Telah sering dikatakan bahwa Rasulullah
adalah seorang pengembala yang baik, pedagang yang baik, kepala keluarga yang baik,
panglima perang yang baik dan pemimpin negara yang baik. Namun satu hal yang mengganjal
bagi para petani ketika disebutkan bahwa Rasulullah bukanlah petani yang baik.
Pandangan demikian bisa jadi
berangkat dari sebuah kisah tentang Rasulullah dan penyerbukan kurma. Tetapi
dari kejadian tersebut terpetik sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi
kemaslahatan umat manusia. Dari ungkapan “Engkau
lebih mengetahui urusan duniamu,” terlahir kaidah yang menempatkan dengan
proporsional kerasulan Beliau Salallahu
alaihi wassalam dengan tugas kekhalifahan yang diemban umat manusia dalam
upayanya memakmurkan bumi.
Dalam taujihnya beberapa tahun
silam, Ustadz Anis Matta memaparkan bahwa cita jamaah ini tentang ustadzul alam,
cita untuk menjadi guru bagi dunia, bermula dari Imam Hasan Al Bana dan
sekelompok petani.
Petani? Semuliakah itu? Bukankah
penyebaran agama Islam ini sejak generasi awal hingga lebih banyak merupakan
jasa para pedagang yang mengembara menjelajahi berbagai negeri? Termasuk juru
dakwah yang membawa Islam ke Nusantara ini adalah para pedagang, pengembara-pengembara
tangguh, bukan petani yang berdiam di ladang-ladang mereka.
Dilihat dari beberapa sisi memang
seolah-olah Islam lebih mengutamakan perdagangan, termasuk memberi nilai lebih
pada aspek kejujuran para pedagang. Profesi yang memungkinkan lebih banyak
menjalin interaksi dan mendapatkan relasi dengan banyak orang. Meski secara
keseluruhan Islam menghargai semua
pekerjaan yang bermanfaat, baik berupa pemecah batu, mencari kayu bakar,
menggembalakan ternak, bercocok tanam maupun berdagang. Islam menghargai semua
upaya untuk mencari penghidupan dengan jerih payah yang diupayakan tangannya
sendiri, serta mencela kemalasan dan mental bergantung pada orang lain atau menjadi
peminta-minta.
Dari sisi kewajiban zakat bagi
petani yang seolah lebih berat, sepertinya di balik itu memang Islam sengaja mengkondisikan
umatnya untuk tidak terlalu berkutat pada pertanian. Selain aspek pertanian
lebih banyak memanfaatkan nikmat Allah di alam, sebuah hikmah yang tersembunyi
di balik keadilan suatu syariat kemudian terkuak. Pasca Rasulullah hasilnya segera
terlihat, umat Islam menguasai perdagangan dunia, ke negeri India, Cina dan terutama
lalu lintas perdagangan di Laut Tengah, sekaligus mengurung bangsa Eropa pada
suatu fase kemunduran peradaban, terkurung di ladang-ladang mereka sebagai
petani.
Dengan mendorong umatnya menjadi
pedagang, Islam mendapatkan posisi yang lebih kuat secara politik maupun
ekonomi. Penguasaan sektor perdagangan pada masa tersebut lebih strategis
dibandingkan dengan terpaku pada pertanian.
Era industrialisasi tiba, situasi
dunia banyak berubah, pertanian tergilas dan terpinggirkan. Menjadi petani
kebanyakan adalah keterpaksaan atau pilihan terakhir ketika tidak mampu
mendapatkan profesi lain yang lebih baik. Kondisi alam yang makin tidak ramah
dan industrialisasi menjadi pukulan berat bagi petani pada era ini. Petani
menempati posisi sebagai profesi dhuafa, bahkan bisa dikatakan sulit untuk
eksis tanpa dukungan subsidi dan berbagai kebijakan protektif dari negara.
Sekian lama dikesampingkan, kenyataan
lain dihadapi, ketahanan pangan suatu negara adalah variabel penting bagi
kedaulatan negara tersebut. Ternyata kemajuan industri tidak membuat pertanian
bisa serta merta dikesampingkan.
Perdagangan, Pertanian dan Karakteristik Zaman
Mengutamakan perdagangan adalah
sebuah pilihan tepat, dalam perspektif karakteristik zaman pada masa salaful
umah tersebut. Ketika Islam berada pada fase perkembangan, Islam membutuhkan karakter
pedagang-pedagang tangguh, yang memiliki kemampuan logistik tak terbatas untuk
mengembara ke berbagai negeri menyebarluaskan dakwah, bukan para petani yang
mobilitasnya terbatas di kampung halamannya.
Dunia memasuki era digital dan
teknologi informasi. Interaksi sosial tidak lagi mengenal jarak. Dakwah
kemudian tidak terbatas pada pengembaraan fisik.
Karakteristik akhir zaman kelak
ketika Islam telah menyebar dengan sempurna akan berbeda. Ketika Islam berada
pada fase pemeliharaan, Islam lebih membutuhkan karakter pemelihara. Dan
karakter tersebut ada pada petani.
Kebahagiaan Akhir Zaman adalah Kabar Gembira bagi Petani
Dari beberapa atsar tentang
kebahagiaan akhir zaman, digambarkan tentang kesuburan seluruh penjuru muka
bumi, keberkahan tanaman dan hasil ternaknya. Setelah sebelumnya kekayaan yang
keluar dari perut bumi tidak mampu memberi kedamaian, kemegahan dunia tak
memberi kebahagiaan penduduknya. Kemudian akan terjadi saat yang diimpikan.
“Langit akan setia menurunkan hujan dan bumi subur dengan tanaman yang
menghasilkan dan bermanfaat, meskipun kamu menaburkan benih di atas sebuah batu
yang licin. Manusia dengan singa hidup berdampingan tanpa saling membunuh,
menginjak ular berbisa sekalipun tidak berbahaya. Tidak akan ada kebencian atau
permusuhan.”
“Tumbuhkanlah buah-buhanmu dan keluarkanlah semua barakahmu, sehingga
orang-orang cukup makan satu buah delima dan dapat benaung dengan kulitnya,
susu juga diberi berkah, sehingga satu unta cukup untuk beberapa kelompok
bangsa dan satu lembu cukup untuk beberapa kelompok orang.”
Cita tentang ustadzul alam,
menjadi guru bagi dunia, adalah cita yang memiliki makna paling dalam, lebih
tinggi dari keinginan menjadi penakluk atau penguasa dunia semata. Sehingga
sudah semestinya cita yang berharga ini diikutu kesungguhan untuk menjaga dan
mewujudkannya.
Wallahua’lambishawwab.