Baru-baru ini seorang sopir angkutan barang bercerita, katanya beliau
 baru saja mendapat order ‘membuang’ orang gila yang suka membuat onar. 
Warga sekitar yang merasa terganggu rela berpatungan untuk membiayai 
operasi penangkapan tersebut. Biaya itu dipakai untuk membujuknya agar 
mau diajak naik ke mobil dan kemudian membawanya pergi ke tempat yang 
jauh. Soal di tempat baru kemudian ia menjadi problem serupa, tak lagi 
terpikirkan. Itulah potret egoisnya kita, mungkin karena kita merasa 
tidak mampu mencari solusi lain.
Seringkali kita jumpai 
orang-orang seperti itu di jalanan. Dari yang suka berbuat onar dan 
mengganggu, sampai yang sebenarnya mengundang rasa iba. Seringkali kita 
tak mampu berbuat apa-apa untuk memberi solusi berbagai problematika 
kehidupan, yang memang besarnya tak sebanding dengan kemampuan pribadi 
kita.
Keberadaan orang-orang gila tersebut berbeda dengan 
problematika sosial jalanan yang lain. Kalau untuk para pengemis kita 
bisa mengatakan, mereka hanya orang-orang yang bermental malas, tidak 
mau bekerja, dan maunya mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Untuk 
orang cacat kita bisa mengatakan, betapa banyak orang cacat yang 
memiliki kemauan untuk tidak bergantung pada orang lain, dan ternyata 
mereka mampu menyiasati keterbatasannya. Untuk anak terlantar kita juga 
bisa mengatakan, betapa banyak dari mereka yang bisa juga hidup secara 
mandiri, dan bahkan mereka yang semasa kecil menjalani hidup sebagai 
kaum papa malah kelak di kemudian hari menjadi orang sukses.
Apapun
 problematikanya, toh pikiran mereka masih waras, mereka masih bisa 
dituntut agar mau menggunakan akal pikirnya. Tetapi untuk orang-orang 
yang tidak waras, tentunya benar-benar membutuhkan uluran orang lain, 
tak mungkin diharap bisa berusaha sendiri mengatasi problematikanya.
Kepedulian
 kita semestinya terpanggil. Meskipun kita masih berada dalam keadaan 
kekurangan, baiklah untuk kita menyisihkan kepedulian untuk membantu 
mereka yang membutuhkan. Toh lebih baik menjadi orang yang bisa membantu
 orang lain daripada menjadi orang yang dibantu. Spirit memberi dan 
menahan diri adalah lebih mulia daripada meminta dan merasa sempit. 
Kebaikan itu juga akan kembali kepada kita. Mereka sebenarnya adalah 
ladang amal dan lahan dakwah bagi kita.
Siapa tahu mereka yang 
kini hanya menjadi sampah, suatu hari nanti bisa menjadi manusia 
sesungguhnya, mampu berbuat dan membawa kemanfaatan bagi sesama. Bukan 
mustahil suatu saat mereka bisa menjadi manusia berguna. Dilebihkannya 
sebagian kita atas sebagian yang lain menjadi ibrah bagi kita agar lebih
 bersyukur, menjadi penawar kesempitan kita dengan kepedulian dan 
berbagi.
Antara kepedulian kita dan keterbatasan kemampuan kita, 
diperlukan upaya mengefektifkan kepedulian tersebut agar lebih terarah. 
Memberi kail bukan ikan, produktif bukan konsumtif, sebagaimana 
Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Agar esok mereka tak kembali 
meminta-minta tetapi sudah mampu mandiri, supaya mereka tak selamanya 
hanya ditolong, tetapi mereka kelak bisa menolong yang lain.
Antara
 keterbatasan kita dan mengefektifkan kepedulian tersebut, memang tak 
semudah memberi tetapi juga tentang pengelolaannya secara profesional. 
Perlu diprioritaskan untuk mereka yang paling membutuhkan. Di sinilah 
pentingnya kita untuk menyupport lembaga sosial yang profesional, agar 
kita tidak bergerak sendiri-sendiri, sehingga beban menjadi lebih ringan
 dengan dipikul bersama-sama. Sejak awal, Islam telah membawa konsep 
tentang amil yang mengelola zakat, bukan asal diberikan.
Terkadang
 begitu mudahnya kita memberi, tetapi hanya sekadar mengobati rasa iba. 
Akibatnya menjadi tidak mendidik dan bahkan merusak mental mereka, 
berakibat pada mental ketergantungan dan peminta-minta.
Tragisnya 
pula, banyak energi yang kita keluarkan untuk berbagi tetapi hanya 
menjadi seremonial yang dipertanyakan manfaatnya. Ada orang yang 
mengadakan pesta hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta. Kita terjebak
 pada banyak hal yang berbau hura-hura, berujung pada tindakan mubazir 
dan berlebihan, seperti membuang-buang makanan atau pesta kembang api, 
padahal semua itu menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit.
Alangkah
 baiknya jika kita berupaya menyalurkan kepedulian itu agar tepat 
sasaran, bermanfaat untuk mereka yang benar-benar membutuhkannya, 
sehingga menjadi amal shalih yang sesungguhnya. Untuk mengentaskan fakir
 miskin agar mereka bisa berusaha, membantu orang sakit yang tidak mampu
 berobat, anak-anak yang tak mampu membiayai sekolahnya, mereka yang 
tertimpa musibah dan bencana, termasuk juga suatu saat kita bisa 
menolong orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan tersebut.
http://www.dakwatuna.com/2015/05/22/69014/orang-orang-gila-di-jalanan-siapa-peduli-mereka/ 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar