Dalam kondisi negeri yang seperti ini, wajar bila masyarakat merindukan sosok-sosok pemimpin bersahaja, yang membawa kesan pengabdian, serta tidak mengutamakan kepentingan pribadinya semata. Namun sulit untuk mengukur harapan ini apakah merupakan ekspektasi dan kepedulian ataukah sebenarnya hanya merupakan bentuk dari egoisme publik.
Tak
sebagaimana sosok-sosok teladan pada masa salafus
shalih, pemimpin besar yang mengganjal perutnya dengan batu karena lapar,
pemimpin yang hanya memiliki sebuah pakaian dan telah dipenuhi tambalan, atau
pemimpin yang bermaksud mencari hutang hanya karena ingin membeli seuntai
anggur, kerinduan publik saat ini mungkin tidak terlalu muluk, cukup diobati
dengan hadirnya pemimpin yang kehidupannya sederhana, tempat tinggal, kendaraan
dan berbagai fasilitas yang dipakai jauh dari kesan mewah, tidak mengambil gaji
yang semestinya diterima, tidak memanfaatkan fasilitas negara yang legal sekali
pun dan memang menjadi haknya. Namun apakah keberhasilan seorang pemimpin hanya
diukur dari hal-hal seperti itu?
Harapan ini
membutuhkan suatu konsistensi, ketika para pemimpin berada di antara pilihan,
kebutuhan biaya politik dan amanah yang diemban. Tuntutan biaya politik berimbas
menjadikan jabatan yang diperoleh sebagai kesempatan untuk mengumpulkan lebih
banyak modal-modal politik. Pilihan amanah berbuah konsekwensi sebuah paradigma
bahwa jabatan yang diperoleh adalah tanggung jawab dan tuntutan yang lebih
besar untuk berkorban, bukan sebaliknya, menjadikan suatu jabatan sebagai lahan
subur yang bisa mendatangkan banyak hasil.
Harapan ini
terbingkai sebuah dilema, seseorang yang menjadi pejabat dituntut tampil
sebagai sosok penolong, penyantun, dermawan, banyak memberikan bantuan sosial,
meng-goalkan banyak proyek untuk daerah asalnya, juga memberikan kontribusi
bagi konstituen dan pendukung politiknya. Sementara semua tuntutan itu jelas berada
di luar kemampuan pribadinya, sehingga berpotensi mendorong penggunaan
fasilitas negara untuk kepentingan pencitraan diri sendiri. Kemampuan melakukan
semua kebaikan itu didapatkan dari proses-proses ilegal, berhubungan dengan
deal-deal kotor, yang bertentangan dengan amanah sebenarnya mesti diemban.
Suatu pilihan
untuk menjalankan amanah sebaik-baiknya, tanpa memedulikan popularitas dirinya
terekspos, tanpa menghitung besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan untuk
mendapatkan jabatan itu, bisa berakibat fatal pada kekurangan modal politik
yang diperlukan untuk menopang kekuatan politiknya, ketika mencalonkan diri
kembali kelak atau melanggengkan dinasti politik pada masa selanjutnya.
Bagi rakyat
jelata, cukup sulit juga untuk menempatkan idealisme dan pragmatisme, ketika
mereka dihadapkan pada situasi sudah tidak ada pilihan lagi. Hingga ketegaran
untuk bertahan pada idealisme pun terasa tak lagi ada artinya bagi mereka,
apalagi bagi bangsa. Sebuah pesimisme tentang negara yang sepenuhnya jatuh ke
tangan para penjarah. Imbalan politik yang tak seberapa kemudian menjadi
penawar kekecewaan akan bobroknya negeri, merasa rugi bila tidak ikut ambil
bagian sama sekali dari bancakan masal ini, berpikir buat apa menjaga diri
bersih, toh orang lain semuanya menikmati kekotoran ini.
Memang, dambaan
tentang terwujudnya kepemimpinan zuhud terkadang bertabrakan dengan egoisme
publik. Upaya mendudukkan figur-figur terbaik berhadapan dengan mahalnya jual
beli pemilih pragmatis. Hanya dalam survei-survei, opini publik kompak pada
konsep ideal dalam memilih pemimpin bersih, sementara dalam realitas politik
yang sesungguhnya, idealisme itu tenggelam dalam imbalan sesaat dan pencitraan
semu. Imbalan pragmatis memang tidak mungkin menaklukkan seluruh idealisme
publik, pencitraan semu menjadi pelengkap untuk menyempurnakannya, menyesatkan
idealisme publik dengan mempermainkan opini.
Amanah dan zuhud
para pemimpin juga dihadapkan pesimisme, ketika fokus bekerja sebaik-baiknya,
tanpa terbebani upaya mengumpulkan modal-modal politik, toh prestasi tersebut
begitu mudah dilupakan para pemilih, begitu cepat pilihan berbalik oleh imbalan
yang tak seberapa, begitu mudah terbuai pemberian sesaat menjelang pemilihan.
Sehingga kesibukan mengumpulkan bekal yang dibutuhkan untuk membeli suara dalam
memenangkan pemilihan selanjutnya, berakibat merugikan kepentingan publik
secara keseluruhan.
Zuhud dan
pencitraan semu, keduanya bisa tampak mirip, menampakkan kesederhanaan, tanpa
ambisi. Meski di baliknya adalah sesuatu hal yang bertolak belakang, antara
ketulusan dan kepura-puraan, antara keikhlasan memberi dan tipu muslihat untuk
mendapatkan yang lebih banyak. Idealisme yang tersisa, ketegaran untuk memberi
yang terbaik bagi bangsa, memilih pemimpin terbaik, harus tersesat pada
pencitraan-pencitraan apik yang penuh harapan, dai hal itu bisa terus berulang.
Dengan demikian niat baik menjaga idealisme mesti juga diikuti kedewasaan sikap
berpolitik.
Ketika
kebobrokan telah meluas pada hampir keseluruhan sendi-sendi bangsa, memunculkan
sikap apatis, juga pandangan tak ada gunanya lagi bertahan pada wilayah
terkucil idealisme. Hingga patut dipertanyakan, masihkah bergunakah
pribadi-pribadi ikhlas yang kian langka, ketika hampir semua tenggelam dalam
kerusakan? Jika mempertahankan idealisme, pengorbanan dan keikhlasan tidak
menjamin perbaikan kondisi, apakah menanggalkannya menjamin kerusakan negara
tidak bertambah? Dalam hal ini, mewujudkan kepedulian dalam bentuk partisipasi
efektif menjadi penting agar pengorbanan dan keikhlasan yang tersisa tidak
sia-sia begitu saja.
Pada akhirnya,
idealisme dan keikhlasan harus bisa berhadapan dengan realitas yang ada.
Membiarkan keduanya kukuh pada tempatnya masing-masing atau membiarkannya
tenggelam dalam kerusakan sistem tidak menjadi sebuah solusi. Maka diperlukan
terobosan-terobosan agar dari potensi-potensi baik bisa muncul peran efektif
untuk sebuah perbaikan. Zuhud dan keikhlasan diri memang harus terjaga sebisa
mungkin, namun tantangan yang sesungguhnya adalah bagaimana darinya bisa
terwujud zuhud dan keikhlasan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar