Senin, 17 November 2014

Pidato Ir. Soekarno Soal Gerakan Pemurnian Islam

Disaat ummat muslim Indonesia saling tuding dan menyalahkan. Mereka Pemikir Islam yang berbendera sekuler, pluralisme dan para pengagung harta makin merasa di atas angin dengan kedudukannya di pemerintahan negeri mayoritas muslim. Sang Pendiri negeri ini, yang foto-foto mereka pampang berdampingan saat caleg dan pemilu merasa paling akrab dan tahu persis sang Proklamator acuh dengan pemahaman dan pemikirannya yang murni. Kebanyakan dari mereka bahkan mungkin sebagian dari kita sudah merasa paling benar. Istilah wahabisme yang populer dilontarkan pengikut agama Syiah akhir-akhir ini yang menuduh berbagai macam. Bahkan dianggap sebagai ancaman bagi NKRI karena semangatnya memperjuangkan kemurnian Islam. Merasa risih saat orang-orang yang mengajak kembali ke petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Kembali mengamalkan amalan Sahabat dan orang shaleh yang telah dijamin kesholehannya.

Presiden Pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno pernah berbicara tetang pengikut salaf ini.

Buku berjudul "Dibawah Bendera Revolusi" (yaitu kumpulan tulisan dan pidato-pidato beliau) jilid pertama, cetakan kedua,tahun 1963 menjadi saksi bahwa ia mengajak untuk merenungi bahkan mengakui perjuangan dan jasanya di negeri ini. Di halaman 398, beliau mengatakan dengan jelas,
" Tjobalah pembatja renungkan sebentar "padang-pasir" dan "wahabisme" itu. Kita mengetahui djasa wahabisme jang terbesar : ia punja kemurnian, ia punja keaslian, - murni dan asli sebagai udara padang- pasir, kembali kepada asal, kembali kepada Allah dan Nabi, kembali kepada islam dizamanja Muhammad!"

Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannja seribu satu tahajul dan seribu satu bid'ah."
Lemparkanlah djauh-djauh tahajul dan bid'ah itu, tjahkanlah segala barang sesuatu jang membawa kemusjrikan!

Nampak jelas bahwa presiden pertama RI. Ir. Sukarno, sendiri menganggap gerakan wahabi adalah suatu gerakan "PEMURNIAN ISLAM", gerakan yang menentang seribu satu Tahayul dan Bid'ah yang ada dalam islam, Dengan semboyan "Kembali kepada Allah dan kepada Nabi".

Mari wahai saudaraku kita kembali kepada Al-qur'an dan As Sunnah kedua warisan Nabi Muhammad shallahu 'alayhi wassalam, agar kita selamat dunia dan akhirat. Aamiin (islamedia)

Senin, 10 November 2014

Masa’ Islam Kita Kalah dengan Bali!

Suatu ketika Ustadz Bachtiar Nasir bertanya bertanya kepada suatu jamaah, “Islam manakah yang paling baik?” Menurut Beliau Islam yang paling baik itu bukan Aceh, Sumatera Barat atau Yogyakarta, tetapi Islam terbaik di Indonesia itu adalah Bali.

Bagaimana mungkin? Ternyata hanya di Bali jamaah Shalat Subuh lebih banyak dari pada jamaah Shalat Jumat. Di Masjid Baitul Makmur Denpasar misalnya, jamaah Shalat Subuhnya bisa mencapai 700 orang, bahkan untuk hari Ahad lebih banyak lagi, sehingga tidak muat lagi di dalam masjid.

Bukan shalat-shalat jamaah saja yang semarak, kegiatan-kegiatan seperti taklim dan kajian keislaman tak kalah semangat. Mereka sangat antusias dalam mengkaji tafsir, hadis dan sebagainya, bahkan mendatangkan ustadz-ustadz dari luar. Demikian pula dalam berinfak, tak heran bila amal-amal sosial muslim di Bali lebih terurus dengan baik dibanding dengan yang dikelola umat lain yang mayoritas sekalipun.

Bali selama ini kita persepsikan tak identik dengan Islam. Para pendatang dari luar di Bali kebanyakan memang beragama Islam, tetapi mungkin kita lebih mengasumsikan mereka yang memilih bekerja di sana bukan muslim yang taat. Mungkin kita mengasumsikan muslim yang taat cenderung tidak memilih bekerja di Bali. Tetapi kenyataan yang terjadi, Islam di Bali justru tumbuh menakjubkan.

Lantas bagaimana dengan kita? Dalam kondisi sebagai mayoritas, kita lebih mengenal Islam, lingkungan dan tempat kita bekerja lebih kondusif untuk menjalankannya, lebih tersedia berbagai sarana di sekitar kita yang mempermudah untuk kita menjalankan ibadah. Tetapi ternyata kemalasan membuat amal kita tak sebanding dengan peluang yang semestinya bisa diraih.

Masjid-masjid kita yang sepi, padahal hampir tiap RT ada masjid. Sedikitnya orang yang mau mendatangi majelis-majelis ilmu. Nyaris tak ada lagi rumah-rumah yang membiasakan membaca Alquran di dalamnya. Tak sebanding dengan semaraknya hal-hal yang bersifat hiburan duniawi dan hura-hura di sekitar kita.

Beberapa dekade lalu, suasana di Bali masih seperti di negara-negara Barat, nyaris tanpa simbol-simbol Islam yang menonjol. Untuk mencari tempat shalat saja sulit. Tak dinyana jika di kemudian hari, syiar Islam di sana justru tampak bergairah. Sebaliknya kita, sepertinya malah seperti sudah jenuh dalam beragama. Beragama bagi kita rasanya seperti hanya turun-temurun semata.

Antara kuantitas dan kualitas, kita yang secara jumlah mayoritas tampak seperti hanya minoritas, mungkin seperti buih di lautan. Sebaliknya, mereka dalam kondisi sebagai minoritas, mampu melampauinya, dan benar-benar menampakkan syiar Islamnya.

Begitulah, dalam kondisi minoritas, penuh keterbatasan, tak menjadikannya penghalang, melampaui keterbatasan tersebut. Sedang kita, begitu banyak kesempatan yang terbuka, tetapi kita menyia-nyiakannya. Tidakkah kita malu dengan prestasi yang dicapai saudara-saudara kita di Bali?

Seringkali dengan berbagai nikmat yang diberikan kepada kita, tak membuat kita lebih dekat kepada agama, malah kita lebih banyak lalai, kita seperti tidak butuh dengan Islam. Sementara, saudara-saudara kita yang sedang terkena berbagai musibah, cobaan yang berat, menjadi korban konflik dan peperangan, tetapi dalam kondisi demikian sulit justru membuat mereka mendekat dengan agama.

Jika lebih banyak kesempatan kita sia-siakan, bagaimana jika nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita ini dicabut? Apakah kita menunggu mendapat cobaan-cobaan seperti itu, baru mau mendekat kepada-Nya?




Sabtu, 08 November 2014

Dua Wajah Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Muflih

Bulan September lalu saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di ujung paling barat Kabupaten Bogor. Di sela-sela kegiatan yang padat, saya banyak bersilaturahim dengan berbagai tokoh masyarakat. Termasuk berdiskusi dengan seorang kyai muda, pemimpin sebuah pondok pesantren salafi. Kami berbicara mengenai beragam isu yang berkembang di desa dan bahkan sampai pada pembahasan kebencian warga pada Muhammadiyah.


Menurut pak Kyai, cara dakwah orang Muhammadiyah terlalu keras, merasa benar sendiri, terkesan ingin menguasai wilayah, dan stigma negatif lainnya. Di desa ini memang ada satu kampung yang didominasi oleh warga Muhammadiyah. Tokohnya sangat keras dalam menyampaikan ceramah, terutama terkait hal-hal yang menurut Muhammadiyah merupakan bid’ah. Saya terus menyimak tanpa mengakui bahwa saya kader Muhammadiyah.



Cara dakwah yang keras itulah yang tidak bisa diterima warga. Pernah suatu ketika, setelah sholat jumat, seorang ustadz dari Muhammadiyah berdiri di depan mimbar dan berkata, “yang sholat zuhur setelah sholat jumat, ke neraka!” Tentu saja warga kaget. Di beberapa masjid kampung di desa ini, memang ada yang melaksanakan sholat zuhur setelah sholat jumat. Apapun yang ‘difatwakan’ orang Muhammadiyah disana, selalu warga sampaikan pada sang Kyai salafi. Dengan ringan si Kyai menjawab keluhan warga, “tanyakan saja dalilnya.” Sayangnya, ketika ditanyai warga, sang ustadz dari Muhammadiyah tadi mengaku tidak tahu dalilnya. Tentu saja ini jadi senjata Kyai Salafi untuk ‘menyerang’ balik. Muballigh Muhammadiyah punya banyak PR.



Ketika Kepala Desa yang sekarang menjabat belum terpilih, isu yang berhembus pada masa kampanye 2 tahun yang lalu adalah dia orang Muhammadiyah. Warga yang begitu alergi sempat terpengaruh isu ini. Namun pada akhirnya, sang calon mengklarifikasi bahwa dia bukan lagi orang Muhammadiyah. Bahkan, dia mengajak warga untuk sholat subuh berjama’ah. Dia akan bertindak sebagai imam dan ber-qunut.



Tantangan pak Kades pada warga saat itu hanya trik politik. Kenapa saya sebut trik? Karena beberapa hari setelahnya, dia mengakui sendiri dirinya adalah orang Muhammadiyah. “Waktu masa pemilihan, di depan rumah saya banyak orang mengirim macam-macam; telur busuk, bangkai ayam, dan lain-lain. Pihak lawan berusaha mencelakai saya dengan cara-cara ganjil. Tapi kan saya orang Muhammadiyah tulen, hal-hal seperti itu saya gak percaya, merusak tauhid. Saya lawan saja dengan puasa,” ujar Pak Kades. Sebagai catatan, lagi-lagi saya tidak mengaku sebagai orang Muhammadiyah waktu itu. Jadi, Kepala Desa disana memimpin dengan ‘ruh’ muhammadiyah, tetapi menyembunyikan identitasnya sebagai orang Muhammadiyah.



Beberapa hari setelah KKN selesai, saya mengikuti kuliah umum bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr., di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema yang diperbincangkan adalah “Islam dan Barat”. Ketika Blake menyinggung tentang toleransi beragama, beliau beberapa kali menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi penjaga perdamaian dan toleransi di Indonesia. Tidak sekalipun beliau menyebut NU. Artinya -tanpa mengecilkan peran NU- ada pengakuan di tingkat nasional, bahkan internasional, bahwa Muhammadiyah mempunyai peran besar untuk mewakili wajah Islam yang damai. Ada kontradiksi ketika melihat Muhammadiyah dari dua sisi; dari atas (skala global) nampak berwajah damai, tetapi menyeramkan jika dilihat dari bawah (kalangan akar rumput).



Pada skala nasional, memang kampanye toleransi antar umat beragama terus digalakkan. Kita bisa mengamati, saat ini toleransi umat beragama di Indonesia sudah berjalan baik. Namun di kalangan paling akar rumput, ada sesuatu yang belum selesai. Malahan, perkara-perkara ini menjadi bahan pertengkaran dan memutus silaturrahim antar umat Islam sendiri; konflik yang disebabkan perbedaan paham mengenai yasinan, tahlilan, memperingati hari kematian dan lain-lain.

Pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah memperbaiki persepsinya di kalangan akar rumput? Kita punya jawaban masing-masing. Bagi saya persepsi menjadi penting, bukan untuk pencitraan. Tetapi, dengan diterimanya Muhammadiyah di lapisan masyarakat paling bawah, dakwah amar ma’ruf nahi munkar akan lebih mengena. Ali Bin Abi Thalib pernah berkata, “jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu.” Perlu cara-cara yang lemah lembut untuk memahamkan sesuatu pada masyarakat. Kalau kita bersikap keras dan berhati kasar, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 159, maka tentu mereka (masyarakat) menjauhkan diri dari kita.

Akankah muncul (kembali) kisah heroik seperti kisah Pak AR Fachrudin yang mengubah tradisi yasinan tradisional menjadi pengajian tafsir Al-Qur’an? Pak AR adalah contoh terbaik dari “toleransi khilafiyah”. Beliau mengubah persepsi masyarakat terhadap Muhammadiyah dengan cara yang santun. Muhammadiyah tentu saja mesti punya wibawa, namun bukan dalam pengertian ‘menyeramkan’.

Muhammad Muflih/sangpencerah.com
( Sekretaris Bidang ASBO - PD IPM Kabupaten Bogor )

Super Humas

Pasca diadakannya PR Summit PKS beberapa waktu lalu, tugas kehumasan memiliki posisi sekaligus tanggung jawab yang lebih urgen.

Kita berada pada era teknologi informasi, di mana perang pemikiran (ghazwul fikri) sebagai sarana untuk mewujudkan gagasan dan kepentingan kian dominan, menggeser peran perang secara fisik. Problematika kehidupan tidak melulu diselesaikan dengan cara-cara fisik yang kasat mata, tetapi lebih banyak diselesaikan secara soft. Perang informasi tak kalah dahsyat dengan benturan secara fisik, menimulkan efek yang dampaknya bisa memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan, meski dalam bentuk lain.

Pada tataran ini, peran humas tak ubahnya adalah prajurit yang menempati garda terdepan medan pertempuran. Humas menjadi ujung tombak dalam pertempuran memperebutkan opini publik, membangun citra dan pengaruh. Memainkan media, menjadi sebuah peran signifikan yang berlangsung hampir tak kenal henti.

Tetapi yang harus diperhatikan, saat ini kita bukan hanya berada pada era kecanggihan teknologi nyata yang menakjubkan, tetapi kita juga berhadapan dengankecanggihan teknologi pemikiran, baik metode maupun sarana-sarananya. Kecanggihan teknik dalam merumuskan strategi dan memainkan isu untuk memenangkan perang opini, berada pada level yang lebih rumit dari masa-masa sebelumnya.

Pada pergulatan model ini, kita berhadapan dengan intrik dan permainan, penuh dengan tipu daya dan jebakan. Seringkali arah para pembuat kebijakan tak bisa lagi dimengerti oleh mayoritas publik, termasuk hal-hal menyangkut kepentingan publik itu sendiri, bahkan lebih banyak berlangsung tanpa disadari oleh mereka. Demikian pula ketika harus berhadapan dengan upaya memanipulasi opini publik untuk agenda dan tujuan tertentu. Di antara pergulatan tersebut, banyak kepentingan besar dipertaruhkan.

Sebanding dengan besarnya tantangan, upaya yang dipersiapkan tidak bisa asal-asalan. Bukan sembarang humas, tetapi memiliki daya upaya yang lebih, kemampuan untuk melampaui tantangannya. Memiliki kemampuan memahami situasi, mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan solusinya dengan tepat, untuk memenangkan sebuah perang informasi.

Bukan hanya menyampaikan, tetapi bisa mengukur sejauh mana efektifitasnya, agar bisa dicerna oleh publik. Merubah mindset orang lain, mengambil hati manusia, apalagi membentuk opini publik, bukan merupakan persoalan yang sederhana. Perlu untuk memahami tabiat manusia secara utuh. Sekaligus berhadapan dengan realitas situasi, bahwa mayoritas publik berada dalam kondisi mis-informasi.

Bukan dalam perspektif penyampai informasi, tetapi sejauh mana penerima informasi bisa menerimanya. Tidak bisa seseorang mengasumsikan orang lain adalah dirinya, pemahaman penerima informasi tak bisa seutuh pelaku informasi.

Bukan sekedar membawakan suatu kebaikan, tetapi mengemasnya dengan baik, agar tidak menghasilkan citra yang justru berkebalikan. Di antara pertarungan hitam putihnya dunia, sesuatu yang buruk sekalipun, memungkinkan meraih simpati publik ketika dikemas secara elegan.

Bukan soal kerasnya suara, tetapi sejauh mana bisa didengar. Bukan hanya menjadi angin lalu, tetapi sejauh mana bisa membekas. Ketika hal-hal kecil bisa diblow-up, ketika perhatian publik bisa dialihkan oleh hal-hal yang tidak urgen, tersesat pada upaya memanipulasi opini, dan ketika ketimpangan informasi membelit penguasaan opini publik.

Adakalanya harus bergerak dalam senyap, mengecoh lawan. Adakalanya harus melawan arus dan menyiasati keterbatasan. Ketika sasaran tak mungkin diambil, ia harus dicuri. Biarpun enggan untuk menempuh cara-cara licik, mestinya mampu untuk bersikap cerdik.

Di balik gerak-gerak yang tampak, lebih banyak dibutuhkan dan ditentukan gerak-gerak dalam senyap. Karena bukan hanya persoalan bergerak, tetapi persoalan menggerakkan orang lain.

Berada dalam kondisi melawan arus, di antara permainan, drama dan sandiwara kehidupan. Tidak mudah untuk memahami situasi yang telah berlangsung dan membaca langkah kompetitor, apalagi memprediksi langkah ke depan yang tengah dirumuskan. Jika tidak, akan dengan mudah terseret arus, terbawa pada langkah yang reaktif, bukan mendesain alur permainan.

Urgensi humas, tujuan dan tantangannya, tentunya juga harus sinergis dengan bidang-bidang yang lain, beserta upaya menyiapkan sarana-sarana penunjangnya. Perlu policy yang mengorganisir dengan baik. Sebesar apapun aset dan potensi yang tidak terarah secara efektif, bisa tersesat pada jebakan-jebakan suatu permainan, dan justru akan menjadi blunder yang menguntungkan lawan.