Ada nuansa berbeda yang kita
rasakan dalam masa pemerintahan SBY jilid dua ini. Bukan sekedar kerja yang
tulus dan apa adanya untuk menjalankan roda pemerintahan yang baik, tapi silih
berganti dipertunjukkan rangkaian drama yang disuguhkan kepada segenap rakyat
negeri ini. Namun yang menarik untuk dicermati sejak dari episode Antasari,
Anggodo, Cicak Vs Buaya, Bibit-Chandra, Susno Duaji, Nazarudin, Anas
Urbaningrum hingga kasus impor daging sapi yang melibatkan Ahmad Fathanah, LHI
dan PKS, serial drama ini tidak jauh-jauh dari lembaga yang namanya KPK.
Seolah tidak
ada lembaga selain KPK yang bisa memikat perhatian penonton agar tidak
bosan-bosan beranjak dari pertunjukan ini. Disamping isu korupsi sudah sangat akrab
bagi kita, juga kemampuan KPK menyuguhkan manuver-manuver yang spektakuler dan
menghibur, bahkan lebih dominan daripada upaya serius menanggulangi dan
mencegah korupsi itu sendiri. Publik sudah terlanjur menilai KPK adalah lembaga
Super Hero yang sangat cekatan dalam menangani berbagai kasus. Penonton dibuat
lupa terhadap kasus-kasus besar lain yang melibatkan penguasa, terhanyut dalam
serial drama yang dikemas apik ini.
Sebagaimana
ketika seorang dokter dengan sangat lihai menangani pasiennya, seolah-olah ia
memiliki kemampuan ajaib, namun peristiwa tersebut dilakukan Sang Dokter ketika
main sinetron. Wajar saja sangat lihai, ajaib dan sukses, karena segala
sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa, pasiennya juga tidak sakit sungguhan.
Namun di tengah kesuksesannya dalam sinetron tersebut Sang Dokter tentunya jadi
tidak mengurusi pasien yang sebenarnya.
Di tengah apatisme publik
terhadap lembaga-lembaga negara, KPK didesain menjadi bintang yang mampu
menarik kepercayaan publik. Produk apapun yang diiklankan KPK akan diterima
oleh publik. Apapun yang dilakukan KPK akan dianggap benar. Siapapun yang
melawan KPK akan dianggap salah. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa nilai
jual KPK yang sangat tinggi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dan
disalahgunakan?
Dalam drama
ini, terkadang sang bintang awalnya muncul sebagai sosok antagonis, dicaci maki
dan disumpah serapahi oleh penonton, namun di tengah cerita berbalik menjadi
sosok protagonis. Sosok Susno Duaji atau Anas Urbaningrum yang mengawali peran
sebagai orang jahat, di tengah jalan cerita berbalik menjadi pahlawan yang
layak mendapat simpati dan dukungan publik, sosok yang terdhalimi dan
dikorbankan pihak lain sehingga harus dibela, sosok yang dianggap menjadi saksi
kunci sehingga diharap-harapkan oleh publik membantu mengungkapkan kasus secara
tuntas.
Terkadang sang
bintang awalnya muncul sebagai sosok protagonis, hingga penonton dengan
sukarela menggalang dukungan, memberikan pembelaan, dan menjadikannya sebagai
tumpuan harapan. Namun di tengah cerita berbalik menjadi sosok antagonis,
ditampakkan kesalahan-kesalahannya, sehingga menuai cacian dan kekecewaan dari
publik. Seperti inilah yang terjadi pada sosok Candra Hamzah.
Tidak hanya cerita yang menarik,
publikasi yang dikemas apik oleh media, bahkan melibatkan sejumlah selebritis
sungguhan menjadikan serial drama ini tontonan yang menghanyutkan, menjadi buah
bibir dan menuai kesuksesan di tengah sikap apatis publik terhadap politik. Perhatian
kita tersita (bahkan teralihkan), kita sibuk dengan berbagai komentar, dugaan,
prediksi, dukungan dan cacian atas apa yang mereka perankan. Tapi satu hal yang
pasti, kebanyakan kita sejujurnya tidak mengerti alur cerita dan motif sebenarnya
pembuatan serial drama ini.
Namanya saja drama, meski dibuat
serapi mungkin, tetap saja banyak adegan yang janggal, terkesan dibuat-buat dan
tidak alami. Namun satu hal yang tidak bisa kita kesampingkan, efek dari drama
ini menyangkut kepentingan bangsa termasuk kita-kita. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar