Menjaga sikap adil terkadang merupakan sesuatu yang berat, namun akan lebih berat ketika harus menjaga sikap adil di kala kezhaliman sedang menimpa. Tentunya akan ada dorongan yang lebih kuat untuk membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan serupa, membalas fitnah yang diterima dengan fitnah yang serupa atau bahkan melampiaskannya lebih besar lagi.
Ada sebuah pelajaran berharga dari
perjalanan hidup Nabiyullah Musa AS kala remaja ketika melakukan sebuah
kesalahan. Meski Musa diasuh oleh keluarga Fir’aun dalam istananya sendiri,
bahkan menjadi kesayangannya, namun kaumnya Bani Israil mengalami penindasan,
kesewenang-wenangan dan diskriminasi oleh Fir’aun. Di samping memperbudak,
Fir’aun juga sempat membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil.
Meski Musa
tumbuh dalam kasih sayang Fir’aun, namun dia tidak menutup mata atas kezhaliman
yang dialami kaumnya. Ketika suatu hari dia melihat dua orang berkelahi, antara
seorang dari kaumnya dan seorang dari kaum Fir’aun, solidaritasnya secara
spontan muncul. Musa memukul lawannya hingga tewas, meski sebenarnya tak
sengaja ingin membunuh. Hal ini dikisahkan dalam Al Qur’an:
Dan Musa
masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di
dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari
golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka
orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan
orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa
berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” (QS. Al Qashash: 15)
Dengan
segera Musa kembali pada kesadarannya, timbul penyesalan dan rasa bersalah pada
dirinya. Maka dia bersegera untuk meminta ampun kepada Allah.
“Musa
mendoa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena
itu ampunilah aku.” Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata: “Ya Tuhanku, demi nikmat yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong
bagi orang- orang yang berdosa.” Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa
takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka tiba-tiba
orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya.
Musa berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata
(kesesatannya).” Maka tatkala Musa hendak memegang dengan keras orang yang
menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata: “Hai Musa, apakah kamu bermaksud
hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?
Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang
di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang mengadakan perdamaian.” (QS. Al Qashash: 16-19)
Maka Allah
mengampuninya, begitu mudah Allah mengampuni orang yang berbuat kesalahan
kemudian mengakuinya, meminta ampun dan memperbaiki diri.
“Tetapi
orang yang berlaku zhalim, kemudian ditukarnya kezhalimannya dengan kebaikan
(Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. An
Naml: 11)
Bahkan
kelak kemudian Nabi Musa AS mengakui kesalahannya di hadapan Fir’aun sendiri,
tatkala diutus sebagai rasul kepadanya. Namun sebuah pembelaan juga diutarakan
kepada Fir’aun, tentang perlakuannya terhadap Bani Israil yang semena-mena,
yang bagaimanapun memengaruhi emosi seorang Musa hingga mendorong tindakan
khilaf tersebut.
“Fir’aun
menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu
masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan
kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu
termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.” Berkata Musa: “Aku
telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.”
Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku
memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara
rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu
telah memperbudak Bani Israil.” (QS. Asy Syu’araa’: 18-22)
Dari
peristiwa ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik. Kezhaliman yang
menimpa tidak boleh menjadi dalih untuk melakukan kezhaliman serupa.
Penindasan, kesewenang-wenangan dan diskriminasi yang diterima, tidak bisa
menjadi alasan untuk melakukan tindakan anarkis, pelanggaran hukum atau main hakim
sendiri.
Sekiranya
kita mendapatkan fitnah, kecurangan, atau kedustaan secara bertubi-tubi,
hendaknya sikap obyektif, kesantunan dan kejujuran tetap terjaga.
Sekiranya
kita ditimpa penindasan ekonomi, maka hal itu tidak bisa menjadi pembenaran
untuk melakukan perampokan atau penjarahan. Kita tidak dibenarkan merampok
dengan alasan mengambil harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin.
Dengan
demikian perjuangan yang dilakukan umat ini akan tampak elegan dan
memperlihatkan ketinggian akhlak. Perjuangan ini hendaknya tidak ternoda oleh
hal-hal yang bertentangan dengan hakikat dan tujuan perjuangan itu sendiri.
Tetapi yang
harus diperhatikan, Kezhaliman penguasa terhadap orang-orang lemah tidak bisa
disejajarkan dengan kesalahan orang-orang dalam keadaan lemah teraniaya.
Kesalahan yang dilakukan orang-orang lemah lebih ringan dan lebih mudah
dimaafkan di sisi Allah daripada kesalahan yang dilakukan tiran yang menindas
mereka. Kesalahan orang-orang lemah yang berada dalam keadaan tertekan berbeda
dengan orang-orang kuat yang berbuat melampaui batas dalam keadaan lapang.
Sehingga
upaya mengentaskan orang-orang lemah dari kezhaliman yang mereka terima
semestinya lebih diutamakan daripada menghukum mereka atas kesalahan yang
diperbuat. Bisa jadi mereka berbuat kesalahan tidak semata-mata karena ingin
berbuat kerusakan, namun kondisi tertekan yang mereka alami yang menyebabkan
pelanggaran itu dilakukan. Sekiranya keadilan ditegakkan dan kezhaliman
dihapuskan, niscaya lebih layak ditegakkan hukuman atas orang-orang berbuat
keadaan lapang.
“Dan (bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim mereka membela diri.
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang
membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy Syuura: 39-43)
Tidak
semestinya kezhaliman terus dibiarkan terjadi. Upaya yang dilakukan orang-orang
teraniaya untuk melepaskan diri dari kezhaliman adalah perbuatan mulia. Allah
memberi mereka hak untuk membalas dengan setimpal dari kezhaliman yang menimpa.
Hak menuntut balas ini juga menjadi salah satu instrumen pada upaya penegakan
keadilan dan mencegah terjadinya kezhaliman. Namun tidak diperbolehkan
berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam membalas suatu kezhaliman.
Adakalanya
orang-orang lemah yang mengalami penindasan luar biasa, tak mampu lagi
mengendalikan diri sehingga melakukan tindakan yang nekad. Sehingga hal ini
akan memperburuk kondisi yang mereka alami, dan menjadikan mereka akan semakin
ditindas.
“Demikianlah,
dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita
kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Hajj: 60)
“Dan jika
kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan
yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An Nahl: 126).
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al Isra’: 33).
Terkadang
ujian datang begitu berat, ketika dituntut untuk bersikap adil ketika tertimpa
kezhaliman secara semena-mena. Membutuhkan sesuatu kesabaran yang lebih.
Sebagaimana beratnya ketika dituntut untuk berderma di kala kekurangan atau
bersikap lapang ketika dalam kesempitan, pahitnya ujian ini akan berbuah pahala
dan keutamaan yang lebih besar. Menjaga tegaknya keadilan kepada musuh yang
teramat dibenci mungkin akan terasa berat sebagaimana halnya menjaga tegaknya
keadilan ketika menyangkut orang-orang yang kita kasihi. Namun demikian Allah
telah memerintahkannya kepada kita.
“Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al
Maaidah: 8).
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (QS. An Nisaa’: 135). (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar