Hudzaifah, aku hampir merasa kalau bukan
 karena nama itu mungkin tak pernah ada kebersamaan antara kita. Tetapi 
begitulah takdir mempertemukan kita. Latar belakangmu teramat beda 
dengan kebanyakan kami. Engkau adalah seperti orang asing di antara 
kami.
Terlalu sering engkau mengambil
 sikap berbeda dengan kebanyakan teman-teman. Kadang di antara kami 
merasa jengah denganmu. Tetapi kami mengakui, dalam beberapa hal engkau 
cukup brilian. Biarlah kami anggap ini sebagai pembelajaran untuk bisa 
menerima perbedaan pendapat. Bukankah aneh bila kita memperjuangkan 
reformasi, kebebasan dan demokrasi, sedang kita sendiri tidak siap untuk
 berbeda.
Namamu mengingatkanku pada 
seorang sahabat Rasulullah, Hudzaifah Al Yamani. Ia memang tak 
se-nyleneh engkau. Tetapi ia dikenang karena mengajukan sebuah 
pertanyaan kepada Rasulullah tentang kejahiliyahan, ketika para sahabat 
lain pada umumnya bertanya tentang kebaikan.
***
Gegap
 gempita, pekik takbir, tangis haru, tak mampu lagi kuungkapkan histeria
 ini. Aku hanya melakukan sujud syukur, sementara di depan gedung ini 
begitu banyak kawan-kawan yang menceburkan diri ke dalam kolam. Rezim 
diktator yang telah mencengkeram kami selama puluhan tahun, akhirnya 
tumbang juga. Berakhir!
Hudzaifah, 
kau tak ada di sini. Engkau selalu berada di tempat yang jauh di sana. 
Engkau tak ikut merasakan kegembiraan kami kini, sebagaimana engkau tak 
pernah merasakan kepayahan kami di jalanan selama ini.
Tapi
 aku tahu betul apa yang kau rasakan di kejauhan sana. Aku seperti 
melihatmu jelas di hadapanmu. Gegap gempita yang kurasakan, tidak sama 
sekali olehmu, wajahmu muram, tertunduk, menanggung beban yang amat 
berat.
Sejak awal reformasi ini 
bergulir, tatkala masih seperti mission impossible, hingga rezim ini di 
ambang kejatuhan, sikapmu tak pernah berubah.
“Timah panas yang membunuh sahabat kita, masih juga tak kau rasakan?”
“Lupakan
 tentang reformasi ini, kembalilah!  Itu lebih baik bagi bangsa ini. 
Kita tak boleh mengukur negara ini dengan ukuran negara lain.”
“Dan
 kau akan tercatat sebagai orang yang berdiam diri terhadap kezhaliman, 
di mana tanggung jawabmu? Sedang kami ingin tercatat dalam sejarah 
sebagai orang-orang yang berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa
 zhalim!”
“Kawan-kawan, Mental bangsa
 ini yang harus mau berubah dahulu. Jangan terburu berharap terwujudnya 
kekuasaan yang baik! Kita belum siap, kalau tidak mengatakan sistem itu 
tidak cocok bagi negara ini.”
“Tidak, dengan kepemimpinan yang baik, bangsa ini akan menjadi baik!”
“Sebutan
 kalian memang intelektual, tapi kalian terlalu hijau untuk mengerti 
tentang dunia ini sesungguhnya. Tak sesederhana itu kawan, aku telah 
memperingatkan kalian sebelumnya, sebelum waktu yang berbicara dan 
kalian menyesal. Kalian hanya diperalat!”
“Siapa
 yang memperalat? Agar pemimpin rakyat bisa memilih figur-figur terbaik 
sebagai pemimpin mereka, tak ada sumbatan demokrasi, tak ada intimidasi.
 Agar terwujud kebebasan pers, transparansi, dan publik bisa sepenuhnya 
mengontrol pemerintah. Supremasi hukum ditegakkan dan tak ada lagi 
diskriminasi, tak ada lagi pelanggaran HAM. Aku yakin tak akan ada lagi 
korupsi, kesejahteraan rakyat akan terwujud, tak ada lagi kesenjangan 
sosial. Bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mewujudkan semua itu, 
diperalatkah?”
“Tetapi tahukah kalian
 mengapa pihak luar mensupport sepenuhnya reformasi ini, kau pikir tulus
 tanpa kepentingan? Tak ada yang bisa diharap dari sebuah permainan. 
Kalian telah masuk permainan mereka tanpa sadar!”
“Persetan dengan semua itu! Reformasi ini adalah agenda kita, kepentingan bangsa kita ini sendiri, terserah mereka mau apa!”
“Kalian akan lepas dari satu rezim, tetapi akan masuk ke dalam rezim berikutnya, bahkan lebih buruk!”
***
Pilpres
 2014 tinggal menghitung hari. Suasana kurasa amat berbeda, hanya ada 
dua kubu, kami semua seperti terbelah, tegang. Pertempuran berlangsung 
sengit, apalagi di media sosial. Siapa saja bisa menyebarkan konten 
dengan sebebas-bebasnya, tanpa ada lagi kontrol. Jadilah ajang 
olok-mengolok dan bully-membully.
Aku
 tengok pasangan sebelah. Aku dapati status-status yang cukup membuatku 
penasaran. Apa-apaan ini? Seperti membuat dadaku mendidih, geram menahan
 marah. Betapa tidak, kepentingan umat dalam posisi krusial begini, saat
 benar-benar dipertaruhkan, ia malah seperti menyerahkan bulat-bulat 
umat ini pada liberalis sekularis islamofobi. Memutarbalikkan opini! Aku
 tak habis pikir. Apa nggak sadar dia? Aku harus telusuri sumbernya.
Astaghfirullah!
 Benarkah ia Hudzaifah yang dulu? Hampir 16 tahun ini aku tak bertemu 
dengannya. Mungkin aku tak sengaja melupakannya. Tapi mengapa aku 
bertemu dengannya lagi dalam suasana seperti ini?
Aku tak sabar menulis sebuah komentar. Kutulis dengan huruf kapital. YOU STAND ON THE WRONG SIDE!!!!!!!
Aku
 sedikit menyesal. Jika begini, mungkin ia tak akan mengonfirmasi 
pertemanan yang aku ajukan. Tapi biarlah, aku masih bisa mengebomnya 
dengan komentar-komentar selama privasinya belum diubah. Yang 
terpenting, aku sekarang segera menyiapkan argumentasi 
sebanyak-banyaknya untuk mematahkan penyesatan opini yang ia buat.
***
Aku
 tak menyangka, ia menerima pertemanan yang kuajukan. Ia juga masih 
mengenaliku. Ia memintaku untuk tidak sembarangan membuat komentar di 
statusnya. Ia mengajakku melakukan chatting saja, aku pun menerima 
tawarannya.
“Tidak terbalik kawan? 
Yang dulu kau anggap pelanggar HAM, kini malah kau dukung habis-habisan?
 Reformasi susah payah kau perjuangkan, kini kau mati-matian mendukung 
kembalinya diktator itu! Kau ingin hidupkan kembali rezim itu? Kawan, 
selama 16 tahun ini kau pasti bisa melupakanku, tapi kuyakin kau takkan 
bisa melupakan sahabat kita yang tertembus timah panas, kau sendiri yang
 membawanya ketika ia roboh, ingatkah ketika tanganmu berlumuran 
darahnya?”
“Kawanku, kau jangan 
menutup mata, siapa pelanggar HAM yang sesungguhnya, siapa yang 
sebenarnya melakukan penculikan, dan siapa yang sebenarnya mendalangi 
kerusuhan? Akan kau serahkan negeri ini pada konglomerat hitam dan 
asing?”
“Kau sendirilah yang 
menyerahkan kedaulatan negeri ini pada mereka. Memangnya siapa yang 
sebenarnya mendesain reformasi, engkau dan kawan-kawanmukah? Aku sudah 
mengatakan sejak semula, reformasi yang kau perjuangkan akan menjadi 
penyesalan bagimu. Mana pemberantasan korupsi yang kau janjikan, mana 
penegakan hukum, kedaulatan rakyat dan kesejahteraan? Piye kabare, isih 
enak jamanku? ”
“Mungkin aku memang 
salah, banyak hal yang tak kumengerti tentang dunia. Tapi reformasi ini 
belum selesai kawan. Kita akan terus berjuang. Sekarang, persoalan 
krusial yang kita hadapi adalah menyelamatkan umat ini dari ancaman 
sekularis, liberalis dan islamofobi. Lantas engkau justru menyerahkan 
bulat-bulat umat ini pada mereka? Kau akan dimintai pertanggung jawaban 
bila umat mendapatkan perlakuan represif dan tekanan, bila umat 
menghadapi upaya marjinalisasi, menghadapi kebijakan-kebijakan yang tak 
ramah? Lantas takbiran dan kurban dilarang, jilbab dilarang, nikah beda 
agama diperbolehkan, kolom agama di KTP dihapus, aliran sesat 
dibebaskan, pelajaran agama dihapus. Itukah yang kau cita-citakan?”
“Lagi-lagi
 kau bawa-bawa agama untuk tujuan politikmu. Memangnya kau mau 
memonopoli agama ini dengan tafsir politikmu sendiri? Justru kau sendiri
 yang telah banyak mencemarkan nama baik agama ini, menjerumuskan agama 
ini dalam kubangan kotor politikmu, korupsi dan praktek kotor yang kau 
lakukan atas nama agama. Agama kita dirundung malu karena perilakumu. 
Jawab siapa yang sesungguhnya mengkhianati agama kita?”
“Aku
 menyadari, kami tak selamanya bebas dari kesalahan, di antara kami pun 
pun tak seluruhnya sebaik agama yang kami perjuangkan. Tapi yang kau 
harus mengerti, kami tak seburuk apa yang diblow-up media dan 
digambarkan para haters. Karena kami ditelanjangi oleh media, kasus yang
 menimpa kami digoreng habis-habisan, kami ditimpa vonis yang zhalim, 
karena itu kami bersyukur, bahwa sejelek-jelek kami, kepalsuan dunia 
tidak menempatkan kami dalam pencitraan yang indah, yang menipu dunia, 
kebaikan ditampakkan sebagai kejelekan, dan sebaliknya. Belum tentu yang
 ditampakkan jelek oleh kedustaan dunia adalah jelek, dan belum tentu 
yang dicitrakan indah adalah mulia.”
“Dulu
 ketika pemerintah beranjak ijo royo-royo kau tumbangkan, kau hanya 
melihat sisi negatifnya saja. Kini kau bawa-bawa agama untuk menutupi 
keburukanmu. Kau masih saja mencari kambing hitam.”
“Tidak,
 ini fakta. Kita berada dalam era penuh konspirasi dan permainan. 
Alangkah bodohnya kau tentang realitas ini, anak kecil pun tahu dunia 
sedang penuh kepalsuan. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, 
begitu gamblang jelas hanya permainan belaka, festivalisasi dan 
sandiwara untuk suatu kepentingan politik semata. Begitu mudahnya tipuan
 dunia mengelabuimu. Kau ikut bersama media-media yang membangun opini 
mencitra burukkan dakwah ini, kau membantu mereka ketika media-media itu
 melakukan pembunuhan karakter terhadap dakwah ini. Padahal, kejelekan 
dakwah ini sekalipun adalah tanggung jawabmu juga. Malahan fitnah dan 
tuduhan yang dibuat-buat untuk dakwah ini, kau aminkan juga.”
“Tanggung
 jawab? Di mana tanggung jawabmu atas reformasi yang kau perjuangkan, 
tanggung jawab terhadap aset-aset bangsa yang diprivatisasi?  Padahal 
aku telah memberi peringatan serupa sejak awal dulu, dan kau terus 
acuhkan?”
“Maafkan aku, tapi kita jangan mengulangi kesalahan sama, kali ini.”
“Memangnya posisimu benar, sedang posisiku pasti salah? Apa tidak sebaliknya?”
“Kau benar-benar telah menjadi korban penyesatan opini mereka!”
“Apa
 bukan kau yang terjerumus dalam permainan mereka? Kau sangka dirimu 
pahlawan? Bisa jadi, yang kini kau anggap habis-habisan sebagai musuh 
dakwahmu, kelak akan menjadi mitra koalisimu. Kau pun bisa menciptakan 
segudang dalil untuk menjadi pembenarnya. Sebagaimana yang dulu kau 
hujat habis-habisan, kini kau bela habis-habisan.”
“Tidak mungkin. Ada fitnah, semua itu permainan belaka, aku telah mengerti.”
“Mungkin chatting kita cukup sampai di sini saja, sudah masuk masa tenang.”
“Di medsos nggak ada aturannya. Kamu takut?”
“Tidak, tapi kau telah naik kelas. Besok pelajaran sudah beda. Sahabatku, kau mengerti?”
Ia kemudian meminta alamat emailku, katanya ada sesuatu yang akan ia sampaikan.
***
Kubuka
 email masuk ini, sebenarnya aku malas membacanya, tetapi paragraf demi 
paragraf aku lalui, aku menjadi semakin gemetar. Hari-hari ini aku 
menjadi pendiam. Aku merasa menanggung beban yang teramat berat. Aku 
merenung tentang hal-hal yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya, sama
 sekali tidak.
Dari email yang kubaca
 ini, mungkin hanya sedikit yang kupahami. Jika lebih banyak lagi yang 
kumengerti, aku mungkin akan menjadi sedikit tertawa dan banyak 
menangis.
Aku bersusah payah menempuh
 perjuangan, aku merasa sebagai pejuang sejati. Tapi, yang kulakukan 
sebenarnya hanyalah melebarkan pintu masuk bagi musuh. Karena langkahku,
 kota ini luluh lantak. Aku merasa sebagai pahlawan, sedang musuh 
tersenyum puas memperdayaiku. Betapa cerobohnya aku, betapa zhalimnya 
aku. Tidak! Aku telah berbuat sebatas kemampuanku.
Mungkin
 lebih baik aku tidur dan berdiam diri saja. Dari pada aku 
terombang-ambing tak berdaya dalam permainan musuh. Memang aku tahu jika
 aku tak dibebani kewajiban untuk berhasil, tetapi mesti berusaha 
sebaik-baiknya. Kekalahanku sekalipun sebenarnya bukan kerisauanku. 
Kemenangan dan kekalahan sejati tetap ada di sisi-Nya. Tapi terlalu 
pahit untuk menerima kenyataan jika diriku menempati posisi sebagai 
pecundang.
Sahabatku, adakalanya kita
 menempuh sebuah jalan yang sama, tetapi tujuan yang ingin dicapai 
berbeda. Adakalanya jalan kita berbeda, tetapi sedang menuju muara yang 
sama. begitu mudahnya kita berpisah dan menyalahkan, hanya karena ada 
perbedaan. Bukan ketika langkah mesti berputar, aku mengatakanmu mundur 
sebagai pengkhianat. Ketika jalan mesti berliku, aku menganggapmu 
melarikan diri.
Bagaimanapun, dengan 
perbedaan ijtihad di antara kita, kau tetap sahabatku. Ada saat-saat 
harus menentukan pilihan sulit. Ada saat harus berhadapan dengan 
realitas. Ada saat-saat harus menunggu, berproses, menanggalkan 
ketergesaan. Ketika tak boleh terbuai dengan yang berada di hadapan 
mata. Ketika harus memutar dan menempuh jalan berliku. Tak mungkin 
mengambil apa yang berada di hadapan singa, ada saat harus menentukan 
siasat, atau keberanian akan berakhir binasa sia-sia.
Tetapi
 bagaimanapun, setidaknya agar aku memiliki hujjah di hadapan Tuhanku, 
karena aku telah berusaha, sesuai keterbatasanku. Selebihnya aku 
serahkan kepada-Nya. Jika aku diam saja, tak mungkin kelak ada kisah. 
Mereka membuat makar, Tuhanku pun membuat makar. Aku punya pengharapan 
kepada-Nya, sedang mereka tidak sama sekali, karena Allah bersama kita.
Sahabatku,
 bukan hanya sebuah nama, tetapi memang ada takdir pertemuan antara 
kita. Di antara jurang perbedaan antara kita, ada sebuah jembatan yang 
amat berarti. Agar nama ini kelak terwujud menjadi legenda, Hudzaifah.
http://www.dakwatuna.com/2015/05/21/68947/hudzaifah-sang-paradoks-reformasi/ 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar