Jumat, 18 Juli 2014

Islam-Yahudi; Akhir Persahabatan, Ujung Permusuhan

Terusir, terbuang dan tertindas, Bani Israil telah melewati masa yang panjang sebagai bangsa yang terlunta-lunta. Menjalani masa-masa penuh penderitaan, komunitas kecil yang terhimpit di antara peradaban-peradaban besar, datang mencengkeram silih berganti. Mengalami penindasan demi penindasan yang menyakitkan, perbudakan Firaun, pembuangan Babilonia, penjajahan Romawi, hingga pembantaian Hitler.

Turki Utsmani tak hanya menyelamatkan banyak kaum Muslimin dari Andalusia, tetapi juga kaum Yahudi dari kekejian yang sama-sama mereka alami, seperti Cyrus yang datang memberi pertolongan dalam ketidakberdayaan mereka. Turki Utsmani kemudian menjadi satu-satunya tanah air yang baik bagi bangsa Yahudi, menerima kehadiran mereka sebagai warga negara yang dimuliakan, di saat tak bisa lagi berharap ada negara lain yang berbaik hati menampung mereka. Saat di belahan lain dunia, di negara-negara Eropa, komunitas Yahudi berada dalam suasana penindasan dan kesewenang-wenangan.

Sebelumnya, Islam hadir di Andalusia, membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan penguasanya, termasuk membebaskan Kaum Yahudi dari penindasan yang sebelumnya mereka alami. Keberadaan Islam di Andalus menjadi kedamaian bagi semua, termasuk kaum Yahudi yang juga menikmati kebebasan bagi kehidupan mereka.

Sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga kekhalifahan sesudahnya, minoritas Yahudi mendapatkan tempat berlindung yang relatif lebih baik dalam naungan kekuasaan Islam. Umat Islam memberi mereka kebebasan untuk menjalankan ibadah maupun hak-hak mereka sebagai manusia.

Hingga tiba masa di mana mereka bukan lagi bangsa gelandangan, perlahan mereka menaklukkan penguasa-penguasa di seantero Eropa, yang dulu menindas mereka, mengobarkan revolusi, menancapkan berbagai ideologi. Terlahir sebuah impian tentang dunia dan kekuasaan.

Berpangkal dari pertarungan al haq dan al bathil, dan pasti akan berujung kembali padanya. Memperebutkan sebuah supremasi tentang dunia, mendapati Islam sebagai penghalang, dan akhirnya keduanya harus berhadapan. Budi baik yang ditanam Turki Utsmani berbalas pengkhianatan.

Penderitaan itu dahulu sempat mengukuhkan sebuah cita tentang nabi akhir zaman, melakukan pencarian di tanah yang dijanjikan, tetapi berakhir kekecewaan. Kedatangan Rasulullah di Madinah, mengawali sebuah tawaran yang sangat egaliter dalam Piagam Madinah, harus berakhir dengan pengkhianatan Khaibar. Tetapi pengkhianatan itulah yang menjadi jalan untuk kesempurnaan tegaknya al haq.

Penderitaan mereka, pengusiran yang mereka alami dan darah mereka yang tertumpah mengukuhkan sebuah cita. Sebagaimana kepedihan kita, kezhaliman yang kita rasakan serta darah kita yang tertumpah juga mengukuhkan sebuah cita yang serupa, bukan tentang angkara dan tipu dayanya, tetapi tentang kasih sayang dan kemuliaan bagi dunia. Agar ia menjadi wasilah bagi tegaknya din ini, agar ia bisa tegak dengan sempurna.

Akan berakhir dan memang harus berakhir, tinggal menentukan pilihan apakah yang akan ditempuh, berakhir dengan indah atau berakhir dalam kehinaan. Hingga semua pohon dan batu berkata, “Hai Muslim, ini Yahudi di belakangku, kemari dan bunuhlah!” Namun ia juga bisa berakhir indah, ‘Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti ia akan menjadi saksi terhadap mereka.’


Drama Kehidupan yang (tak) Sempurna

Mungkin yang kulakukan sia-sia, kutahu ini hanyalah sebuah permainan, tapi dengannya aku menjadi memiliki kisah, yang tak kudapat di dunia nyata. Apalah arti peran-peran yang kulakukan, tapi hanya dengannya aku bisa mewariskan kisah heroik, yang tak mungkin kulakukan dalam kehidupan nyata.

Dinobatkan di atas singgasana, tampak riuh, gegap gempita dan memukau, namun sebenarnya hanyalah segelintir orang di hadapan kamera. Aku memegang piala, disematkan mahkota atau dinobatkan pada singgasana, sedang kutahu sebenarnya tak mendapatkan suatu apapun. Aku harus tampak seperti merayakan kemenangan besar, sedang kusadari semuanya tak berarti apa-apa.

Aku tampak sedih, menangis tersedu-sedu dan meratapi kekalahan, agar mengalir empati dari berbagai penjuru, dan aku puas melakukan adegan ini dengan baik. Aku harus marah, menampakkan permusuhan, untuk sebuah kolaborasi yang baik. Aku harus ikut tertawa, meski sebenarnya hanyalah sebuah senyuman kecut.

Memerankan keluguan al Sisi atau ketulusan Gamal Abdul Nasser, kemuliaan seorang sahaya dan kebodohan tuannya, menghiasi dunia yang penuh kepalsuan. Semua hanyalah kepura-puraan, agar tak terlalu menaruh harap, agar tak terlalu kecewa di kemudian hari.

Drama ini terlalu indah untuk diakhiri, harus dibuat menegangkan hingga titik akhir permainan, agar penonton tak jua beranjak. Agar mereka berdebar menantikan, padahal ia bukanlah ketidakpastian. Cerita harus ini terus diperpanjang, ia harus berlanjut pada kisah-kisah baru, terus dibuat-buat, meski sebenarnya telah selesai.

Bukan hanya akhir kisahnya, drama ini harus menjadi rangkaian cerita yang tampak sempurna. Tiap-tiap adegannya harus tampak nature, ditata dengan rapi, agar indah dinikmati, dan sempurna mengelabuhi. Apa yang tersembunyi, lebih besar dari yang tampak. Apa yang tak diketahui, lebih banyak dari yang dikira.

Menjalani permainan ini sebaik-baiknya. Bersiap dari satu permainan menuju permainan yang lain. Namun tetaplah jangan melupakan kehidupan nyata, jangan meninggalkannya sama sekali. Ada permainan di balik permainan, tipu daya di atas tipu daya. Hingga semuanya akan kembali kepada sebaik-baik pembuat tipu daya, bukan hanya memanipulasi emosi, tetapi mampu membolak-balikkan hati Tatar atau menanamkan belas kasih pada Firaun.

Itulah drama yang terjadi dalam kehidupan yang tak sempurna, namun ia akan disempurnakan pada kehidupan lain, pasti.

Aku lelah menjalaninya, terlalu berpayah-payah melaluinya, padahal ia hanyalah permainan belaka. Tetapi aku menikmatinya.


Rehat Sejenak...

Copras Capres melulu...

Pilih Joko atau Duda?
 

“Emak saja yang memutuskan, biar saya manut saja mak.”

“Jika Emak menentukan untukmu apa yang baik menurut emak sendiri, sementara di dalam hatimu memendam kekecewaan, kamu akan memiliki perasaan bahwa emak memaksamu.”

“Bukankah emak sebenarnya sudah tahu apa yang menjadi jawaban di hati saya?”

“Emak ngerti apa yang kamu rasakan ndhuk, emak pernah merasakan masa muda seperti kamu sekarang. Tapi kamu belum menjalani kehidupan sebagaimana yang telah dijalani oleh emak.”

“Maafkan saya mak, selama ini saya sudah terlalu menjadi beban bagi emak.”

“Kita ini orang susah ndhuk, memang sepeninggal bapakmu emak harus membanting tulang, membesarkanmu sendirian. Tapi emak juga ingin melihat kamu bahagia, tidak hidup kesusahan seperti emak. Sedang sekarang, emak harus gantian mengurus adik-adikmu. Kalau kamu mentas, setidaknya akan meringankan beban yang emak tanggung.”

“Saya tidak ingin merepotkan emak lagi, tapi sejujurnya, salahkah jika saya punya cita terhadap diri saya sendiri, terhadap kehidupan yang harus saya jalani, berat ketika harus mengungkapkannya mak.”

“Tetapi apa yang kamu anggap baik saat ini juga belum tentu baik untuk hari nanti. Bersenang-senang itu hanya sesaat saja, setelah itu tantangan kehidupan segera menghampiri. Kondisi emak berbeda, emak mungkin tidak bisa menopang masa-masa awal kamu menjalani kehidupan yang baru. Berbeda halnya jika kemapanan menjadi pilihan yang kamu ambil.”

“Emak menjamin begitu? Apakah kebahagiaan hanya sebatas itu?”

“Hidup ini tidak selesai pada sebuah pilihan. Ia hanya seperti sebuah pintu, selanjutnya kita masih harus tetap berjalan dan menata, tak pernah selesai.”

“Bukannya ketika tak ada pilihan, tapi ketika kita harus memilih.”

“Emak juga khawatir membuat keputusan salah terhadap hidupmu. Mengetahui yang lahir saja, pandangan kita tidak sempurna, apalagi untuk mengetahui yang tersembunyi di baliknya. Makanya kita tidak boleh semata-mata mengandalkan diri sendiri, tawakal dan istikharah pada Gusti Allah, agar hidup ini dalam bimbingan dan pertolongan-Nya.”

“Iya mak, keputusan ini memang berat, karena bukan hanya untuk diri saya sendiri, tapi juga untuk emak dan adik-adik.”

http://www.dakwatuna.com/2014/07/15/54691/pilih-joko-atau-duda/

Kamis, 17 Juli 2014

NU, Indonesia dan Palestina di Masa Tahun 1938

Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaiahi Wassallam  belum lama berlalu. Meskipun peristiwa Isra Miraj diperingati di Indonesia secara khusus, namun pesan mendalam dari peristiwa tersebut hendaknya tak menguap seiring berlalunya waktu. Selain tentang mukjizat, dan salat, Isra Miraj juga mengungkapkan betapa istimewanya kedudukan Masjid Al Aqsa dalam Islam. Namun keistimewaan itu tidak sejalan dengan nasibnya saat ini. Di tengah penjajahan Israel atas tanah Palestina, Al Aqsa tampaknya tengah dijauhkan dari umat Islam. Termasuk kebijakan Israel yang tidak membebaskan umat Islam untuk beribadah di sana.

Isra Miraj yang diperingati di Indonesia mengingatkan kita agar tetap peduli dengan nasib rakyat Palestina dan khususnya Masjid Al Aqsa.

Kepedulian ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa kita. Bahkan sejak bangsa ini belum merdeka dari penjajahan, rakyat Indonesia bersama tokoh-tokoh Islam telah menunjukkan solidaritas mereka. Persaudaraan yang membentang melintas lautan tak melunturkan kepedulian para pendahulu kita.  Meskipun dengan penuh keterbatasan, namun persoalan penderitaan rakyat Palestina yang terusir serta teraniaya diketengahakan kepada umat Islam di Indonesia , baik oleh para ulama maupun tokoh pemuda –pemuda Islam di masa silam.

Solidaritas kepada Palestina ditunjukkan dengan sangat gigih oleh Nadhlatul Ulama. Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU, pada tahun 1938 mengedarkan seruan kepada berbagai ormas dan Partai Islam seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, PSII dan lainnya.

PBNU kala itu menyerukan kepada ormas dan partai Islam untuk bersikap tegas atas apa yang dilakukan bangsa Yahudi dan bahu membahu membantu rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan mereka dari kaum Zionis penjajah.

PBNU menyerukan pula agar diadakannya Palestine Fonds (Dana Palestina). Bahkan cabang-cabang NU di seluruh Indonesia diinstruksikan untuk menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai ‘Pekan Rajabiyah.’ Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra Miraj dengan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina merdeka. PBNU pun menyerukan kepada seluruh anggota NU dan umat Islam untuk melakukan Qunut Nazilah pada setiap salat fardhu.

Atas seruan ini, pemerintah kolonial bereaksi keras. Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) memanggil  KH Mahfudz Shiddiq, selaku ketua PBNU. Hoofd Parket melarang Qunut Nazilah dan ‘Pekan Rajabiyah.’ Ulama besar KH Hasyim Asy’ari, kemudian merespon reaksi pemerintah kolonial. Pada Mukatamar ke -14 Nadhlatul Ulama di tahun 1939, saat memberikan khotbah iftitah (pidato pembukaan), beliau mengungkapkan bahwa doa tersebut bukan untuk menghina golongan lain, seperti yang dituduhkan, namun,  semata-mata sebuah kewajiban solidaritas sesama umat Islam dan perintah Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaiahi Wassallam, kepada umatnya setiap menghadapi bencana. Hadratus Syaikh ketika itu dalam bahasa Arab mengemukakan,

“Tetapi para pembesar pemerintah meilhatnya tidak seperti yang dilihat Nadhlatul Ulama, sebab itu, melarang kita mengerjakan hal-hal yang telah lalu, yang telah kita lewati selama ini.” (K.H. Saifuddin Zuhri; 2013)

Pembelaan tidak saja datang dari kalangan ulama, namun juga dari para pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Kelompok pemuda yang digerakkan tokoh-tokoh seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Samsurizal dan lain-lain ini, melakukan pembelaan terhadap Palestina. Bekerja sama dengan Jamiat Al Khair di Mesir, mereka mendukung perjuangan rakyat Palestina, dan menolak tembok ratapan yang berada di dekat Al Aqsha. Mereka melihat hal ini merupakan sebuah ancaman terhadap Masjid Al Aqsha (Dardiri Husni; 1998). Tahun 1941, salah seorang tokoh JIB, M. Natsir kembali mengemukakan kepedulian terhadap penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung selesai. Ia mengkritik cacatnya perjanjian Balfour.

“Djanji Balfour tidak memberi penjelesaian; ia hanja menimbulkan soal, jang berkehendak kepada penjelasan. Lebih-lebih disaat ini, di saat berbagai basa jang beragama Islam turut berdjuang disamping Negara Serikat, di saat blok bangsa Arab penuh Simpati terhadap pihak serikat-, sungguh bukan suatu perbuatan bidjaksana, apabila orang merajakan 24 tahun lahirnja ‘Balfour Declaration’, jang oleh milliunan bangsa-bangsa jang beragama Islam terasa sebagai duri dalam daging itu.” (M. Natsir ; 1954)

Gencarnya dukungan para ulama serta tokoh-tokoh Islam sejak lama, memberikan kesan yang begitu nyata. Bagi umat Islam di Palestina, meskipun dukungan tersebut terpisah sangat jauh, namun rupanya hal ini membuat mereka merasakan pula penderitaan rakyat Indonesia yang terjajah sekian lama. Maka ketika tersiar Mufti Besar Palestina, Amin Al Husaini, mengucapkan selamat atas ‘pengakuan Jepang’, untuk kemerdekaan Indonesia, hal ini turut menjadi dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio Berlin berbahasa Arab tersebut, disebarluaskan oleh para mahasiswa Indonesia di Kairo untuk menggelorakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, sehingga kabar tersebut dimuat berbagai media di Mesir. (M. Zein Al Hassan; 1980)

Hubungan saling mendukung ini terus berlanjut, melintasi waktu. Bahkan setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia secara khusus mendukung eksistensi Masjid Al Aqsha. Tahun 1965, Presiden Sukarno, kala itu melalui perantara menteri agama, KH Saifuddin Zuhri, turut membantu pemugaran Masjid Al Aqsha. Indonesia menyumbang $ 18.000 yang disampaikan kepada Menteri Urusan Waqaf Kerajaan Yordania.  (KH. Saifuddin Zuhri,; 2013).

Bangsa Indonesia sejatinya memang menolak segala bentuk penjajahan, bahkan ketika dirinya masih dalam keterbatasan akibat penjajahan. Penolakan atas segala macam penjajahan yang dilandasi ukhuwah Islam mampu menjadi daya dorong yang luar biasa. Kepedulian ulama serta tokoh-tokoh Islam, meskipun dirintangi kebijakan kolonial, mampu mengatasi jarak yang membentang hingga ke timur tengah. Berkaca dari sejarah para pendahulu kita dimasa silam, dukungan terhadap rakyat Palestina, seharusnya menjadi semakin kuat dan gencar. Jika di masa lalu saja, dengan segala keterbatasan, bangsa ini mampu memberikan dukungan yang membuat penguasa kolonial resah, apalagi dimasa kini, saat kita sudah mengecap nikmatnya kemerdekaan.

Fatwa ulama dan langkah ormas Islam tak disangkal mampu menggerakkan masyarakat. Yang dibutuhkan kembali saat ini adalah kebijakan yang mampu menyentuh masyarakat, contohnya, semacam Pekan Rajabiyah ala NU dahulu, sehingga perayaan semacam Isra Miraj tak lagi sekedar peringatan belaka, namun mampu memberikan langkah nyata bagi rakyat Palestina yang mengayun bersama derap masyarakat kita.*

Oleh: Beggy Rizkyansyah
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Pustaka :
Hassan, M. Zein. 1980. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Bulan Bintang : Jakarta
Husni, Dardiri. 1998. Jong Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In Indonesia During The Colonial Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada : McGill University

Natsir, M. 1954. Djublium Balfour-Mac Mahon..! dalam Capita Selecta. W. Van Hoeve : Bandung

Zuhri, KH Saifuddin. 2013. Berangkat dari Pesantren. LKiS : Yogyakarta.

Jumat, 04 Juli 2014

NU, Kedewasaan Berpolitik Muhammadiyah dan Kedewasaan Mengelola Konflik

Bagi NU dan Muhammadiyah seringkali godaan politik datang teramat menggiurkan, hingga tanpa terasa banyak yang telah berada terlalu jauh dari khittah. Klaim-klaim dukungan, perpecahan internal hingga gesekan antar ormas adalah sebagian dari ekses negatif yang ditimbulkannya.

Sebagaimana terjadi pada kicauan politikus PKS Fahri Hamzah tentang gagasan menjadikan 1 Muharram sebagai hari santri nasional. Di antara pro kontra gagasan tersebut dan multitafsir kicauan yang dilontarkan, disayangkan ada respon berlebihan di tingkat pemimpin umat yang bisa memicu gesekan di akar rumput.

Terkait hal ini, menjadi relevan mengingat kembali pesan Ketua Umum MUI yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin kepada umat Islam agar dalam mendukung pasangan capres dan cawapres tertentu bersikap sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat capres yang didukung menjadi musuh politik. “Dalam mendukung capres, jangan jadi ekstrimis, fanatik. Jangan orang lain yang bertarung, kita yang ribut.”

Jalur di luar politik praktis yang ditempuh NU dan Muhammadiyah adalah sebuah pilihan. Sebagaimana disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, kalau Muhammadiyah terseret pada kepentingan politik maka dipastikan Muhammadiyah akan hancur, kondisinya akan naik turun sejalan dengan naik turunnya parpol tersebut. Umat Islam harus melibatkan diri dalam politik, tapi tidak semuanya masuk ke dalam politik praktis.

NU dan Muhammadiyah telah hidup dalam rentang masa yang panjang, menjalani berbagai kondisi yang berbeda. Memegang kekuasaan hingga terlempar dari kekuasaan, menjadi anak emas penguasa hingga menjadi anak tiri penguasa, menikmati masa-masa penuh kebebasan hingga menjalani masa penuh diskriminasi dan intimidasi. Pada semua kondisi itu, dakwah harus tetap berlanjut, dan misi dakwah harus senantiasa terjaga.

Ketika komitmen untuk meneguhkan jatidiri sebagai Islam moderat yang rahmatan lil alamin teruji, komitmen yang sebenarnya menuntut sikap sabar menghadapi permasalahan yang timbul, tak mungkin dakwah ini menafikkan adanya tantangan beserta problematikanya, hanya menuntut kesabaran kita menyikapinya. Komitmen tersebut menuntut konsistensi untuk berupaya menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi secara moderat.

Sehingga pada tingkat pemimpin hingga akar rumput tumbuh kedewasaan sikap, tidak mudah terprovokasi serta tidak mudah dimanfaatkan pihak ketiga. Menjaga sikap ruhamau bainahum, mempertahankan komitmen tentang persaudaraan di antara umat. Menjalin komunikasi yang sejuk dan santun, serta bertindak dengan bijak.

Isu tentang transnasional, Wahabi atau MTA, berpadu dengan gesekan politik, berpotensi menimbulkan hal-hal yang bisa merugikan kita semua. Semua itu menuntut komitmen pemimpin umat untuk mendewasakan akar rumputnya. Belajar dari apa yang terjadi pada berbagai konflik horizontal yang sudah sering terjadi di antara umat, justru ada pihak lain yang mengambil keuntungan darinya.

Komitmen Muhammadiyah menjadi rumah besar umat Islam, menaungi ormas-ormas yang lain, perlu mendapat apresiasi, sekaligus memerlukan suport agar komitmen tersebut terjaga. Agar kita semua ada dalam kolaborasi, saling menopang dalam memecahkan tantangan dakwah yang semakin tidak ringan ini.

“Sesama ormas Islam dilarang saling mendahului,” begitulah pesan Prof. Din Syamsudin.


Kamis, 03 Juli 2014

Pilpres RI 2014 di Antara Persaingan Global AS-Cina

Kita membutuhkan sebuah paradigma agar kepentingan nasional tiap bangsa tidak menjadi beban bagi bangsa lain, tetapi bisa menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Kita membutuhkan format hubungan antar bangsa yang lebih baik agar terjalin suatu interaksi konstruktif.

Kita berada di era globalisasi, pengaruh kondisi politik global pada tiap bangsa makin intens. Gejolak yang terjadi di suatu negara seperti Perang Vietnam, Afghanistan, hingga konflik Suriah, Irak, Libya dan berbagai kawasan lain tak lepas dari kepentingan besar di baliknya. Tak terkecuali yang terjadi di Indonesia, berbagai proses yang terjadi, sejak gejolak 1965, 1998, hingga Pilpres 2014 ini, tak lepas begitu saja dari pengaruh yang berasal di luar.

Runtuhnya Uni Sovyet ternyata tidak serta merta mengakhiri perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Meski tampak seperti mati suri, runtuhnya Uni Sovyet juga belum tentu berarti kematian ideologi yang menyokongnya.

Munculnya kekuatan ekonomi Cina bisa dikatakan sebagai babak baru perseteruan Blok Barat dan Blok Timur. Di awal kemunculannya memang seperti tidak membawa platform politik apalagi ideologi. Akan tetapi, makin kokohnya posisi ekonomi Cina pada akhirnya diikuti implikasi yang lain. Dalam jangka panjang, kekuatan ekonomi, politik dan ideologi, akan saling menopang satu sama lain, saling membutuhkan untuk menguatkan satu sama lain.

Cina bukan saja berpotensi menyalip kekuatan ekonomi AS, tetapi juga berpotensi menggeser dominasi AS secara politik, bahkan ideologi di masa depan.

Kondisi Indonesia baik secara politik maupun geografis bisa dikatakan sangat signifikan bagi Cina. Tidak hanya kedekatan wilayah, ada relasi ekonomi dengan etnis Cina perantauan di Indonesia yang memegang posisi ekonomi cukup dominan di negeri ini.

Kondisi ini mau tidak mau menjadikan AS harus memerhitungkan posisi strategis Indonesia bila ingin memertahankan pengaruhnya di kawasan, bahkan dalam skala persaingan global. Indonesia tidak boleh dikesampingkan begitu saja, baik dari perspektif potensi kekayaan alamnya, maupun dari perspektif potensi pasar yang besar.

Sebagai bangsa Indonesia, tentu kita tidak menghendaki bangsa ini terombang-ambing mengekor di atas percaturan kekuatan global. Kita ingin mengokohkan jati diri dan meneguhkan kemandirian sebagai suatu bangsa. Tapi kita juga tidak bisa menafikkan realitas, kita harus mengukur kekuatan diri, agar tidak terperosok ke dalam pergulatan antar kekuatan adidaya.

Memosisikan hal ini memang tidak mudah. Melepaskan diri dari suatu ketergantungan membutuhkan kerja keras.

Ke dalam, bangsa ini membutuhkan sebuah kepaduan, kemauan untuk melepaskan diri dari kepentingan politik sesaat, menanggalkan ego-ego sempit, serta membangun kesadaran di antara elit pemimpin bangsa, kesadaran untuk tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Sedang ke luar, sebagaimana pandangan ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin, agar kita tidak hanya memandang mereka sebagai sebuah rezim, tetapi melihat mereka sebagai sebuah bangsa, tetap senantiasa terbuka untuk menjalin suatu komunikasi dan taaruf.