Kamis, 28 Mei 2015

“Dan Kami Menguji Kalian dengan Keburukan dan Kebaikan”

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al Anbiya: 35)
Ujian adalah suatu keniscayaan hidup, tanpa ujian berarti tak ada pula prestasi. Jika kita bisa memilih, apakah ujian keburukan ataukah ujian kebaikan yang akan kita lalui, tentunya kebanyakan kita cenderung memilih diuji dengan kebaikan saja. Ujian kebaikan seolah akan lebih ringan kita jalani, dari pada bayang seram ujian keburukan yang menakutkan.
Dapat dikatakan, kehidupan kita di negeri ini bergelimang dengan berbagai nikmat Allah yang kita sendiri tak mampu menghitungnya. Kita hampir tak menyadari bahwa sebenarnya semua itu adalah suatu ujian, sebagaimana halnya saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang sedang diuji dengan malapetaka dan penderitaan.
Mereka ditimpa kelaparan dan pembantaian, ketakutan, penyiksaan dan penindasan, terombang-ambing di tengah lautan menghadapi maut, peperangan dan pengusiran. Sedang ujian kita, hanyalah seperti berbagai kesibukan duniawi dan kenikmatannya, atau beragam hiburan dan tontonan. Kita diberikan kecukupan hidup, kebebasan dan keamanan.
Lantas apakah syukur kita selama ini lebih besar dari mereka? Syukur atas nikmat yang jauh lebih besar kita dapatkan, sebelum bertanya tentang siapakah yang lebih memiliki ketabahan, kesabaran dan keteguhan, yang lebih memiliki kerelaan untuk berkorban dan kepedulian untuk dakwah dan perjuangan ini? Juga siapa yang mampu lebih khusyuk bermunajat kepada-Nya, lebih banyak berdzikir kepada-Nya, lebih ikhlas untuk beramal, dan siapa yang sebenarnya mampu menyempurnakan syukur kepada-Nya?
Mereka mengorbankan harta benda, bahkan harus mengorbankan jiwa, sedang kita mungkin hanya diminta sedikit menyisihkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu, atau pada urusan dakwah yang tak seberapa, itupun hampir-hampir kita tak pernah sempat. Mereka tertimpa luka dan kepayahan, mengalami kelaparan dan kehausan, sedang aktivitas yang harus kita kerjakan dipenuhi fasilitas dan kemudahan, kesulitan pun tak seberapa, tetapi kebanyakan kita tetap saja enggan. Kita terus saja berkutat pada kesibukan duniawi dan urusan pribadi yang tiada habisnya, sedang dalam kekurangan dan keterbatasan, mereka mampu berbuat jauh lebih besar.
Menjalani hari-hari dalam berbagai cobaan pahit tak melunturkan rasa cinta mereka kepada Allah, bahkan tumbuh lebih subur di hati mereka dari pada kita yang lebih banyak lalai, malas dan abai. Di Palestina, Suriah, Rohingya dan tempat-tempat di mana puncak-puncak kedzaliman menimpa, iman dan kesabaran tumbuh lebih subur, tekad dan semangat mereka lebih membaja, melebihi kita yang menjalani hari-hari bergelimang kenikmatan. Kerelaan untuk berkorban bagi agama dan menetapi jalan perjuangannya, tumbuh lebih subur pada mereka yang menjalani hari-hari dalam penderitaan.
Jalan menuju masjid-masjid kita terbentang mudah, tak ada rintangan dan aral, tak ada desingan peluru dan lemparan batu, tetapi ia tetap lenggang, dan masjid-masjid kita tetap sepi. Sedikit sekali dari kita yang mau melangkahkan kaki mendatangi majelis-majelis ilmu, mushaf-mushaf tersimpan hampir tak pernah tersentuh, makin langka yang menghidupkan malam dengan qiyamullail. Kebajikan menjadi seperti hanya dilakukan segelintir orang asing yang aneh. Tetapi begitu banyak yang berjejal di majelis-majelis lalai dan berbondong-bondong dalam berbuat maksiaat. Ketika halangan dan rintangan, intimidasi, terampas hak-hak hidup, kehilangan pekerjaan, bahkan todongan senjata, tak menghalangi mereka untuk taat. Tetapi banyak dari kita dengan sukarela berbuat maksiyat atau meninggalkan kewajiban.
Saudara-saudara kita yang sedang berada di puncak-puncak kedzaliman, tetapi semua itu malah bisa jadi merupakan jalan bagi kemuliaan mereka. Kita takut jika harus menjalani cobaan seperti mereka, tetapi dengan ujian kenikmatan yang kita jalani, kemuliaan itu hampir-hampir tak mampu kita raih. Banyak dari kita yang membalas kenikmatan yang diberikan Allah dengan kemaksiatan kepada-Nya.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al Baqarah: 216)
Bisa jadi cobaan itu adalah kasih sayang Allah yang diberikan kepada mereka. Meski mereka dipandang hina oleh kebanyakan dunia, kelak di akhirat segenap manusia menjadi iri atas apa yang mereka dapatkan. Semua itu menghapus kesalahan mereka, meninggikan derajat meraka, menjadi kemuliaan dan pahala yang besar. “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib)
Mampu melewati badai yang dahsyat, tetapi terlena oleh angin sepoi-sepoi. Teguh menghadapi kekerasan, tetapi terlena oleh kelembutan. Begitulah, ujian kenikmatan seolah akan lebih mudah dilalui, tetapi justru lebih banyak yang berguguran terjatuh di dalamnya. Betapa banyak pula yang bersungguh-sungguh mengingat-Nya ketika kesusahan menghampiri, tetapi setelah berlalu lalai dan berpaling, “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya.” (Az Zumar: 8)
Di Bosnia, atau di Ambon, ada sebuah pelajaran berharga, malapetaka menggugah mereka, menyadarkan mereka, membuat mereka kenal dengan agama dan Rabbnya. Mereka tidak marah atas cobaan yang menimpa, tetapi mereka tergugah, memiliki semangat lebih untuk mendekat kepada-Nya.
Kesulitan-kesulitan kecil yang kita temui, yang membuat kita berkeluh kesah, bahkan sebenarnya ia tak seberapa. “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al Baqarah: 214)
Apakah kita menunggu berbagai malapetaka datang, baru kita mau beranjak kepada-Nya. Tidakkah lebih baik kita ingat kepada-Nya sejak dalam keadaan lapang, agar Dia mengingat kita dalam kesempitan kita, bergegas kepada-Nya dalam sejak dalam keadaan senang, bukan baru bergegas kepada-Nya setelah tertimpa kesusahan, sehingga tak lagi berarti. Tidakkah cukup kenikmatan mengetuk kita untuk beranjak kepada-Nya? Apakah perlu menunggu datangnya berbagai cobaan seperti itu, baru mau peduli kepada agama ini, dakwah dan perjuangannya?

http://www.dakwatuna.com/2015/05/28/69373/dan-kami-menguji-kalian-dengan-keburukan-dan-kebaikan/


Jumat, 22 Mei 2015

Orang-orang Gila di Jalanan, Siapa Peduli Mereka?

Baru-baru ini seorang sopir angkutan barang bercerita, katanya beliau baru saja mendapat order ‘membuang’ orang gila yang suka membuat onar. Warga sekitar yang merasa terganggu rela berpatungan untuk membiayai operasi penangkapan tersebut. Biaya itu dipakai untuk membujuknya agar mau diajak naik ke mobil dan kemudian membawanya pergi ke tempat yang jauh. Soal di tempat baru kemudian ia menjadi problem serupa, tak lagi terpikirkan. Itulah potret egoisnya kita, mungkin karena kita merasa tidak mampu mencari solusi lain.

Seringkali kita jumpai orang-orang seperti itu di jalanan. Dari yang suka berbuat onar dan mengganggu, sampai yang sebenarnya mengundang rasa iba. Seringkali kita tak mampu berbuat apa-apa untuk memberi solusi berbagai problematika kehidupan, yang memang besarnya tak sebanding dengan kemampuan pribadi kita.

Keberadaan orang-orang gila tersebut berbeda dengan problematika sosial jalanan yang lain. Kalau untuk para pengemis kita bisa mengatakan, mereka hanya orang-orang yang bermental malas, tidak mau bekerja, dan maunya mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Untuk orang cacat kita bisa mengatakan, betapa banyak orang cacat yang memiliki kemauan untuk tidak bergantung pada orang lain, dan ternyata mereka mampu menyiasati keterbatasannya. Untuk anak terlantar kita juga bisa mengatakan, betapa banyak dari mereka yang bisa juga hidup secara mandiri, dan bahkan mereka yang semasa kecil menjalani hidup sebagai kaum papa malah kelak di kemudian hari menjadi orang sukses.

Apapun problematikanya, toh pikiran mereka masih waras, mereka masih bisa dituntut agar mau menggunakan akal pikirnya. Tetapi untuk orang-orang yang tidak waras, tentunya benar-benar membutuhkan uluran orang lain, tak mungkin diharap bisa berusaha sendiri mengatasi problematikanya.

Kepedulian kita semestinya terpanggil. Meskipun kita masih berada dalam keadaan kekurangan, baiklah untuk kita menyisihkan kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan. Toh lebih baik menjadi orang yang bisa membantu orang lain daripada menjadi orang yang dibantu. Spirit memberi dan menahan diri adalah lebih mulia daripada meminta dan merasa sempit. Kebaikan itu juga akan kembali kepada kita. Mereka sebenarnya adalah ladang amal dan lahan dakwah bagi kita.

Siapa tahu mereka yang kini hanya menjadi sampah, suatu hari nanti bisa menjadi manusia sesungguhnya, mampu berbuat dan membawa kemanfaatan bagi sesama. Bukan mustahil suatu saat mereka bisa menjadi manusia berguna. Dilebihkannya sebagian kita atas sebagian yang lain menjadi ibrah bagi kita agar lebih bersyukur, menjadi penawar kesempitan kita dengan kepedulian dan berbagi.

Antara kepedulian kita dan keterbatasan kemampuan kita, diperlukan upaya mengefektifkan kepedulian tersebut agar lebih terarah. Memberi kail bukan ikan, produktif bukan konsumtif, sebagaimana Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Agar esok mereka tak kembali meminta-minta tetapi sudah mampu mandiri, supaya mereka tak selamanya hanya ditolong, tetapi mereka kelak bisa menolong yang lain.

Antara keterbatasan kita dan mengefektifkan kepedulian tersebut, memang tak semudah memberi tetapi juga tentang pengelolaannya secara profesional. Perlu diprioritaskan untuk mereka yang paling membutuhkan. Di sinilah pentingnya kita untuk menyupport lembaga sosial yang profesional, agar kita tidak bergerak sendiri-sendiri, sehingga beban menjadi lebih ringan dengan dipikul bersama-sama. Sejak awal, Islam telah membawa konsep tentang amil yang mengelola zakat, bukan asal diberikan.

Terkadang begitu mudahnya kita memberi, tetapi hanya sekadar mengobati rasa iba. Akibatnya menjadi tidak mendidik dan bahkan merusak mental mereka, berakibat pada mental ketergantungan dan peminta-minta.

Tragisnya pula, banyak energi yang kita keluarkan untuk berbagi tetapi hanya menjadi seremonial yang dipertanyakan manfaatnya. Ada orang yang mengadakan pesta hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta. Kita terjebak pada banyak hal yang berbau hura-hura, berujung pada tindakan mubazir dan berlebihan, seperti membuang-buang makanan atau pesta kembang api, padahal semua itu menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit.

Alangkah baiknya jika kita berupaya menyalurkan kepedulian itu agar tepat sasaran, bermanfaat untuk mereka yang benar-benar membutuhkannya, sehingga menjadi amal shalih yang sesungguhnya. Untuk mengentaskan fakir miskin agar mereka bisa berusaha, membantu orang sakit yang tidak mampu berobat, anak-anak yang tak mampu membiayai sekolahnya, mereka yang tertimpa musibah dan bencana, termasuk juga suatu saat kita bisa menolong orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan tersebut.

http://www.dakwatuna.com/2015/05/22/69014/orang-orang-gila-di-jalanan-siapa-peduli-mereka/

Jawa, yang tak Pernah Ikhlas Menerima Islam?

Segera setelah merebaknya kasus pembacaan Alquran berlanggam Jawa di Istana Negara beberapa hari lalu, seorang kawan berkata, apa yang Merle Calvin Ricklefs katakan memang benar. Lewat bukunya, Mengislamkan Jawa, profesor Australian National University itu memang pernah berkata bahwa sejatinya orang Jawa tak pernah ikhlas menerima Islam.
Selain kontroversial, pernyataan Ricklefs memang belum sepenuhnya benar. Yang Ricklefs bilang mungkin masuk akal, yakni bahwa orang Jawa begitu mencintai budaya kepercayaan mereka (Kejawen). Karena itu, bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami sinkretisme.
Misalnya, pada agama Budha yang relatif tidak mengenal konsep Divine alias causa prima, konsepsi Budha di Jawa mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang tiga dewa utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan Sang Hyang Widhi.
Demikian pula pada saat kedatangan Kristen. Kita kenal Sadrach, seorang misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme. Tidak hanya mencantumkan kyai di depan namanya, Sadrach juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misinya.
Sinkretisme ini bahkan tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, seorang misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya kontekstualisasi. Apa itu? Misalnya, Coolen tak ragu memakai jampi-jampi dan mantera dalam upayanya.
Bahkan Coolen dengan yakin memasukkan unsur kepercayaan dan keyakinan mistik Jawa. Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai Dewi Sri, Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.
Dan bukankah umat Islam pun mengakui bahwa hanya dengan cara-cara adaptasi dan pendekatan budaya, Wali Songo bisa mengislamkan Tanah Jawa? Barangkali, hal itu sesuai dengan peribahasa di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau Sebagaimana kata Julian Pitt-Rivers (1963) dalam esainya tentang sosiologi Mediteranea, “You cannot be a Brahmin in the English countryside.
Misalnya, untuk menjawakan Islam, dalam Kitab Usulbiyah yang ditulis Sultan Agung, digambarkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengenakan mahkota emas dari Majapahit. Tak hanya itu, dikatakan bahwa membaca kitab ini setara dengan menggenapi dua dari lima rukun Islam.
Kembali ke Ricklefs, penentangan terhadap pengislaman Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islam pun, penentangan tak berhenti. Misalnya, pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmoghandul.
Tiga karya itu adalah karya yang tak jarang sarkastis. Versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah njawani dan tidak berlaku laiknya orang Arab yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim kaffah atau seutuhnya, pun tidak jarang.
Misalnya, dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang Lebih Agung), Mangkunegara IV bersyair:
“Jika kalian berkeras untuk meniru
Teladan Sang Nabi
Duhai Putra-putriku, kalian melakukan hal yang mustahil
Artinya kalian tak akan bertahan lama
Karena kalian ini orang Jawa
Sedikit saja sudahlah cukup.”
Kini, apakah kita bisa mengatakan bahwa kasus pembacaan Alquran dengan langgam Jawa di Istana adalah bentuk purifikasi Jawa dalam konteks Islam? Apakah kasus itu juga bisa menjadi contoh penentangan Jawa untuk menjadi Islam sepenuhnya? Biarlah Anda jawab sendiri.
Namun, barangkali pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dien Syamsuddin, adalah keputusan yang sangat bijak. Pada sebuah kesempatan Dien berkata,”Saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai keIndonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk adanya Indonesia yang Islami’ daripada Islam yang Indonesiawi.”

Darmawan Sepriyossa
Iinilah.com

Kamis, 21 Mei 2015

Hudzaifah, Sang Paradoks Reformasi

Hudzaifah, aku hampir merasa kalau bukan karena nama itu mungkin tak pernah ada kebersamaan antara kita. Tetapi begitulah takdir mempertemukan kita. Latar belakangmu teramat beda dengan kebanyakan kami. Engkau adalah seperti orang asing di antara kami.
Terlalu sering engkau mengambil sikap berbeda dengan kebanyakan teman-teman. Kadang di antara kami merasa jengah denganmu. Tetapi kami mengakui, dalam beberapa hal engkau cukup brilian. Biarlah kami anggap ini sebagai pembelajaran untuk bisa menerima perbedaan pendapat. Bukankah aneh bila kita memperjuangkan reformasi, kebebasan dan demokrasi, sedang kita sendiri tidak siap untuk berbeda.
Namamu mengingatkanku pada seorang sahabat Rasulullah, Hudzaifah Al Yamani. Ia memang tak se-nyleneh engkau. Tetapi ia dikenang karena mengajukan sebuah pertanyaan kepada Rasulullah tentang kejahiliyahan, ketika para sahabat lain pada umumnya bertanya tentang kebaikan.
***
Gegap gempita, pekik takbir, tangis haru, tak mampu lagi kuungkapkan histeria ini. Aku hanya melakukan sujud syukur, sementara di depan gedung ini begitu banyak kawan-kawan yang menceburkan diri ke dalam kolam. Rezim diktator yang telah mencengkeram kami selama puluhan tahun, akhirnya tumbang juga. Berakhir!
Hudzaifah, kau tak ada di sini. Engkau selalu berada di tempat yang jauh di sana. Engkau tak ikut merasakan kegembiraan kami kini, sebagaimana engkau tak pernah merasakan kepayahan kami di jalanan selama ini.
Tapi aku tahu betul apa yang kau rasakan di kejauhan sana. Aku seperti melihatmu jelas di hadapanmu. Gegap gempita yang kurasakan, tidak sama sekali olehmu, wajahmu muram, tertunduk, menanggung beban yang amat berat.
Sejak awal reformasi ini bergulir, tatkala masih seperti mission impossible, hingga rezim ini di ambang kejatuhan, sikapmu tak pernah berubah.
“Timah panas yang membunuh sahabat kita, masih juga tak kau rasakan?”
“Lupakan tentang reformasi ini, kembalilah! Itu lebih baik bagi bangsa ini. Kita tak boleh mengukur negara ini dengan ukuran negara lain.”
“Dan kau akan tercatat sebagai orang yang berdiam diri terhadap kezhaliman, di mana tanggung jawabmu? Sedang kami ingin tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zhalim!”
“Kawan-kawan, Mental bangsa ini yang harus mau berubah dahulu. Jangan terburu berharap terwujudnya kekuasaan yang baik! Kita belum siap, kalau tidak mengatakan sistem itu tidak cocok bagi negara ini.”
“Tidak, dengan kepemimpinan yang baik, bangsa ini akan menjadi baik!”
“Sebutan kalian memang intelektual, tapi kalian terlalu hijau untuk mengerti tentang dunia ini sesungguhnya. Tak sesederhana itu kawan, aku telah memperingatkan kalian sebelumnya, sebelum waktu yang berbicara dan kalian menyesal. Kalian hanya diperalat!”
“Siapa yang memperalat? Agar pemimpin rakyat bisa memilih figur-figur terbaik sebagai pemimpin mereka, tak ada sumbatan demokrasi, tak ada intimidasi. Agar terwujud kebebasan pers, transparansi, dan publik bisa sepenuhnya mengontrol pemerintah. Supremasi hukum ditegakkan dan tak ada lagi diskriminasi, tak ada lagi pelanggaran HAM. Aku yakin tak akan ada lagi korupsi, kesejahteraan rakyat akan terwujud, tak ada lagi kesenjangan sosial. Bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Mewujudkan semua itu, diperalatkah?”
“Tetapi tahukah kalian mengapa pihak luar mensupport sepenuhnya reformasi ini, kau pikir tulus tanpa kepentingan? Tak ada yang bisa diharap dari sebuah permainan. Kalian telah masuk permainan mereka tanpa sadar!”
“Persetan dengan semua itu! Reformasi ini adalah agenda kita, kepentingan bangsa kita ini sendiri, terserah mereka mau apa!”
“Kalian akan lepas dari satu rezim, tetapi akan masuk ke dalam rezim berikutnya, bahkan lebih buruk!”
***
Pilpres 2014 tinggal menghitung hari. Suasana kurasa amat berbeda, hanya ada dua kubu, kami semua seperti terbelah, tegang. Pertempuran berlangsung sengit, apalagi di media sosial. Siapa saja bisa menyebarkan konten dengan sebebas-bebasnya, tanpa ada lagi kontrol. Jadilah ajang olok-mengolok dan bully-membully.
Aku tengok pasangan sebelah. Aku dapati status-status yang cukup membuatku penasaran. Apa-apaan ini? Seperti membuat dadaku mendidih, geram menahan marah. Betapa tidak, kepentingan umat dalam posisi krusial begini, saat benar-benar dipertaruhkan, ia malah seperti menyerahkan bulat-bulat umat ini pada liberalis sekularis islamofobi. Memutarbalikkan opini! Aku tak habis pikir. Apa nggak sadar dia? Aku harus telusuri sumbernya.
Astaghfirullah! Benarkah ia Hudzaifah yang dulu? Hampir 16 tahun ini aku tak bertemu dengannya. Mungkin aku tak sengaja melupakannya. Tapi mengapa aku bertemu dengannya lagi dalam suasana seperti ini?
Aku tak sabar menulis sebuah komentar. Kutulis dengan huruf kapital. YOU STAND ON THE WRONG SIDE!!!!!!!
Aku sedikit menyesal. Jika begini, mungkin ia tak akan mengonfirmasi pertemanan yang aku ajukan. Tapi biarlah, aku masih bisa mengebomnya dengan komentar-komentar selama privasinya belum diubah. Yang terpenting, aku sekarang segera menyiapkan argumentasi sebanyak-banyaknya untuk mematahkan penyesatan opini yang ia buat.
***
Aku tak menyangka, ia menerima pertemanan yang kuajukan. Ia juga masih mengenaliku. Ia memintaku untuk tidak sembarangan membuat komentar di statusnya. Ia mengajakku melakukan chatting saja, aku pun menerima tawarannya.
“Tidak terbalik kawan? Yang dulu kau anggap pelanggar HAM, kini malah kau dukung habis-habisan? Reformasi susah payah kau perjuangkan, kini kau mati-matian mendukung kembalinya diktator itu! Kau ingin hidupkan kembali rezim itu? Kawan, selama 16 tahun ini kau pasti bisa melupakanku, tapi kuyakin kau takkan bisa melupakan sahabat kita yang tertembus timah panas, kau sendiri yang membawanya ketika ia roboh, ingatkah ketika tanganmu berlumuran darahnya?”
“Kawanku, kau jangan menutup mata, siapa pelanggar HAM yang sesungguhnya, siapa yang sebenarnya melakukan penculikan, dan siapa yang sebenarnya mendalangi kerusuhan? Akan kau serahkan negeri ini pada konglomerat hitam dan asing?”
“Kau sendirilah yang menyerahkan kedaulatan negeri ini pada mereka. Memangnya siapa yang sebenarnya mendesain reformasi, engkau dan kawan-kawanmukah? Aku sudah mengatakan sejak semula, reformasi yang kau perjuangkan akan menjadi penyesalan bagimu. Mana pemberantasan korupsi yang kau janjikan, mana penegakan hukum, kedaulatan rakyat dan kesejahteraan? Piye kabare, isih enak jamanku? ”
“Mungkin aku memang salah, banyak hal yang tak kumengerti tentang dunia. Tapi reformasi ini belum selesai kawan. Kita akan terus berjuang. Sekarang, persoalan krusial yang kita hadapi adalah menyelamatkan umat ini dari ancaman sekularis, liberalis dan islamofobi. Lantas engkau justru menyerahkan bulat-bulat umat ini pada mereka? Kau akan dimintai pertanggung jawaban bila umat mendapatkan perlakuan represif dan tekanan, bila umat menghadapi upaya marjinalisasi, menghadapi kebijakan-kebijakan yang tak ramah? Lantas takbiran dan kurban dilarang, jilbab dilarang, nikah beda agama diperbolehkan, kolom agama di KTP dihapus, aliran sesat dibebaskan, pelajaran agama dihapus. Itukah yang kau cita-citakan?”
“Lagi-lagi kau bawa-bawa agama untuk tujuan politikmu. Memangnya kau mau memonopoli agama ini dengan tafsir politikmu sendiri? Justru kau sendiri yang telah banyak mencemarkan nama baik agama ini, menjerumuskan agama ini dalam kubangan kotor politikmu, korupsi dan praktek kotor yang kau lakukan atas nama agama. Agama kita dirundung malu karena perilakumu. Jawab siapa yang sesungguhnya mengkhianati agama kita?”
“Aku menyadari, kami tak selamanya bebas dari kesalahan, di antara kami pun pun tak seluruhnya sebaik agama yang kami perjuangkan. Tapi yang kau harus mengerti, kami tak seburuk apa yang diblow-up media dan digambarkan para haters. Karena kami ditelanjangi oleh media, kasus yang menimpa kami digoreng habis-habisan, kami ditimpa vonis yang zhalim, karena itu kami bersyukur, bahwa sejelek-jelek kami, kepalsuan dunia tidak menempatkan kami dalam pencitraan yang indah, yang menipu dunia, kebaikan ditampakkan sebagai kejelekan, dan sebaliknya. Belum tentu yang ditampakkan jelek oleh kedustaan dunia adalah jelek, dan belum tentu yang dicitrakan indah adalah mulia.”
“Dulu ketika pemerintah beranjak ijo royo-royo kau tumbangkan, kau hanya melihat sisi negatifnya saja. Kini kau bawa-bawa agama untuk menutupi keburukanmu. Kau masih saja mencari kambing hitam.”
“Tidak, ini fakta. Kita berada dalam era penuh konspirasi dan permainan. Alangkah bodohnya kau tentang realitas ini, anak kecil pun tahu dunia sedang penuh kepalsuan. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, begitu gamblang jelas hanya permainan belaka, festivalisasi dan sandiwara untuk suatu kepentingan politik semata. Begitu mudahnya tipuan dunia mengelabuimu. Kau ikut bersama media-media yang membangun opini mencitra burukkan dakwah ini, kau membantu mereka ketika media-media itu melakukan pembunuhan karakter terhadap dakwah ini. Padahal, kejelekan dakwah ini sekalipun adalah tanggung jawabmu juga. Malahan fitnah dan tuduhan yang dibuat-buat untuk dakwah ini, kau aminkan juga.”
“Tanggung jawab? Di mana tanggung jawabmu atas reformasi yang kau perjuangkan, tanggung jawab terhadap aset-aset bangsa yang diprivatisasi? Padahal aku telah memberi peringatan serupa sejak awal dulu, dan kau terus acuhkan?”
“Maafkan aku, tapi kita jangan mengulangi kesalahan sama, kali ini.”
“Memangnya posisimu benar, sedang posisiku pasti salah? Apa tidak sebaliknya?”
“Kau benar-benar telah menjadi korban penyesatan opini mereka!”
“Apa bukan kau yang terjerumus dalam permainan mereka? Kau sangka dirimu pahlawan? Bisa jadi, yang kini kau anggap habis-habisan sebagai musuh dakwahmu, kelak akan menjadi mitra koalisimu. Kau pun bisa menciptakan segudang dalil untuk menjadi pembenarnya. Sebagaimana yang dulu kau hujat habis-habisan, kini kau bela habis-habisan.”
“Tidak mungkin. Ada fitnah, semua itu permainan belaka, aku telah mengerti.”
“Mungkin chatting kita cukup sampai di sini saja, sudah masuk masa tenang.”
“Di medsos nggak ada aturannya. Kamu takut?”
“Tidak, tapi kau telah naik kelas. Besok pelajaran sudah beda. Sahabatku, kau mengerti?”
Ia kemudian meminta alamat emailku, katanya ada sesuatu yang akan ia sampaikan.
***
Kubuka email masuk ini, sebenarnya aku malas membacanya, tetapi paragraf demi paragraf aku lalui, aku menjadi semakin gemetar. Hari-hari ini aku menjadi pendiam. Aku merasa menanggung beban yang teramat berat. Aku merenung tentang hal-hal yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya, sama sekali tidak.
Dari email yang kubaca ini, mungkin hanya sedikit yang kupahami. Jika lebih banyak lagi yang kumengerti, aku mungkin akan menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis.
Aku bersusah payah menempuh perjuangan, aku merasa sebagai pejuang sejati. Tapi, yang kulakukan sebenarnya hanyalah melebarkan pintu masuk bagi musuh. Karena langkahku, kota ini luluh lantak. Aku merasa sebagai pahlawan, sedang musuh tersenyum puas memperdayaiku. Betapa cerobohnya aku, betapa zhalimnya aku. Tidak! Aku telah berbuat sebatas kemampuanku.
Mungkin lebih baik aku tidur dan berdiam diri saja. Dari pada aku terombang-ambing tak berdaya dalam permainan musuh. Memang aku tahu jika aku tak dibebani kewajiban untuk berhasil, tetapi mesti berusaha sebaik-baiknya. Kekalahanku sekalipun sebenarnya bukan kerisauanku. Kemenangan dan kekalahan sejati tetap ada di sisi-Nya. Tapi terlalu pahit untuk menerima kenyataan jika diriku menempati posisi sebagai pecundang.
Sahabatku, adakalanya kita menempuh sebuah jalan yang sama, tetapi tujuan yang ingin dicapai berbeda. Adakalanya jalan kita berbeda, tetapi sedang menuju muara yang sama. begitu mudahnya kita berpisah dan menyalahkan, hanya karena ada perbedaan. Bukan ketika langkah mesti berputar, aku mengatakanmu mundur sebagai pengkhianat. Ketika jalan mesti berliku, aku menganggapmu melarikan diri.
Bagaimanapun, dengan perbedaan ijtihad di antara kita, kau tetap sahabatku. Ada saat-saat harus menentukan pilihan sulit. Ada saat harus berhadapan dengan realitas. Ada saat-saat harus menunggu, berproses, menanggalkan ketergesaan. Ketika tak boleh terbuai dengan yang berada di hadapan mata. Ketika harus memutar dan menempuh jalan berliku. Tak mungkin mengambil apa yang berada di hadapan singa, ada saat harus menentukan siasat, atau keberanian akan berakhir binasa sia-sia.
Tetapi bagaimanapun, setidaknya agar aku memiliki hujjah di hadapan Tuhanku, karena aku telah berusaha, sesuai keterbatasanku. Selebihnya aku serahkan kepada-Nya. Jika aku diam saja, tak mungkin kelak ada kisah. Mereka membuat makar, Tuhanku pun membuat makar. Aku punya pengharapan kepada-Nya, sedang mereka tidak sama sekali, karena Allah bersama kita.
Sahabatku, bukan hanya sebuah nama, tetapi memang ada takdir pertemuan antara kita. Di antara jurang perbedaan antara kita, ada sebuah jembatan yang amat berarti. Agar nama ini kelak terwujud menjadi legenda, Hudzaifah.

http://www.dakwatuna.com/2015/05/21/68947/hudzaifah-sang-paradoks-reformasi/

Jangan Terburu-buru Mengamalkan Sunnah yang Asing

Pernah suatu ketika, Syaikh Shalih Al Fauzan, ditanya oleh seseorang, “‘Ya Syaikh, saya dapatkan sebuah hadits yang shahih. Dan hadits yang shahih ini adalah sebuah sunnah yang banyak ditinggalkan oleh manusia. Yaa Syaikh, jika sunnah ini saya hidupkan di tengah manusia, apakah saya akan mendapatkan pahala?”

Dijawab oleh Syaikh Al Fauzan, “Tidak. Justru engkau akan mendapatkan dosa karena melakukannya. Kecuali sebelum engkau lakukan sunnah itu, engkau ajarkan dulu sunnah itu kepada manusia.”

Begitulah kedalaman jawaban seorang ulama. Tidak semua sunnah yang telah asing di tengah-tengah manusia langsung tiba-tiba diamalkan. hendaknya dia ajarkan dulu sunnah itu kepada manusia, jangan langsung diamalkan sehingga membikin keributan dan terjadi fitnah yang besar.

Dan ini terjadi di kampung-kampung di pelosok daerah sana. Sebagian Muslimin berpegang kuat dengan madzhab Syafi’i.

Pernah ada kejadian ada da’i yang masuk ke sebuah masjid di daerah yang jauh perjalanan menuju ke sana melalui sungai dan menaiki perahu, ia khutbah Jum’at tanpa membaca shalawat dan berdoa di khutbah kedua. Ia khutbah saja seperti biasa, setelah selesai ia hanya baca doa kafaratul majelis lalu turun. Tidak ada baca doa.

Kemudian berdirilah imam masjid tersebut dan dia tanya kepada jama’ah masjid itu, “Bagaimana ini, apakah sah khutbah jum’at yang seperti ini?”

Jawaban jama’ah masjid serempak, “Tidak sah!”

“Kalau begitu, kita shalat zhuhur saja. Tidak ada shalat Jumat hari ini.”

Perhatikankanlah!

Gara-gara praktik khutbah yang dianggap asing, tidak ada yang shalat Jumat satu kampung itu.

Maka hendaknya seseorang mempertimbangkan akibat dari perbuatannya. Sebagian orang yang -masya Allah- semangat dalam mengamalkan sunnah, ia tidak mempertimbangkan bahwa di balik pengamalannya ada mafsadat-mafsadat lain yang ditimbulkannya, yang bisa membahayakan dakwah Rasulullaah -shalallaahu alaihi wa sallam-

Fimadani

Jumat, 08 Mei 2015

Islam Nusantara di Ujung Tanduk?

Apakah kita masih berpikiran bahwa eksistensi Islam sebagai agama mayoritas di kawasan Asia Tenggara ini tidak akan berakhir, apalagi dalam waktu dekat? Secara kuantitas ada indikasi ke arah degradasi, secara kualitas pun juga bisa dikatakan demikian. Meski mayoritas, dari sisi politik, ekonomi dan berbagai bidang kehidupan, umat Islam menempati posisi marjinal. Mungkinkah Asia Tenggara akan menjadi Andalusia kedua, de-islamisasi dan kemusnahan tak lagi terjadi dalam proses yang pelan-pelan, tetapi ada momen pamungkas bahwa ia kemudian berlangsung drastis dan singkat?

Meneropong kemungkinan dari akhir entitas Islam di Asia Tenggara, baiklah kita mereview proses Islamisasi di kawasan ini. Ada sebuah artikel yang beredar di dunia maya beberapa waktu lalu terkait masalah ini, ‘Bertemu Walisongo di Candi Prambanan dan Borobudur’. Sebenarnya Prambanan dan Borobudur adalah peradaban yang telah musnah 5 abad sebelum keberadaan Walisongo. Dari sisi ini memang tulisan tersebut bisa dikatakan parsial dan subyektif. Dari sisi konten juga bisa dikatakan demikian, hanya memandang keberhasilan proses Islamisasi dari sisi pendekatan dakwah yang bijak.

Akan tetapi ada sisi yang menarik dan urgen dari substansi tulisan tersebut, yaitu keberhasilan Islamisasi dalam waktu singkat setelah berabad-abad sebelumnya Islam tidak bisa diterima di kawasan ini. Selama 8 abad sebelumnya Islam sudah hadir tetapi tidak diterima, hanya dianut segelintir orang asing, terutama pendatang dari Timur Tengah dan Tiongkok, hampir-hampir penduduk pribumi tidak ada yang memeluk agama ini, padahal saat itu Islam adalah kekuatan Super Power yang sedang menguasai belahan dunia lain. Tetapi kemudian hanya kurang dari 50 tahun Islam telah menjadi mayoritas yang mengakar.

Sebagaimana penyebaran Islam di berbagai belahan dunia lain, kita tidak mengatakan selama 8 abad tersebut Islam tidak didakwahkan secara bijak. Artinya, pendekatan dakwah yang bijak bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan Islamisasi di kawasan Asia Tenggara ini. Pendekatan dakwah yang bijak dan akulturatif adalah bagian dari suatu bahasan yang sangat luas tentang keberhasilan Islamisasi di kawasan ini.

Di luar faktor esoteris, pendekatan yang bijak dan akulturatif, kita juga perlu melihat dari sisi eksoteris, berubahnya iklim politik di kawasan ini yang menyebabkan terbentuknya kondisi yang kondusif bagi proses Islamisasi, pudarnya hegemoni kekuasaan yang menopang eksistensi agama sebelumnya, Hindu dan Budha. Adanya momen runtuhnya pamor politik Kerajaan Majapahit yang sebelumnya mendominasi kawasan.

Di satu sisi, ada sebuah argumentasi bahwa proses Islamisasi berlangsung secara damai dan tanpa konflik. Tetapi di sisi lain ada yang menggugat kesucian proses Islamisasi di kawasan ini, bahwa Islamisasi berlangsung dalan proses yang berdarah-darah dan penuh pengkhianatan. Baiklah kita menempatkan sikap realistis dan obyektifitas, menempatkan sisi esoteris dan eksoteris secara proporsional, tanpa menafikkan gesekan yang terjadi maupun fakta empiris pada peralihan serentak yang tidak mungkin berlangsung kecuali dilakukan secara damai.

Walisongo dalam Konteks Kekinian

De-islamisasi dilihat dalam perspektif Islamisasi di Asia Tenggara, sebuah pertanyaan apakah entitas Islam di kawasan ini akan berakhir sebagaimana ia bermula, dan bagaimana prosesnya. Serta dapatkah proses itu dicegah, dan apa yang harus dilakukan oleh muslim di kawasan ini untuk terus mempertahankan eksistensinya. Mempertahankan kebesaran sebuah peradaban seringkali lebih sulit dari menaklukkan peradaban besar.

Di antara berbagai kepentingan yang beragam, sebagaimana Hindu, Budha dan Islam, yang pernah dan atau sedang eksis di kawasan ini, akan melahirkan sudut pandang dalam perspektif masing-masing. Misalnya apakah agama yang datang belakangan, seperti agama Nasrani yang telah berabad-abad berusaha masuk di kawasan ini, bahkan ditopang kekuasaan kolonialis yang yang sangat dominan, ditopang gerakan misionaris yang profesional, serta didukung kondisi global dan regional, tetapi sejauh ini agama Nasrani tetap merupakan minoritas yang hnya dianut sebagian kecil penduduk kawasan ini, dapatkah ia menciptakan suatu kondisi yang bisa membuat Nasrani menjadi mayoritas dalam waktu singkat? Atau apakah ada kemungkinan agama Hindu dan Budha dapat kembali menjadi mainstream di kawasan ini?

Atau dari dinamika internal umat Islam sendiri, apakah paham seperti Syiah yang selama berabad-abad tidak bisa menjadi mainstream, akan bisa mengambil alih posisi Suni di kawasan ini dalam waktu singkat? Atau apakah dominasi paham keagamaan seperti NU di kawasan ini akan diambil alih oleh paham keagamaan yang selama ini hanya menjadi minoritas, di mana yang kini hanya dianut segelintir orang yang tidak mengakar kemudian keadaan bisa berbalik?

Zaman telah dan terus akan berubah, bahkan seringkali berlangsung begitu cepat tanpa terprediksi. Benturan dan persaingan berbagai ideologi dan pemikiran terus berlangsung, apalagi dalam era globalisasi. Tidak ada tempat yang aman bagi entitas atau peradaban apapun untuk beristirahat dan terhindar dari marabahaya, termasuk bagi entitas Islam di Asia Tenggara ini.

Sebuah pertanyaan kunci bagi suatu ideologi dan peradaban yang ingin menaklukkan kawasan ini, bagaimana mengulang sejarah, menciptakan suatu kondisi kondusif yang memungkinkannya menguasai kawasan, melalui upaya sistematis dan terukur dalam berbagai bidang, terutama secara politik yang seringkali strategis menjadi penentu kejatuhan dan kejayaan suatu ideologi dan peradaban. Upaya apa yang harus ditempuh untuk menyiapkan kondisi tersebut agar bisa terwujud?

Kejayaan, kejatuhan dan ajal suatu peradaban sudah merupakan sunatullah, ia terus dipergilirkan. Tetapi terlepas dari semua itu, ia bukan hanya proses alamiah belaka, ada arsitek-arsitek brilian yang menyuplai ide, merencanakan, mendisain dan mengendalikan aksi secara sistematis untuk menghancurkan suatu peradaban dan membangun peradaban baru.

Islamisasi, De-islamisasi Asia Tenggara, suatu Kesamaan Indikasi

Asia Tenggara dilihat dari sisi geopolitik memang memiliki keunikan. Pengaruh hegemoni kejayaan Islam yang menjadi kekuatan super power dunia sejak masa Umayah maupun Abasiyah tidak bisa menembus kawasan ini. Islam eksis di kawasan ini justru pada masa-masa menjelang akhir kejayaan dunia Islam, saat dimulainya kolonialisme Barat. Ketika Islam di berbagai kawasan lain memudar, Islam di kawasan ini justru baru bisa eksis.

Islam tumbuh di bawah kejaran bayang-bayang kolonialisme. Islam yang baru saja tumbuh, sudah harus berhadapan dengan kolonialisme Barat yang hadir ke kawasan ini. Akan tetapi, kolonialisme yang mencengkeram secara kukuh dan memberikan tekanan hebat dalam rentang masa yang lama, tidak menggoyahkan keberadaan Islam yang terus berproses mengakar, ini menjadi keunikan dari karakter Islam di kawasan ini.

Kemerdekaan Indonesia, meski bisa dikatakan sebuah kemerdekaan yang belum sempurna, terutama baru pada sebagian aspek-aspek fisik, tentunya menghadirkan sebuah fase yang berbeda bagi eksistensi Islam di kawasan ini. Pasca kemerdekaan, ada indikasi eksistensi Islam di negeri ini terus menurun, dari sisi yang jelas bisa diukur seperti prosentase pemeluknya dan pertumbuhan tempat ibadah, maupun dari sisi kualitatif. Di negara ini, umat Islam yang secara kuantitas merupakan mayoritas semakin menempati posisi marjinal dalam berbagai bidang, baik politik, birokrasi, ekonomi dan sebagainya. Jika eksistensi Islam tak tergoyahkan oleh cengkeraman kolonialisme, ia terus bisa mengobarkan perlawanan, apakah eksistensi Islam justru akan runtuh pasca kemerdekaan ini?

Berbagai indikasi memang membutuhkan kewaspadaan segenap umat Islam di negeri ini. Memperhatikan suasana menjelang Islamisasi pada era Walisongo, ada beberapa indikasi yang bisa menjadi warning bahwa kita saat ini sedang menjelang sebuah proses de-islamisasi serupa.

Pada masa tersebut, meskipun pemeluk agama Islam sangat sedikit, tetapi ia merupakan minoritas kreatif. Pemeluk Islam adalah identik dengan elit dan mindset superior. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses internasional. Secara ekonomi mereka adalah tuan dan majikan, dan secara spirit intelektual juga demikian. Islam adalah sebuah kekuatan baru yang segar, antitesis dari Majapahit yang tua, letih dan jenuh, terbelit berbagai kepentingan dan persoalan. Dan kondisi Indonesia saat ini bagi umat Islam bisa dikatakan sebaliknya, terkepung berbagai persoalan dan kepentingan, mengarah de-islamisasi?

Peradaban Emas Hijau, Konsekwensi dan Tantangan Krusial

Posisi geografis Asia Tenggara sedang berada pada titik kritis menghadapi masa-masa krusial. Dunia kita sedang berada pada era menghabiskan energi fosil yang tak terbarukan, peradaban emas hitam. Dunia sedang berpikir sumber energi alternatif pasca habisnya persediaan energi fosil. Alternatif yang saat ini dipandang realistis adalah sumber energi nabati yang terbarukan.

Asia Tenggara dengan sumber daya iklimnya, iklim tropis yang menghasilkan energi nabati, tentunya sangat menarik minat peradaban-peradaban lain untuk memperebutkan dan menguasainya. Mau tidak mau, kawasan ini seperti berada pada ujung tanduk, harus menghadapi benturan dahsyat di antara kompetisi berbagai peradaban dunia. Sekaligus adanya resiko harus menghadapi nafsu angkara kekuasaan yang berupaya mencengkeram dan menguasai dunia, brada pada pertarungan hidup dan mati.

Kolonialisme dengan nafsu angkaranya telah dan sedang mengeksploitasi dunia, termasuk negeri kita ini. Islam pernah menjaga negeri ini menghadapi para penjajah yang bernafsu menaklukkan dan mengeksploitasinya. Dan mungkin karena spirit perlawanan inilah Islam justru eksis di negeri ini. Islam adalah simbol menghadapi penjajah dan dan kedzaliman yang menindas bangsa ini. Islam mengakar bersama perlawanan dan penderitaan bangsa ini melawan penjajah.

Kolonialisme kemudian datang dalam bentuk yang baru, penjajahan non-fisik pada era ghazwul fikri. Penjajahan fisik resisten membangkitkan perlawanan, sedang penjajahan non-fisik justru sebaliknya, meninabobokan dan melenakan.

Islam datang ke berbagai negeri dan relatif tanpa mendapat predikat sebagai penjajah sebagaimana kolonialisme bangsa Eropa. Islam sempat hadir di Andalusia bukan mengeksploitasi, tetapi membebaskannya dan membangun sebuah kemajuan peradaban. Termasuk Islam datang ke negeri ini tanpa kita merasa terjajah oleh Islam atau Arab. Kita pernah menjadi bagian dari Turki Utsmani tanpa kita merasa terjajah dan tereksploitasi.

Kita bangga dengan keberadaan Laksamana Cheng Ho yang menjelajah dunia dengan spirit persahabatan, bukan spirit menjajah. Kita bersyukur, Islam datang ke Benua Amerika bukan memusnahkan bangsanya tetapi mentransfer dakwah dan ilmu pengetahuan. Islam datang ke Benua Afrika untuk mencerahkannya dengan dakwah bukan memperbudaknya.

Islam memiliki spirit berbagi dan menebar rahmat bukan menaklukkan, spirit mentransfer ilmu pengetahuan, persaudaraan dan dakwah bukan mengeksploitasi. Dalam konteks menghadapi neo-kolonialisme, tugas tersebut dipikulkan di pundak umat ini. Agar umat Islam tetap memiliki spirit perjuangan dengan sebenarnya, sehingga eksistensi Islam ini tetap hidup. Dan jika umat ini memiliki mental inlander, memiliki mindset inferior, bukan tidak mungkin entitas Islam ini akan berakhir, tragis!

http://www.dakwatuna.com/2015/05/09/68380/islam-nusantara-di-ujung-tanduk/

Rabu, 06 Mei 2015

Untuk Dakwah ini, untuk Umat ini

Dengan keterbatasan kita menapaki jalan dakwah ini, menyeru kepada dinul Islam ini, untuk meninggikannya, mengajak umat manusia untuk kemuliaannya. Namun harus berhadapan dengan segala tantangan dan problematikannya. Hingga seperti seseorang yang tak berdaya berhadapan dengan peliknya dunia. Tertimpa berbagai tipu daya dan kedzaliman, menghadapi tantangan yang serasa berada di luar kemampuan, bahkan tak lagi dimengerti. Bahkan juga harus menyaksikan kedzaliman menimpa saudara-saudara kita, tanpa kita bisa berbuat apa-apa.

Kesulitan hidup sebenarnya ada di mana-mana, dari urusan pribadi, keluarga, tak terkecuali juga urusan dakwah ini. Lebih terasa bagi mereka yang pernah merasakannya langsung, pernah mengalami cobaan dan kesulitan yang tak kunjung terselesaikan, mengerti rasanya tatkala harus menempuh kesabaran panjang, hingga mendapatkan kebahagiaan ketika pintu terbuka, menjadi jalan keluar yang mengakhiri kesulitannya.

Mereka yang sakit tak kunjung sembuh, pekerjaan yang tak kunjung didapatkan, jodoh yang tak kunjung tiba, terlilit hutang yang tak mampu terbayarkan dan sebagainya. Dakwah ini juga serasa demikian, saat sedang berada dalam kesulitan, penantiannya dan pengharapannya, berharap terwujudnya tujuan dakwah yang diimpikan.

Banyak di antara kita yang tertimpa cobaan, berbagai doa dan ikhtiar serasa amat melelahkan, telah menempuh berbagai upaya, tetapi selalu berujung pada jalan buntu. Saat-saat seperti hampir putus asa, akhirnya ada jalan keluar, mendapatkan solusi dari arah yang tak disangka-sangka, setelah mereka mempersembahkan sebuah amal teristimewa, seperti sedekah yang amat ikhlas. Sepertinya tak masuk akal, tetapi amal tersebut ternyata manjadi wasilah bagi datangnya pertolongan Allah.

Hajat kita terhadap dakwah ini, kesulitan dan cobaan yang menimpanya, semestinya lebih dari hajat kita yang lain. Kerisauan, kepedulian dan kebutuhan kita akan dakwah ini, semestinya lebih besar dari kerisauan kita terhadap cobaan terberat yang pernah menimpa kehidupan duniawi kita. Buah kebaikan dakwah ini adalah kebaikan untuk kita sendiri, ia lebih langgeng, bahkan juga akan menjadi kebaikan untuk segenap umat ini.
Untuk dakwah ini, kesulitan dan cobaan yang menimpanya, pernahkah kita terpikir untuk mempersembahkan amal terbaik, agar dakwah ini dimudahkan dan dikuatkan. Misalnya kita mempersembahkan sebuah sedekah terbaik untuk mengharap datangnya pertolongan bagi dakwah ini.

Tak terbatas sedekah saja, semua amal kebajikan dari yang kita mampu, seremeh menyingkirkan duri dari jalan, memberi minum anjing yang kehausan, membantu kesulitan orang lain, memberi tempat duduk orang lanjut, menyeberangkan jalan, menyingkirkan sampah, serta kebajikan apa saja. Sekecil apapun kesempatan untuk kita bisa berbuat baik, manfaatkan sebaik-baiknya, lakukan setulusnya. Agar kebajikan tersebut menjadi batu pijakan bagi datangnya rahmat dan pertolongan-Nya yang lebih besar, bagi dakwah ini.

Saudaraku, apapun kebajikan yang Allah mampukan untuk kita, baiklah kita jadikan wasilah bagi kemudahan dakwah ini dari kesulitan yang menimpanya. Amal-amal yang tak seberapa, apalagi yang terlahir dari kekurangan dan keterbatasan, yang terlahir dari lubuk hati yang paling tulus, kita persembahkan untuk mengharap rahmat-Nya yang tiada tara, untuk kemenangan dakwah yang kita nantikan selama ini.

Saudaraku, baik kalian yang dikaruniai kelapangan untuk beramal maupun yang berada dalam keterbatasan, kalian yang sedang tertimpa kedzaliman dan lemah teraniaya, atau yang sedang menjalani kesulitan dan cobaan hidup, yang sedang berada pada tempat dan waktu yang mustajab, jadikan setiap amal terbaik yang mampu dilakukan sebagai wasilah untuk memohon pertolongan bagi dakwah ini.

Mohonkan pertolongan untuk mereka yang berada di garis depan dakwah ini, mengorbankan jiwa raga dan memiliki keteguhan melebihi kita. Untuk mereka yang sedang menjalani penderitaan dan kedzaliman, terusir, tertimpa peperangan dan berada dalam penindasan. Untuk mereka yang memiliki cita dan azam terhadap dien ini. Agar Allah menguatkan mereka, menjadi penolong bagi kita dan umat ini.

Berharap sirnanya kejahiliyahan, cahaya dinul Islam menjadi terang benderang menyinari segenap penjuru dunia, tegaknya sunah, serta sempurnanya kemuliaan bagi para ghuraba, menjadi pelipur lara bagi mereka yang telah menanggung kesabaran, mengganti kesempitan dengan kelapangan, dengan sepenuhnya kepasrahan. Berharap masa yang penuh fitnah ini sirna, agar kita lebih mudah lagi dalam menjalankan dinul Islam ini.

Untuk terwujudnya suatu kondisi yang kondusif, sehingga lebih banyak lagi saudara kita yang terselamatkan, lebih banyak lagi yang mengenal dien ini. Saudara-saudara kita, teman-teman kita, yang belum mengenal dinul Islam ini, sedang mereka banyak berbuat kebaikan pada kita, mereka yang sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi baik, agar bisa terengkuh dalam kebersamaan dalam dien ini, menikmati keindahan Islam ini bersama, membalas kebaikan mereka, menyempurnakan kebaikan yang telah mereka lakukan dengan dinul Islam ini.

Agar dunia yang penuh dengan kedzhaliman, berganti dengan keadilan dan kedamaian. Ditampakkan mutiara Islam, tersibak fitnah yang menghalanginya selama ini. Menepis kekhawatiran atas fitnah yang dahsyat di akhir zaman ini, keadaan dunia yang melampaui batas, dari mereka yang bermaksud memadamkan cahaya dinul Islam ini, menghalangi manusia dari jalan Allah.

‘Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.’ (Yusuf: 110)

***

Ya Allah, jadikan tipu daya dan kedzaliman yang menimpa kami sebagai tambahan pertolongan bagi kami, mendekatkan kami pada apa yang Engkau janjikan dan senantiasa menjadi pelipur lara di antara duka dan kepedihan kami, tegaknya dinul Islam ini pada semua tempat yang ada timur dan baratnya.

Ya Allah, semoga amal yang tak seberapa ini, menjadi pengundang datangnya karunia dan rahmat-Mu yang tiada tara, untuk menutup kekurangan kami, menepis kekhawatiran kami dan menguatkan kelemahan kami. Jadikan kelemahan kami membuat kami lebih bersandar kepada-Mu, dan lebih mengerti akan kesulitan saudara-saudara kami.

Ya Allah, di antara takdir dan fase yang harus kami lalui di jalan dakwah ini, iradah-Mu, rahasia dan hikmahnya, kemenangan dan kekalahannya, kejayaan dan keterpurukannya, tetapkanlah kami dalam kesabaran di dalamnya. Jika Engkau menetapkan kami dalam kekalahan dan keterpurukan dakwah ini, kami yakin tak sedikit pun akan mengurangi kekuasaan-Mu, juga tak sedikit pun mengurangi kemuliaan dakwah ini, ia tetap menjadi simpanan untuk kami kelak. Namun jika Engkau menganugerahkan kemenangan kepada kami sebagaimana yang Engkau janjikan, niscaya akan menjadi karunia yang amat berarti bagi kami.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (Dakwatuna)