Tentang Indonesia masa depan, dalam angan orang-orang lemah yang merasa tertindas, di antara karut marut bangsa yang tak kunjung usai, tentang terwujudnya masa keemasan sebuah negeri yang dipenuhi keadilan, kedamaian dan kemakmuran. Sebuah mimpi yang menjadi sandaran terakhir dan penghibur yang masih tersisa ketika satu demi satu harapan itu pupus, di antara kesulitan hidup yang mereka rasakan.
Kemerdekaan ini, ketika masih menjadi
penantian, dalam waktu yang teramat lama, di dalam harapan orang-orang yang
bersusah payah memperjuangkannya, adalah mimpi indah tentang kejayaan negeri
yang dicitakan itu. Namun sekian lama kemerdekaan itu dicapai, ia tak seindah
yang dibayangkan semula, makna kemerdekaan yang sesungguhnya semakin sirna.
Cita indah itu seperti masih sama jauhnya atau malah terasa kian jauh.
Kemerdekaan ini tidak menghapuskan keluh
kesah orang-orang lemah tentang kesewenang-wenangan dan kezhaliman yang masih
leluasa terjadi di negeri ini. Nafsu angkara, keserakahan dan
kesewenang-wenangan tak lagi dimonopoli oleh penjajah yang datang dari jauh,
semua kebejatan itu juga mampu dilakukan sesama anak bangsa terhadap saudara
mereka sendiri. Mengapa kemerdekaan ini tidak hanya mengubur sekian banyak
jiwa-jiwa pejuang, namun sekaligus melahirkan manusia-manusia berperilaku nista
di antara anak bangsa ini?
Sekiranya para penjajah itu masih
mencengkeram negeri ini, masa keemasan negeri yang diimpikan itu rasanya akan
mustahil untuk terwujud. Tetapi sekiranya para penjajah itu tidak pergi,
mungkinkah juga zaman edan dengan segala kenistaannya bisa berlangsung di negeri
ini?
“Partai
Keadilan, kok ono sing milih ya?” (Partai keadilan! Kok ada yang milih ya)
Kakek berkata dengan terkagum-kagum, bagaimana mungkin di TPS desa ini juga ada
yang mencoblos Partai Keadilan.
Apa istimewanya Partai keadilan? Pikir saya,
mungkin saja hanya pilihan orang-orang yang asal mencoblos, toh hampir semua
partai mendapatkan suara meski hanya satu dua, bukan hanya partai-partai yang
memang sudah eksis di sini.
Aneh juga, untuk yang kesekian kalinya kakek
begitu antusias dengan sebuah partai yang bernama Partai Keadilan. Sebelumnya
setiap bertemu dengan saya, ketika berbicara mengenai kondisi politik saat itu,
beliau tak ketinggalan menyebut partai tersebut. Maklum ketika itu masih berada
dalam suasana euforia politik pasca reformasi.
Apalagi kakek, saya sendiri saat itu malah
belum tahu menahu dengan Partai Keadilan. Hanya mengetahui dari berita di TV
dan koran, banyak partai baru bermunculan, biasa saja. Kabarnya yang menjadi
ketua adalah anak buahnya Pak Habibi. Jadi saya pikir mungkin partai ini
termasuk yang diisukan sebagai produk kroni Soeharto, kelompok yang pro status
quo. Jangankan saat itu, hingga Tahun 2009 PKS masih menjadi partai
non-parlemen di daerah ini, perolehan suara di kecamatan ini selalu menempati
posisi buncit setiap pemilu. Hanya yang saya ketahui tentang Partai Keadilan
pada waktu itu, bahwa adalah ia sebuah Partai Islam.
Apakah kakek saya adalah seorang pengagum
ideologi revival Islam, gerakan-gerakan Islam kontemporer dan pemikiran dari
Timur Tengah? Tidak sama sekali.
Jika 12 tahun kemudian kakek adalah orang
yang rajin mendatangi shalat jamaah di masjid, sekalipun berjalan dalam kondisi
tertatih sempoyongan, bahkan beberapa kali sempat terpeleset, terjerat kain
sarungnya, kondisi beliau saat itu justru sebaliknya. Untuk melaksanakan shalat
lima waktu rasanya seperti terpaksa sekali, sekadar menggugurkan kewajiban.
Hari-hari beliau adalah kerja, kerja dan kerja. Kadang-kadang ketika hari telah
gelap baru pulang dari sawah, kemudian melakukan shalat Ashar dengan amat terburu-buru,
entah masih mendapatkan waktunya atau tidak.
Dan tentang sikap beliau mengenai Islam
politik, jangan ditanyakan lagi.
“Ya ra
iso, Islam kok arep ngatur negara. Apa arep ngarapke Indonesia?” (Ya tidak
akan bisa, Islam kok mau mengatur negara. Apa ingin meng-arabkan Indonesia?)
“Adol
agama kanggo nggolek sandang pangan.” (Jual agama untuk cari sandang
pangan) Begitulah pandangan beliau terhadap politik Islam dan santri.
Islam dan Jawa, sulit mendefinisikan
hubungan keduanya. Sekian lama Islam menjaga Jawa ketika para penjajah datang
dengan nafsu angkara murka, nafsu untuk menaklukkan dan menguasai seluruh
penjuru dunia. Menghadapi mereka yang ingin menghapus entitas Jawa. Islam telah
memberi kekuatan kepada Jawa menghadapi berbagai tantangan dalam waktu yang
panjang, namun ketika tantangan itu berlalu (berganti), keduanya saling
berpaling.
Islam terkadang masih dipersepsikan sebagai
tamu di Jawa. Apakah karena peradaban India datang ke negeri ini lebih dahulu
sebelum Islam, apa beda antara India dan Arab, bukankah keduanya sama-sama
negeri asing yang jauh? Islam terkadang masih dipersepsikan sebagai ancaman
bagi Jawa. Apakah peradaban Barat tidak lebih banyak mengoyak Jawa,
menenggelamkan Jawa dalam arus globalisasi, sebuah dunia yang tak mengenal batas?
Tetapi jika kita membuka diri seluas-luasnya terhadap semua nilai yang baik dan
seluruh teknologi yang bermanfaat, masih akan adakan eksistensi Jawa ini?
Keluarga besar buyut terpolarisasi menjadi
dua kubu. Tak seperti kaum laki-lakinya, kaum perempuan di keluarga ini
cenderung agamis. Di antara polarisasi itu mereka sering berseberangan pada
sikap politik keagamaan hingga berbeda sikap pada pemilihan Kepala Desa.
Termasuk nenek saya yang agamis, lebih menyukai datang ke pengajian-pengajian,
sementara kakek dan saudara-saudaranya lebih respek pada seorang dukun yang
kental mistiknya. Urusannya berputar pada problematika hidup serta jimat-jimat
untuk perlindungan dan kesuksesan.
Yang teramat menarik, ketika mbah itu datang
bertamu, minta untuk diselimuti, kemudian entah bagaimana pakaian yang
dikenakan mbah sudah berganti, suaranya juga menjadi aneh. Pada saat itulah
sosok mbah yang baru berbicara tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan
manusia pada umumnya. Tentang perkara yang akan terjadi di masa datang, baik
Indonesia masa depan maupun hal-hal yang bersifat lokal.
Tentang keberadaan jalan raya yang nantinya
akan sampai juga ke gunung, lereng gunung yang kelak akan longsor, bukit yang
suatu hari nanti akan menjadi kota, hingga pembicaraan tentang negeri ini di
masa depan, tentang kedatangan Ratu Adil.
Keberadaan mbah dukun sangat memengaruhi
pola pikir kakek saya, membentuk pola pikir yang tidak agamis seperti kaum
santri. Mbah dukun itu ya Islam, membangun mushalla dan pernah mengislamkan
beberapa mualaf. Tapi Islamnya berbeda dengan Islamnya kaum santri.
“Pokoke Jayabayane ngono” (Pokoknya
Jayabayanya begitu). Demikian yang selalu diutarakan kakek. Maksudnya bukan
hanya yang bersumber dari ramalan Jayabaya semata, tapi semua ramalan dan masa
depan yang disampaikan mbah dukun diistilahkan dengan ‘Jayabaya’. Maklum beliau
lebih paham Wayang dan Kitab Jayabaya daripada nubuwat Rasulullah tentang akhir
zaman.
Ramalan-ramalan indah tentang masa depan
memang amat menghibur dan bisa membuat kita terpedaya. Namun yang lebih
bermanfaat bagi kita sesungguhnya adalah kerja nyata yang bisa kita perbuat
dalam kehidupan ini. Kerja nyata yang mampu kita lakukan meski sederhana,
daripada ramalan indah yang hanya sebatas utopia.
Terhadap berbagai nubuwat yang disampaikan
Rasulullah, kita mesti meyakininya, dengan tetap menempatkannya dengan
hati-hati, sehingga kebenaran nubuwat tersebut tidak diletakkan di bawah
keterbatasan dan subyektivitas penafsiran kita. Apalagi terhadap
ramalan-ramalan yang diperoleh secara ilegal, yang didapat dari mencuri
berita-berita dari langit.
Agar jangan sampai muncul kembali
prediksi-prediksi konyol tentang kiamat yang akan terjadi tanggal sekian, Imam
Mahdi akan muncul tahun sekian, tahun sekian akan terjadi perang dunia, siapa
yang akan menjadi Presiden Indonesia selanjutnya dan sebagainya. Ketika semua
itu tak terlaksana, tetap tak ada pihak yang bertanggung jawab.
Baiklah nubuwat-nubuwat itu menjadi kabar
gembira tatkala perjuangan ini menghadapi cobaan yang luar biasa berat, saat-saat
kita butuh sandaran untuk menguatkan asa yang hampir pupus. Saat-saat
kezhaliman sedang berada pada puncaknya, dan kita harus terseok-seok
menghadapinya dalam ketidakberdayaan. Untuk sebuah optimisme bahwa masa yang
penuh dengan kerusakan ini akan berakhir suatu hari nanti, meski seolah
mustahil menurut logika kita hari ini.
Keyakinan yang menjadi pegangan orang-orang
yang tertindas, yang menantikan datangnya Imam Mahdi, Ratu Adil, Satria
Piningit, Mesias, Kalki Avatar dan dalam berbagai versi lain, yang akan
membebaskan mereka, memenuhi dunia ini dengan keadilan dan kedamaian.
Islam dan Jawa memiliki kesamaan pandangan
bahwa sebelum masa indah itu terwujud, mesti didahului masa-masa penuh nestapa,
melewati puncak-puncak kezhaliman dan kesewenang-wenangan, kerusakan moral dan
kehancuran martabat manusia, fitnah, bencana, huru-hara dan peperangan.
Seperti apa yang dianggap sebagai fitnah
akhir zaman, jahiliyah modern, zaman edan atau kalabendu. Saat kebenaran
dianggap kebatilan, kebatilan dipuja-puja. Pengkhianat dipercaya, sedang orang
jujur menjadi tertuduh. Segala sesuatunya telah terbalik.
Lantas ketika kebejatan itu memuncak, di
manakah nilai-nilai luhur Islam dan Jawa saat itu? Mengapa tak mampu mencegah
manusia-manusia itu dari perbuatan yang nista? Apa arti nilai-nilai luhur Jawa?
Begitu banyak orang-orang berdzikir, berdoa, berbondong-bondong naik haji,
namun tak melahirkan manusia amanah yang berakhlak? Apa yang masih salah?
Begitulah yang dikehendaki oleh Tuhan, agar
kezhaliman itu menjadi sempurna. Saat kejahatan yang mencengkeram dunia ini
mencapai puncak kesempurnaannya, Tuhan Yang Maha Kuasa akan menghancurkannya.
Jika saat ini kita merasa sedang berada pada masa itu, di antara kepahitan ini
sebenarnya terbersit suatu harapan bahwa masa yang dinantikan itu telah dekat.
Seberapa penting keberadaan Partai Keadilan
bagi kakek, saya terlewat untuk menanyakannya, padahal sebenarnya merasa aneh
juga dengan kakek, tumben beliau tertarik sesuatu yang berbau Islam. Apa ada
hubungan antara Partai keadilan dengan ‘Jayabayanya’. Baru setelah beliau
berpulang, terbersit keinginan untuk menanyakan seberapa penting fitur Partai
Keadilan bagi kakek atau bagi Indonesia masa depan, dan alhamdulillah
pertanyaan itu tak sempat saya lontarkan.
“Partai Keadilan itu partai Islam, ketuanya
Nur Mahmudi Ismail.” Hanya itu yang bisa saya jelaskan ketika kakek dengan
antusias menyinggung tentang Partai Keadilan.
Mendengar kata Islam, wajar saja beliau
kecewa. Hingga saya berpikir beliau besok tidak mengulang lagi pembicaraan
terkait Partai Keadilan. Dugaan saya ternyata meleset, pembicaraan itu terulang
kembali bahkan hingga setelah Pemilu 1999.
Padahal saya sendiri pada waktu itu tidak
tertarik sama sekali dengan Partai Keadilan. Memang saya belum memiliki
interaksi dengan orang yang menjelaskan banyak hal tentang partai tersebut.
Informasi yang saya terima sebatas berasal dari media-media mainstream yang
tidak banyak memberikan gambaran lengkap tentang kalangan Islamis. Baru
beberapa tahun kemudian saya mengetahui kalau Partai Keadilan cukup disebut
dengan singkatannya saja, ‘PK’.
Mereka itu ternyata terkait dengan
buku-buku, majalah dan buletin tentang Islam yang dibawa mahasiswa ketika kamping
di dekat sekolahan bapak, yang mengisi memori masa kecil saya tentang Islam.
Kisah tentang tragedi Bosnia yang sangat menyentuh masa kecil saya waktu itu,
yang membangkitkan ketertarikan terhadap Islam. Hanya sebatas itu, tanpa pernah
berinteraksi secara langsung dengan mereka.
Perjalanan hidup saya sebelumnya terdampar
dari satu dokter ke dokter yang lain, meski berakhir kegagalan. Kekecewaan itu
ada, namun saya juga menyadari bahwa para dokter itu manusia biasa yang hanya
bisa berusaha. Tapi yang lebih mengecewakan ketika kemudian dalam keputusasaan
saya beralih kepada dukun, paranormal dan kiai, dengan berbekal kepercayaan
penuh atas kemampuan linuih mereka, sepenuhnya yakin kalau mereka adalah wali
yang dekat dengan Allah, yang bisa memenuhi segala hajat kita, menyaksikan
sendiri mereka mampu menunjukkan hal-hal yang luar biasa, namun bukan itu
sebenarnya, tetapi kesembuhan yang sangat saya harapkan tak kunjung didapatkan.
Hingga diri ini ingin terbebas dari itu
semua, meninggalkan amalan-amalan yang masih tersisa, tapi tak semudah begitu
saja melepaskannya. Hingga ketika Muhammadiyah di tempat saya kesulitan
mendapatkan satu dua orang yang bersedia diajak mengikuti sebuah pesantren
kilat, ajakan itu saya terima sekaligus sebagai suatu upaya untuk membebaskan
diri dari belitan mistik.
Setelah menikmati euforia kebebasan itu,
selanjutnya saya menemui sebuah babak baru tentang umat ini, persoalan dari
dalam tubuh umat, tentang firqah, manhaj dan fikrah yang tak kalah rumit
dibandingkan peliknya persoalan dari luar. Sedikit-sedikit saya juga mulai
mengenal Tarbiyah, yang menawarkan sudut pandang moderat dalam menyikapi ekses
dari keragaman dalam tubuh umat ini.
Beberapa tahun kemudian informasi tentang
PKS lebih banyak diterima kakek.
“PKS
sing wong-wonge ra gelem korupsi!” (PKS, yang orang-orangnya tidak mau
korupsi) Demikian ujar kakek.
Meski dalam pandangan kakek PKS ini identik
dengan Islam, dan selama ini beliau tidak menyukai segala yang berbau Islam,
apalagi model Islam garis keras, Wahabi, Masyumi yang dianggapnya bagai momok,
tapi beliau telah menaruh harap pada partai ini. Tak seperti yang ditakutkan
semula, Islam juga menghasilkan hal-hal yang baik. Meski kemudian saya tahu,
harapan itu tak sesederhana yang dibayangkan.
Mungkin selama ini Islam lebih banyak
menuntut dan mempersalahkan, daripada mengkomunikasikan kebajikan yang dikandungnya
dalam bahasa yang dimengerti mereka, atau memberi solusi yang nyata bagi
kehidupan.
“PKS itu berupaya baik pada semua, melakukan
pendekatan kepada seluruh umat, menyikapi dengan bijak perbedaan-perbedaan yang
ada.” Begitulah kurang lebih yang mampu saya jelaskan.
Rupanya sikap antipati beliau terhadap
hal-hal yang berbau Islam sudah berkurang. Bahkan beliau sudah memiliki
keinginan menunaikan ibadah haji, sesuatu hal yang selama ini sama sekali tak
terpikirkan oleh beliau, padahal dari segi kemampuan finansial mestinya telah
mampu sejak dulu.
Kerja dan kerja, demikian yang selama ini
beliau jalani. Ketika generasi seangkatan beliau tinggal segelintir orang yang
sudah jompo, kemampuan fisik kakek seusia itu sulit untuk dinalar, anak-anak
dan cucu beliau secara fisik bahkan masih kalah. Rasanya seperti mustahil,
apalagi beliau pernah menjalani operasi yang memotong sebagian ususnya, pernah
pula tertabrak sepeda motor hingga mengalami patah tulang cukup parah.
Sebenarnya tanpa perlu susah payah bekerja, gaji pensiunan sebagai veteran
kemerdekaan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan beliau. Toh jerih payah
dari semua yang dihasilkan tak pernah dinikmati oleh beliau yang hidup
seadanya. Kami anak dan cucu beliaulah yang meski telah menempuh pendidikan dan
banyak yang menjadi pegawai, lebih banyak memanfaatkan hasil jerih payah
beliau, ada saja kebutuhan kami yang lagi-lagi masih harus ditopang kakek.
Apakah jimat dari mbah dukun itu di balik
keperkasaan fisik ini? Untuk apakah kerja dan kerja yang hasilnya tak pernah
dinikmati ini? Apalagi bila etos kerja itu memupus semangat untuk beribadah,
memupusnya dengan semangat yang menyala-nyala untuk mengejar dunia, sementara
usia terus melaju. Suatu saat saudara kakek sempat berujar ingin melepaskan
jimatnya, meski selama ini membuatnya digdaya, namun sebenarnya tak lebih
menimbulkan kemudharatan semata. Beliau terkesan dengan anaknya yang mengikuti
Salafi, hanya dari sudut pandang sekilas, konsistensi mereka mengamalkan apa
yang mereka ketahui, tanpa mengerti apa itu manhaj, ta’wil, tajsim dan
sebagainya.
Kepercayaan di sekitar kami, bila ada orang
yang berhubungan dengan pesugihan atau jimat bertaubat, akan ditimpa suatu
malapetaka, untuk membersihkannya dari kesalahan di masa lalu. Semoga sakit
yang kemudian menimpa beliau, hilangnya kedigdayaan beliau, adalah sebuah
kesempatan agar beliau memiliki waktu untuk memperbaiki ibadah pada sisa
hidupnya, meski teramat sebentar. Satu keinginan yang menjadi ganjalan di hati
beliau, sebuah penantian untuk mendapatkan panggilan ke Tanah Suci yang belum
tercapai.
Apa yang beliau citakan tentang partai
orang-orang jujur (lugu) ini tak begitu saja dengan mudah diraih. Cita ini
masih harus ditempa dengan berbagai aral menghadang. Tepat satu hari sebelum
kasus LHI meledak, beliau berpulang. Takdir telah ditetapkan bahwa beliau tidak
lagi bersama kami pada babak baru perjuangan ini. Apakah cita ini akan kandas,
ataukah suatu saat akan mampu terwujud? Masih jauhkah?
Semoga sisi-sisi kebaikan kami yang tak
seberapa ini berbuah rahmatNya yang tiada tara bagi kami. Semoga kami diberi
kemampuan mewujudkan cita kebaikan beliau, menjadi kebaikan bagi kami, tambahan
kebaikan bagi pendahulu kami, dan segenap umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar