Senin, 30 Mei 2016

Muhammadiyah, NU, Preferensi Global, dan Roda Zaman

Serangkaian intimidasi dan kriminalisasi menimpa Muhammadiyah, ekskalasinya meningkat dalam waktu dekat ini. Terjadi insiden yang menimpa kendaraan, penembakan gedung  dakwah, hingga pembakaran sekolah milik Muhammadiyah, termasuk kejadian tidak mengenakkan yang menimpa beberapa kadernya. Secara sederhana muncul asumsi bahwa hal-hal tersebut terkait dengan advokasi yang dilakukan Muhammadiyah dalam kasus kematian Siyono, termasuk juga merupakan buntut atas sikap kritis Muhammadiyah terhadap kebijakan pemerintah, terutama gugatan yang dilakukan Muhammadiyah terhadap beberapa Undang-Undang seperti, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan UU Ormas.

Akan tetapi ada yang perlu digaris bawahi, bahwa (pemegang kebijakan) dunia tidak sedang berjalan seiring asumsi-asumsi mayoritas publiknya. Kita tidak hanya berada pada era kemajuan teknologi fisik dengan segala kecanggihannya, yang bahkan belum pernah dicapai di masa lampau, tetapi kita juga berada pada era kerumitan aspek-aspek non fisiknya, aspek-aspek kebijakan dan strategi yang kini berlangsung, tak lepas dari sisi-sisi konspirasi. Maka kita juga perlu membaca apa yang sedang menimpa Muhammadiyah tersebut tidak hanya dari aspek luar yang tampak.

Baiklah kita mereview apa yang menimpa kalangan modernis dan tradisionalis, dalam hal ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan NU pada pertengahan abad ke 20. Kalangan modernis dipersepsikan lebih ramah terhadap nilai-nilai modernisme yang sedang menjadi tren global. Sebaliknya, persepsi Islam yang anti kemajuan, kolot dan radikal lebih melekat pada kalangan tradisionalis. Namun kemudian tren ini berbelok terbalik, pada awal abad ke 21 persepsi militan dan radikal lebih melekat pada kalangan modernis dan puritan. Sebaliknya, kalangan tradisionalis justru mendapatkan image lebih terbuka dan ramah terhadap nilai-nilai liberalisme dan sekularisme.

Maka, ketika pada awal Orde Baru NU didepak secara menyakitkan dari kekuasaan dan mengalami marginalisasi, baiknya kita ‘membaca’ hal tersebut dari dua sisi sekaligus. Bukan hanya agenda global tidak menghendaki model Islam yang kolot dan lebih menghendaki model Islam yang lebih ramah terhadap nilai-nilai modernisme, tetapi perlu juga dibaca aspek yang justru berkebalikan sama sekali dengan yang tampak dari luar, upaya menghentikan laju kalangan Islam modernis meski dalam perspektif saat itu merupakan mitra yang lebih loyal.

Berbagai perlakuan diskriminatif dan intimidasi yang menimpa NU ternyata memang bukan membunuh NU, tetapi justru menguatkannya secara kultur. Akses dan fasilitas yang lebih baik yang diperoleh kalangan modernis di kekuasaan, tidak serta merta berarti mereka lebih diterima dan dikehendaki. Hal tersebut kemudian malah membunuhnya, terbunuh oleh suasana nyaman kedekatannya dengan kekuasaan. Ada aspek-aspek yang tampaknya menekan, namun ia sesungguhnya sedang menguatkan militansi. Sebaliknya, ada aspek-aspek yang tampaknya memberi fasilitas dan proteksi, namun sesungguhnya ia sedang meninabobokan.
Preferensi global telah berubah secara dinamis. Tidak serta merta kalangan modernis melaju seiring arus modernisme zaman, justru kalangan tradisionalis kemudian mengambil alih dominasi dan hegemoni yang ditempati kalangan modernis sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga awal perjalanan negara ini. Ada masa di mana Islam modernis dipandang lebih ramah dan diterima, tapi tren itu tidak statis, kemudian dipersepsikan lebih militan dan radikal. Sebaliknya, persepsi jumud, kolot dan anti kemajuan kemudian berubah menjadi antitesis militan dan radikal yang menghantarkannya untuk lebih terbuka pada nilai-nilai liberalisme dan sekularisme.

Akan tetapi kunci dan benang merah dari dinamika ini tetap, kepentingan global tampaknya tidak menghendaki suatu aliran keagamaan tertentu dalam Islam untuk terlalu dominan. Sebelum terus melaju dan sulit dikendalikan, maka hegemoni tersebut harus diestafetkan. Sebuah kepentingan untuk mempertahankan friksi dan polarisasi dalam tubuh umat Islam, hingga mereka tak beranjak dari problematika internal.

Jika preferensi global tetap berada dalam kondisi dinamis, maka arah perubahan dari preferensi ini tetap merupakan sebuah pertanyaan. Bukan lagi antara radikalisme dan liberalisme misalnya, tetapi preferensi itu bergeser pada kepada Islam yang lebih privat, yang syiarnya tidak terlalu berisik, serta kulturnya tidak terlalu kuat, sehingga lebih mudah tereliminasi dari kehidupan publik. Bisa juga bergeser pada Islam yang apolitik, yang tidak mengganggu dan merepotkan kekuasaan.

Sebagaimana hegemoni Islam modernis yang tidak dikehendaki terus melaju, maka bisa pula terjadi hal serupa, jika tradisionalisme telah menancapkan hegemoninya, maka ia tetap saja tidak boleh terus membesar lagi. Maka konsep Islam Nusantara tampak sejalan dengan upaya menciptakan suasana nyaman bagi NU, melepaskannya dari sebagian akarnya, melepaskannya dari tantangan.

Namun yang ideal bagi umat Islam sesungguhnya adalah melepaskan diri dari preferensi global, upaya untuk mengukuhkan eksistensi sebagai pemegang superioritas peradaban. Meski saat ini Islam sendiri sedang melewati fase inferiornya, tetapi sudah merupakan sunatullah bahwa kejayaan itu terus dipergilirkan. Namun pemilik masa depan bukanlah pemilik (zona nyaman) masa kini. (dakwatuna)

Muhammadiyah dan Kasus Siyono, antara Jebakan dan Peluang

Upaya Muhammadiyah dalam mengawal pengungkapan kasus kematian korban penangkapan Densus 88 Siyono, mendapat perhatian masyarakat secara meluas. Tetapi ada sesuatu yang menjadi pertanyaan dan perlu juga untuk dicermati, mengingat upaya serupa yang telah sering dilakukan Muhammadiyah sebelumnya tidak terekspos secara meluas.

Perlu dicermati apakah misalnya ada kepentingan lain yang sengaja menyeret Muhammadiyah untuk masuk dalam peran ini. Kita berada pada era bertarungnya berbagai kepentingan besar. Kasus terorisme, sebagaimana kasus korupsi, politik dan lainnya, tentunya juga tidak berdiri sendiri, sekaligus rawan festivalisasi untuk kepentingan-kepentingan di baliknya.

Berbeda dengan alm. Siyono yang diakui bukan merupakan warga Muhammadiyah, kasus-kasus terkait tindakan Densus 88 sebelumnya seperti di Tulungagung dan Temanggung bahkan menyangkut warga Muhammadiyah sendiri. Pada kasus-kasus sebelumnya benar-benar ada indikasi kuat mereka merupakan korban salah tangkap, jadi bukan hanya menyangkut persoalan kemanusiaan semata, HAM, atau kesalahan prosedur penanganan kasus terorisme.

Penting juga untuk diperhatikan oleh Muhammadiyah, mengingat Kapolri saat ini Jenderal Polisi Drs. Badrodin Haiti berasal dari keluarga Muhammadiyah. Kasus kematian Siyono bisa jadi dikehendaki dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin untuk mengadu domba antara Muhammadiyah dengan Polri. Ketika saat ini bisa dikatakan Muhammadiyah sepenuhnya terlempar dari pemerintahan, dimana tak seorang pun dalam kabinet yang merepresentasikan perwakilan Muhammadiyah, kasus Siyono bisa merupakan test loyalitas bagi Muhammadiyah, batu uji untuk memisahkan Polri dari Muhammadiyah.

Muhammadiyah perlu belajar dari Reformasi 1998, Muhammadiyah saat itu mendapatkan posisi cukup baik pada pemerintahan Orde Baru, terutama pada periode akhirnya, kemudian Muhammadiyah justru menjadi motor untuk menumbangkan pemerintahan saat itu. Di antara euforia arus dukungan Muhammadiyah pada Reformasi 1998, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah saat itu Hajriyanto Y. Tohari, memberikan sebuah opini berbeda sebagai warning bagi Muhammadiyah, NU akan segera bertukar posisi mengungguli Muhammadiyah, dan ternyata benar. Hasil yang kemudian didapat Muhammadiyah dari reformasi tersebut adalah, Muhammadiyah terlempar dari kekuasaan, bahkan perannya dalam kehidupan bangsa ini termarjinalisasi, sementara cita-cita ideal yang diharapkan dari reformasi belum terwujud, jika tidak dikatakan makin jauh.

Di antara euforia melambungnya Muhammadiyah dalam persoalan Siyono ini, Muhammadiyah perlu tetap berada pada peran tengahnya, menjaga sikap proporsionalitasnya serta tidak terjebak pada sikap emosionalitas sesaat. Sehingga Muhammadiyah bisa menempatkan diri, berperan lebih komprehensif, menyuarakan sikap kritisnya tanpa kehilangan kesempatan untuk melakukan perbaikan dari dalam.

Dari satu sisi saja, ketika pimpinan Polri dipimpin oleh orang yang berasal dari keluarga Muhammadiyah, ada sisi-sisi perubahan positif yang dicapai. Salah satunya yang tampak adalah merebaknya anjuran untuk shalat tepat waktu dan berjamaah pada jajaran kepolisian. Jangan sampai sisi-sisi positif ini kemudian pupus, jangan sampai Muhammadiyah mendapatkan sesuatu tetapi kehilangan sesuatu yang lebih besar.

Upaya yang dilakukan Muhammadiyah ini sekaligus juga merupakan peluang, sejauh mana Muhammadiyah bisa memainkan peran secara apik menyangkut persoalan bangsa. Serupa dengan yang dilakukan NU ketika berhadapan dengan upaya marjinalisasi, kemudian keluar dari zona tersebut dan mengambil alih posisi dominan yang dipegang Muhammadiyah sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga akhir Orde Baru. Peran untuk menempatkan diri pada perputaran roda zaman, antara naik dan tergilas. (dakwatuna) 

Rabu, 23 Desember 2015

Sebuah Kerisauan Tentang Natal

Sahabat, di antara persahabatan kita masih ada sebuah ganjalan, perbedaan keyakinan yang sangat prinsip.
Sahabat, di antara persahabatan kita, kebaikan-kebaikan yang tertanam di antara kita, kebaikan itu kian menambah perih. Sebagaimana kedengkian yang ditimpakan Abu Jahal memang sakit, tapi lebih perih lagi kebaikan yang ditanamkan Abu Thalib. Kerisauan tentang orang-orang terkasih, sahabat-sahabat terbaik, namun tidak sekeyakinan.
Aku meyakini sepenuhnya, jalan kebenaran adalah jalan yang aku tempuh ini. Sebaliknya di seberang sana, sepenuh keyakinanmu bahwa kebenaran adalah jalan yang kau tempuh. Bagaimana jika kita telah bersungguh-sungguh mempersembahkan pengabdian, tapi tertolak di hadapan-Nya, keyakinan itu ternyata keliru. Jika di hari keputusan nanti, aku benar dan engkau salah, aku sudah sulit membayangkannya. Tapi, jika di hari itu justru aku yang salah dan engkau benar, aku lebih sulit untuk membayangkannya.
Aku sadar ada konsekwensi besar atas perbedaan ini. Aku risau bila nantinya aku berenang di taman-taman surga yang penuh kenikmatan, sementara engkau sedang diliputi api yang menyala-nyala, membakar sekujur tubuhmu. Sama halnya, di seberang sana engkau justru merisaukanku, jika akulah yang berada dalam siksa pedih itu, sedang dirimu berada dalam kedamaian.
Bagaimana aku tega mendapatimu terjerembab dan menahan perih, sementara aku hanya berlalu membiarkanmu. Jika engkau tergelincir, aku semestinya berupaya menolongmu, menyelamatkanmu. Jika engkau tersesat, semestinya aku menunjukkan jalan untukmu. Bagaimana rasanya jika aku tergelincir dan meminta tolong sementara engkau berlalu begitu saja dan membiarkanku. Dapatkah dikatakan persahabatan ini sejati?
Sahabatku, mungkin selama ini aku sungkan untuk mengatakan bahwa keyakinanmu salah, aku segan untuk menyeru engkau kepada kebenaran yang kuyakini akan membawa keselamatan, aku khawatir akan mencederai persahabatan kita. Aku tahu engkau di seberang sana juga demikian, segan untuk mengatakan aku adalah domba yang tersesat, engkau takut mengajakku kepada kebenaran yang kau yakini, engkau takut akan membuatku marah dan kehilangan persahabatan kita.
Namun jika demikian, bukankah berarti kita saling membiarkan kepada celaka dan kesesatan? Di saat aku terpikir untuk mengesampingkan perbedaan ini demi persahabatan kita, aku khawatir jika kelak aku menyesal dan merasa bersalah, persahabatan kita berlalu begitu saja tanpa saling mengingatkan.
Sahabat, sempat kita terbersit untuk menghilangkan sejenak kerisauan ini dengan sebuah konsep yang bernama pluralisme, anggap saja jalan yang berbeda ini muaranya sama. Tetapi akal sehat kita sepakat bahwa di antara berbagai informasi yang saling bertentangan tentang suatu hal, maksimal hanya satu yang benar. Konsep ini sejenak bisa menjadi obat yang menghilangkan kerisauan di antara persahabatan kita, ia memang menghibur, tapi ia semu dan menipu. Mau tidak mau, atau akan terlambat sama sekali, masing-masing kita harus mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Aku muak dengan keributan tentang toleransi. Bagiku yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan seorang sahabat terbaik. Aku risau bila salah satu di antara kita kelak berada dalam kebinasaan. Sebelum ketika hari itu telah tiba, segalanya sudah terlambat, tinggallah penyesalan yang kekal, sedang tak ada lagi kesempatan untuk kembali.
Sahabatku, bagaimanapun perbedaan ini, semestinya kita pernah saling mengingatkan, masing-masing kita seharusnya telah berusaha, dan ini adalah bentuk kepedulian kita. Jika aku menyerumu kemari, bukan berarti aku dengki kepadamu, tetapi karena aku peduli kepadamu, untuk menyelamatkanmu. Juga saat engkau menyeruku kesana, yang membuat aku tersinggung dan marah, sebenarnya aku mengerti, berarti engkau peduli kepadaku, engkau ingin menyelamatkanku. Agar persahabatan kita menjadi persahabatan yang sebenar-benarnya, sampai hari nanti yang kekal.
Sahabatku, bagaimanapun perbedaan ini, masing-masing dari kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Bagaimanapun keadaan kita saat ini, berharaplah kepada-Nya agar mendapatkan sebenar-benar petunjuk. Agar termasuk orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, sebagaimana aku diingatkan oleh firman-Nya, “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az Zumar: 18)
Aku berharap di antara kita berupaya dengan sebaik-baiknya, menguji dengan sungguh-sungguh untuk sebuah pedoman hidup. Sebaik-baik usaha, dengan sepenuh akal sehat, tanpa prasangka. Memohon petunjuk-Nya, memohon setulusnya, dari kepasrahan seorang hamba yang lemah, agar ditunjukkan jalan yang benar.
Sahabatku, demikianlah dilema ini. Saat menurut keyakinanku aku mendapati engkau berjalan menuju kebinasaan, aku mengajakmu kemari, aku ingin menyelamatkanmu, dari seberang sana engkau malah mengajakku kesana, karena menurut keyakinanmu jalan itulah jalan kebenaran yang akan menuju pada kedamaian. Aku mengajakmu untuk mengesakan-Nya dengan sebenar-benarnya, tidak membuat tandingan sesuatupun terhadap-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia, tetapi bagimu, aku mendustakan Sang Putra yang Dia utus dengan kasih untuk menebus dosa anak manusia. Saat bagiku keberadaan Sang Putra adalah menodai keesaan-Nya, membuat tandingan terhadap-Nya, sedang bagimu itu berarti aku tidak memuliakan karunia-Nya.
Maka maafkan aku sahabatku, menjelang Natal ini bukan kata-kata yang ringan dan manis yang kusampaikan, karena aku tahu konsekwensinya teramat berat. Aku lebih ingin di antara kita melakukan perenungan untuk menemukan sebuah jalan kebenaran yang sebenarnya.

http://www.dakwatuna.com/2015/12/23/77680/77680/

Kamis, 28 Mei 2015

“Dan Kami Menguji Kalian dengan Keburukan dan Kebaikan”

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al Anbiya: 35)
Ujian adalah suatu keniscayaan hidup, tanpa ujian berarti tak ada pula prestasi. Jika kita bisa memilih, apakah ujian keburukan ataukah ujian kebaikan yang akan kita lalui, tentunya kebanyakan kita cenderung memilih diuji dengan kebaikan saja. Ujian kebaikan seolah akan lebih ringan kita jalani, dari pada bayang seram ujian keburukan yang menakutkan.
Dapat dikatakan, kehidupan kita di negeri ini bergelimang dengan berbagai nikmat Allah yang kita sendiri tak mampu menghitungnya. Kita hampir tak menyadari bahwa sebenarnya semua itu adalah suatu ujian, sebagaimana halnya saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang sedang diuji dengan malapetaka dan penderitaan.
Mereka ditimpa kelaparan dan pembantaian, ketakutan, penyiksaan dan penindasan, terombang-ambing di tengah lautan menghadapi maut, peperangan dan pengusiran. Sedang ujian kita, hanyalah seperti berbagai kesibukan duniawi dan kenikmatannya, atau beragam hiburan dan tontonan. Kita diberikan kecukupan hidup, kebebasan dan keamanan.
Lantas apakah syukur kita selama ini lebih besar dari mereka? Syukur atas nikmat yang jauh lebih besar kita dapatkan, sebelum bertanya tentang siapakah yang lebih memiliki ketabahan, kesabaran dan keteguhan, yang lebih memiliki kerelaan untuk berkorban dan kepedulian untuk dakwah dan perjuangan ini? Juga siapa yang mampu lebih khusyuk bermunajat kepada-Nya, lebih banyak berdzikir kepada-Nya, lebih ikhlas untuk beramal, dan siapa yang sebenarnya mampu menyempurnakan syukur kepada-Nya?
Mereka mengorbankan harta benda, bahkan harus mengorbankan jiwa, sedang kita mungkin hanya diminta sedikit menyisihkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu, atau pada urusan dakwah yang tak seberapa, itupun hampir-hampir kita tak pernah sempat. Mereka tertimpa luka dan kepayahan, mengalami kelaparan dan kehausan, sedang aktivitas yang harus kita kerjakan dipenuhi fasilitas dan kemudahan, kesulitan pun tak seberapa, tetapi kebanyakan kita tetap saja enggan. Kita terus saja berkutat pada kesibukan duniawi dan urusan pribadi yang tiada habisnya, sedang dalam kekurangan dan keterbatasan, mereka mampu berbuat jauh lebih besar.
Menjalani hari-hari dalam berbagai cobaan pahit tak melunturkan rasa cinta mereka kepada Allah, bahkan tumbuh lebih subur di hati mereka dari pada kita yang lebih banyak lalai, malas dan abai. Di Palestina, Suriah, Rohingya dan tempat-tempat di mana puncak-puncak kedzaliman menimpa, iman dan kesabaran tumbuh lebih subur, tekad dan semangat mereka lebih membaja, melebihi kita yang menjalani hari-hari bergelimang kenikmatan. Kerelaan untuk berkorban bagi agama dan menetapi jalan perjuangannya, tumbuh lebih subur pada mereka yang menjalani hari-hari dalam penderitaan.
Jalan menuju masjid-masjid kita terbentang mudah, tak ada rintangan dan aral, tak ada desingan peluru dan lemparan batu, tetapi ia tetap lenggang, dan masjid-masjid kita tetap sepi. Sedikit sekali dari kita yang mau melangkahkan kaki mendatangi majelis-majelis ilmu, mushaf-mushaf tersimpan hampir tak pernah tersentuh, makin langka yang menghidupkan malam dengan qiyamullail. Kebajikan menjadi seperti hanya dilakukan segelintir orang asing yang aneh. Tetapi begitu banyak yang berjejal di majelis-majelis lalai dan berbondong-bondong dalam berbuat maksiaat. Ketika halangan dan rintangan, intimidasi, terampas hak-hak hidup, kehilangan pekerjaan, bahkan todongan senjata, tak menghalangi mereka untuk taat. Tetapi banyak dari kita dengan sukarela berbuat maksiyat atau meninggalkan kewajiban.
Saudara-saudara kita yang sedang berada di puncak-puncak kedzaliman, tetapi semua itu malah bisa jadi merupakan jalan bagi kemuliaan mereka. Kita takut jika harus menjalani cobaan seperti mereka, tetapi dengan ujian kenikmatan yang kita jalani, kemuliaan itu hampir-hampir tak mampu kita raih. Banyak dari kita yang membalas kenikmatan yang diberikan Allah dengan kemaksiatan kepada-Nya.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)
Bisa jadi cobaan itu adalah kasih sayang Allah yang diberikan kepada mereka. Meski mereka dipandang hina oleh kebanyakan dunia, kelak di akhirat segenap manusia menjadi iri atas apa yang mereka dapatkan. Semua itu menghapus kesalahan mereka, meninggikan derajat meraka, menjadi kemuliaan dan pahala yang besar. “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)
Mampu melewati badai yang dahsyat, tetapi terlena oleh angin sepoi-sepoi. Teguh menghadapi kekerasan, tetapi terlena oleh kelembutan. Begitulah, ujian kenikmatan seolah akan lebih mudah dilalui, tetapi justru lebih banyak yang berguguran terjatuh di dalamnya. Betapa banyak pula yang bersungguh-sungguh mengingat-Nya ketika kesusahan menghampiri, tetapi setelah berlalu lalai dan berpaling, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya.” (Az Zumar: 8)
Di Bosnia, atau di Ambon, ada sebuah pelajaran berharga, malapetaka menggugah mereka, menyadarkan mereka, membuat mereka kenal dengan agama dan Rabbnya. Mereka tidak marah atas cobaan yang menimpa, tetapi mereka tergugah, memiliki semangat lebih untuk mendekat kepada-Nya.
Kesulitan-kesulitan kecil yang kita temui, yang membuat kita berkeluh kesah, bahkan sebenarnya ia tak seberapa. “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al Baqarah: 214)
Apakah kita menunggu berbagai malapetaka datang, baru kita mau beranjak kepada-Nya. Tidakkah lebih baik kita ingat kepada-Nya sejak dalam keadaan lapang, agar Dia mengingat kita dalam kesempitan kita, bergegas kepada-Nya dalam sejak dalam keadaan senang, bukan baru bergegas kepada-Nya setelah tertimpa kesusahan, sehingga tak lagi berarti. Tidakkah cukup kenikmatan mengetuk kita untuk beranjak kepada-Nya? Apakah perlu menunggu datangnya berbagai cobaan seperti itu, baru mau peduli kepada agama ini, dakwah dan perjuangannya?

http://www.dakwatuna.com/2015/05/28/69373/dan-kami-menguji-kalian-dengan-keburukan-dan-kebaikan/


Jumat, 22 Mei 2015

Orang-orang Gila di Jalanan, Siapa Peduli Mereka?

Baru-baru ini seorang sopir angkutan barang bercerita, katanya beliau baru saja mendapat order ‘membuang’ orang gila yang suka membuat onar. Warga sekitar yang merasa terganggu rela berpatungan untuk membiayai operasi penangkapan tersebut. Biaya itu dipakai untuk membujuknya agar mau diajak naik ke mobil dan kemudian membawanya pergi ke tempat yang jauh. Soal di tempat baru kemudian ia menjadi problem serupa, tak lagi terpikirkan. Itulah potret egoisnya kita, mungkin karena kita merasa tidak mampu mencari solusi lain.

Seringkali kita jumpai orang-orang seperti itu di jalanan. Dari yang suka berbuat onar dan mengganggu, sampai yang sebenarnya mengundang rasa iba. Seringkali kita tak mampu berbuat apa-apa untuk memberi solusi berbagai problematika kehidupan, yang memang besarnya tak sebanding dengan kemampuan pribadi kita.

Keberadaan orang-orang gila tersebut berbeda dengan problematika sosial jalanan yang lain. Kalau untuk para pengemis kita bisa mengatakan, mereka hanya orang-orang yang bermental malas, tidak mau bekerja, dan maunya mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Untuk orang cacat kita bisa mengatakan, betapa banyak orang cacat yang memiliki kemauan untuk tidak bergantung pada orang lain, dan ternyata mereka mampu menyiasati keterbatasannya. Untuk anak terlantar kita juga bisa mengatakan, betapa banyak dari mereka yang bisa juga hidup secara mandiri, dan bahkan mereka yang semasa kecil menjalani hidup sebagai kaum papa malah kelak di kemudian hari menjadi orang sukses.

Apapun problematikanya, toh pikiran mereka masih waras, mereka masih bisa dituntut agar mau menggunakan akal pikirnya. Tetapi untuk orang-orang yang tidak waras, tentunya benar-benar membutuhkan uluran orang lain, tak mungkin diharap bisa berusaha sendiri mengatasi problematikanya.

Kepedulian kita semestinya terpanggil. Meskipun kita masih berada dalam keadaan kekurangan, baiklah untuk kita menyisihkan kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan. Toh lebih baik menjadi orang yang bisa membantu orang lain daripada menjadi orang yang dibantu. Spirit memberi dan menahan diri adalah lebih mulia daripada meminta dan merasa sempit. Kebaikan itu juga akan kembali kepada kita. Mereka sebenarnya adalah ladang amal dan lahan dakwah bagi kita.

Siapa tahu mereka yang kini hanya menjadi sampah, suatu hari nanti bisa menjadi manusia sesungguhnya, mampu berbuat dan membawa kemanfaatan bagi sesama. Bukan mustahil suatu saat mereka bisa menjadi manusia berguna. Dilebihkannya sebagian kita atas sebagian yang lain menjadi ibrah bagi kita agar lebih bersyukur, menjadi penawar kesempitan kita dengan kepedulian dan berbagi.

Antara kepedulian kita dan keterbatasan kemampuan kita, diperlukan upaya mengefektifkan kepedulian tersebut agar lebih terarah. Memberi kail bukan ikan, produktif bukan konsumtif, sebagaimana Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Agar esok mereka tak kembali meminta-minta tetapi sudah mampu mandiri, supaya mereka tak selamanya hanya ditolong, tetapi mereka kelak bisa menolong yang lain.

Antara keterbatasan kita dan mengefektifkan kepedulian tersebut, memang tak semudah memberi tetapi juga tentang pengelolaannya secara profesional. Perlu diprioritaskan untuk mereka yang paling membutuhkan. Di sinilah pentingnya kita untuk menyupport lembaga sosial yang profesional, agar kita tidak bergerak sendiri-sendiri, sehingga beban menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama-sama. Sejak awal, Islam telah membawa konsep tentang amil yang mengelola zakat, bukan asal diberikan.

Terkadang begitu mudahnya kita memberi, tetapi hanya sekadar mengobati rasa iba. Akibatnya menjadi tidak mendidik dan bahkan merusak mental mereka, berakibat pada mental ketergantungan dan peminta-minta.

Tragisnya pula, banyak energi yang kita keluarkan untuk berbagi tetapi hanya menjadi seremonial yang dipertanyakan manfaatnya. Ada orang yang mengadakan pesta hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta. Kita terjebak pada banyak hal yang berbau hura-hura, berujung pada tindakan mubazir dan berlebihan, seperti membuang-buang makanan atau pesta kembang api, padahal semua itu menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit.

Alangkah baiknya jika kita berupaya menyalurkan kepedulian itu agar tepat sasaran, bermanfaat untuk mereka yang benar-benar membutuhkannya, sehingga menjadi amal shalih yang sesungguhnya. Untuk mengentaskan fakir miskin agar mereka bisa berusaha, membantu orang sakit yang tidak mampu berobat, anak-anak yang tak mampu membiayai sekolahnya, mereka yang tertimpa musibah dan bencana, termasuk juga suatu saat kita bisa menolong orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan tersebut.

http://www.dakwatuna.com/2015/05/22/69014/orang-orang-gila-di-jalanan-siapa-peduli-mereka/

Jawa, yang tak Pernah Ikhlas Menerima Islam?

Segera setelah merebaknya kasus pembacaan Alquran berlanggam Jawa di Istana Negara beberapa hari lalu, seorang kawan berkata, apa yang Merle Calvin Ricklefs katakan memang benar. Lewat bukunya, Mengislamkan Jawa, profesor Australian National University itu memang pernah berkata bahwa sejatinya orang Jawa tak pernah ikhlas menerima Islam.
Selain kontroversial, pernyataan Ricklefs memang belum sepenuhnya benar. Yang Ricklefs bilang mungkin masuk akal, yakni bahwa orang Jawa begitu mencintai budaya kepercayaan mereka (Kejawen). Karena itu, bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami sinkretisme.
Misalnya, pada agama Budha yang relatif tidak mengenal konsep Divine alias causa prima, konsepsi Budha di Jawa mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang tiga dewa utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan Sang Hyang Widhi.
Demikian pula pada saat kedatangan Kristen. Kita kenal Sadrach, seorang misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme. Tidak hanya mencantumkan kyai di depan namanya, Sadrach juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misinya.
Sinkretisme ini bahkan tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, seorang misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya kontekstualisasi. Apa itu? Misalnya, Coolen tak ragu memakai jampi-jampi dan mantera dalam upayanya.
Bahkan Coolen dengan yakin memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa. Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai Dewi Sri, Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.
Dan bukankah umat Islam pun mengakui bahwa hanya dengan cara-cara adaptasi dan pendekatan budaya, Wali Songo bisa mengislamkan Tanah Jawa? Barangkali, hal itu sesuai dengan peribahasa di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau Sebagaimana kata Julian Pitt-Rivers (1963) dalam esainya tentang sosiologi Mediteranea, “You cannot be a Brahmin in the English countryside.
Misalnya, untuk menjawakan Islam, dalam Kitab Usulbiyah yang ditulis Sultan Agung, digambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengenakan mahkota emas dari Majapahit. Tak hanya itu, dikatakan bahwa membaca kitab ini setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam.
Kembali ke Ricklefs, penentangan terhadap pengislaman Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islam pun, penentangan tak berhenti. Misalnya, pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmoghandul.
Tiga karya itu adalah karya yang tak jarang sarkastis. Versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah njawani dan tidak berlaku laiknya orang Arab yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim kaffah atau seutuhnya, pun tidak jarang.
Misalnya, dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang Lebih Agung), Mangkunegara IV bersyair:
“Jika kalian berkeras untuk meniru
Teladan Sang Nabi
Duhai Putra-putriku, kalian melakukan hal yang mustahil
Artinya kalian tak akan bertahan lama
Karena kalian ini orang Jawa
Sedikit saja sudahlah cukup.”
Kini, apakah kita bisa mengatakan bahwa kasus pembacaan Alquran dengan langgam Jawa di Istana adalah bentuk purifikasi Jawa dalam konteks Islam? Apakah kasus itu juga bisa menjadi contoh penentangan Jawa untuk menjadi Islam sepenuhnya? Biarlah Anda jawab sendiri.
Namun, barangkali pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, adalah keputusan yang sangat bijak. Pada sebuah kesempatan Dien berkata,”Saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai keIndonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk adanya Indonesia yang Islami’ daripada Islam yang Indonesiawi.”

Darmawan Sepriyossa
Iinilah.com

Kamis, 21 Mei 2015

Hudzaifah, Sang Paradoks Reformasi

Hudzaifah, aku hampir merasa kalau bukan karena nama itu mungkin tak pernah ada kebersamaan antara kita. Tetapi begitulah takdir mempertemukan kita. Latar belakangmu teramat beda dengan kebanyakan kami. Engkau adalah seperti orang asing di antara kami.
Terlalu sering engkau mengambil sikap berbeda dengan kebanyakan teman-teman. Kadang di antara kami merasa jengah denganmu. Tetapi kami mengakui, dalam beberapa hal engkau cukup brilian. Biarlah kami anggap ini sebagai pembelajaran untuk bisa menerima perbedaan pendapat. Bukankah aneh bila kita memperjuangkan reformasi, kebebasan dan demokrasi, sedang kita sendiri tidak siap untuk berbeda.
Namamu mengingatkanku pada seorang sahabat Rasulullah, Hudzaifah Al Yamani. Ia memang tak se-nyleneh engkau. Tetapi ia dikenang karena mengajukan sebuah pertanyaan kepada Rasulullah tentang kejahiliyahan, ketika para sahabat lain pada umumnya bertanya tentang kebaikan.
***
Gegap gempita, pekik takbir, tangis haru, tak mampu lagi kuungkapkan histeria ini. Aku hanya melakukan sujud syukur, sementara di depan gedung ini begitu banyak kawan-kawan yang menceburkan diri ke dalam kolam. Rezim diktator yang telah mencengkeram kami selama puluhan tahun, akhirnya tumbang juga. Berakhir!
Hudzaifah, kau tak ada di sini. Engkau selalu berada di tempat yang jauh di sana. Engkau tak ikut merasakan kegembiraan kami kini, sebagaimana engkau tak pernah merasakan kepayahan kami di jalanan selama ini.
Tapi aku tahu betul apa yang kau rasakan di kejauhan sana. Aku seperti melihatmu jelas di hadapanmu. Gegap gempita yang kurasakan, tidak sama sekali olehmu, wajahmu muram, tertunduk, menanggung beban yang amat berat.
Sejak awal reformasi ini bergulir, tatkala masih seperti mission impossible, hingga rezim ini di ambang kejatuhan, sikapmu tak pernah berubah.
“Timah panas yang membunuh sahabat kita, masih juga tak kau rasakan?”
“Lupakan tentang reformasi ini, kembalilah! Itu lebih baik bagi bangsa ini. Kita tak boleh mengukur negara ini dengan ukuran negara lain.”
“Dan kau akan tercatat sebagai orang yang berdiam diri terhadap kezhaliman, di mana tanggung jawabmu? Sedang kami ingin tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zhalim!”
“Kawan-kawan, Mental bangsa ini yang harus mau berubah dahulu. Jangan terburu berharap terwujudnya kekuasaan yang baik! Kita belum siap, kalau tidak mengatakan sistem itu tidak cocok bagi negara ini.”
“Tidak, dengan kepemimpinan yang baik, bangsa ini akan menjadi baik!”
“Sebutan kalian memang intelektual, tapi kalian terlalu hijau untuk mengerti tentang dunia ini sesungguhnya. Tak sesederhana itu kawan, aku telah memperingatkan kalian sebelumnya, sebelum waktu yang berbicara dan kalian menyesal. Kalian hanya diperalat!”
“Siapa yang memperalat? Agar pemimpin rakyat bisa memilih figur-figur terbaik sebagai pemimpin mereka, tak ada sumbatan demokrasi, tak ada intimidasi. Agar terwujud kebebasan pers, transparansi, dan publik bisa sepenuhnya mengontrol pemerintah. Supremasi hukum ditegakkan dan tak ada lagi diskriminasi, tak ada lagi pelanggaran HAM. Aku yakin tak akan ada lagi korupsi, kesejahteraan rakyat akan terwujud, tak ada lagi kesenjangan sosial. Bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mewujudkan semua itu, diperalatkah?”
“Tetapi tahukah kalian mengapa pihak luar mensupport sepenuhnya reformasi ini, kau pikir tulus tanpa kepentingan? Tak ada yang bisa diharap dari sebuah permainan. Kalian telah masuk permainan mereka tanpa sadar!”
“Persetan dengan semua itu! Reformasi ini adalah agenda kita, kepentingan bangsa kita ini sendiri, terserah mereka mau apa!”
“Kalian akan lepas dari satu rezim, tetapi akan masuk ke dalam rezim berikutnya, bahkan lebih buruk!”
***
Pilpres 2014 tinggal menghitung hari. Suasana kurasa amat berbeda, hanya ada dua kubu, kami semua seperti terbelah, tegang. Pertempuran berlangsung sengit, apalagi di media sosial. Siapa saja bisa menyebarkan konten dengan sebebas-bebasnya, tanpa ada lagi kontrol. Jadilah ajang olok-mengolok dan bully-membully.
Aku tengok pasangan sebelah. Aku dapati status-status yang cukup membuatku penasaran. Apa-apaan ini? Seperti membuat dadaku mendidih, geram menahan marah. Betapa tidak, kepentingan umat dalam posisi krusial begini, saat benar-benar dipertaruhkan, ia malah seperti menyerahkan bulat-bulat umat ini pada liberalis sekularis islamofobi. Memutarbalikkan opini! Aku tak habis pikir. Apa nggak sadar dia? Aku harus telusuri sumbernya.
Astaghfirullah! Benarkah ia Hudzaifah yang dulu? Hampir 16 tahun ini aku tak bertemu dengannya. Mungkin aku tak sengaja melupakannya. Tapi mengapa aku bertemu dengannya lagi dalam suasana seperti ini?
Aku tak sabar menulis sebuah komentar. Kutulis dengan huruf kapital. YOU STAND ON THE WRONG SIDE!!!!!!!
Aku sedikit menyesal. Jika begini, mungkin ia tak akan mengonfirmasi pertemanan yang aku ajukan. Tapi biarlah, aku masih bisa mengebomnya dengan komentar-komentar selama privasinya belum diubah. Yang terpenting, aku sekarang segera menyiapkan argumentasi sebanyak-banyaknya untuk mematahkan penyesatan opini yang ia buat.
***
Aku tak menyangka, ia menerima pertemanan yang kuajukan. Ia juga masih mengenaliku. Ia memintaku untuk tidak sembarangan membuat komentar di statusnya. Ia mengajakku melakukan chatting saja, aku pun menerima tawarannya.
“Tidak terbalik kawan? Yang dulu kau anggap pelanggar HAM, kini malah kau dukung habis-habisan? Reformasi susah payah kau perjuangkan, kini kau mati-matian mendukung kembalinya diktator itu! Kau ingin hidupkan kembali rezim itu? Kawan, selama 16 tahun ini kau pasti bisa melupakanku, tapi kuyakin kau takkan bisa melupakan sahabat kita yang tertembus timah panas, kau sendiri yang membawanya ketika ia roboh, ingatkah ketika tanganmu berlumuran darahnya?”
“Kawanku, kau jangan menutup mata, siapa pelanggar HAM yang sesungguhnya, siapa yang sebenarnya melakukan penculikan, dan siapa yang sebenarnya mendalangi kerusuhan? Akan kau serahkan negeri ini pada konglomerat hitam dan asing?”
“Kau sendirilah yang menyerahkan kedaulatan negeri ini pada mereka. Memangnya siapa yang sebenarnya mendesain reformasi, engkau dan kawan-kawanmukah? Aku sudah mengatakan sejak semula, reformasi yang kau perjuangkan akan menjadi penyesalan bagimu. Mana pemberantasan korupsi yang kau janjikan, mana penegakan hukum, kedaulatan rakyat dan kesejahteraan? Piye kabare, isih enak jamanku? ”
“Mungkin aku memang salah, banyak hal yang tak kumengerti tentang dunia. Tapi reformasi ini belum selesai kawan. Kita akan terus berjuang. Sekarang, persoalan krusial yang kita hadapi adalah menyelamatkan umat ini dari ancaman sekularis, liberalis dan islamofobi. Lantas engkau justru menyerahkan bulat-bulat umat ini pada mereka? Kau akan dimintai pertanggung jawaban bila umat mendapatkan perlakuan represif dan tekanan, bila umat menghadapi upaya marjinalisasi, menghadapi kebijakan-kebijakan yang tak ramah? Lantas takbiran dan kurban dilarang, jilbab dilarang, nikah beda agama diperbolehkan, kolom agama di KTP dihapus, aliran sesat dibebaskan, pelajaran agama dihapus. Itukah yang kau cita-citakan?”
“Lagi-lagi kau bawa-bawa agama untuk tujuan politikmu. Memangnya kau mau memonopoli agama ini dengan tafsir politikmu sendiri? Justru kau sendiri yang telah banyak mencemarkan nama baik agama ini, menjerumuskan agama ini dalam kubangan kotor politikmu, korupsi dan praktek kotor yang kau lakukan atas nama agama. Agama kita dirundung malu karena perilakumu. Jawab siapa yang sesungguhnya mengkhianati agama kita?”
“Aku menyadari, kami tak selamanya bebas dari kesalahan, di antara kami pun pun tak seluruhnya sebaik agama yang kami perjuangkan. Tapi yang kau harus mengerti, kami tak seburuk apa yang diblow-up media dan digambarkan para haters. Karena kami ditelanjangi oleh media, kasus yang menimpa kami digoreng habis-habisan, kami ditimpa vonis yang zhalim, karena itu kami bersyukur, bahwa sejelek-jelek kami, kepalsuan dunia tidak menempatkan kami dalam pencitraan yang indah, yang menipu dunia, kebaikan ditampakkan sebagai kejelekan, dan sebaliknya. Belum tentu yang ditampakkan jelek oleh kedustaan dunia adalah jelek, dan belum tentu yang dicitrakan indah adalah mulia.”
“Dulu ketika pemerintah beranjak ijo royo-royo kau tumbangkan, kau hanya melihat sisi negatifnya saja. Kini kau bawa-bawa agama untuk menutupi keburukanmu. Kau masih saja mencari kambing hitam.”
“Tidak, ini fakta. Kita berada dalam era penuh konspirasi dan permainan. Alangkah bodohnya kau tentang realitas ini, anak kecil pun tahu dunia sedang penuh kepalsuan. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, begitu gamblang jelas hanya permainan belaka, festivalisasi dan sandiwara untuk suatu kepentingan politik semata. Begitu mudahnya tipuan dunia mengelabuimu. Kau ikut bersama media-media yang membangun opini mencitra burukkan dakwah ini, kau membantu mereka ketika media-media itu melakukan pembunuhan karakter terhadap dakwah ini. Padahal, kejelekan dakwah ini sekalipun adalah tanggung jawabmu juga. Malahan fitnah dan tuduhan yang dibuat-buat untuk dakwah ini, kau aminkan juga.”
“Tanggung jawab? Di mana tanggung jawabmu atas reformasi yang kau perjuangkan, tanggung jawab terhadap aset-aset bangsa yang diprivatisasi? Padahal aku telah memberi peringatan serupa sejak awal dulu, dan kau terus acuhkan?”
“Maafkan aku, tapi kita jangan mengulangi kesalahan sama, kali ini.”
“Memangnya posisimu benar, sedang posisiku pasti salah? Apa tidak sebaliknya?”
“Kau benar-benar telah menjadi korban penyesatan opini mereka!”
“Apa bukan kau yang terjerumus dalam permainan mereka? Kau sangka dirimu pahlawan? Bisa jadi, yang kini kau anggap habis-habisan sebagai musuh dakwahmu, kelak akan menjadi mitra koalisimu. Kau pun bisa menciptakan segudang dalil untuk menjadi pembenarnya. Sebagaimana yang dulu kau hujat habis-habisan, kini kau bela habis-habisan.”
“Tidak mungkin. Ada fitnah, semua itu permainan belaka, aku telah mengerti.”
“Mungkin chatting kita cukup sampai di sini saja, sudah masuk masa tenang.”
“Di medsos nggak ada aturannya. Kamu takut?”
“Tidak, tapi kau telah naik kelas. Besok pelajaran sudah beda. Sahabatku, kau mengerti?”
Ia kemudian meminta alamat emailku, katanya ada sesuatu yang akan ia sampaikan.
***
Kubuka email masuk ini, sebenarnya aku malas membacanya, tetapi paragraf demi paragraf aku lalui, aku menjadi semakin gemetar. Hari-hari ini aku menjadi pendiam. Aku merasa menanggung beban yang teramat berat. Aku merenung tentang hal-hal yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya, sama sekali tidak.
Dari email yang kubaca ini, mungkin hanya sedikit yang kupahami. Jika lebih banyak lagi yang kumengerti, aku mungkin akan menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis.
Aku bersusah payah menempuh perjuangan, aku merasa sebagai pejuang sejati. Tapi, yang kulakukan sebenarnya hanyalah melebarkan pintu masuk bagi musuh. Karena langkahku, kota ini luluh lantak. Aku merasa sebagai pahlawan, sedang musuh tersenyum puas memperdayaiku. Betapa cerobohnya aku, betapa zhalimnya aku. Tidak! Aku telah berbuat sebatas kemampuanku.
Mungkin lebih baik aku tidur dan berdiam diri saja. Dari pada aku terombang-ambing tak berdaya dalam permainan musuh. Memang aku tahu jika aku tak dibebani kewajiban untuk berhasil, tetapi mesti berusaha sebaik-baiknya. Kekalahanku sekalipun sebenarnya bukan kerisauanku. Kemenangan dan kekalahan sejati tetap ada di sisi-Nya. Tapi terlalu pahit untuk menerima kenyataan jika diriku menempati posisi sebagai pecundang.
Sahabatku, adakalanya kita menempuh sebuah jalan yang sama, tetapi tujuan yang ingin dicapai berbeda. Adakalanya jalan kita berbeda, tetapi sedang menuju muara yang sama. begitu mudahnya kita berpisah dan menyalahkan, hanya karena ada perbedaan. Bukan ketika langkah mesti berputar, aku mengatakanmu mundur sebagai pengkhianat. Ketika jalan mesti berliku, aku menganggapmu melarikan diri.
Bagaimanapun, dengan perbedaan ijtihad di antara kita, kau tetap sahabatku. Ada saat-saat harus menentukan pilihan sulit. Ada saat harus berhadapan dengan realitas. Ada saat-saat harus menunggu, berproses, menanggalkan ketergesaan. Ketika tak boleh terbuai dengan yang berada di hadapan mata. Ketika harus memutar dan menempuh jalan berliku. Tak mungkin mengambil apa yang berada di hadapan singa, ada saat harus menentukan siasat, atau keberanian akan berakhir binasa sia-sia.
Tetapi bagaimanapun, setidaknya agar aku memiliki hujjah di hadapan Tuhanku, karena aku telah berusaha, sesuai keterbatasanku. Selebihnya aku serahkan kepada-Nya. Jika aku diam saja, tak mungkin kelak ada kisah. Mereka membuat makar, Tuhanku pun membuat makar. Aku punya pengharapan kepada-Nya, sedang mereka tidak sama sekali, karena Allah bersama kita.
Sahabatku, bukan hanya sebuah nama, tetapi memang ada takdir pertemuan antara kita. Di antara jurang perbedaan antara kita, ada sebuah jembatan yang amat berarti. Agar nama ini kelak terwujud menjadi legenda, Hudzaifah.

http://www.dakwatuna.com/2015/05/21/68947/hudzaifah-sang-paradoks-reformasi/