Bagi kita, pertarungan masih
sangat cair. Seringkali kemenangan tidak diraih atas dasar popularitas atau
banyaknya pengikut. Bagi kandidat yang tak diunggulkan, tak semestinya pesimis
dan menyerah begitu saja. Suatu permainan cantik bisa memunculkan kuda hitam
yang tak terduga.
Mengembalikan ingatan pada 1999,
pertarungan pertama pasca Reformasi, justru kuda hitam yang muncul menjadi
pemenang. Meski PDI-P dan Partai Golkar pada waktu itu adalah peraih kursi
terbanyak, pertarungan untuk memperebutkan RI-1 tidak terjadi pada kandidat
yang mereka usung, Megawati dan Habibi, tapi pertarungan yang sesungguhnya justru
terjadi antara Gus Dur dan Amin Rais.
Pemilu 1999 baru saja berlalu,
namun gambaran hasilnya sudah bisa dibaca. Amin Rais yang menghadapi Pemilu
dengan penuh optimisme sebagai tokoh terdepan Reformasi, menghadapi kenyataan
bahwa suara yang diperoleh partainya jauh di bawah yang ia prediksikan, hanya
sekitar 7 persen suara. Ia tidak memandang pencapaian ini sebagai modal awal
untuk suatu perjuangan yang harus berlanjut tanpa kenal menyerah. Malah ia shock,
sempat ingin mundur dari gelanggang politik, sekaligus mengubur dalam-dalam
cita-citanya menjadi Presiden Indonesia. Seolah merasa bahwa peluangnya telah
pupus sama sekali.
Di sisi lain, perolehan suara
yang diperoleh PKB yang menjadi kendaraan Gus Dur sebenarnya tidak berbeda jauh
dengan PAN. Bedanya, pencapaian tersebut tidak disikapi dengan pesimisme. Dari
kalkulasi politiknya, suara sebesar itu sudah cukup untuk menjadi modal untuk
bermain di antara dua kubu besar yang
ada, PDI-P dan Golkar. Komposisi keanggotaan MPR yang akan memilih presiden
dihitungnya dengan matang. Sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan untuk
menawarkan pilihan alternatif di antara dua kubu yang sedang bertarung dengan
sengitnya.
Bagi kubu Golkar-Habibi, toh
meski dirinya kalah dalam pertarungan memperebutkan RI-1 nantinya, asalkan
bukan Megawati yang menjadi pemenangnya. Sebaliknya bagi Gus Dur, kedekatannya
dengan Megawati bukan sekedar pertemanan pribadi, melainkan juga pertalian
ideologis yang teramat kuat. Gus Dur tak akan rela begitu saja membiarkan kursi
Presiden jatuh ke tangan lawan politik Megawati. Dan permainan Poros Tengah
inilah yang sebenarnya merupakan jasa terbesar Gus Dur kepada Megawati, yang
hingga saat ini bisa jadi belum disadari oleh Megawati, bahkan belum dimaafkannya.
Posisi Gus Dur dan Amin Rais
waktu itu relatif sama, tinggal siapa yang bisa membaca peluang. Kondisi Amin
Rais yang sedang shock memudahkan Gus Dur memulai sebuah permainan. Gus Dur
kemudian menemui Ahmad Syafi’i Ma’arif Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu.
Memainkan sebuah argumentasi jika Mega yang menjadi presiden akibatnya akan
begini-begini..., jika Habibi yang menjadi presiden akibatnya akan
begini-begini..., sehingga bagaimana jika dirinya saja yang menjadi presiden?
Sebuah ide yang cukup gila.
Kemudian dilanjutkan dengan
obrolan-obrolan ringan tentang pembagian kekuasaan yang sudah dipetakan oleh
Gus Dur, tentang siapa yang akan menjadi ketua MPR, komposisi kabinet, dan
sebagainya. Selanjutnya Gus Dur mengemukakan, “Tapi maaf, posisi Menteri Agama
kami ambil.” Syafii Maarif hanya menjawab, “Ambil saja semua!” Makanya ketika
pada era Gus Dur menjadi Presiden terjadi NU-isasi Departemen Agama,
posisi-posisi orang Muhammadiyah di Depag dan IAIN dihabisi, sebenarnya adalah
permintaan dari Syafi’i Ma’arif sendiri. Seandainya jawaban dari Syafi’i
Ma’arif begini, “Bagi-bagi dong, antara NU dan Muhammadiyah,” ceritanya mungkin
akan lain.
Ternyata begitu mudahnya
memanfaatkan orang-orang yang telah merasa kalah dalam Pemilu, sambil sedikit
mengobati shock mereka, dengan iming-iming sebuah hiburan tentang pembagian
kekuasaan. Dan ketika kemenangan Poros Tengah tinggal selangkah, muncul sebuah
tawaran krusial dari Golkar kepada Amin Rais untuk menjadi Presiden. Cerdiknya
Gus Dur menunjuk Amin Rais menjadi pahlawan terdepan Poros Tengah sebenarnya
mengunci langkah Amin Rais itu sendiri, sekaligus menutup peluang yang
berpotensi menggagalkan agendanya.
Tak mungkin tiba-tiba Amin Rais
mengkhianati Gus Dur karena tergiur tawaran Golkar. Ia sudah terlanjur tulus,
bahkan ia terlanjur dikenal sebagai orang terdepan yang mengusung Gus Dur
sebagai Presiden. Namun ketika di kemudian hari kebijakan Presiden Gus Dur
mengecewakannya, mungkin ia menyesal. Tetapi kesempatan sama tidak datang dua
kali.
Amin Rais mungkin merasa cukup
beruntung, di tengah keterpurukan partainya masih mendapatkan posisi Ketua MPR.
Namun andai sejak awal ia bisa membaca situasi dengan baik, peluangnya bisa
lebih. Seperti orang Jawa mengatakan, “Sak bejo-bejone wong kang lali, isih
bejo wong kang eling lan waspodo.” Seberuntungnya orang yang lalai, masih
lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Meski Gus Dur hanya ‘main-main’
menjadi seorang Presiden, namun memberi sebuah pelajaran tentang optimisme dan strategi
yang brilian dalam mengarungi pertarungan di dunia politik. Selanjutnya pada
Pilpres 2004, kandidat yang memenangkannya hanya bermodalkan suara 7 % dalam
Pemilu Legislatif. Dalam kondisi Pilkada langsung, tetap saja peluang yang
telah terbuka lebar, bisa luluh lantak oleh kuda-kuda hitam yang bermain lihai.
(dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar