Mendengar judulnya saja, terkesan seperti untuk anak-anak. Memang betul, Jangan Ada Iri Antara Kita adalah nama sebuah novel anak. Penulisnya pernah menjadi murabbi saat bertugas di daerah terpencil di tempatku. Kalau untuk kita-kita orang dewasa mungkin sudah tidak perlu bacaan kayak gitu ya? Disamping sudah berumur, menyandang predikat aktifis dakwah, dan sudah banyak mengikuti taklim, banyak hafal dalil. Namanya juga anak-anak wajar kalau masih nakal, suka berantem, ngambek dan iri. Sedang aktifis dakwah mungkin sudah kebal dengan penyakit gituan?
Eits, tunggu dulu. Lantas apakah
di antara gerakan dakwah sudah tidak ada lagi yang namanya cekcok, berantem,
ngrecoki, iri, dengki dan semacamnya? Apakah cara pandang berpikir kita sudah
benar-benar dewasa, bebas dari berbagai sifat kekanak-kanakan?
Di antara kerinduan kita tentang terwujudnya
ukhuwah yang sesungguhnya dalam umat ini, ada saja persoalan yang menimpa. Dari
hal-hal yang sebenarnya hanya sepele, namun tidak disikapi secara dewasa
sehingga akhirnya menjadi penghambat dakwah.
Ketika harakah atau jamaah lain
naik daun, rasanya lebih mudah menganggap kalau mereka mengganggu lahan kita.
Mengapa lebih sulit untuk berpikir kalau keberadaan mereka akan makin
meringankan beban dakwah ini?
Ketika ada orang-orang
bersemangat memakmurkan suatu masjid, kita lebih mudah mengatakan mereka suka
ngrebut aset orang. Mengapa tidak berpikir, syukur-syukur ada yang membantu
memakmurkan masjid yang sepi ini, yang kita sendiri sudah teramat malas mendatanginya.
Ketika majelis taklim atau
pengajian yang kian surut dihidupkan orang, lebih mudah beranggapan mereka
merebut usaha yang telah kita rintis. Mengapa tidak berpikir, dengan
partisipasi mereka amal yang kian surut ini menjadi semarak lagi.
Banyak orang yang teramat sewot
ketika aset-asetnya jatuh ke pihak lain. Sebenarnya maklum juga, tapi yang
sewot tadi di tempat lain mau juga merebut aset orang. Coba kalau rasa sewot
ini diganti dengan sebuah introspeksi tentang keteledoran dan kelalaian, agar
di masa datang jangan sampai terulang, sekaligus untuk menjadi pemacu semangat.
Adanya proteksi, fasilitas dan
kemudahan untuk menunjang suatu aktifitas dakwah, malah sering membuat gerah
orang-orang yang sama-sama mengusung dakwah ini. Bukannya menyikapi dengan
berlomba-lomba dalam kebaikan, malah mencari-cari dalih untuk merintangi.
Dengan dalih sebagai institusi yang netral dan profesional, bukan untuk
kelompok tertentu, sarana penunjang dakwah lantas ingin dihancurkan begitu saja.
Di suatu tempat, ada pihak yang gerah dengan fasilitas dan proteksi yang tidak
bisa dipungkiri memang menguntungkan pihak lain, namun di tempat lain mereka sendiri
juga enjoy saja menikmati fasilitas dan proteksi serupa, yang menguntungkan pihak
mereka.
Mungkin selama ini lebih banyak
orang berorientasi untuk kepentingan sendiri. Sulit untuk ikhlas melihat
saudaranya mendapatkan suatu nikmat. Yang penting mereka terhalang dari nikmat
itu, meski halangan yang mereka dapat sebenarnya juga tidak menjadi keuntungan
apa-apa buat dirinya. Lucu juga, malah lebih nyaman kalau sama-sama buntung.
Makanya kalau ada tokoh umat
menduduki suatu jabatan, sesama umat malah lebih gerah dibanding bila jabatan
itu jatuh ke tangan kaum nasionalis. Prinsipnya, meski kita tidak mendapatkan,
yang penting mereka juga tidak mendapatkan.
Ketika satu kepaduan umat belum
terwujud, sebagai imbas dari perbedaan persepsi dalam mengusung agenda dakwah,
tidak mudah untuk memadukan berbagai jamaah, harakah, dan beragam sarana dakwah
yang ada. Sebuah tantangan yang cukup sulit untuk membuat kita saling menyokong
dan memberi jalan dari pada saling menghambat dan menjatuhkan.
Adakalanya kita saling
berkompetisi, memperebutkan lahan dan bekal dakwah, yang kadang berujung pada
persaingan tidak sehat. Namun pada momen lain ternyata kita saling membutuhkan,
untuk saling membantu menghadapi problem yang tak mampu dihadapi sendiri.
Apakah kita harus menunggu saat-saat genting baru bisa memadu langkah?
Adakalanya kita harus rela sedikit
tersisihkan, untuk memberi kesempatan orang lain yang lebih memiliki kecakapan
dalam suatu bidang. Jika terlalu berat menerima makna tersisih, anggap saja
secara positif bahwa kita berkesempatan mencari bidang lain yang yang lebih
cocok bagi kita, serta menjadi sebuah pengorbanan yang lebih bermanfaat bagi dakwah
secara keseluruhan.
Adakalanya hambatan dakwah ini
muncul dari ego para pengusungnya sendiri, hingga di antara kita saling
menjatuhkan satu sama lain. Dan ketika kita menjadi sama-sama jatuh, baru
merasakan kerugian yang dialami. Ego kita membuat umat ini menjadi lemah secara
keseluruhan, ketika segala sesuatunya telah terlambat.
Jika kita pernah merasakan
perihnya terzhalimi, mengapa kita masih mampu melakukan kezhaliman serupa pada
yang lain? Jika di suatu posisi kita merasa hak-hak yang semestinya di dapat
belum terpenuhi, hendaknya juga mengingat bahwa posisi lain banyak hak-hak
orang lain yang masih kita ambil. Di satu sisi mungkin kita mengeluhkan suatu
kekurangan, namun juga jangan lupa bila di sisi lain kita mendapatkan kelebihan.
Bukankah Allah telah memperingatkan tentang penuntut keadilan yang ambigu :
“Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthaffifin : 1-3)
“Dan apabila mereka dipanggil
kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka,
tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu
untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh.” (QS.
An Nuur : 48-49)
Tantangan dan hambatan
sesungguhnya adalah hiasan yang memperindah perjalanan dakwah ini. Apalagi bila
hambatan tersebut berasal dari sesama pengusung dakwah, memang membutuhkan
suatu kesabaran. Bagaimana mungkin suatu perjuangan dikatakan berarti tanpa
melewati berbagai aral cobaan. Hingga di antara kita rela mengorbankan ego dan
kepentingan masing-masing. Saling mengkoreksi hendaknya dimaknai sebagai upaya
penyelamatan dan kepedulian, karena kepaduan sejati tidak akan terwujud
manakala substansi dakwah ini tak tegak. Namun ketika tindakan yang kita
persepsikan sebagai niat baik itu membuat kita terjebak dalam keruwetan
berlarut-larut yang tak bermanfaat sama sekali, berarti memerlukan suatu sikap
kedewasaan untuk bisa menempatkan sesuai proporsinya. Dan kita masih harus
belajar mengikis sifat kekanak-kanakan ini. (dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar