai misteri besar. Jika imajinasi ini keliru,
maklum saja, karena yang menulis bukan ahli hisap. Gitu aja kok repot! (kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar