Dapatkah suatu kemenangan dianggap
sempurna sebatas membuat musuh takluk hingga ia sama sekali tak berkutik untuk
melawan, menghajar habis-habisan hingga ia bersimpuh tunduk tak berdaya,
sementara hati mereka tetap tegar untuk mengatakan ‘tidak’?
Betapa banyak rezim yang mampu mengukuhkan
dominasi dalam waktu yang panjang, seolah mereka tampak sepenuhnya berlutut,
namun jiwa mereka menolak mentah-mentah setiap doktrin yang diberikan. Meski kelihatan
seperti tak berdaya, ketegaran jiwa mereka tidak sedikitpun melemah, tidak pula
luluh.
Pantaskah seorang pemenang sejati
merasa puas sekedar bisa memojokkan lawan hingga ia terhina, membungkam semua
argumentasinya dengan telak hingga membuat lawan mati kutu, atau mempermalukannya
di depan khalayak?
Di balik rasa puasnya mematahkan
argumentasi lawan, sebenarnya ia sedang memupuk sikap antipati yang mengobarkan
semangat perlawanan di dada mereka, untuk membalasnya suatu hari nanti. Di
balik kepongahannya memenangkan perdebatan, justru menjadi tambahan amunisi
bagi musuh yang kelak akan bersama-sama menghujamnya. Sikap semena-mena yang ia
nikmati, sebenarnya memperpanjang daftar musuh dan membuat barisannya kian kokoh.
Tindakan menuruti kepuasan sesaat
itu, bukankah kelak bisa menjadi penyesalan, menjadi bumerang dan tak sedikit
pun menyisakan manfaat? Ketika perputaran kejayaan dan kekalahan terus bergulir,
keadaan telah berbalik, sang penakluk menjadi tak berdaya, kebesaran dan
kemuliaan sudah tak berbekas, kesombongan dan kekuasaan telah tercampakkan,
menuai dendam yang sekian lama tersimpan.
Apalah arti kemenangan yang dulu
diperoleh? Apa guna unjuk kekuatan dan pamer kekuasaan yang pernah dilakukan?
Di antara pilihan antara yang memuaskan pada saat ini dan apa yang lebih
bermanfaat suatu saat kelak, sejauh mana akal sehat tetap terjaga, pilihan pada
yang sebenarnya bermanfaat.
Saat-saat bisa berbuat apa saja
terhadap musuh, sering terabaikan bahwa kelak mereka akan bisa membalas
kepahitan yang pernah menimpa. Jika mereka terlihat tak berdaya, kadang
terlupakan tentang doa orang-orang terzhalimi yang masih fasih terucap. Mereka
yang telah mengakui kekalahan pun, tak serta merta mau diperlakukan
semena-mena. Mereka yang mengakui bersalah sekalipun, tak serta merta mau
diperlakukan secara hina.
Saat-saat kejayaan itu dalam
genggaman, masihkah kesulitan mereka dirasakan? Saat sedang berkecukupan,
dapatkah kekurangan mereka dipahami? Saat-saat mampu menghinakan sesuka hati,
adakah yang bisa merasakan jika ia mendapat perlakuan serupa? Saat-saat bisa
menghukum, bagaimanakah jika suatu saat ia meminta pengampunan. Di antara sesal
atas apa yang pernah dilakukan, pada saat-saat merasa membutuhkan mereka.
Alangkah indahnya bila kemenangan
itu disempurnakan dengan menaklukkan hati, yang berbuah kemenangan sejati.
Kemenangan yang tidak mengecil karena terbagi, buah dari menahan diri,
kesabaran untuk mendapat yang lebih banyak.
Bagaimana membuat musuh merasakan
sentuhan ketulusan, menaklukkan bara dengan cinta dan kepedulian, merubah
antipati menjadi simpati, permusuhan menjadi persahabatan, memperlakukan mereka
secara terhormat serta menyuguhkan kebesaran hati. Menyembunyikan nasihat tanpa
melukai kehormatan. Menjadi jalan hidayah bagi mereka.
Meski mirip, menaklukkan hati dan
memperdaya sepenuhnya berbeda. Akal licik, mengelabuhi dan memperbodoh dengan
lihai mungkin lebih mudah merampas banyak hati, atau menuainya lebih cepat,
namun buahnya tak bisa sepenuhnya sama dengan buah ketulusan, takkan abadi.
Takluknya hati sepenuhnya menjadi
rahasia Sang Pencipta. Kelicikan tak sepenuhnya menjamin hati akan ditaklukkan,
begitu pula kecerdikan dan ketulusan, sama-sama bukan jaminan. Ia semata-mata
karunia dariNya.
“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan
hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al
Anfal: 63)
Apakah pemenang sejati sudah
merasa cukup puas dengan mendapatkan kemenangan-kemenangan parsial, kemenangan
rendahan, terburu-buru merayakan kemenangan itu, puas dengan apa yang
diperolehnya, hingga ia terbuai dan enggan melanjutkannya, menyempurnakan
kemenangan itu menuju puncak yang sebenarnya?
Wahai para pemenang dunia,
tidakkah engkau tertantang untuk menggapai kemenangan yang hakiki, kemenangan
akhirat? Ataukah engkau biarkan kemenangan itu jatuh ke tangan orang-orang
lemah yang bisa kau injak-injak semaumu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar