Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dilangsungkan serentak pada 2019. Hal ini berarti MK menganulir sebagian materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang yang dihasilkan melalui proses politik di DPR harus berakhir pada putusan hakim di MK. Sebuah otoritarianisme yang mengatasnamakan konstitusi dan kepentingan negara, yang mencari pembenaran di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.
Begitu mudahnya UU yang
dihasilkan melalui proses politik di DPR dimentahkan oleh MK. Berbagai proses
politik di DPR, pembahasan panjang sebuah RUU, tawar menawar dan lobi-lobi
politik, hingga hasil voting di DPR tak ada artinya di tangan keputusan MK. Masing-masing
anggota DPR yang merepresentasikan keterwakilan rakyat melalui proses
pemilihan, mendapatkan mandat secara riil melalui bilik-bilik suara, dipilih
langsung oleh puluhan ribu pemilih, tak ada artinya ketika berakhir dengan
opini segelintir hakim di MK. Keputusan yang final dan mengikat, tanpa membuka
celah untuk adanya proses hukum selanjutnya. Kewenangan membuat keputusan yang mengunci
mati semua pro kontra yang masih berlangsung.
Sangat subyektif untuk
menempatkan ranah konstitusi dan ranah teknis penyelenggaraan negara. Dalam
kontek calon perseorangan, nomor urut vis suara terbanyak atau parliamentary threshold dan presidential treshold, tidaklah mutlak bisa
dikatakan berada pada ranah konstitusi. Bahkan sebenarnya lebih mengarah pada
hal-hal teknis yang senantiasa menyisakan plus-minus, dampak positif dan
negatif dari masing-masing opsi yang ada. Tidak serta merta penetapan Aleg
berdasarkan suara terbanyak atau pemilihan langsung adalah baik menurut
konstitusi, baik bagi demokrasi dan kepentingan rakyat, ada kemungkinan juga
menyisakan dampak negatif berupa maraknya money politik, tingginya biaya
politik yang berakibat meningkatnya korupsi, penurunan kualitas calon terpilih,
politik individual yang tak terkontrol dan terjadinya berbagai konflik.
Memberikan kewenangan luar biasa
kepada sekelompok orang untuk menentukan arah kebijakan negara bisa menjadi
alternatif opsi ketika mayoritas publik tak lagi memiliki kepercayaan terhadap
lembaga perwakilan yang ada, ketika mereka merasa lembaga tersebut tak pernah
merepresentasikan keterwakilan mereka. Suatu pilihan untuk memberikan
kewenangan otoriter kepada orang tertentu yang memiliki keahlian untuk
menyelesaikan persoalan kenegaraan.
Sebuah ketidakpercayaan pada
demokrasi, ketika upaya melibatkan semua unsur rakyat dan mengakomodasi semua
kepentingan mereka berakibat proses-proses kenegaraan menjadi berbelit-belit
dan alot, hingga akhirnya juga tidak dapat menghasilkan proses-proses politik
yang efektif. Atau cukup menyerahkan pengelolaan negara kepada beberapa orang terbatas
yang dianggap ahli?
Namun apakah menyerahkan
kewenangan negara kepada sekelompok orang (yang diharap) baik merupakan pilihan
terbaik dalam semua kondisi? Apakah membuka akses yang sama kepada seluruh
rakyat, baik kaum bar-bar maupun intelektualnya, orang baiknya atau penjahatnya
mampu menghasilkan kehidupan politik yang baik bagi negara? Jika kewenangan
melakukan intervensi terhadap proses demokrasi ini disalahgunakan, bagaimana
mekanisme yang menjamin pengawasan dan regenerasinya tetap terjaga?
Mekanisme apakah yang bisa
menjamin sistem tersebut terpelihara di tangan orang-orang baik? Bagaimana jika
kewenangan yang otoriter tersebut jatuh dan disalahgunakan tangan-tangan kotor?
Kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi suatu indikasi bahwa
pengelolaan negara berbau sedikit neo-aristokrasi ini tak selamanya menjadi
jalan pintas yang terbaik, bahkan bisa lebih beresiko dalam jangka panjang.
Model seperti ini jika ia baik akan membawa kebaikan yang lebih pada tatanan
negara, tetapi bila ia buruk dan disalahgunakan, akibat yang ditimbulkannya
akan lebih buruk, pilihan berresiko yang harus dipertaruhkan bagi negara.
Dimanakah rasa keadilan ketika
keputusan-keputusan yang telah melewati proses politik panjang berakhir sia-sia
di tangan segelintir orang, dengan opini-opini yang mengatasnamakan konstitusi,
tanpa memberi kesempatan untuk menyelesaikan pro kontra yang masih tersisa?
Sekaligus juga pertanyaan sejauh mana efektifitas membiarkan demokrasi berlangsung
apa adanya dengan membuka kesempatan beragam kepentingan untuk turut serta di
dalamnya, membiarkan penyelesaian masalah dalam kondisi penuh tarik menarik
kepentingan secara alot.
Lantas, relevankah keberadaan MK
baik dari sudut pandang demokrasi atau sudut pandang penyederhanaan pengelolaan
negara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar