Di saat kita memulai menapaki
jalan dakwah ini, terbersit sebuah keyakinan bahwa jalan yang akan kita tempuh
ini bukanlah jalan yang tanpa aral rintangan. Jika aral rintangan yang
menghadang berupa sesuatu yang menyakitkan, jauh sebelumnya kita sudah
menyiapkan bekal ketabahan meski terbersit kekhawatiran bahwa bekal yang kita
persiapkan tidak sebanding dengan besarnya rintangan yang menghadang. Dan jika
aral rintangan yang menghadang berupa sesuatu yang gemerlap indah menyilaukan,
kita sudah menyiapkan diri dengan bekal kesabaran meski terbersit kekhawatiran
bahwa rintangan yang begitu indah telah lebih banyak menggelincirkan para
penempuh jalan ini.
Namun cita yang ingin kita gapai
teramat tinggi, menjadikan ujian yang menghadang langkah kita teramat pelik,
bahkan tidak kita mengerti sama sekali. Hingga sekian lama kita berjalan,
seolah-olah tidak ada aral rintangan yang berarti, dan kita semakin terlena.
Tanpa kita sadari serangkaian intrik, tipu daya, fitnah dan semua sarana-sarananya
di berbagai penjuru telah dipersiapkan begitu rapi. Kita terus menapaki
berbagai keberhasilan dengan hati berbunga-bunga, sementara hakekatnya kita
sedang memasuki lorong-lorong jebakan.
Hingga sampailah ujian yang harus
kita hadapi berlangsung di tempat yang hitam tidak lagi tampak hitam dan putih
tidak lagi tampak putih. Yang harus kita hadapi bukan sekedar ketabahan
menghadapi hal-hal yang menyakitkan atau kesabaran menghalau hal-hal yang
menyilaukan. Kita menghadapi sebuah pilihan sulit antara melewati panggung
sandiwara dengan memerankan karakter-karakter yang teramat memuakkan atau memilih
hengkang dari jalan ini. Jika selama ini kita menyiapkan sebuah cita-cita
menjadi seorang mujahid, penegak kebenaran dan pembela orang-orang lemah, namun
di jalan dakwah yang dilalui ini sampai pada saat dimana kita kebagian peran
sebagai penjual agama, pembela kedzaliman dan penipu rakyat. Sebuah pilihan
yang teramat pelik, sebuah ujian yang terlalu pahit.
Terbersit keinginan untuk
meninggalkan jalan ini, namun terbayang kegembiraan musuh atas keberhasilan
mereka tidak hanya mengambil alih jalan dakwah ini, bahkan menjadi penunjuk dan
penuntun jalannya. Terbersit keinginan untuk mencari jalan lain dan memulai
lagi segalanya dari awal, namun tergambar rintangan serupa yang akan menghadang.
Di saat mencoba bertahan merasakan kepahitan ini, sementara musuh terus mematahkan
satu per satu hujjah yang kita miliki. Di saat kepenatan menginginkan diri ini
untuk berhenti dari jalan ini, namun musuh terus memaksa agar kita tetap
menjadi bagian dari rangkaian cerita yang mereka buat ini, agar cerita indah ini
tidak terlalu singkat untuk dinikmati.
Menghadapi sebuah ujian yang
tengah menimpa tak semudah memandang kembali ujian yang telah berlalu. Andai
kita kembali berada di tengah-tengah para pemanah Uhud, dengan mudah kita
berandai-andai menjadi diri yang paling loyal, tetapi manakala ujian serupa
tentang loyalitas menghampiri kita dalam bentuk yang belum terbayangkan
sebelumnya, benar-benar menimbulkan keraguan. Andai kita kembali berada di
tengah peristiwa ifki, dengan mudah
kita berandai-andai menjadi diri yang paling tsiqoh di antara kebohongan yang menerpa, tetapi manakala ujian
serupa datang dalam bentuk kita, kegamangan tetap menimpa diri.
Manakala menghadapi ujian pada
tingkat berikutnya, beratnya ujian sebelumnya seolah tiada berarti. Tapi bukan
berarti semua itu bisa menepis kegelisahan tentang ujian yang sedang dihadapi, apalagi
kegelisahan tentang hasil akhirnya. Terbersit kekhawatiran tentang semakin banyaknya
diri yang berguguran, apalagi cita yang ingin diraih bukan tujuan-tujuan rendah
mudah dipetik.
Kadang kala timbul kekhawatiran
bahwa kesungguhan dan keteguhan tidaklah memadai lagi untuk menyelesaikan ujian
kali ini, hingga ada pertanyaan apakah upaya menghalalkan segala cara dan
menebar kebohongan harus diikutsertakan dalam menghadapi ujian ini, sementara kita
tidak memiliki bakat yang cukup untuk memainkan apiknya sebuah permainan kedzaliman.
Di antara beratnya perjalanan ini, begitu beratnya menjaga diri agar tak
tergiur untuk singgah di tujuan-tujuan rendah.
Tetapi bukankah kebanyakan
kesatria tidak lahir dengan mewarisi berbagai kemudahan, namun kebanyakan
kesatria lahir dengan mewarisi persoalan yang seolah tiada memiliki jawaban
atau misi yang seolah tak mungkin terwujudkan. Tidakkah kita ingin menjadikan
ujian ini sebagai penutup lobang-lobang keteledoran, pengurai simpul-simpul
kemalasan, mencegah diri-diri ini terlalu tergesa untuk menjadi tempat
disematkannya sebuah prestasi kemenangan, sementara belum pernah merasakan
pahitnya sebuah penindasan, belum pernah menyuguhkan manisnya doa yang
mengiringi berbagai kedzaliman.
Hingga keterpurukan ini semoga
menjadi pengikis kesombongan atas kemampuan yang kita miliki, menambah
ketundukan dan kepasrahan kita kepadaNya. Kepedihan ini semoga mengikis ego dan
keangkuhan kita, menanamkan rasa kesetiakawanan yang sempat terkubur oleh
keberhasilan yang selalu kita banggakan. Betapa pun kita menillai kehebatan
diri, namun tak berarti apa-apa di hadapanNya. Jika selama ini kita tidak
pernah mempersiapkan diri untuk mengakui sebuah kesalahan, terlalu sedikit
petunjuk jalan yang bisa diambil orang-orang di belakang kita. Di antara
ketidakberdayaan ini, bukankah kita memiliki apa yang tidak mungkin dimiliki para
musuh, sebuah ketulusan dan pengharapan kepadaNya. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar