Ramadhan dan Hari Raya telah berlalu, namun ada sesuatu yang masih mengganjal pada komunitas Salafy dalam tubuh Muhammadiyah tentang perbedaan pandangan mengenai penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Komunitas Salafy yang agak moderat, yang selama ini relatif bisa nyambung dan bersinergi bersama komunitas lain di Muhammadiyah, bahkan keduanya lebih tampak identik dilihat dari luar. Hubungan yang terjalin lebih cenderung saling melengkapi, banyak merangkai suatu harmoni sekalipun sebenarnya juga terdapat perbedaan corak yang mendasar.
Pandangan keagamaan puritan
keduanya dalam lingkup ibadah mahdhah memang sejalan. Namun Muhammadiyah juga
mewarisi gagasan keagamaan modern dari Muhammad Abduh yang berpotensi
menimbulkan friksi dengan pandangan Salafy yang tekstual. Dan potensi
terjadinya friksi inilah yang mulai terkuak dari momentum dalam penentuan awal
Ramadhan dan Hari Raya.
Muhammadiyah mengetahui bahwa
penentuan tanggal pada masa Rasulullah dengan memakai cara rukyatul hilal yang
sangat sederhana. Namun Muhammadiyah memaknai melihat bulan dengan mata
telanjang hanyalah sebuah sarana untuk menentukan tanggal, sesuai dengan
kondisi umat waktu itu. Nilai-nilai modernitas yang diadopsi Muhammadiyah
cenderung pada penggunaan hisab untuk penentuan kalender sesuai pada kondisi
zaman sekarang. Sebagai analogi sederhana, fikih sejak masa klasik menentukan
status hukum khunsa melalui tempat keluarnya air kencing, sedang pada masa
sekarang ketika ilmu kedokteran semakin maju, kasus khunsa ditentukan dengan
tes DNA, hormon dan organ reproduksi, yang terkadang hasilnya berkebalikan
dengan metode tempat keluarnya air kencing.
Seiring berlalunya zaman,
persoalan penentuan kalender umat ini semakin komplek. Persoalan ini tidak
sesederhana terlihatnya hilal atau sebatas ada saksi yang mengaku melihatnya, sebagaimana adanya pada masa Rasulullah.
Ketika di zaman ini ilmu astronomi sudah sedemikian maju, tidak bisa menafikkan
begitu saja ilmu hisab untuk menguji validitas terlihatnya hilal.
Juga tidak semudah menentukan
definisi ulil amri yang berhak memutuskannya, tidak sesederhana ketika ada
orang melihat hilal, otomatis tanggal ditetapkan. Di antara pemahaman seburuk
apapun suatu pemerintahan dzalim, kaum muslimin tetap harus taat sepenuhnya
selagi bukan diperintah untuk maksiyat, dengan pandangan yang mendefinisikan
ulil amri sebagai otoritas dalam bidangnya masing-masing termasuk ulama atau
ormas, bukan monopoli pemerintah. Umat ini tidak lagi berada pada satu
kepemimpinan yang otoritasnya diakui seluruh Umat Islam, termasuk persoalan
memposisikan keberadaan ormas, persyarikatan, jamiyyah atau majelis keagamaan
di antara beragamnya aliran, manhaj atau madzhab yang belum bisa dipertemukan.
Juga sikap pada sebaik atau seburuk apapun suatu pemerintahan yang notabene
adalah muslim, namun bagaimana bila menyangkut rezim boneka kaum kuffar
sekalipun banyak memakai simbol-simbol Islam. Atau jika pemerintah didominasi
aliran sempalan, memutuskan tanggal berdasarkan metode yang tidak syar’i
seperti aboge, lantas siapa yang memegang otoritas untuk ditaati oleh umat.
Ketika dahulu Umat Islam berada hanya
dalam satu Daulah, terjadi perbedaan penentuan tanggal antara wilayah yang berbeda,
antara Damaskus dan Madinah. Apakah sekarang dalam satu negara yang luas,
penduduknya harus menentukan tanggal secara bersamaan, meski satu negara
terdiri dari berbagai wilayah dengan kondisi astronomis, mathla’, dan zona
waktu yang berbeda, perbedaan antara Papua dengan Aceh lebih besar dari
perbedaan antara Damaskus dan Madinah. Atau dalam sebuah kawasan sempit yang
terbagi menjadi banyak negara kecil seperti di kawasan Teluk, apakah akan
menentukan tanggal sendiri-sendiri sementara kondisi astronomisnya hampir sama.
Apakah terlihatnya hilal mengikat pada satu negara saja, atau wilayah lokal
sejauh jarak qoshor shalat saja, ataukah berlaku bagi seluruh dunia di era
teknologi informasi yang mengglobal ini.
Banyak lagi persoalan lain
seperti pemahaman mengikuti waktu
rangkaian pelaksanaan haji, dengan pemahaman mengikuti tanggal di negeri
masing-masing. Misalnya apakah Negeri-negeri di Afrika harus menunda penetapan
tanggal meski hilal telah terlihat dikarenakan di negeri tempat pelaksanaan
haji hilal belum tampak dan tanggal belum ditetapkan. Ataukah sebaliknya,
penetapan rangkaian ibadah haji menunggu penampakan hilal di negeri-negeri
Afrika atau sebelah baratnya, jika di Arab Saudi hilal belum tampak.
Pilihan pada metode hisab
hanyalah bagian kecil dari paradigma penerimaan nilai-nilai modernisme dalam
keberagamaan. Dan ketika paradigma ini bersinggunggan dengan berbagai paradigma
lain, seperti konsep ulil amri atau umat sebagai satu kesatuan yang tidak
semestinya saling mendahului, maka semestinya diperlukan sikap arif dalam
menentukan keputusan, terkait apa yang menjadi prioritas dan lebih bermanfaat.
Dalam kondisi yang begitu komplek,
tidak semestinya kita terbelenggu pada permasalahan yang masih sulit
dipertemukan. Jika selama ini kalangan Muhammadiyah mendapat manfaat dari sisi
keilmuan, tsaqofah dan sumber daya dari interaksinya dengan kalangan Salafy,
sementara kalangan Salafy mendapat akses menjangkau masyarakat yang lebih luas
melalui Muhammadiyah, semoga sisi positif ini tidak rusak oleh memperuncing
masalah-masalah yang tidak begitu bermanfaat.
Kita yakin keberadaan ulil amri merupakan
solusi atas semua problematika umat. Namun untuk mewujudkannya bukanlah perkara
yang mudah, sebagai imbas atas keragaman pemahaman dalam tubuh umat sendiri. Ulil
amri bisa jadi baru akan tegak sempurna kelak di penghujung akhir umur umat
ini. Dan berabad-abad sebelumnya, umat ini mesti bisa menyiasati ketiadaan
senjata pamungkas ini dalam menghadapi segenap problematikanya.
Persoalan perbedaan pemahaman ini
senantiasa ada, bukan sekedar persoalan tingkat keilmuan atau penguasaan kitab
semata. Di antara upaya pencarian kebenaran yang mulia ini, semoga tidak
terganggu oleh hal-hal yang tidak kontraproduktif bagi kedua belah pihak. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar