Menjadi pertanyaan mengapa menjelang
Pemilu biasanya lebih marak tayangan yang mencitraburukkan simbol-simbol Islam di layar televisi kita, seperti menjelang
2014 ini ada sinetron semacam Haji Medit, Ustad Fotocopy, Tukang Bubur Naik
Haji, dan Islam KTP. Menjelang Pemilu 2009 lalu kita juga disuguhi tayangan
yang mencitraburukkan Islam serupa. Ketika simbol-simbol Islam diidentikkan
dengan sikap kikir, dengki, menghardik dan merendahkan orang lain, mengumpat, serta
seabreg sikap negatif lainnya, tentunya akan membentuk persepsi negatif
masyarakat terhadap Islam, melengkapi upaya pengerdilan kekuatan politik umat
Islam. Tentunya bukan sekedar kebetulan atau orientasi bisnis semata, tetapi
ada agenda tersembunyi di belakangnya.
Jika sebagian umat memandang
Pemilu hanyalah ajang mencari kekuasaan semata, juga hanya untuk memperjuangkan
kepentingan kelompok sendiri, maka perlu dipertanyakan mengapa para rival
dakwah ini begitu serius memanfaatkan berbagai momen yang penting termasuk Pemilu
untuk menggarap umat Islam dengan berbagai sarana. Tayangan-tayangan negatif
tentang Islam tersebut hanyalah satu dari sekian banyak indikasi yang
menunjukkan bahwa Pemilu bukan sekedar ajang persaingan politik semata, tetapi di
balik itu ada agenda yang lebih besar tentang umat ini. Namun terkadang di
antara kekuatan politik umat Islam sendiri terlibat friksi yang begitu tajam.
Ketika elemen-elemen umat ini
kurang menyadari serangan yang membidik umat ini secara keseluruhan. Kita tidak
saja kesulitan membangun sinergi di antara sesama elemen umat, terkadang
rivaltas di antara kita begitu tajam dan menguras energi yang kita miliki. Kita
kesulitan untuk menyatukan langkah mengusung agenda-agenda umat yang begitu
berat, atau menjalin kebersamaan dalam menghadapi berbagai rintangan yang
menghadang. Kita berjalan sendiri-sendiri di tengah terceraiberainya umat ini,
sementara para rival dakwah menjalankan agenda-agenda mereka secara sistematis.
Sedang di sisi lain, di antara
umat ini memiliki pandangan berbeda-beda tentang keabsahan menjadikan
keikutsertaan dalam Pemilu sebagai wasilah dakwah. Namun dinamika dan ikhtilaf dalam tubuh umat ini sulit
dikemas untuk menguatkan umat secara keseluruhan, malah sering dimanfaatkan
untuk semakin mengerdilkan kekuatan politik umat. Seruan golput dan penolakan
keterlibatan dalam Pemilu semakin melengkapi upaya pengerdilan terhadap
kekuatan politik umat.
Kesatuan umat ini terkadang
teruji oleh fanatisme kita. Seringkali kita bergembira atas musibah yang
menimpa saudara kita sesama pengusung dakwah ini. Kita sering berharap mendapat
keuntungan atas keterpurukan saudara kita sendiri. Maka rival-rival dakwah ini
lebih ringan ketika tidak berhadapan dengan umat ini sebagai satu kesatuan.
Maka ketika kita dalam
keterpurukan, hendaklah menjadikannya sebagai momen untuk lebih memiliki sense terhadap makna persaudaraan ini.
Barangkali saudara kita pernah mengalami keterpurukan dan kesendirian serupa,
sedang sikap kita justru menambah kepedihan saudara kita itu. Kita belum
menganggap mereka adalah bagian dari tubuh ini juga. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar