Dapatkah suatu kemenangan menjadi indah bagi semua, seindah Fathu Makkah? Saat-saat kita berbicara tentang suatu kemenangan yang indah, namun terasa amat kecut dalam pendengaran mereka.
Adakalanya kejayaan dalam bahasa
kita adalah kehancuran dalam bahasa mereka. Kita menganggap sebagai pembebasan
namun mereka menganggap sebagai penaklukan. Target-target yang kita incar dalam
perjuangan dimaknai sebagai kehilangan posisi-posisi strategis bagi mereka. Agenda-agenda
yang ingin kita capai diterima sebagai ancaman bagi eksistensi mereka. Kita
merasa tengah menabur harapan, sementara mereka menangkapnya sebagai tebaran
ketakutan. Keadilan yang ingin kita tegakkan adalah merampas kekuasaan yang
mereka miliki. Kehadiran kita adalah ancaman bagi kepentingan mereka.
Bagaimanakah suatu pesan indah dikomunikasikan
secara tepat? Bagaimana kita meyakinkan agar ketulusan ini tidak dilihat
sebagai ancaman? Agar sikap welas asih ini tidak tampil dalam wajah garang yang
menyeramkan.
Sehingga rintangan mereka buat untuk
menahan laju kita berubah menjadi jembatan yang memudahkan kita melangkah. Kuda-kuda
yang dipersiapkan untuk menghadang kita berubah menjadi kendaraan yang
mengantarkan kita ke tempat yang akan dituju.
Langkah-langkah kemenangan
menjadi lebih ringan, korban-korban yang seharusnya berjatuhan malah menjadi pihak
yang ikut serta menikmati kemenangan.
Namun bagaimana kita akan
meyakinkan mereka kalau kita belum mampu meyakinkan diri sendiri. Tentang apa
yang dilakukan ini, apakah benar-benar terbebas dari ego dan kepentingan sesaat
kita. Sudahkah yakin dalam perjuangan ini kita benar-benar memberi bukan merampas,
memuliakan bukan merendahkan, membebaskan bukan menaklukkan. Benarkah ikhlas
dan zuhud ini akan senantiasa terpelihara nantinya? Kesabaran untuk menanti
pahala yang lebih baik di akhirat.
Suatu contoh kecil, kita berbicara
tentang penaklukan Roma, begitu ringan mengalir tanpa terasa, bahkan teramat
indah. Sementara bagi mereka tak seindah yang kita angankan, menjadi sesuatu
yang horor, ancaman yang mengerikan, hingga akhirnya melahirkan sikap
Islamophobia.
Ketika kita berbicara tentang
sebuah kemenangan yang sempurna, dalam gambaran yang dikedepankan adalah dihancurkannya salib, dibunuhnya semua Yahudi.
Mengapa tidak melihat juga sisi-sisi lain kemenangan yang teramat indah tentang
kedamaian dan kemakmuran dunia, hingga tak seorang pun mau menerima pemberian,
terbukanya hati seluruh Ahli Kitab menerima keimanan. Seindah ayat ini:
“Tidak ada seorangpun dari
Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di
hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.” (QS. An
Nisaa’: 159)
Seindah Fathu Makkah, meski
tak semuanya bisa seindah itu. Tentang orang-orang yang telah pasti berlaku
ketetapan atas mereka, harus berpayah-payah untuk kebinasaan mereka sendiri. Juga
tentang orang-orang yang telah ditetapkan menerima pahala dari besarnya
kesulitan dalam perjuangan yang mereka hadapi.
Agar sebagian mereka mengetahui, dari kekalahan
yang mereka derita memang mereka akan kehilangan sesuatu, namun dari kemenangan
yang kita raih akan memberi mereka sesuatu yang lebih berharga sebagai gantinya.
Akhir yang indah bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar