Serangkaian badai pernah menerpa
perjalanan Partai Nahdlatul Ulama (NU) dalam kancah perpolitikan di negeri ini.
Terlebih ketika NU mengalami euforia kemenangan pasca tumbangnya PKI, badai
yang datang kian dahsyat dan bertubi-tubi. Ketika itu NU menjadi satu-satunya
kekuatan politik yang eksis pasca tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno,
ketika PKI sedang dibabat habis, PNI sedang terpuruk pamornya, dan Masyumi
masih terseok-seok untuk bangkit kembali. Berhubung jasa NU menjadi ujung
tombak penumpasan PKI bersama militer pro Soeharto, wajar jika NU memiliki
harapan kuat untuk mendampingi militer memegang tampuk pemerintahan pasca
tumbangnya Orde Lama tersebut.
Namun perjalanan NU menuju pusat
kekuasaan tidak semudah yang diduga sebelumnya. Koalisi mesra NU dengan militer
di pemerintahan awal Orde Baru hanya berlangsung sesaat. Berbagai kasus dan
skandal menghantam bertubi-tubi, mendepak NU dari pusat kekuasaan. Di antara
kasus yang menonjol adalah kisruh pengangkatan guru agama melalui program Ujian
Guru Agama (UGA) ketika NU memegang posisi Menteri Agama waktu itu, serta
kisruh penanganan haji oleh Yayasan Muawanah Lil Muslimin (Ya Mualim) bersama
PT Arofat.
Hingga dalam sudut pandang
sempit, dengan mudahnya publik mencemooh dan mendiskreditkan kesalahan-kesalahan
NU, sebagaimana yang dilakukan rival-rival politiknya. Namun bila sudut pandang
dalam melihat NU ini diperluas, menempatkan NU tidak saja sebagai gerakan yang
mencari kekuasaan semata, namun sekaligus sebagai gerakan yang memperjuangkan
agama, di mana rintangan dan intrik yang menimpanya lebih dari sekedar
persaingan politik untuk mencari kekuasaan semata, sebagaimana yang menimpa
Refah, FIS atau Masyumi.
Kisruh UGA berawal dari pengadaan
guru agama secara mendesak, di mana ketika masa PKI berkuasa agama dipinggirkan
dan menjadi bahan olok-olok, maka pada euforia pasca PKI tersebut posisi agama
menjadi signifikan sehingga dirasakan kebutuhan untuk mengangkat guru-guru
agama secara besar-besaran dalam waktu singkat. Kemudian dilakukan perekrutan
sejumlah orang yang meski tidak memiliki ijazah memadai untuk menjadi pegawai
negeri melalui semacam pelatihan singkat yang disebut UGA.
Namun pelaksanaan di lapangan
menjadi akhirnya bermasalah ketika satu SK pengangkatan menjadi guru agama
negeri tidak diberikan kepada yang bersangkutan tetapi diberikan kepada orang
lain. misalnya SK pengangkatan seseorang yang bernama Sulaiman di Kab. Magelang
diberikan kepada seorang yang bernama Nurhamim di Kab. Semarang, maka orang
yang bernama Nurhamim tadi menjadi guru agama negeri dengan identitas sebagai
Sulaiman tanpa menempuh prosedur yang semestinya. Kemudian orang yang bernama
Sulaiman yang semestinya telah berhak dan memenuhi prosedur diangkat sebagai
guru agama negeri tadi diusulkan kembali untuk mendapatkan SK karena SK memang
belum diterimanya. Ketika SK pengangkatan kembali turun, SK tersebut lagi-lagi
diberikan kepada orang lain, demikian seterusnya. Bahkan SK pengangkatan satu
guru agama negeri bisa digandakan menjadi lima SK aspal (asli tapi palsu),
hingga ada lima orang menjadi pegawai negeri dengan menyandang identitas
sebagai Sulaiman di lima tempat yang berbeda. Anak remaja dengan identitas
palsu atau orang yang belum bisa baca tulis dengan baik pun bisa diangkat
menjadi guru agama negeri asalkan membayar sejumlah uang kepada calo oknum NU
yang menguasai Departemen Agama ketika itu, dengan dalih untuk keperluan
NU. Sebagian kecil memang digunakan
untuk membeli aset-aset berupa tanah atau gedung untuk NU. Rival-rival politik
NU mengetahui akal-akalan birokrasi ini tetapi membiarkannya, bahkan
memfasilitasinya.
Para pengurus NU berdalih dengan
kaidah ushul fiqihnya bahwa mengangkat guru agama sebesar-besarnya, dengan cara
bagaimanapun merupakan kebutuhan yang masuk kategori ‘dlorurot’, seperti
diperbolehkannya mencuri kain kafan mayit untuk diberikan kepada orang yang
tidak punya baju dengan alasan dlorurot daripada telanjang. Sebenarnya
dampaknya juga berimbas kepada kualitas madrasah-madrasah NU hingga 30 tahun kemudian.
Pada masa orde lama kualitas Madrasah NU umumnya lebih baik daripada Sekolah
Rakyat (SR) Negeri, namun keadaan menjadi sebaliknya ketika Madrasah NU diisi
pengajar produk UGA, jauh tertinggal dari sekolah negeri. Ada banyak faktor
yang menyebabkannya, namun kualitas produk UGA harus diakui cukup rendah.
Sedang kisruh Ya Mualim
dilatarbelakangi minat kaum santri di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji
sangat tinggi. Kalau untuk kalangan abangan waktu itu masih belum berminat
bahkan masih alergi dengan hal-hal yang berbau agama. Namun keinginan
menunaikan haji tersebut hanyalah merupakan impian yang tak mungkin terwujud
mengingat kaum santri yang umumnya dari kalangan NU secara ekonomi merupakan
kelas menengah ke bawah. Gelar haji merupakan sesuatu yang sangat prestisius,
hanya segelintir orang yang mampu melaksanakannya. Ketika itu perjalanan haji
menggunakan kapal laut dengan memakan waktu dan bekal yang begitu besar.
Kemudian orang NU di pelosok-pelosok berbondong-bondong mencicil biaya haji melalui
Ya Mualim tersebut, partisipasinya luar biasa.
Namun kemudian uang yang
disetorkan dan saham yang dibeli menguap tanpa ada pertanggungjawabannya. Di
samping kehilangan materi juga mendapati pupusnya impian untuk menunaikan
ibadah haji. Tanpa mengerti kisruh apa yang terjadi di balik Ya Mualim dan PT
Arofat, yang pasti keduanya telah collapse di tengah kondisi pengurusnya yang
bergelimang harta dan properti.
Partai NU Partai Ingkang Murni
Dasar Islam Agama Kang Suci
Quran Hadits Pedoman Sejati
Madzhab Papat Nganggo Salah Siji
Sartane Hukum Islam Berlaku
Ing Negara Indonesia Mriki
Ini adalah sebagian bait-bait
yang dilantunkan pada kampanye Partai NU pada Pemilu 1955. Dari syair ini menimbulkan
implikasi yang dalam. NU bukan saja memiliki pesaing politik dalam upaya meraih
kekuasaan, tapi juga implikasi dari posisi NU yang secara ideologi politiknya mengagendakan
berlakunya hukum Islam di Negara Indonesia ini.
Meski gesekan dan friksi demikian
panjang antara NU Muhammadiyah dan kalangan pembaharu sejak peristiwa Komite
Hijaz hingga lepasnya NU dari Masyumi, konsistensi NU dalam mengusung pemberlakuan
hukum Islam di Negara Indonesia tidak surut. Meski sering terjadi perbedaan
sikap antara NU dan kekuatan Umat Islam lain pada tataran aplikasi praktisnya,
namun senantiasa kompak dalam mengusung ide dasar memperjuangkan hukum Islam
dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Meski antara NU dan Masyumi terlibat
friksi yang hebat, keduanya sama-sama simpati terhadap sikap politik Islam
sebagaimana yang dianut Sayyid Quthb pada kondisi waktu itu.
Dalam kondisi pasca Orde Lama,
dimana upaya membangun kembali Masyumi masih terseok-seok, NU bukan saja
menjadi kekuatan politik Umat Islam yang paling utama, namun sekaligus
menyandang predikat sebagai Islam yang kolot, fundamentalis, seideologi dengan
Sayyid Quthb, berarti NU dipandang sebagai sebuah momok Islam dalam sudut
pandang kaum Nasionalis waktu itu. Sehingga upaya-upaya untuk menghalau NU dari
kancah politik dipersiapkan, NU kemudian berhadapan dengan serangkaian tekanan,
skandal dan konspirasi. Jasa dan kemesraan NU dalam operasi penumpasan PKI
bersama militer pro Soeharto dilupakan dalam waktu singkat.
Pemilu 1971 menjadi pertarungan
hidup mati bagi Partai NU melawan GOLKAR. Hingga kemudian NU tersingkir dari
pemerintahan, bahkan termarjinalisasi dalam berbagai bidang kehidupan oleh
pemerintah Orde Baru. Ketika dalam kondisi yang lemah NU terpaksa menerima
pilihan untuk berfusi dalam wadah PPP, posisi NU sebagai tulang punggung utama
PPP tidak membuat NU luput dari upaya marginalisasi di dalam PPP, di bawah
intervensi pemerintah Orde Baru yang begitu dominan, sekaligus sebagai upaya
mengerdilkan PPP itu sendiri. Upaya marginalisasi NU di PPP sangat kental pada
masa kepemimpinan HJ Naro. Unsur NU baru bisa memegang tampuk pimpinan PPP
ketika kekuasaan Orde Baru telah lengser.
Konsistensi NU dalam mengusung
berlakunya hukum Islam berbuah konsekwensi pahit dan menyakitkan. Kedzaliman,
kriminalisasi dan ketidakadilan senantiasa menimpanya. Pasca 1971,
posisi-posisi NU di Depag disingkirkan, orang NU menghadapi pencopotan masal
dari berbagai jabatan yang sebelumnya dipegang. Jangankan menjadi Menteri
Agama, Kakandepag atau Rektor IAIN, menjadi Kepala Madrasah atau Kepala KUA
saja hampir mustahil. Aset-aset NU terpaksa hidup dengan meninggalkan atribut NUnya,
madrasah-madrasah milik NU terpaksa harus melepaskan keterkaitan dengan LP
Maarif, media masa NU hilang dari peredaran. Secara struktur, kepengurusan NU
bahkan seperti mati suri. Meski ditimpa ketidakadilan demi ketidakadilan, NU
hanyalah seperti sekelompok orang lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
bersabar.
Ketika ormas selain NU bisa
mencicipi secuil kue pembangunan Orde Baru bagi amal-amal usahanya, sekolah,
universitas, panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya, namun bagi kalangan NU
teramat sulit mendapatkan akses bantuan dan fasilitas dari pemerintah.
Sekalipun bagi kalangan NU yang masuk ke Golkar, fasilitas yang diterimanya
tetap tak seberapa. Orde Baru seperti merasa memiliki hutang nyawa dengan NU,
begitu takut akan kebangkitan kembali NU. Amal usaha NU harus menghidupi
aktivitasnya secara mandiri, bahkan di bawah tekanan. Sebagian kecil Kalangan
NU, pesantren dan birokrat NU berusaha menghirup nafas lebih longgar dengan
masuk ke Golkar, sehingga mendapatkan fasilitas dan bantuan meski tak seberapa.
Namun eksistensi mereka justru lebih rendah daripada kalangan NU yang menjadi
oposisi secara mandiri.
Lantas apakah tekanan dan
marginalisasi dari Pemerintah Orde Baru dalam bidang politik, birokrasi,
pendidikan, ekonomi dan sebagainya ini mampu mematikan NU? Ketika NU terkurung
pada level masyarakat bawah, pinggiran dan pedesaan, dengan image yang kolot,
kampungan dan terbelakang, apakah NU akan tetap eksis di tengah arus teknologi
dan modernisasi? Satu dekade menjelang Orde Baru runtuh sudah mulai bisa
terjawab. Ketika pamor Orde Baru bersama keberhasilan semu pembangunannya mulai
pudar di mata masyarakat, justru secara kultural NU semakin eksis dan menyatu
dengan masyarakat. Intervensi yang dilakukan Orde Baru terhadap NU yang
melahirkan friksi kubu Gus Dur dan Abu Hasan tidak signifikan mempengaruhi NU.
Kultur NU secara horisontal mampu
menembus sekat kaum abangan dan secara vertikal mulai merangsek menembus
kalangan menengah ke atas. Terjadi akulturasi budaya antara kalangan NU dan
abangan. Kalau dulu memakai kerudung menjadi ejekan pada kalangan abangan,
kemudian kerudung bahkan membudaya pada kalangan abangan. Kaum abangan tidak
lagi canggung melakukan tradisi-tradisi NU, melantunkan shalawat, mendengarkan
pengajian ala NU dan mengikuti amaliyah khas NU lainnya. Sebaliknya kalangan NU
juga tidak lagi alergi terhadap tradisi dan even khas abangan termasuk kesenian
mereka. Amaliah khas NU seperti tahlilan, yasinan, maulid dan lainnya demikian
mengakar, bahkan bisa dikatakan lebih populer di masyarakat kebanyakan daripada
ibadah yang sudah baku seperti shalat, zakat, puasa atau tilawah al Qur’an.
Dan pasca tumbangnya Orde Baru,
NU bukan lagi kelompok marginal dan kelas bawah, bahkan di luar dugaan
sekaligus juga muncul sebagai kekuatan intelektual. Secara politik, NU sangat
diperhitungkan. Untuk menggambarkan hegemoni NU, sampai ada ungkapan Kakandepag
di seluruh Indonesia diambilalih NU semuanya, begitu mudah tanpa perlawanan berarti
dari ormas lain, bahkan Rektor IAIN Padang juga sempat diduduki orang NU.
Namun bukan berarti ujian dan
badai yang menimpa NU telah berakhir. Jika sebuah ujian telah berlalu, ujian
yang akan datang bisa jadi lebih rumit. Ketika konsistensi para pendahulu NU
mengusung pemberlakuan hukum Islam berbuah kesabaran dalam kepahitan. Kemudian
ketika ujian serupa menimpa generasi penerus NU dalam bentuk dan suasana
berbeda, akankah konsistensi itu sejengkal demi sejengkal akan memudar? Akankah
dengan hegemoni yang disandang NU akan sanggup melewati derasnya arus
pluralisme, sekularisme dan liberalisme, yang ingin menempatkan kebesaran NU
sebagai batu sandungan di jalan dakwah ini, menempatkan syariah dan khilafah
sebagai momok yang begitu menakutkan, melahirkan sikap inferior dan
ketidakdewasaan terhadap sesama komponen umat dengan stigmatisasi isu gerakan transnasional,
fundamentalis dan radikal yang ambigu?
Kasus-kasus yang menjerat NU pada
waktu itu memberikan sebuah pelajaran bahwa kompetisi yang melibatkan para
pengusung dakwah ini lebih dalam dari sekedar persaingan politik atau ekonomi
semata. Gerakan yang mengusung agenda dakwah tidak akan sepi dari berbagai
rintangan, baik berupa pemberangusan yang kasar, intrik yang dikemas halus,
hingga konspirasitainment yang heboh. Dan hal seperti itu bisa menimpa siapa
saja dari pengusung agama ini baik NU Muhammadiyah, HTI, PKS LDKI dan lainnya.
Ketika itu NU dalam kondisi tersudut, baik oleh lawan politiknya maupun sesama
komponen umat yang pernah terlibat friksi dengan NU. Lebih cenderung memojokkan
NU, mencela kebobrokan moral dan perilaku korup yang dilakukannya, tidak
becusnya NU dalam mengelola suatu pemerintahan, daripada membangun sinergi
untuk menghadapi tantangan dakwah secara bersama-sama.
Namun para pengusung dakwah ini
selayaknya tidak serta merta menjadikan rintangan yang menghadang sebagai dalih
yang paling mudah untuk menafikkan sisi-sisi kekurangan, kelengahan, kemalasan
atau ketergesaan pribadi-pribadi pengusungnya. Dan tidak hanya sisi-sisi kekurangan
para pengusung dakwah ini yang menjadi sebab memudarnya jalan dakwah, namun
terkadang kuatnya tekad dan semangat pengusung dakwah ini diolah oleh
rival-rival dakwah menjadi ketergelinciran dan jatuhnya para pengusung dakwah. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar