Jumat, 24 Oktober 2014

Etnis Cina, Pribumi, Sebuah Balada Superioritas dan Inferioritas


Kemuliaan seorang manusia tidak ditentukan oleh etnis dan bangsanya tapi oleh ketakwaanya. Setiap manusia dinilai bukan oleh asal-usul keturunannya tapi oleh amal perbuatannya. Al-Quran mengajarkan kita agar di antara beragam suku dan bangsa mengembangkan sikap saling bertaaruf (kenal mengenal).

Kita tak pernah meminta dilahirkan dari suatu etnis tertentu. Kebaikan dan kedurhakaan, ia bisa terlahir dari siapapun. Dari keluarga terdekat Firaun sekalipun, bisa terlahir suatu kebajikan yang luar biasa. Sebaliknya, dari keluarga terdekat seorang nabi sekalipun, bisa terlahir sebuah kedurhakaan yang besar.

Tetapi ada sebuah realitas yang sedang kita hadapi, dirasakan dari sebuah potret ketimpangan, salah satu pihak identik dengan superioritas, sedang pihak lain identik dengan inferioritas, untuk tidak terburu-buru mengidentikkan dengan dominasi dan marjinalisasi.

Dari sebuah realitas, segelintir kalangan tertentu menikmati sebagian besar kekayaan negeri, sedang sebagian besar dari penduduknya berada dalam kesulitan hidup. Mereka bersusah payah bekerja membanting tulang, di antara kesuburan dan kekayaan negeri, tetapi hasilnya seperti tak sepadan dengan jerih payahnya. Menyandang status sebagai pribumi, tetapi menerima kenyataan terus terdesak di kampung halamannya sendiri.

Potret kecil dari rahasia pintu rezeki anak manusia yang melakukan hijrah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, mereka dijanjikan akan mendapat apa yang diniatkannya, baik untuk tujuan-tujuan duniawi maupun untuk tujuan agama.

Seringkali para pendatang di perantauannya lebih sukses dalam menjalankan usahanya, mereka mampu mengungguli penduduk aslinya. Dalam suasana di perantauan, berhadapan dengan tantangan dan kesulitannya, biasanya mereka lebih memiliki spirit, motivasi hidup dan profesionalitas, bertekun menjalani hidup dalam keprihatinan. Berkebalikan dengan penduduk asli yang merasa nyaman hidup di tanah kelahirannya sendiri, dan cenderung berakibat memiliki mental santai.

Introspeksi ke dalam, menjadi hal pertama dan bijak bagi pribumi. Mengoreksi kekurangan diri, tentang kurangnya semangat, etos kerja dan keuletan. Kelemahan dari sisi menjalankan manajemen dan strategi bisnisnya. Hal tersebut menjadi faktor penghambat kemajuan kemajuan dari dalam.

Di luar itu, ada faktor eksternal yang tak bisa dipungkiri, ada upaya untuk mengkondisikan pribumi agar berada dalam keadaan inferior. Di samping kelemahan dari dalam, mereka harus menghadapi kompetisi yang tidak fair, ketidakadilan sistematis dan pelemahan terstruktur dari suatu kekuatan luar.

Sehingga bukannya tanpa masalah, kesuksesan kaum pendatang sering berimplikasi pada tingginya risiko, kecemburuan yang timbul, bahkan bisa terakumulasi pada kemarahan sosial, apalagi bila disertai sentimen SARA dan politik. Sekalipun kesuksesan tersebut dicapai dengan cara fair, tetap ada potensi beban sosial, apalagi bila ada unsur kompetisi tidak sehat di dalamnya. Di antara ketimpangan yang terjadi, ada hal yang perlu dimengerti, penduduk asli yang memiliki perasaan bahwa mereka lebih dahulu mendiami tempat tersebut.

Di antara dua pilihan untuk membayar beban sosial tersebut, antara meredamnya dengan bersikap yang baik terhadap penduduk asli, menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi dan mengulurkan kepedulian. Atau jika tidak, meredamnya dengan mengedepankan angkara dan keserakahan, mengukuhkan dominasi melalui cengkeraman yang membuat pihak lemah dalam kondisi tak berdaya, pelemahan sistematis secara politik, struktur sosial dan berbagai aspek kehidupan lain.

Sebuah harapan di satu sisi, terjalin sebuah hubungan yang positif, pihak yang kuat menolong mereka yang lemah, saling bekerjasama untuk kebaikan bersama. Tetapi juga sebuah kekhawatiran di sisi lain, dikedepankannya nafsu dan angkara, suatu pihak berupaya mendominasi dan menihilkan pihak lain. Bukan hanya melemahkan secara fisik dan mental, bahkan dalam gambaran terburuk, sejarah panjang penaklukkan dan penjajahan bangsa-bangsa, sampai kepada kemungkinan terburuk, upaya yang mengarah pada pemusnahan bangsa lain sebagaimana yang dialami bangsa Indian, Aborigin dan Maori.

Di antara cinta dan kebencian, di antara persahabatan dan permusuhan, dunia ini mungkin bukan tempat meminta belas kasihan, ia lebih banyak memaksa untuk bersaing bahkan bertarung memperebutkan supremasinya.

Silih berganti berbagai bangsa hadir di nusantara ini, disambut dengan tangan terbuka, tetapi adakalanya berbalas lain, cengkeraman kolonialisme dan eksploitasi. Tumbuhnya nafsu serakah atas kekayaan dan kesuburan sebuah negeri. Suatu bangsa yang merasa tanah airnya terlalu sempit, terpikat dengan kesuburan dan kekayaan negeri lain, dan akhirnya berhasrat menguasainya. Setidaknya menjadi suatu kewaspadaan bagi masa depan bangsa ini, bahwa untuk bisa mempertahankan eksistensinya, menuntut suatu perjuangan dan pengorbanan, tidak bisa diniscayakan lagi.

Sebagai muslim kita patut bersyukur, Islam datang ke berbagai penjuru dunia tidak dengan spirit menjajah dan mengeksploitasi, tetapi dengan motivasi dakwah, transfer ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban. Islam datang ke Nusantara ini tanpa kita merasa terjajah oleh Islam. Bukan Islam yang memusnahkan bangsa Indian, Aborigin dan Maori. Bukan Islam yang melakukan perbudakan bangsa kulit hitam secara masif. Islam datang ke Andalusia bukan untuk dieksploitasi, tetapi membebaskannya dari ketidakadilan dan membawanya menjadi sebuah puncak kemajuan peradaban. Islam datang dengan spirit membawa rahmat, keselamatan, berbagi dan taawun (tolong-menolong), bukan menghisap dan merampas.

Di antara dunia yang mengedepankan spirit individualistik dan ego, Islam bisa menjadi sebuah jembatan bagi terwujudnya jalinan kasih sayang dan perdamaian. Keimanan yang sebenarnya, menumbuhkan sebuah orientasi bahwa superioritas bukan didapatkan dengan merampas dan menaklukkan, tetapi dengan memberi dan berbagi.

Namun ada sebuah konsekwensi, Islam menjadi penghalang terbesar tegaknya kebatilan, sehingga Islam harus melewati berbagai stigma buruk di antara pertarungan kebenaran dan kebatilan tersebut, dan ini menjadi ujian bagi kita dalam membawakan Islam pada percaturan dunia.

Realitas di negeri ini, termasuk Islam telah menjadi jembatan antara etnis cina dan pribumi, menjadi sebuah asimilasi yang sebenarnya, tanpa menyisakan sekat. Ia meluruhkan angkara, sekaligus menepis prasangka. Namun sayang, jembatan yang telah terhubung tersebut masih terlalu kecil untuk dua entitas yang teramat besar.

Dengan Islam, kecemburuan akan dunia diredam dengan keyakinan akan akhirat. Bahwasanya kejayaan dan kesenangan duniawi tak ada artinya dibandingkan dengan kebajikan dan amal shalih untuk akhirat (Al Baqarah: 212, Ali Imran: 14-15, Al Kahfi: 45-46). Tetapi kesempurnaan Islam juga menempatkan dunia sebagai sawah ladang akhirat, kekuatan dunia adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan membebaskan orang-orang lemah dari kesewenang-wenangan. bahwasanya kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Sebuah motivasi agar umat ini tidak menjadi lemah, tetapi menjadi kekuatan yang sinergis dengan tugasnya sebagai khalifah, tugas untuk memakmurkan dunia.

Bukan untuk mengharap belas kasih, tetapi untuk menghadapi tantangannya. Memang Tuhan memberikan kerajaan kepada yang Dia kehendaki dan mencabut kerajaan dari orang yang Dia kehendaki. Memuliakan orang yang Dia kehendaki dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Dan Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. Tetapi Allah telah telah menegaskan bahwasanya Dia tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri.
 


Selasa, 21 Oktober 2014

Teman Dakwah, dalam Suka dan Dukanya

Bukan yang menemani saat ia dielu-elukan dan mendapatkan sanjungan, tetapi yang bersabar saat ia mendapatkan cercaan, terhina, dan harus menanggung malu bersamanya.

Bukan yang menemani ketika menjemput kemenangan dan disematkan penganugerahan, tapi yang tak berpaling ketika ia berlepotan dengan kotoran, bahkan tak risih membersihkannya.

Bukan saat-saat bermain-main dalam kegembiraan, tetapi setia pada saat-saat harus berlelah memikul beban. Bukan ketika menikmati buahnya, tetapi yang berpayah merawat dan menyianginya.

Tak meninggalkannya dalam keterpurukan, tak membiarkannya dalam kehinaan. Ketika kepercayaan terhadap dakwah ini terkoyak di depan mata, tapi kukuhnya keyakinan di dalam hati membuatnya tetap bertahan. Di antara ujian, fitnah dan rintangan yang menimpanya, ujian yang mesti dilewati bukan hanya kebaikan, tetapi juga keburukan.

Yang tak berpaling oleh fitnah yang menimpa, keteguhan yang tak goyah oleh prasangka, “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An Nur: 12, 16)

Nilai kesabaran yang sesungguhnya, yang telah teruji. Nilai bagi mereka yang telah menempuh masa-masa sulitnya. Bukan sebatas pecundang, “Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka. Dan jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula).” (QS. An Nisa: 72-73)

Bukan yang menemaninya dalam gegap gempita, tetapi yang mengawali dari kesendirian, dari keterasingan. Ketika nilai sebuah pengorbanan lebih berarti, “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid: 10)

Ridha menemani dalam menempuh kemudahan dan kesulitannya, manis dan pahitnya. Bukan sebatas mengharap keuntungan, tetapi merelakan pengorbanan, “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah: 42)

Ridha baik ketika mendapatkan bagian, tetapi juga ridha ketika harus tersisih, “Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah: 58-59)

Sebelum pengorbanan tak dibutuhkan lagi, dan tak berguna suatu amal, “Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” (QS. Al An’am: 158)

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 254)

Bagi mereka yang telah menyisihkan dirinya, merelakan kepentingannya, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS Al Baqarah: 207)

Dan Allah juga mempersiapkan balasan yang sebaik-baiknya, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 111)

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At Taubah: 120-121)

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 146-148)

Tetapi teman sejati itu hanya sedikit, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud: 116)

Yang mendekat ketika kebanyakan manusia enggan, menyapa di saat orang lain menjauh, dan peduli ketika kebanyakan abai, akan berbuah kesan yang lebih membekas di sisi-Nya, dan kelak akan lebih berhak atas anugerah yang sesungguhnya, dalam kemenangannya.


Minggu, 12 Oktober 2014

Di Ambang Syiah?


Ketika beberapa waktu lalu ibukota Yaman jatuh dengan mudah ke tangan milisi Syiah Hutsi, sekaligus mengubah peta kekuatan politik dan militer di negara tersebut, seharusnya menjadi sebuah warning bagi keberlangsungan entitas muslim Sunni, adanya potensi bagi Syiah mengambil alih dominasi Sunni atas dunia Islam.
Pelan tapi pasti, satu per satu negeri-negeri muslim Sunni beralih ke tangan Syiah. Dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, menyusul Irak pasca invasi AS, dan dikuasainya pemerintahan Afghanistan oleh faksi yang pro Iran. Lebih luas lagi, secara global peran dan posisi Syiah menguat signifikan, termasuk diuntungkan oleh situasi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Bahkan termasuk di Indonesia, mereka memainkan peran politik yang lebih besar, melampaui statusnya sebagai minoritas.
Untuk membangunkan kaum Sunni dari tidurnya, bahwasanya telah ada proses panjang di balik pencapaian tersebut, yang benar-benar dipersiapkan dengan baik oleh kaum Syiah, untuk mengukuhkan eksistensinya. Jadi tidak begitu saja tiba-tiba menghentak muncul ke permukaan. Dan bahkan selama ini tidak disadari oleh kaum Sunni sendiri.
Tulisan ini tidak mengambil perspektif menguji kebenaran sebuah dogma, bukan untuk menghakimi suatu keyakinan, tetapi dalam perspektif usaha-usaha yang dilakukan dalam mengukuhkan hegemoni dan membangun sebuah peradaban. Di antara klaim kebenaran antara Sunni dan Syiah, baiklah masing-masing di antara kita menghargai upaya pencarian kebenaran yang hakiki, seobyektif mungkin dan tanpa prasangka. Dan masing-masing dari kita kelak akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah.
Benturan Tanpa Henti, Memperebutkan Hegemoni Peradaban
Generasi kita lahir dalam suasana dunia Islam telah sekian lama didominasi oleh paham Sunni. Membekas dalam benak kita bahwa Sunni adalah mayoritas, sedang Syiah hanyalah minoritas. Dalam perspektif sempit ini kita bisa lengah, dengan mengasumsikan dominasi Sunni tidak mungkin tergantikan oleh Syiah, apalagi dalam waktu dekat.
Tetapi dalam perspektif yang lebih luas, di antara benturan berbagai ideologi dan peradaban, silih berganti antara kemunculannya dan keruntuhannya, sesungguhnya sejarah peradaban umat manusia tetaplah berada dalam situasi yang cair. Pintu sejarah suatu peradaban tidak pernah terkunci, sehingga tidak ada tempat yang aman bagi sebuah peradaban untuk beristirahat dan tidur dengan tenang, sekokoh apapun mereka.
Pasca dominasi Turki Utsmani, antara Syiah dengan Sunni memang bisa diibaratkan seperti semut berhadapan dengan gajah. Bagaikan menyandang sebuah mission imposible, ketika segelintir orang yang tak memiliki apa-apa berhadapan dengan sebuah peradaban besar. Tetapi di antara mereka ada cita dan idealisme untuk menaklukkan peradaban besar tersebut, meski mengawali dari sebuah langkah.
Bukan sikap mental menyerah pada ketidakmungkinan, tetapi tidak juga terjebak pada sebuah optimisme semu yang hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya khayal dan angan-angan panjang, tidak cukup hanya dengan retorika-retorika kosong, tetapi membutuhkan usaha-usaha luar biasa, upaya-upaya taktis dan terukur untuk merealisasikannya. Mencari celah-celah sempit untuk menembus kukuhnya benteng dominasi Sunni, menaklukkan sebuah kemustahilan.
Bukan sebuah upaya yang mudah, perjuangan yang membutuhkan kesabaran dan waktu, bahkan lebih dari itu, ia membutuhkan strategi yang terarah pada target yang ingin dicapai. Kemampuan membaca situasi dunia, memanfaatkan berbagai friksi dan konflik kepentingan, serta bermain di antara berbagai benturan ideologi dan peradaban besar.
Memainkan Keragaman Manhaj, antara Puritanisme dan Tradisionalisme
Sebuah retakan yang bisa menjadi jalan untuk membelah besarnya dominasi Sunni dalam dua kubu yang konfrontatif. Minoritas Syiah tidak harus menghadapi mayoritas Sunni secara utuh. Dengan menjadikannya terbelah, berarti hanya perlu menghadapi sebagian saja dari keseluruhan lawan, beban menjadi lebih ringan, bahkan akan masih terbantu oleh adanya friksi internal di dalam tubuh Sunni itu sendiri. Sebuah upaya menyiasati ketidakseimbangan kekuatan.
Islam pasca Rasulullah, adanya keragaman manhaj dan madzhab menjadi sesuatu yang tak bisa diniscayakan. Melewati rentang masa yang panjang, situasi dan kultur yang bermacam-macam, potensi keragaman juga akan semakin komplek. Antara menjaga orisinalitas agama dengan mengakomodasi fleksibilitasnya akan terus memunculkan dinamika.
Nabi Muhammad berbeda dengan rasul-rasul sebelumnya, Islam yang dibawanya bukan hanya untuk satu kurun dan kaum tertentu. Adanya jaminan tidak ada lagi nabi sesudah Beliau, hanya akan ada pembaharu-pembaharu yang mengembalikan orisinalitas Islam tiap kurun tertentu. Karena bukan nabi, para pembaharu tersebut tak akan menyelesaikan sepenuhnya setiap permasalahan umat, tetapi orisinalitas Islam tak akan sepenuhnya pudar sebagaimana agama-agama terdahulu. Hal ini mengisyaratkan Islam ini didesain memadai untuk menjawab semua problematika segenap umat manusia hingga akhir zaman.
Tidak semua problematika tiap-tiap generasi diterangkan secara detail, tak mungkin tiap-tiap generasinya menghandle problematika keseluruhan generasi, Islam tak memberi beban di luar kemampuan mereka. Ada aspek-aspek yang dijelaskan secara global, menjadikan fleksibilitas Islam diterima dalam beragam kondisi dan zaman yang berbeda-beda, agar tiap-tiap generasi mampu mencerna Islam sesuai kapasitas kemampuan mereka dalam menjalankannya. Generasi abad pertama Islam tidak terbebani semua permasalahan generasi kita. Sebaliknya, bagi generasi kita akan menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum dirumuskan secara langsung oleh generasi terdahulu.
Di antara persoalan-persoalan baru yang timbul dalam perjalanan hidup umat Islam, muncul keragaman pemahaman dan perbedaan sudut pandang dalam menyikapinya. Bahkan kemudian mengkristal menjadi friksi dalam tubuh umat seiring perjalanan panjang melewati rentang ruang dan waktu, baik dalam corak tradisionalis, puritan, modernis, konservatif dan sebagainya.
Antara menjaga kesatuan umat dan mempertahankan kemurnian agama, sering menjadi sebuah persimpangan bagi perjalanan agama ini. Islam tidak bisa tegak di atas penyimpangan, ia harus terjaga orisinalitasnya dari penyelewengan, tetapi keragaman juga akan senantiasa timbul, dan hal tersebut membutuhkan sikap obyektif dan proporsional ketika belum dapat dipertemukan. Jika tidak, hal ini akan berujung pada friksi yang tak kunjung usai dan kontraproduktif bagi umat ini sendiri.
Terlepas dari beragam rumor yang beredar di balik berbagai friksi yang terjadi, dalam catatan-catatan gelap seperti Memoar of Hempher atau Lawrence of Arabiya, yang kebenarannya sulit dipertanggungjawabkan, tetapi kenyataannya memang dimanfaatkan pihak luar, dalam konteks kolonialisme, persaingan politik, persaingan antara Sunni dengan Syiah dan sebagainya.
Friksi antara Salafi dengan Asy’ariyah, atau dalam tataran lokal seperti polemik tentang MTA, dimainkan secara piawai termasuk kepentingan meneguhkan eksistensi Syiah dalam menghadapi Sunni. Tidak hanya memperkecil medan konfrontasi Syiah dengan Sunni, bahkan bisa menarik kedekatan Asy’ariyah dengan Syiah, pada sisi-sisi kesamaan di antara keduanya. Selangkah lebih jauh untuk mengesampingkan perbedaan akar keagamaan di antara keduanya. Friksi dengan kaum puritan membuat kalangan muslim tradisionalis memposisikan diri lebih dekat dengan Syiah.
Antara Salafi (Wahabi) dengan Asy’ariyah (Sufi), sebenarnya memiliki kesamaan akar keberagamaannya dari sisi penerimaan mushaf Utsmani, hadis kutubussitah dan madzhab empat, tetapi mengkristalkan sisi-sisi perbedaan di antara keduanya mengakibatkan terciptanya gap yang sangat lebar, penampakan praktek keagamaan di antara keduanya menjadi berbeda sama sekali, dan menjadi sulit untuk dipertemukan.
Ketika salah satu pihak didorong semakin jauh pada arus heretic beserta penyimpangannya, sedang pihak lain didorong pada arah rigid dengan keabsolutannya, tereliminasinya sisi-sisi kesamaan di antara keduanya, sekaligus mengedepankan sisi-sisi perbedaan, maka semakin sulit untuk mempertemukan keduanya, dan akhirnya menjadi dilema cukup berat yang dihadapi oleh kalangan Sunni.
Sebaliknya, antara Asyariyah dengan Syiah memiliki akar keagamaan yang berbeda sama sekali, tetapi keduanya hidup dalam tradisi yang serupa, dan mengakomodirnya, sehingga penampakannya memiliki banyak kesamaan, misalnya pada aspek tradisi ziarah kubur, istighatsah, tawasul, tasawuf, wirid-wirid dan sebagainya, sehingga semakin menarik kedekatan mereka dengan kalangan Syiah.
Menjaga eksistensi muslim Sunni membutuhkan solusi untuk menyikapi friksi yang terjadi, membutuhkan pandangan yang obyektif dan komprehensif mengenai perkara ushul dan furu’, serta berbagai ikhtilaf yang sulit disepakati, tanpa mengesampingkan upaya mencari kebenaran hakiki. Jika tidak, justru akan tersandera oleh permasalahan tersebut, sekaligus menjadi beban internal yang cukup melemahkan.
Bermain di Antara Benturan Islam Vis Neo-Kolonialisme Barat
Terlepas dari benturan abadi antara al haq dan al bathil, benturan kepentingan dalam berbagai aspeknya telah banyak menghiasi sejarah, dan akan terus berlangsung. Tidak ada kawan dan lawan abadi untuk memperebutkan supremasi dunia.
Pada era kolonialisme dan sesudahnya, kondisi dunia Islam memang didominasi oleh Sunni. Tetapi keberadaan Sunni sebagai tulang punggung dunia Islam justru menempatkannya sebagai target dari upaya kembalinya neo-kolonialisme. Ketika penjajahan secara fisik berakhir, penjajahan dalam bentuk lain, secara ideologi, politik, ekonomi, serta penguasaan SDA, terus berupaya mencengkeram dunia ke tiga, termasuk dunia Islam.
Di satu sisi, saat ini Syiah memang berada di bawah superioritas Sunni, tetapi di sisi lain dunia Islam sebenarnya sedang berada jauh di bawah superioritas kekuatan super power dunia. Barat dan Syiah sama-sama memiliki kepentingan untuk menggeser dominasi Sunni. Berpotensi menjadi sebuah kolaborasi yang apik untuk mengukuhkan eksistensi Syiah, sekaligus tantangan lebih berat yang harus dihadapi Sunni.
Secara kasat mata di permukaan, Syiah (terutama Iran dan Suriah) menjadi ikon perlawanan dunia Islam terhadap Barat, dalam hal ini Amerika dan Zionis. Tetapi dunia sedang tidak sesederhana itu, kita bukan hanya berada pada era kemajuan teknologi canggih yang menakjubkan, tetapi juga kemajuan teknologi politik yang sudah tidak sederhana, tak lagi bisa dimengerti oleh orang kebanyakan, dunia yang penuh intrik, tipu daya dan konspirasi.
Jika kita cermati dengan seksama, di balik konfrontasi antara Iran dan AS, mengapa tercipta kolaborasi indah keduanya di Irak. Tidak ada kepentingan AS untuk menjatuhkan Saddam Husain, kemudian pergi meninggalkan Irak begitu saja. Yang pasti justru kepentingan menghadiahkan negara Irak kepada Syiah, sebuah kolaborasi apik antara AS, Iran dan pemerintahan Irak yang didominasi Syiah.
Invasi AS ke Afghanistan juga berakhir dengan terwujudnya pemerintahan Afghanistan yang pro Iran. Terlalu naif jika AS hanya berkepentingan menjatuhkan Taliban kemudian meninggalkannya begitu saja. Retorika Barat untuk mengakhiri rezim Asad, di lapangan ternyata jauh panggang dari api, makin mengukuhkan keberadaan rezim Asad. Kecurigaan adanya kolaborasi antara pemerintahan Syiah Irak dan AS dalam melakukan pembiaran dan memfasilitasi kemunculan ISIS, berpotensi menjadi jalan untuk menghancurkan eksistensi Sunni yang tersisa di wilayah tersebut.
Benturan antara rezim-rezim boneka Barat dengan Islamis juga menjadi benang merah yang menghubungkan kepentingan Syiah. Yaman adalah salah satu contoh, sebuah situasi yang didesain untuk menggiring lawan-lawan politik Islamis untuk masuk dalam satu kepentingan dengan Syiah.
Benturan Islamis dengan Liberalis dan Sekuler, kemudian menempatkan salah satu kubu dalam satu kepentingan dengan Syiah, bisa merubah konstelasi Sunni-Syiah secara drastis. Apalagi jika kekuatan pro Barat, Liberalis, Sekuler, dan rezim-rezim tiran meninggalkan identitas kesunniannya, hingga Sunni akan terbatas pada Islamis saja.
Termasuk dalam tataran lokal, menarik masuk kalangan nasionalis dan abangan dalam satu kepentingan dengan Syiah menghadapi Sunni, berpotensi berubahnya konstelasi Sunni-Syiah, hingga dominasi Sunni atas Syiah kemudian berbalik.
Pelajaran untuk Islamis dan Jihadis, Sebuah Jebakan
Sempat terbawa dalam euforia sesaat kemenangan Islamis pasca Arab Spring, sebenarnya ada hal-hal di balik itu yang perlu dicermati. Jika islamis sempat menduga Barat (terpaksa) mendukung tuntutan rakyat yang menginginkan jatuhnya para tiran yang notabene boneka mereka sendiri, atau membiarkan kolega-kolega mereka jatuh, tak berdaya menghadapi gejolak arus revolusi, tentunya permasalahan tidak akan sesederhana ini. Sebagaimana halnya ketika Jihadis menduga Barat meninggalkan medan-medan jihad karena tak mampu lagi menghadapi perlawanan mereka, persoalan juga tak sesederhana ini. Tidak mungkin Barat menyerahkan kekuasaan ke tangan Islamis begitu saja.
Tetapi di antara intrik dan strategi yang sudah sedemikian rapi, segala sesuatunya yang terjadi tentunya telah terencana, terukur dan diperhitungkan secara matang. Bukannya Barat tak mampu mempertahankan kekuasaan Husni Mubarak misalnya, tetapi memang telah ada agenda lain. Reformasi di Indonesia yang telah terjadi beberapa tahun sebelumnya bisa menjadi cermin, bahwasanya hal tersebut bukan hanya kepentingan Islamis melawan diktator lokal, tetapi ada pihak yang sebenarnya memfasilitasi dan akan memanfaatkannya.
Berbagai revolusi dan pergolakan dijalani bersusah payah, sedang hasilnya dinikmati pihak lain. Keluar dari sebuah tiran, masuk kepada tiran lain setelahnya, bahkan lebih buruk. Sebenarnya perlu diperhatikan dengan seksama, ketika keterlibatan Islamis di garda terdepan berbagai pergolakan, revolusi dan medan jihad, ujung-ujungnya justru mengukuhkan dominasi Barat, termasuk menguatnya eksistensi Syiah.
Kita perlu melakukan evaluasi mendalam ketika Islamis hampir tidak mendapatkan apa-apa dari keterlibatannya dalam Arab Spring, justru memunculkan kediktatoran dalam bentuk lain. Mesir dan Yaman menjadi pelajaran berharga, revolusi yang bergulir dimanfaatkan betul oleh pihak lain. Demikian pula terbentuknya kelompok-kelompok Jihadis yang justru menjadi pintu masuk upaya penghancuran dan pelemahan Islamis, sekaligus penguatan rezim-rezim yang berafiliasi kepada Barat dan Syiah.
Demikian pula ketika Barat meninggalkan medan-medan jihad dengan segala persoalannya. Tentunya bukan semata kegagalan menghadapi perlawanan, tetapi ada agenda lain yang telah dipersiapkannya. Agar jangan sampai energi dan keteguhan untuk melakukan perjuangan justru dimainkan dan dimanfaatkan oleh pihak luar untuk melemahkan dan berbalik menjadi beban bagi kekuatan Islam sendiri.
Di antara tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi, di antara jebakan dan umpan, membutuhkan sebuah kewaspadaan, sebuah upaya menghindarkan diri agar tidak menari di atas genderang yang ditabuh orang lain.
Dunia Islam di Ambang Syiah
Ketika di satu sisi, faksi-faksi yang beragam dalam tubuh Syiah bisa memadukan gerak langkah untuk mewujudkan agenda bersama, baik Syiah Imamiyah, Zaidiyah, Alawites, lebih luas lagi mencakup kemampuan bersinergi dengan kalangan sekuler, liberal, termasuk juga dengan kekuatan luar Islam. Di sisi lain, dunia Sunni terpecah dalam beragam kepentingan yang sulit dipertemukan, bahkan saling bertentangan, antara berbagai faksi Islamis, konflik kepentingan dengan kalangan Sekuler dan liberal, serta dengan para pemegang kekuasaan.
Arab Saudi menjadi sebuah contoh, dalam posisinya yang terjepit meluasnya pengaruh Syiah di kawasan regional, sementara mereka tidak memiliki kemampuan sumber daya, kekuatan militer, bahkan tanpa spirit yang memadai, tidak punya pilihan lain kecuali berlindung kepada Barat. Sebuah pilihan bersyarat yang membuat mereka harus bermusuhan dengan Islamis dan Jihadis. Sedang Barat sendiri tidak tulus menopang mereka, terbangun atas kepentingan yang sangat rapuh.
Menjadi ujian kedewasaan bagi Islamis, benteng terakhir entitas muslim Sunni dalam mempertahankan eksistensinya. Kedewasaan untuk memahami situasi agar tidak terjebak pada permainan dan intrik yang disetting untuk makin melemahkan Sunni itu sendiri. Baik dalam menyikapi friksi internal maupun benturannya dengan kalangan eksternal.
Sejauh mana kemampuan melakukan pendekatan dan komunikasi dengan kalangan nasionalis, atau bahkan sekuler, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, yang bisa menarik kalangan nasionalis, sekuler dan liberal untuk meninggalkan identitas Sunninya dan terserap ke dalam lingkaran Syiah. Sehingga komunitas Sunni makin terisolir dan terbatas pada kalangan tertentu yang makin sempit.
Demikian pula dalam mengambil posisi yang tepat terhadap rezim dan penguasa lokal, yang notabene masih muslim, dengan kebaikan dan keburukannya, agar terhindar dari benturan yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan kepada penguasa yang lebih buruk. Benturan antara Islamis dan penguasa lokal seperti yang terjadi di Libya, Sudan atau Malaysia, bisa menjadi sebuah catatan agar tidak menjadi blunder di belakang hari, yang akhirnya dimanfaatkan pihak luar untuk makin melemahkan kekuatan muslim Sunni secara keseluruhan.
Pendekatan sebaik-baiknya, di satu sisi berhadapan dengan realitas adanya kekurangan-kekurangan mereka bagi eksistensi Sunni, tetapi di sisi lain mereka adalah aset-aset kekuatan Sunni yang tersisa. Menempatkan diri menjadi solusi, mengedepankan kebijaksanaan, untuk kepentingan jangka panjang. Daripada kemudian menjadi berjarak yang semakin jauh, dan aset-aset tersebut jatuh sepenuhnya ke pihak lain.
Sebuah Optimisme, Kebenaran Akhirnya Akan Menang
Di suatu zaman yang penuh fitnah, tantangan mengepung umat ini dari segala penjuru, permasalahan yang dihadapi sangat komplek, upaya-upaya untuk memadamkan cahaya Islam akan semakin pelik, dan semua ini tidak cukup hanya dihadapi secara emosional buta.
Kebenaran memang akan menang, keadilan akan tegak, menjadi buah kebaikan bagi kehidupan, tetapi harus melewati berbagai rintangan tersulit. Sedang takdir yang baik senantiasa bersama upaya-upaya terbaik. Tidak dengan cara-cara curang, menghalalkan segala macam cara, tetapi bukan pula sikap bodoh dan mudah diperdaya.
Dalam keterbatasannya, di tengah berbagai stigma buruk dan kesulitan yang menimpa, nyatanya tetap terlahir manusia-manusia yang akal pikirnya memiliki kesadaran, yang mengenali Islam sebagai sebuah mutiara, sebuah nilai unggul yang akan menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Bukan untuk menguasai dan menaklukkan manusia-manusia lain, tetapi untuk membebaskan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang hakiki.
Menjadi sebuah pertanyaan tersisa, apakah sebuah peradaban yang dibangun dengan aliansi dengan kebatilan, akan bisa menjadi tujuan bagi para pencari kebenaran yang hakiki?

http://www.dakwatuna.com/2014/10/13/58276/di-ambang-syiah/

Arab Akan Murtad dan Kaum Lain Menggantikannya

Tentang fitnah akhir zaman, semestinya senantiasa menjadikan kita mawas diri, betapa kedahsyatannya membuat begitu banyak manusia tergelincir dari jalan lurus. Bangsa Arab yang telah mendapat berbagai karunia dengan agama Islam ini, kemuliaan, kehormatan, peradaban yang dicapai, dimana Rasul untuk umat ini diangkat dari kalangan mereka, bahkan Islam ini baik secara bahasa maupun sejarahnya, tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan Arab. Kaum yang ummi yang ditempatkan pada puncak peradaban dunia. Namun semua itu tidak menjamin bangsa ini akan senantiasa teguh dalam Islam, fitnah yang sangat pelik dan dahsyat suatu saat akan menggoyahkannya.
Sulit untuk digambarkan perasaan para sahabat ketika Rasulullah mengabarkan tentang isyarat murtadnya Bangsa Arab suatu saat nanti. Ketika turun ayat 38 surah Muhammad, “Jika kamu berpaling (dari agama), niscaya Dia (Allah) akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu”, maka sebagian sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, jika kita berpaling, siapakah yang akan menggantikan tempat (kedudukan) kita?” Nabi meletakkan tangannya yang penuh berkah ke atas bahu Salman al-Farisi dan bersabda, “Dia dan kaumnya (yang akan menggantikan kamu). Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika agama ini bertaburan di ‘Tsurayya’, maka sebagian dari orang Persia akan mencarinya dan memegangnya.” (HR Tirmidzi)
Sedang pada ayat yang lain, surah Al Ma’idah ayat 54, juga ada isyarat serupa, “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” Beberapa riwayat dan ahli tafsir seperti Ibnu Katsir merujuk pada kaum Abu Musa Al Asy’ary dari negeri Yaman yang akan menggantikan Bangsa Arab bila murtad dari agamanya.
Meski kita bukan bangsa Arab, isyarat Rasulullah ini hendaknya juga kita perhatikan, bahwasanya bangsa-bangsa lain pun bisa saja tertimpa fitnah dan ujian serupa. Di samping itu dalam konteks kekinian, perkara ini bersinggungan dengan persoalan pelik yang sedang membelit umat ini, klaim kebenaran antar berbagai firqoh, manhaj, dan fikroh yang berujung perselisihan yang belum terselesaikan. Ketika masing-masing mengklaim sebagai satu-satunya firqotun najiyah atau golongan yang selamat, berebut klaim sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Khususnya antara Sunni dan Syi’ah, antara Salafi (Wahabi) dan Asy’ariyah, hingga fitnah Mulukiyah, tuduhan sebagai Takfiri, Khawarij dan sebagainya.

Arab Murtad dan Isu Wahabi

Jika para penentang gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menghubungkan keberadaan gerakan ini sebagai bentuk terlaksananya isyarat bangsa Arab murtad, sebaliknya bagi para pendukungnya, dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah upaya pengembalian kepada Islam yang otentik sebagaimana para Salafus Shalih, membersihkan dari berbagai kontaminasi yang sudah banyak mengotori agama ini. Salaf dan Asy’ariyah kemudian berada pada posisi berhadapan terkait beberapa hal. Seperti masalah yang berhubungan dengan uluhiyah, tentang tawasul, berdoa dan istighotsah kepada nabi, wali atau orang shalih yang sudah mati. Masalah takwil terhadap sifat-sifat Allah, terkait pengertian istiwa’ wajah, tangan dan sebagainya. Tentang batasan-batasan bid’ah dalam praktek peribadatan dan sebagainya.
Di satu sisi Asy’ariyah kukuh dengan tuduhan bahwa munculnya Wahabi adalah manifestasi berbagai riwayat yang berisi nubuwat tentang munculnya fitnah Tanduk Setan dari timur, Nejd, tempat gerakan ini bermula. Dari kalangan Bani Tamim, di mana Khawarij lahir dari tulang sulbinya, dan Muhammad bin Abdul Wahab beserta sejumlah pionir gerakan ini menasabkan dirinya pada Bani Tamim. Juga tentang orang-orang yang penampakan ibadahnya sungguh menakjubkan, namun hakekatnya iman mereka tidak melewati kerongkongan, bahkan mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.
Sebuah aliran yang dituduh didesain oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan membuat aliran baru yang menyimpang, sebagaimana isu-isu konspirasi gerakan Wahabi dan berdirinya Negara Saudi oleh agen-agen penjajah asing seperti Mr. Hempher dan Lawrence of Arabiya.
“Akan ada di akhir zaman suatu kaum yang usianya muda, dan pemahamannya dangkal, mereka mengucapkan perkataan manusia yang paling baik (Rasulullah), mereka lepas dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, iman mereka tidak sampai ke tenggorokan.” (HR Bukhari)
“Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka membaca Alquran dan mengiranya sebagai pembela mereka, padahal ia adalah hujjah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari buruannya.” (HR Abu Dawud)
“Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikan harta (dari Yaman), Dzul Khuwaishirah seorang laki-laki dari bani Tamim berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah! Beliau bersabda, “Celaka kamu, siapa yang dapat berbuat adil jika aku tidak berbuat adil.” Umar berkata, “Izinkan saya menebas lehernya.” Beliau bersabda, “Jangan, sesungguhnya dia akan mempunyai teman-teman yang shalat dan puasa kalian, sepele dibandingan dengan shalat dan puasa mereka, mereka lepas dari Islam seperti lepasnya anak panak dari buruannya.” (HR Bukhari)
Di sisi lain, para pendukung gerakan Muhammad bin Abdul Wahab tidak terima dengan tuduhan ini. Fitnah khawarij, Nejd, Bani Tamim dimaknai kejadian yang telah terjadi sepeninggal Rasulullah, ciri-ciri yang diebutkan dalam hadits bersesuaian dengan apa yang terjadi. Sepeninggal Rasulullah terjadi berbagai fitnah dari timur, Nejd dan Irak, munculnya nabi palsu, kaum yang ingkar terhadap zakat, munculnya firqoh-firqoh dari daerah ini, Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Muktazilah dan sebagainya.
Justru para pendukung gerakan Muhammad bin Abdul Wahab mengajukan sebuah klaim bahwa mereka adalah manifestasi dari kebaikan yang telah dinubuwatkan Rasulullah. Tentang Bani Tamim yang di akhir zaman bangkit menjadi kaum yang berada pada garis depan umat ini, paling gigih melawan Dajjal. Kemudian tentang Islamnya Makah  dan Madinah yang di akhir zaman akan kembali menjadi barometer agama ini, ketika kerusakan begitu meluas, segelintir orang yang berpegang pada agama ini bagaikan orang-orang asing di negerinya sendiri. Orang-orang yang memperbaiki diri tatkala kebanyakan manusia merusak sunnah.
“Sesungguhnya Islam itu muncul pertama kali secara asing, dan akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul, dan Islam akan berlindung kembali di antara dua masjid (Makkah dan Madinah) sebagaimana ular berlindung kedalam liangnya.” (HR Muslim)
Abu Hurairah berkata, “Saya akan senantiasa cinta kepada Bani Tamim, karena saya pernah mendengar tiga hal dari Rasulullah. Pertama, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka (Bani Tamim) adalah umatku yang paling gigih melawan Dajjal.” (HR Muslim) Dalam riwayat lain Mereka adalah orang-orang yang sangat pemberani di dalam pertempuran-pertempuran dahsyat.
Dalam diri Bani Tamim ada sisi sebuah watak yang keras, bahkan menjadikan sebagian mereka sempat tergelincir seperti ketika bersikap kasar terhadap Rasulullah, yang diabadikan dalam surah Al Hujurat. Juga munculnya kaum pembangkang dan nabi palsu sepeninggal Rasulullah atau fitnah Dzul Khuwaisiroh yang melahirkan kaum Khawarij. Namun tidak bisa dipungkiri, sisi-sisi keteguhan pada mereka yang membaja hingga atas karunia Allah ditetapkan menjadi ujung tombak umat yang terdepan di akhir zaman. Sekian lama kiprah Bani Tamim seolah tenggelam dalam sejarah, apakah kemunculannya kiprahnya kembali merupakan pertanda terlaksananya nubuwat Rasulullah?
Sedang mengenai Makah  dan Madinah, sejarah panjang umat Islam telah mencatat bahwa Islam sekian lama mengembara meninggalkan kedua kota ini. Sepeninggal Imam Malik bin Anas, peran Makah  dan Madinah tak lagi dominan, baik secara keilmuan maupun secara politik. Puncak Islam kemudian mengembara ke Baghdad, Mesir atau Istambul. Apakah penguasaan Makah  dan Madinah oleh Kerajaan Saudi, baik secara politik maupun paham keagamaannya merupakan hujah bagi kebenaran paham keagamaan yang dianut kaum Salafi (Wahabi)?
Jawabannya tentu tidak akan mudah untuk kita sepakati, namun dalam konteks korelasi antara kemunculan Wahabi dan murtadnya Arab, beberapa indikasi telah bisa dicermati. Murtadnya bangsa Arab akan diikuti oleh kehancuran yang menimpanya, dalam arti ditaklukkan oleh bangsa lain. sedang kemunculan gerakan Wahabi dan penguasaannya atas negeri Arab yang sejauh ini telah berlangsung beberapa abad tidak mengindikasikan kemusnahan bangsa Arab. Misalnya kalangan Asy’ariyah atau NU cenderung pada kaum dari negeri Yaman dengan paham keagamaan ala Kaum Habaib Hadramaut yang akan menaklukkan Arab, namun sejauh ini belum ada indikasi ke arah itu. Dalam konteks sekarang, di Yaman sendiri malah terdapat banyak aliran dan paham keagamaan lain seperti Syi’ah, Salafi Yamani, Ikhwan, Kalangan Jihadis dan sebagainya.
Sekecil dan selemah apapun peran Kerajaan Arab Saudi di abad ini, posisi Arab sekarang secara politik, ekonomi dan keagamaan lebih signifikan dibanding masa sebelumnya. Sejak masa Bani Umayyah, Abbasiyah, Mamluk dan Turki Utsmani, posisi Arab selalu terpinggirkan dalam berbagai hal, seperti hanya menjadi sebuah daerah pinggiran.

Arab Murtad dan Isu Suni-Syi’ah

Jika antara Asy’ariyah dan Salafi diibaratkan sebagai sebuah pohon yang akarnya mirip namun daunnya berbeda, maka sebaliknya, antara Asy’ariyah dan Syi’ah bisa digambarkan seperti sebuah pohon yang akarnya berbeda namun penampakan daunnya mirip. Antara Asy’ariyah dan Salafi berangkat dari pondasi kitab-kitab hadits dan madzhab fikih yang sama, namun kemudian mengerucut menjadi dua kubu yang saling berhadapan. Sedang antara Asy’ariyah dan Syi’ah yang berangkat dari pondasi yang berbeda, namun sempat hidup bersama dalam perjalanan panjang pada tradisi abad pertengahan, hingga praktek keagamaan keduanya tampak mirip.
Pada kajian tentang nubuwat Arab murtad, posisi Syi’ah menjadi lebih penting dilihat dari riwayat yang menyebut Bangsa Persia yang akan menggantikan Bangsa Arab. Sedang dalam konteks kekinian, negeri Iran yang merupakan manifestasi utama Persia masa kini merupakan basis utama kaum Syiah. Juga tentang Salman Al Farisi yang menempati posisi khusus di kalangan Syi’ah. Tentang klaim kalangan Ahlul Bait bahwa mereka adalah Thaifah Manshurah yang berada di atas kebenaran, tentunya kalangan Ahlus Sunnah tidak menerima.
Pada riwayat tentang ayat 38 surah Muhammad, disebutkan bahwa sebagian kaum Persia yang akan menggantikan bangsa Arab. Kata sebagian ini yang membuka celah bagi pihak yang tidak sepakat dengan klaim Syi’ah tersebut. Belum tentu sebagian kaum Salman yang dimaksud adalah Iran. Persia atau yang juga biasa disebut Khurasan di masa lalu kini telah terbagi menjadi beberapa negeri, Irak, Iran, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara Asia Tengah. Sebagian kaum Salman yang dimaksud bisa saja berasal dari negeri-negeri itu.
Tentang berbagai riwayat mengenai munculnya pasukan dari timur yang akan menyertai Khalifah Al Mahdi hingga ke Al Aqsha, Panji-Panji Hitam dari Khurasan serta pasukan Bani Ishak, memunculkan berbagai klaim tentang Thaifah Manshurah. Selain Syi’ah Iran, Taliban di Afghanistan atau Hizbut Tahrir di Asia Tengah bisa memunculkan klaim serupa.
Bagi para pencari kebenaran tentunya pembahasan tentang Firqotun Najiyah atau Thoifah Manshurah tidak hanya berhenti pada Arab, Yaman dan Khurasan saja. Kebaikan dan keburukan bisa terdapat pada seluruh penjuru bumi ini. Disamping ada yang disebutkan secara khusus dalam suatu riwayat, seperti  keberadaan Thaifah Manshuroh dan Kekhalifahan di negeri Syam atau Baitul Maqdis. Selain diinterpretasikan dengan kaum yang bertempat tinggal di sana, apakah juga bisa diinterpretasikan dengan kalangan yang concern terhadap permasalahan Baitul maqdis Meski tidak tinggal di sana.
Di antara perang klaim kebenaran antara Asy’ariyyah, Salafi dan Syi’ah ada beberapa hal yang semestinya membuat kita mawas diri, benar-benar mengharap petunjuk dariNya agar tidak tersesat. Dari berbagai riwayat, digambarkan betapa puncak-puncak kebaikan dan fitnah begitu berhimpit, hingga menjadikan begitu banyak orang yang tergelincir. Dari khurasan akan muncul pasukan pembela Al Mahdi, namun dari Khurasan pula Dajjal akan muncul. Negeri Arab akan menjadi mercusuar dan barometer Islam di akhir zaman, namun fitnah yang dahsyat juga akan menimpa negeri ini hingga mengantarkan pada kemurtadan. Sedang pada diri Bani Tamim akan lahir puncak keburukan sekaligus puncak kebaikan.
Apakah pada akhir zaman, anugerah terindah umat ini diserahkan kepada Bani Tamim karena kaum-kaum lain menyia-nyiakan dien ini? Temperamennya yang keras kemudian menumbuhkan keteguhannya di akhir zaman. Namun tidak hanya Salafi yang memiliki klaim sebagai penerus Bani Tamim, kalangan Jihadis seperti Taliban dan Al Qaeda juga bisa memiliki klaim serupa.
Ketergelinciran ini tidak hanya menimpa orang yang abai. Terkadang ada orang yang bersungguh-sungguh menuju puncak jihad, namun terperosok ke lembah Khawarij. Bersungguh-sungguh menggapai ibadah dan sunnah, namun berujung pada kesesatan dan bid’ah.

Arab Murtad dan Fitnah Mulukiyah

Adakalanya ujian itu berupa kekuasaan duniawi dan harta benda yang melimpah, yang dengannya belum tentu seorang hamba mampu mensyukurinya dan menjadikannya sebagai bekal untuk beramal shalih. Begitu banyak gambaran tentang manusia yang hanya mengikuti keinginan nafsunya, tenggelam dalam glamor dan kemewahan, hidup dalam kubangan maksiyat. Dan saat seperti itu melepaskan iman menjadi sesuatu yang ringan.
Adakalanya upaya mempertahankan iman harus melewati berbagai fitnah, penderitaan, kekurangan, hingga pengorbanan jiwa raga. Masa-masa seperti inilah yang akan melahirkan para pejuang tangguh. Namun bagi mereka yang telah terbuai oleh kenikmatan dunia akan sulit untuk melewati masa ini.
Adalah negeri Arab, tempat tinggal bagi para Badui miskin yang tangguh di antara kondisi alamnya yang keras. Tatkala Allah memberi mereka kekayaan yang melimpah ruah, mereka hidup enak dan serba berkecukupan. Dalam kondisi demikian, apakah keperkasaan mereka akan luluh?
Perang Teluk, salah satu ujian yang menimpa bangsa Arab. Ketika mereka dihadapkan pada sebuah pilihan sulit, apakah akan memilih bersusah payah mempertahankan diri dan kehormatan mereka dengan perjuangan mereka sendiri, seberat apapun. Ataukah memilih sebuah jalan pintas yang mudah, berlindung kepada kekuatan asing, kekuatan adi daya yang menjadikan bangsa Arab tak perlu bersusah payah mengatasi tantangan yang menimpanya.
Posisi sulit inilah yang membuat lebih banyak orang memaklumi keputusan mengundang pasukan asing bahkan menyediakan pangkalan bagi mereka. Namun bantuan dan perlindungan yang diberikan ini ternyata tidak gratis. Sebagai imbalannya, sedikit demi sedikit, pelan-pelan, iman yang mereka miliki ingin dilucuti. Imbasnya, mulai diposisikan menjauh dari perjuangan umat melawan kezhaliman di berbagai penjuru dunia. Gerakan dakwah dan perjuangan umat ini bahkan diposisikan sebagai ancaman atas kekuasaan mereka. Bahkan sebagian mereka ditempatkan di garis depan memadamkan perjuangan umat. Secara perlahan Kapitalisme, Sekulerisme, Westernisme dan Liberalisme ditancapkan pada mereka.
Di sisi lain, kekayaan melimpah yang mereka miliki seharusnya digunakan untuk amal-amal shalih yang bermanfaat. Namun sebagian dari mereka menggunakan untuk mencapai kemewahan duniawi dalam berbagai bentuknya, berlomba-lomba dengan gedung-gedung pencakar langit, berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang, hingga berbagai bentuk kemaksiatan yang menyertainya. Dan sebagian simbol-simbol agama disisakan agar semuanya seolah-olah masih tampak religius.
Jauh hari Rasulullah telah memperingatkannya, dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Malaikat Jibril ketika ia bertanya tentang waktu terjadinya Kiamat: Akan tetapi aku akan menyebutkan kepadamu tanda-tandanya… (lalu beliau menyebutkan, di antaranya:) jika para pengembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan, maka itulah di antara tanda-tandanya.” [HR Bukhari]
Sementara dalam riwayat Muslim diungkapkan, “Dan engkau menyaksikan orang yang tidak memakai sandal, telanjang lagi miskin yang mengembala domba, berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” Dan dijelaskan dalam riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.”
Fenomena tenggelam dalam kemewahan dan kemaksiatan pada zaman ini memang sedang memuncak, bukan lagi monopoli bangsa Arab. Namun posisi bangsa Arab sebagai pelayan dua Masjid Suci semestinya membuat mereka menyadari akan tanggung jawab yang lebih besar. Dan ketika nafsu kapitalisasi ini menerjang hingga ke pelataran Masjidil Haram, kesakralan dan sikap zuhud di tempat suci ini luruh oleh berbagai bentuk fasilitas kemewahan duniawi, hotel-hotel mewah dan perbelanjaan. Tidakkah seharusnya orientasi pembangunan kawasan Tanah Suci adalah untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi Para Tamu Allah, dengan mengutamakan kesahajaan dan kebersamaan, bukan kemewahan dan materialisme. Tidakkah mereka merasa khawatir ditimpa sesuatu dari Allah ketika apa yang mereka capai dalam puncaknya?
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS: Yunus : 24)
Bangsa Arab, Bangsa yang mulia karena Islam, sekaligus memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap agama ini. Dan jika berpaling, Allah menjamin kehancurannya. Ketetapan Allah pasti terjadi, bagi mereka yang bisa terselamatkan, hendaklah berupaya semaksimal mungkin sebelum terlambat. Teringat akan sosok Raja Faisal, dengan keteguhannya terhadap agama ini, menjadi ibrah bagi generasi sesudahnya, agar mengikuti jejaknya.
Bagi orang yang beriman dan beramal shalih, tidak hanya janji kebahagiaan sejati di akherat, sebagian kebahagiaan itu terkadang sudah diberikan di dunia ini. Dan inilah kabar baik yang dijanjikan Rasulullah pada pewaris negeri Arab kelak, pada akhir zaman akan kembali subur dengan kebun-kebun dan sungai-sungai.
“Tidak akan datang hari kiamat sehingga negeri Arab kembali menjadi padang rumput dan sungai-sungai.”(HR Muslim)
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?” (QS. Muhammad : 15)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur : 55) (suara-islam)
Wallahu a’lam bishawab.

Kamis, 09 Oktober 2014

Menengok Ruang Bebek, Mereguk Empati

Merangkai pelajaran hidup di sebuah rumah sakit, sebuah tempat yang telah meninggalkan banyak kesan dalam perjalanan hidup yang saya lalui, bahwasanya di antara cobaan yang kita alami, masih banyak mereka yang mendapatkan cobaan serupa, bahkan lebih berat.

Terbaring di salah satu sudutnya, seorang bayi penderita hydrocephalus, dengan kepalanya yang sudah sangat membesar, ia hanya tidur beralaskan kardus bekas. Orang tuanya memberinya sebotol susu, terlihat jelas encer sekali. Airnya pun mungkin tak memadai, ditaruh di botol bekas air mineral.

Keesokannya seorang perawat memberikan sebuah spanduk bekas, sebagai alas tidur bayi itu. Memang kemarin saat ia lewat, merasa iba dan menjanjikan akan membawakan sebuah kasur, tetapi katanya ia kesulitan membawakannya.

Berjubel di antara banyak orang yang menumpang di sebuah ruangan, rumah sakit ini berbaik hati menyediakannya, dan bagi mereka terasa sangat membantu, sebagai tempat penampungan sementara sebelum mereka mendapatkan kamar. Ada tempat MCK seadanya, juga disediakan tempat menjemur pakaian di belakang sana. Banyak pula pasien rawat jalan yang datang dari jauh ikut menumpang, jangankan untuk bolak-balik atau membayar kos-kosan di sekitar rumah sakit, untuk akomodasi selama mereka berobat saja tentunya sudah berat.

Mereka yang terpaksa berobat dengan fasilitas jaminan sosial, sebuah pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak memadai, pelayanan yang diberikan sudah pasti serba minimal. Tetapi masih beruntung, di luar sana lebih banyak lagi yang tidak tercover, mereka yang hanya pasrah tergolek lemah di rumah, tanpa bisa berbuat apa.

Mungkin lebih cocok jika ruangan ini diberi nama Ruang Bebek, maklum kebanyakan nama-nama ruangan di rumah sakit ini diambil dari nama-nama burung. Ada Ruang Merak, kemudian Rajawali, Kutilang, Kepodang, Cendrawasih dan Garuda. Bahkan ruang isolasi saja lebih familiar disebut Ruang Flu Burung.

Anak-anak bebek, mereka yang tersisihkan dari induk kehidupan dunia, menjalani berbagai cobaan hidup dan kesulitannya. Tetapi mereka bisa menjadi sebuah pelajaran tentang syukur, kesabaran dan kepedulian kita.

Mereka yang tertatih di antara kepincangan dunia, berada dalam keterbatasan, tetapi betapa banyak dari mereka yang mampu merangkai karya yang luar biasa.

Kehidupan di dunia ini, suka dukanya, hanya seperti sebuah perumpamaan,

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186)

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al Kahfi: 45-46)

***

Orang-orang sakit di sekitar kita, banyak di antara mereka yang terabaikan. Tidak semua dari mereka orang mampu, sedang biaya untuk suatu pengobatan yang baik semakin melangit. Berbagai program jaminan sosial sejak dulu, tak selalu memadai.

Tentang menjenguk orang sakit, sebenarnya kita perlu untuk lebih peka. Seringkali hal itu hanya menjadi rutinitas kebiasaan semata. Padahal yang namanya orang sakit, kalau bukan orang yang secara ekonomi sangat mampu, akan merasa menanggung beban yang berat. Di luar biaya pengobatan, mereka tidak bisa bekerja, termasuk mereka yang merawat. Seringkali di antara mereka ada yang masih memiliki tanggungan, apalagi bila menimpa orang tidak mampu.

Sebaiknya kita tidak sekadar memberi ala kadarnya, sebagaimana halnya saat menghadiri resepsi atau melayat. Sedang mereka terkadang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bisa sampai puluhan juta bahkan ratusan juta, dan tentunya tidak terencanakan.

Masih banyak mereka yang tergolek sakit tak berdaya, penderita gizi buruk, serta anak-anak kurang mampu yang putus sekolah, sedang di luar sana begitu banyak orang yang merayakan lebaran menghabiskan uang jutaan rupiah, mengadakan resepsi pernikahan atau pesta kematian yang menghabiskan uang puluhan juta, akan lebih bermakna dan bermanfaat bila diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

***

Cobaan yang menimpa seorang hamba, hikmah dan rahasianya, seringkali lebih luas dari yang kita mengerti. Bagi mereka yang tengah mencari penawar atas kesusahan yang menimpa, ada sebuah doa yang agung, sebuah doa pelipur lara.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

“Tidaklah ada kekhawatiran atau kesusahan yang menimpa seorang hamba, lalu dia mengucapkan, “Ya Allah , sesungguhnya aku adalah hamba-Mu , anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hamba-Mu yang wanita. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku pada diriku, qadha-Mu adil pada diriku. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, yang dengan-Nya Engkau menamakan diri-Mu, atau Engkau menurunkannya di dalam kitab-Mu, atau Engkau mengajarkannya kepada seseorang di antara makhluk-Mu, atau Engkau menahannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Quran musim hujan semi di hatiku, cahaya di dadaku, terangnya kesusahanku, hilangnya kekhawatiran dan kesedihanku,” melainkan Allah menghilangkan kekhawatiran dan kesedihannya, dan mengganti tempatnya dengan kegembiraan.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Siapa yang mendengarnya hendaklah mempelajarinya.” (HR Ahmad 1/391, Ibnu Hibban, Abu Ya’la, al-Hakim, dan yang lainnya, dengan sanad yang shahih menurut pendapat Al-Albani)

Doa ini memang teramat luas untuk dipelajari. Dijabarkan dengan indah dari sebuah buku yang saya dapatkan dari pinjaman seorang saudara. Buku karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Fawaidul Fawaid, tulisan-tulisan karya beliau memang bisa sangat menyentuh ruhiyah kita. Saat itu saya masih tertatih-tatih mengeja kata demi kata dalam membaca buku tersebut. Maklum juga, saya hanyalah seorang anak putus sekolah yang tidak terbiasa dengan bacaan-bacaan berat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dengan kedalaman dan keindahan bahasanya, mampu menembus sekat-sekat menyentuh hingga ke luar batas-batas manhaj, diakui atau tidak. Sesedikit mungkin menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai polemik, termasuk sengitnya permasalahan salaf dan khalaf. Dan qadarullah, bahkan buku tersebut asalnya dari hadiah dari seorang saudara penganut ‘ahlul bait’.

Seandainya ia menyuguhkan buku yang berasal dari kalangan dari ahli irfan, kemudian mengisi kekosongan jiwa saya, mungkin jalan kehidupan yang saya tempuh akan lain. Apa yang terjadi dalam kehidupan ini tentunya bukan kebetulan semata, terasa betul bila ada yang telah mengatur. Begitu banyak perkara yang kelihatan kecil, tetapi menentukan arah kehidupan. Hikmah dari yang kita alami, menjalani qadha dan qadar Allah, yang saat ini kita belum mengerti, bisa jadi ada artinya bagi kehidupan kita suatu saat nanti, bahkan bagi dunia.