Selasa, 28 Mei 2013

Menyoal Tahlilan Politik PKS


Harian suara merdeka cetak Tanggal 13 April 2013 memuat artikel yang berjudul "Tahlilan Politik PKS" yang ditulis oleh Dr H Abu Rokhmad MA, pengamat politik Islam, dosen Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Benarkah tahlilan yang dilakukan pimpinan PKS semata-mata hanya untuk menarik simpati warga NU menjelang pemilu, sedang paham keagamaan yang dianut PKS sebenarnya sangat tajam dalam menyerang dan membi’dah-bid’ahkan amaliah warga NU?

Menjelang Pemilu/Pilkada/Pilkades kandidat yang dulunya pelit saja bisa berubah dermawan, apalagi yang memang dari dulu sudah dermawan. Kandidat yang memiliki sikap fanatik begitu kuat bisa lebih cair, apalagi yang memang dari dulu sikapnya terbuka. Partai-partai nasionalis mengusung even dan simbol keagamaan untuk mendekati pemilih muslim, sedangn partai-partai berbasis masa Islam lebih mengusung pluralitas untuk mendekati kalangan nasionalis dan non-muslim.

Sejauh yang saya ketahui, paham keagamaan yang dianut PKS sejak awalnya, bahkan sejak sebelum menjadi partai adalah inspirasi dari Jamaah Ikhwanul Muslimin yang mengutamakan pendekatan dan toleransi antar madzhab. Sebagaimana yang diajarkan Imam Hasan al Banna agar saling bekerjasama dalam perkara yang disepakati dan saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan. Beliau mengajarkan dalam menyikapi adanya khilafiyah dalam tubuh umat ini hendaknya kita tidak dalam posisi memperuncing. Beliau mengajarkan untuk menyelesaikan persoalan sesama umat ini dengan cara yang sebaik mungkin, tidak dengan cara yang kasar sehingga menimbulkan persoalan lain yang lebih buruk.

Tidak bisa dipungkiri situasi di antara umat ini sering diwarnai dengan berbagai gesekan, silang pendapat, hingga cacian, dan saling menghujat menyikapi perbedaan yang ada. Namun ustadz-ustadz di PKS lebih mengajarkan untuk bersikap toleran menghadapi perbedaan di antara umat, baik dalam forum internal kader maupun dalam forum di masyarakat umum. Tidak mengedepankan masalah-masalah khilafiyah tetapi mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan keumatan secara umum. Menyampaikan segala sesuatu dengan santun, menyejukkan dan penuh kehati-hatian. Sehingga dalam majalah, buku, website, dan berbagai media lain dalam lingkungan PKS senantiasa mengedepankan hal keumatan secara umum, dan bila bersinggungan dengan permasalahan khilafiyah senantiasa menyajikan dalam sudut pandang berbagai madzhab dengan lebih berimbang.

Paham keagamaan yang dianut IM/PKS yang terbuka dan ketika berinteraksi dengan ruang waktu yang luas, menghadapi beragam situasi yang berbeda, menjadikan corak jamaah ini begitu luas. Latar belakang PKS berasal dari berbagai unsur baik itu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, atau yang murni didikan Tarbiyah. Tidak bisa dipungkiri ada sisi-sisi Salafi/Wahabi dalam tubuh PKS sebagaimana juga ada sisi-sisi PKS yang dekat dengan NU, karena bagaimanapun PKS tersusun atas individu-individu dengan beragam pemahaman masing-masing. Namun secara umum sisi PKS yang dekat dengan Salafy/Muhammadiyah memiliki corak lebih toleran menghadapi khilafiyah dengan kalangan Nahdliyin, demikian pula sisi PKS yang dekat dengan NU memiliki corak yang lebih toleran dan terbuka terhadap kalangan Salafy.

Sebuah contoh yang paling dekat dengan kita adalah keberadaan sosok Ibu Aisyah Dahlan dalam perkembangan PKS di kota ini sejak awalnya. Jika PKS adalah kumpulan orang yang kasar, keras, suka membid’ah-bid’ahkan, menyerang ritual-ritual amaliah NU, maka tidak mungkin sosok Aisyah Dahlan yang merupakan anak dari KH Dahlan Salim Zarkasyi, penemu metode Qira’ati ini nyaman berada di PKS bahkan sejak jauh sebelum menjadi partai. Cobalah kita jujur menilai apakah sosok seperti Mas Ari Purbono dan ustadz-ustadz PKS di kota ini dalam menyampaikan ceramah atau khutbah bersuara kasar atau keras di atas mimbar?

Banyak Kyai, Habaib dari kalangan Nahdlatul Ulama yang masuk di PKS tanpa kehilangan hubungan baik dengan komunitasnya di NU.

Artikelnya sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari http://budisansblog.blogspot.com/2013/04/tahlil-politik-pks.html

Tahlil Politik PKS
Abu Rokhmad  ;  Pengamat Politik Islam, Dosen Pascasarjana
IAIN Walisongo Semarang  
SUARA MERDEKA, 13 April 2013

  
Gebrakan politik PKS menjelang Pilgub Jateng 2013 dan Pemilu 2014 menarik dikaji. Sejak skandal korupsi menimpa mantan pimpinan puncak, PKS kini di bawah kendali anak muda yang progresif dan tidak tabu untuk melawan kebekuan.
Presiden PKS ikut tahlilan ketika ziarah di makam Sunan Kalijaga. Selain itu, Anis Matta bertemu sejumlah kiai di Semarang dan Salatiga. Bagi publik yang memahami kultur keagamaan PKS, tindakan Anis sejatinya melanggar doktrin ”akidah” partai, yang seharusnya tidak boleh (haram) dikerjakan.

Langkah politik itu tentu sudah dipikirkan secara matang. Apabila tetap setia dengan kultur akidah tersebut dan terus menyerang ritual komunitas Islam dengan cap bid'ah dan syirik maka PKS tidak mungkin tumbuh lebih besar. Serangan PKS tentang ritual tahlilan nahdliyin misalnya, hanya membuat elektabilitas partai ini stagnan.

Sebaliknya, dengan ikut ziarah dan entah membaca tahlil atau tidak, Anis sudah pasti mendapat poin positif pada mata warga NU. Minimal nahdliyin punya pandangan baru bahwa PKS ternyata tidak antitahlil. Sekalipun tahlil yang dilakukan Anis adalah tahlil politik. 

Dalam sejarah, kader PKS atau yang sehaluan pernah  menyerang ritual ziarah kubur, tahlilan, yasinan, dan manakiban sebagai perilaku bid'ah yang menyesatkan. Seruan ini sistematis dan organisatoris.

Figur kiai juga mereka anggap tidak lebih dari penganjur amalan bid'ah, berbau klenik, dan jauh dari sosok suci. Karena itu, sebagai partai Islam ia tidak memiliki kiai. PKS memilih sebutan ustaz untuk tokoh anutan mereka karena mungkin tampak lebih Islami atau Arab.

Jadi, nahdliyin adalah ”musuh utama” PKS secara akidah. Mengapa? Karena nahdliyin mengamalkan ritual bid'ah dan mengagungkan figur kiai. Mazhab keagamaan PKS Wahabi-Salafi. Mentor utama adalah Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna. Ikhwanul Muslim menjadi eksemplar ideal gerakan politiknya. Akidah partai itu tidak menoleransi tahlilan dan sejenisnya.

Sebaliknya, nahdliyin memandang curiga PKS. Bagi nahdliyin, PKS tidak sekadar partai tetapi makhluk jelmaan dari padang pasir yang kurang mengenal unggah-ungguh dengan kebudayaan dan merasa paling Islam. Karena itu, hubungan antara nahdliyin dan PKS saling menafikan, sekalipun sebagian besar kader PKS adalah nahdliyin.

Basis massa PKS adalah muslim kota (sekalipun sekarang pemilih partai itu dari desa mulai banyak), berpendidikan tinggi, pegawai kantoran, dan berkultur Islam modernis. Pemilih nasionalis dan abangan tak bakal melirik PKS karena takut terhadap cita-cita politiknya. Satu-satunya harapan PKS untuk menambah tabungan suara adalah pemilih kampung yang nahdliyin. Namun bila PKS sudah puas pada level partai medioker, konstituen nahdliyin bisa saja dilupakan.  

Sekat Mazhab


PKS tidak mungkin bertambah besar kalau masih menggunakan pendekatan ofensif soal keyakinan agama masyarakat. Alih-alih dipilih pada pemilu nanti, mendengar nama PKS disebut saja banyak yang alergi. Bagi muslim santri pedesaan, cara politik PKS menarik pemilih sangat menyakitkan. Karena itu, partai itu cocok dengan rasa keagamaan muslim kota yang rasional, instan, dan kering dari spiritualitas.

Sektarianisme itu ditunjukkan dengan persetujuannya menegakkan syariat Islam, berempati kepada kelompok Islam garis keras, dan menyerang ritual Islam yang berbeda mazhab. Dengan cara demikian, PKS melawan logika berpolitik. Tiap partai harus menjadikan konstituen sebagai raja. Yang tidak ada pun, harus diadakan guna menyenangkan konstituen. Kalau perlu, partai memenuhi seluruh keinginan konstituen.

Namun hal ini tidak terjadi di PKS. Kader-kader PKS acap bersuara keras di atas mimbar sehingga membuat konstitutenmenjauh. Inilah logika politik dakwah yang sulit diterima akal.

Jika ingin menjadi partai tiga besar, PKS tidak mungkin lagi mengandalkan basis massa muslim perkotaan. Partai ini harus menembus sekat-sekat mazhab dan menghilangkan masalah khilafiyah di kalangan konstituen.

Apabila hal ini bisa dilaksanakan maka konstituen dari semua kalangan dapat berteduh nyaman di dalamnya. Lebih-lebih kader PKS diakui sangat fasih berbahasa agama dan orang kampung sangat respek kepada tokoh jenis ini.

Langkah Anis Matta berziarah dan bertemu dengan kiai kampung merupakan pilihan cerdas untuk membesarkan partai. Dengan bahasa agama yang fasih, PKS sangat mudah meraih simpati  nahdliyin. Lebih-lebih bila kader PKS mau menfasilitasi dan mengikuti ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh nahdliyin, seperti yasinan, tahlilan, dan manakiban maka PKS dengan sendirinya akan menjadi ”nahdliyin”.

Lebih mudah PKS menjadi nahdliyyin daripada mem-PKS-kan nahdliyin. Sebab bagi nahdliyin, tahlilan dan yasinan itu harga mati. Pilihan terakhir sangat berat bagi PKS karena bisa selamanya dimusuhi oleh nahdliyin. Dilema antara akidah dan suara mesti diselesaikan dalam internal partai.

Tidak ada komentar: