Harian suara merdeka cetak Tanggal
13 April 2013 memuat artikel yang berjudul "Tahlilan Politik PKS"
yang ditulis oleh Dr H Abu Rokhmad MA, pengamat politik Islam, dosen
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Benarkah tahlilan yang dilakukan pimpinan
PKS semata-mata hanya untuk menarik simpati warga NU menjelang pemilu, sedang
paham keagamaan yang dianut PKS sebenarnya sangat tajam dalam menyerang dan
membi’dah-bid’ahkan amaliah warga NU?
Menjelang Pemilu/Pilkada/Pilkades
kandidat yang dulunya pelit saja bisa berubah dermawan, apalagi yang memang
dari dulu sudah dermawan. Kandidat yang memiliki sikap fanatik begitu kuat bisa
lebih cair, apalagi yang memang dari dulu sikapnya terbuka. Partai-partai
nasionalis mengusung even dan simbol keagamaan untuk mendekati pemilih muslim,
sedangn partai-partai berbasis masa Islam lebih mengusung pluralitas untuk
mendekati kalangan nasionalis dan non-muslim.
Sejauh yang saya ketahui, paham
keagamaan yang dianut PKS sejak awalnya, bahkan sejak sebelum menjadi partai
adalah inspirasi dari Jamaah Ikhwanul Muslimin yang mengutamakan pendekatan dan
toleransi antar madzhab. Sebagaimana yang diajarkan Imam Hasan al Banna agar
saling bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan saling memaafkan dalam
perkara yang diperselisihkan. Beliau mengajarkan dalam menyikapi adanya
khilafiyah dalam tubuh umat ini hendaknya kita tidak dalam posisi memperuncing.
Beliau mengajarkan untuk menyelesaikan persoalan sesama umat ini dengan cara
yang sebaik mungkin, tidak dengan cara yang kasar sehingga menimbulkan
persoalan lain yang lebih buruk.
Tidak bisa dipungkiri situasi di
antara umat ini sering diwarnai dengan berbagai gesekan, silang pendapat,
hingga cacian, dan saling menghujat menyikapi perbedaan yang ada. Namun ustadz-ustadz
di PKS lebih mengajarkan untuk bersikap toleran menghadapi perbedaan di antara
umat, baik dalam forum internal kader maupun dalam forum di masyarakat umum.
Tidak mengedepankan masalah-masalah khilafiyah tetapi mengedepankan hal-hal
yang berkaitan dengan keumatan secara umum. Menyampaikan segala sesuatu dengan
santun, menyejukkan dan penuh kehati-hatian. Sehingga dalam majalah, buku,
website, dan berbagai media lain dalam lingkungan PKS senantiasa mengedepankan
hal keumatan secara umum, dan bila bersinggungan dengan permasalahan khilafiyah
senantiasa menyajikan dalam sudut pandang berbagai madzhab dengan lebih
berimbang.
Paham keagamaan yang dianut
IM/PKS yang terbuka dan ketika berinteraksi dengan ruang waktu yang luas,
menghadapi beragam situasi yang berbeda, menjadikan corak jamaah ini begitu
luas. Latar belakang PKS berasal dari berbagai unsur baik itu Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Persis, atau yang murni didikan Tarbiyah. Tidak bisa dipungkiri
ada sisi-sisi Salafi/Wahabi dalam tubuh PKS sebagaimana juga ada sisi-sisi PKS
yang dekat dengan NU, karena bagaimanapun PKS tersusun atas individu-individu
dengan beragam pemahaman masing-masing. Namun secara umum sisi PKS yang dekat
dengan Salafy/Muhammadiyah memiliki corak lebih toleran menghadapi khilafiyah
dengan kalangan Nahdliyin, demikian pula sisi PKS yang dekat dengan NU memiliki
corak yang lebih toleran dan terbuka terhadap kalangan Salafy.
Sebuah contoh yang paling dekat
dengan kita adalah keberadaan sosok Ibu Aisyah Dahlan dalam perkembangan PKS di
kota ini sejak awalnya. Jika PKS adalah kumpulan orang yang kasar, keras, suka
membid’ah-bid’ahkan, menyerang ritual-ritual amaliah NU, maka tidak mungkin
sosok Aisyah Dahlan yang merupakan anak dari KH Dahlan Salim Zarkasyi, penemu
metode Qira’ati ini nyaman berada di PKS bahkan sejak jauh sebelum menjadi
partai. Cobalah kita jujur menilai apakah sosok seperti Mas Ari Purbono dan
ustadz-ustadz PKS di kota ini dalam menyampaikan ceramah atau khutbah bersuara
kasar atau keras di atas mimbar?
Banyak Kyai, Habaib dari kalangan
Nahdlatul Ulama yang masuk di PKS tanpa kehilangan hubungan baik dengan
komunitasnya di NU.
Artikelnya sebagai berikut,
sebagaimana dikutip dari http://budisansblog.blogspot.com/2013/04/tahlil-politik-pks.html
Tahlil Politik PKS
Abu Rokhmad ; Pengamat Politik
Islam, Dosen Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang
|
|
SUARA MERDEKA, 13 April
2013
Gebrakan politik PKS menjelang Pilgub Jateng 2013 dan Pemilu 2014
menarik dikaji. Sejak skandal korupsi menimpa mantan pimpinan puncak, PKS
kini di bawah kendali anak muda yang progresif dan tidak tabu untuk
melawan kebekuan.
Presiden PKS ikut tahlilan ketika ziarah di makam Sunan Kalijaga. Selain
itu, Anis Matta bertemu sejumlah kiai di Semarang dan Salatiga. Bagi
publik yang memahami kultur keagamaan PKS, tindakan Anis sejatinya
melanggar doktrin ”akidah” partai, yang seharusnya tidak boleh (haram)
dikerjakan.
Langkah politik itu tentu sudah dipikirkan secara matang. Apabila tetap
setia dengan kultur akidah tersebut dan terus menyerang ritual komunitas
Islam dengan cap bid'ah dan syirik maka PKS tidak mungkin tumbuh lebih
besar. Serangan PKS tentang ritual tahlilan nahdliyin misalnya, hanya
membuat elektabilitas partai ini stagnan.
Sebaliknya, dengan ikut ziarah dan entah membaca tahlil atau tidak, Anis
sudah pasti mendapat poin positif pada mata warga NU. Minimal nahdliyin
punya pandangan baru bahwa PKS ternyata tidak antitahlil. Sekalipun
tahlil yang dilakukan Anis adalah tahlil politik.
Dalam sejarah, kader PKS atau yang sehaluan pernah menyerang ritual
ziarah kubur, tahlilan, yasinan, dan manakiban sebagai perilaku bid'ah
yang menyesatkan. Seruan ini sistematis dan organisatoris.
Figur kiai juga mereka anggap tidak lebih dari penganjur amalan bid'ah,
berbau klenik, dan jauh dari sosok suci. Karena itu, sebagai partai Islam
ia tidak memiliki kiai. PKS memilih sebutan ustaz untuk tokoh anutan
mereka karena mungkin tampak lebih Islami atau Arab.
Jadi, nahdliyin adalah ”musuh utama” PKS secara akidah. Mengapa? Karena
nahdliyin mengamalkan ritual bid'ah dan mengagungkan figur kiai. Mazhab
keagamaan PKS Wahabi-Salafi. Mentor utama adalah Sayyid Qutb dan Hasan
al-Banna. Ikhwanul Muslim menjadi eksemplar ideal gerakan politiknya.
Akidah partai itu tidak menoleransi tahlilan dan sejenisnya.
Sebaliknya, nahdliyin memandang curiga PKS. Bagi nahdliyin, PKS tidak
sekadar partai tetapi makhluk jelmaan dari padang pasir yang kurang
mengenal unggah-ungguh dengan kebudayaan dan merasa paling Islam. Karena
itu, hubungan antara nahdliyin dan PKS saling menafikan, sekalipun sebagian
besar kader PKS adalah nahdliyin.
Basis massa PKS adalah muslim kota (sekalipun sekarang pemilih partai itu
dari desa mulai banyak), berpendidikan tinggi, pegawai kantoran, dan
berkultur Islam modernis. Pemilih nasionalis dan abangan tak bakal melirik
PKS karena takut terhadap cita-cita politiknya. Satu-satunya harapan PKS
untuk menambah tabungan suara adalah pemilih kampung yang nahdliyin.
Namun bila PKS sudah puas pada level partai medioker, konstituen
nahdliyin bisa saja dilupakan.
Sekat Mazhab
PKS tidak mungkin bertambah besar kalau masih menggunakan pendekatan
ofensif soal keyakinan agama masyarakat. Alih-alih dipilih pada pemilu
nanti, mendengar nama PKS disebut saja banyak yang alergi. Bagi muslim
santri pedesaan, cara politik PKS menarik pemilih sangat menyakitkan.
Karena itu, partai itu cocok dengan rasa keagamaan muslim kota yang
rasional, instan, dan kering dari spiritualitas.
Sektarianisme itu ditunjukkan dengan persetujuannya menegakkan syariat
Islam, berempati kepada kelompok Islam garis keras, dan menyerang ritual
Islam yang berbeda mazhab. Dengan cara demikian, PKS melawan logika
berpolitik. Tiap partai harus menjadikan konstituen sebagai raja. Yang
tidak ada pun, harus diadakan guna menyenangkan konstituen. Kalau perlu,
partai memenuhi seluruh keinginan konstituen.
Namun hal ini tidak terjadi di PKS. Kader-kader PKS acap bersuara keras
di atas mimbar sehingga membuat konstitutenmenjauh. Inilah logika politik
dakwah yang sulit diterima akal.
Jika ingin menjadi partai tiga besar, PKS tidak mungkin lagi mengandalkan
basis massa muslim perkotaan. Partai ini harus menembus sekat-sekat
mazhab dan menghilangkan masalah khilafiyah di kalangan konstituen.
Apabila hal ini bisa dilaksanakan maka konstituen dari semua kalangan dapat
berteduh nyaman di dalamnya. Lebih-lebih kader PKS diakui sangat fasih
berbahasa agama dan orang kampung sangat respek kepada tokoh jenis ini.
Langkah Anis Matta berziarah dan bertemu dengan kiai kampung merupakan
pilihan cerdas untuk membesarkan partai. Dengan bahasa agama yang fasih,
PKS sangat mudah meraih simpati nahdliyin. Lebih-lebih bila kader
PKS mau menfasilitasi dan mengikuti ritual-ritual yang biasa dilakukan
oleh nahdliyin, seperti yasinan, tahlilan, dan manakiban maka PKS dengan
sendirinya akan menjadi ”nahdliyin”.
Lebih mudah PKS menjadi nahdliyyin daripada mem-PKS-kan nahdliyin. Sebab
bagi nahdliyin, tahlilan dan yasinan itu harga mati. Pilihan terakhir
sangat berat bagi PKS karena bisa selamanya dimusuhi oleh nahdliyin.
Dilema antara akidah dan suara mesti diselesaikan dalam internal partai.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar