Senin, 20 April 2015

PKS ataupun PDIP, Sebenarnya Kita Tuh Bersaudara!

“Jenuh mungkin, menjalani hari-hari di antara kita dalam perseteruan tiada ujung. Dalam pertemuan di dunia imajinasi ini, baiklah kita sejenak saja untuk menjadi sahabat, saudaraku.”

“Aku pun merasakan hal serupa, seolah-olah di antara kita selama ini, satu sama lain hanya ingin saling menjatuhkan dan menjalin permusuhan. Aku tak menyangka kita akan bertemu dalam dunia lain yang berbeda dengan apa yang biasa kita jalani.”

“Hari-hari yang kita jalani, disibukkan dengan saling menghina, mencaci dan mencari-cari aib di antara kita. Begitu mudahnya kita mengedepankan prasangka negatif. Aku sendiri disibukkan dengan semua itu, bahkan menikmatinya, tanpa terpikir untuk melakukan hal yang lebih berfaedah.”

“Aku juga demikian sahabatku. Bahkan tak hanya itu, aku ngebom basis-basis masamu. Di setiap tempat di mana ada calegmu, aku garap habis-habisan. Aku seenaknya merusak bendera dan atribut yang baru saja engkau pasang. Seringkali aku juga mengeroyokmu dalam duel maut pilkada. Aku sangat puas memblow-up kasus korupsi yang membelitmu, bahkan sampai aku lupa siapa yang lebih korup di antara kita.”

“Status dan komen-komen yang aku tulis, dipenuhi dengan olok-olok dan bully-membully. Setiap ada informasi buruk tentangmu, tanpa pikir panjang aku tergesa-gesa menyebarkannya. Aku sangat bersemangat men-share dan menyebarluaskan kejelekanmu. Tanpa beban, begitu mudahnya aku mengeluarkan komen-komen negatif. Aku merasa semua yang kulakukan itu adalah upaya membela kebenaran, semua itu adalah amal shalih, bagian dari dakwah yang suci dan mulia ini.”

“Padahal semua olok-olokmu terhadapku tidak membuat aku menjadi baik. Jangan berharap olok-olokmu membuat aku insyaf. Setajam apapun lisanmu mengulitiku habis-habisan, justru semakin membuat aku antipati terhadapmu. Juga membuat aku semakin membenci dan menjauh dari dakwah yang kau bawa. Bukan saja aku membuat-buat fitnah dan berbagai stigma negatif tentangmu, tetapi perilakumu juga ikut menjustifikasinya.”

“Maafkan aku saudaraku, sampai-sampai aku hampir terlupa tentang luasnya hakikat dakwah ini, tentang kesabaran, dan tentang kelembutannya. Seharusnya bukan hanya membalas keburukan dengan keburukan, membalas umpatan dengan cacian. Ia membutuhkan kebesaran jiwa, kelapangan hati, sikap yang penuh hikmah, serta sikap bijak menghadapi hal-hal yang menyakitkan sekalipun. Ada saatnya kekerasan ditaklukkan dengan kelembutan, dan sepahit apapun yang menghadang semestinya dihadapi dengan cara yang terbaik dan santun. Ucapan jahil hendaknya berbalas dengan kata-kata yang mengandung keselamatan. Akan tetapi semua itu bagiku sendiri tak semudah yang kukatakan.”

“Engkau tidak menolongku, tidak menyelamatkanku, bahkan seruanmu menjadikan aku kian jauh. Permusuhan di antara kita, bukan saja membuat aku kian jauh dan antipati terhadapmu, tetapi juga kian mendekatkanku pada kalangan sekuleris, liberalis, serta justru malah menarikku lebih dekat kepada aliran-aliran sempalan yang kau anggap sesat itu. Bukankah ini kontraproduktif dengan dakwah yang kau usung? Apakah engkau ingin membuatku semakin terjerumus dengan dakwahmu? Bagaimana engkau mengaku sebagai pembawa rahmat bagi segenap alam?”

“Begitulah saudaraku, memang ada pihak lain yang menghendaki permusuhan di antara kita, menanam dendam di antara kita, menyetting kita dalam situasi tidak bersahabat, dalam suasana hubungan yang panas, menjadi dua front yang berhadap-hadapan, dan kita sama-sama terjebak di dalamnya. Ada-ada saja informasi buruk tentangmu, padahal sebenarnya ia bersumber dari website tidak resmi, yang di belakangnya ada tangan-tangan tak tampak, dengan membawa kepentingan mereka. Mereka memanfaatkan permusuhan di antara kita, mengadu domba kita, agar kita berpecah belah dan lemah, kemudian mereka memanfaatkannya untuk memuluskan agenda-agenda mereka, mengukuhkan kekuasaan dan tiran atas dunia ini. Dakwah yang tulus dan santun bertransformasi menjadi bully-membully.”

“Sikap abaiku terhadap dakwah ini, memang dimanfaatkan betul oleh mereka. Tetapi keteguhan dan komitmenmu terhadap dakwah ini, toh sama juga ditunggangi mereka, menjadi bumerang dan blunder bagi dakwah itu sendiri, dan kau tidak menyadari itu. Hingga makin hari dakwah ini makin terseok-seok dan kian terpojok.”

“Beginilah saudaraku, fitnah akhir zaman ini, bukan saja kedewasaan dan kewaspadaanku tak memadai, tetapi fitnah ini demikian pelik dan penuh tipu daya. Pandanganku tak seluas aral yang kuhadapi, cara berpikirku tak sepanjang tantangan yang menghadang. Aku sebenarnya hanyalah hamba-hamba yang lemah, berbuat sebatas kekurangan dan keterbatasanku.”

“Dan akibatnya para tiran dunia itu sekarang sedang berpesta pora, mereka sedang tertawa terbahak-bahak, puas dengan keberhasilannya, membuat kita sibuk berseteru satu sama lain. Padahal sebenarnya bukan engkau yang semestinya menjadi musuhku, saudaraku. Seharusnya aku menyadari, musuh kita yang sebenarnya adalah para tiran-tiran itu, mereka memperdaya kita, mempermainkan, memecundangi dan menipu kita mentah-mentah, dunia ini terseok-seok dan terinjak-injak dalam cengkeraman kekuasaan mereka.”

“Tak sepenuhnya benar saudaraku, siapapun mereka, atheis, zionis, atau kolonialisme global sekalipun, mereka adalah sama-sama anak cucu dari bapak moyang kita Adam. Menjadi tugas kita untuk mengentaskan mereka dari kezhaliman yang mereka perbuat, serta membebaskan mereka dari Iblis, musuh kita yang sebenar-benarnya.”

“Benar saudaraku, Tak semestinya kita bergembira dengan musibah yang menimpa di antara kita, tak sepantasnya kita menari-nari di atas penderitaan orang lain. Selayaknya kita menolong mereka, bukan membiarkan mereka terjerumus.”

“Seharusnya kita bukan hanya menolong mereka yang terzhalimi, tetapi juga menolong mereka yang berbuat zhalim, mengentaskan mereka dari kezhalimannya. Sepahit apapun kezhaliman yang dihadapi sebenarnya adalah makin luasnya ladang amal yang terbentang. Kesabaran menjadi lebih bernilai karenanya. Kalau hanya olokan dan cacian, sebenarnya ia tak seberapa, bukankah orang yang mengolok-olok belum tentu lebih baik dari yang diolok-olok?”

“Baiklah, selepas pertemuan ini kita bisa menjadi sahabat di dunia yang sebenarnya saudaraku?”

“Belum saudaraku. Kita masih harus terombang-ambing dalam cengkeraman tipu daya dunia. Ia tidak akan membiarkan kita lepas begitu saja. Jalan untuk membebaskan diri kita darinya mungkin masih panjang, masih harus menempuh perjuangan yang melelahkan. Artinya, kita masih akan saling bermusuhan satu sama lain, kita masih akan saling berseteru. Dan para tiran itu terus saja kukuh mencengkeramkan kekuasaannya atas dunia.”

“Sebelum zaman edan ini sirna, orang khianat masih akan dimuliakan, orang amanah masih akan dihinakan, kita masih dikuasai keserakahan dan kesombongan, dunia ini penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan, dan aku menjadi bagian darinya.”

“Menjalani pusaran fitnah zaman akhir, kedustaannya, kebenaran tampak sebagai kebatilan, dan sebaliknya, kebatilan menjadi pujaan. Keadilan sebatas kerinduan, fitnah-fitnah masih akan terus menimpa.”

“Terkadang aku cukup puas mendapatkan duri dan tulang yang tak seberapa dari fitnah dunia ini. Sementara perbendaharaan dunia yang sebenarnya tak seberapa kunikmati.”

“Aku juga cukup gembira menikmati sedikit umpan, sementara aku sebenarnya kehilangan jauh lebih besar dari yang aku dapatkan.”

“Menikmati sedikit upah yang aku dapatkan, tak sebanding dengan sakit yang aku rasakan saat para tiran dunia itu membutuhkan tumbal bagi kekuasaan mereka, saat aku dijadikan kambing hitam yang dikorbankan, aku bisa dicampakkan begitu saja.”

“Seringkali kita hanyalah orang kecil yang diperalat oleh tipu daya dunia, kita tak berdaya menghadapi semua belitan fitnah itu. Kita hanya bisa berbuat sebatas kemampuan kita. Bukankah kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berjanji akan membuka pintu pertolongan-Nya. Pada suatu saat nanti pintu terbuka, terwujud kedamaian yang sebenarnya.”

“Namun sayang sekali, sebelum semua itu terwujud, aku masih akan terus menzhalimimu, menimpakan ketimpangan dan ketidakadilan atasmu, selagi aku mampu melakukannya.”

“Aku juga masih akan terus mengolok-olokmu, mencacimu, dan menghina keburukan yang kau perbuat, selama aku bisa melakukannya. Dengan itu aku mengobati sedikit rasa sakit akibat kedzaliman yang kau timpakan.”

http://www.dakwatuna.com/2015/04/21/67560/pks-ataupun-pdip-sebenarnya-kita-tuh-bersaudara/

Jumat, 10 April 2015

Mewaspadai Upaya Menjebak Saudi di Antara Benturan Sunni-Syiah

Perubahan arah kebijakan Arab Saudi di bawah kendali Raja Salman tentunya dirasa membawa angin segar bagi kalangan Islamis dan terutama bagi Ikhwan. Akan tetapi, belajar dari pergolakan-pergolakan yang terjadi di berbagai belahan dunia, sejak dari Perang Teluk, Reformasi Indonesia, perang melawan terorisme, hingga Arab Spring, perlu sebuah kewaspadaan ekstra bahwasanya kemesraan antara Saudi dan Islamis bisa jadi justru merupakan jebakan yang berujung pada target penghancuran keduanya.

Baik Reformasi di Indonesia maupun Arab Spring, seringkali Islamis berada di garda terdepan. Namun kita jangan menyederhanakan permasalahan, bahwa pergolakan-pergolakan tersebut adalah proses demokratisasi yang akan menjadikan Islamis tampil sebagai leading. Kita sedang berada di pusaran fitnah akhir zaman yang dahsyat, ada tangan-tangan tak tampak yang bermain di belakang peristiwa-peristiwa besar, mendesain, merencanakan secara sistematis dan terstruktur, dengan agenda-agenda yang berkebalikan dengan yang diperkirakan kalangan Islamis.

Hasil dari pergolakan-pergolakan yang terjadi, bukanlah runtuhnya diktator menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis atau islami, tetapi justru makin termarjinalisasinya kalangan Islamis itu sendiri. Membenturkan antara kekuatan reformis dan status quo, antara kalangan sekuler dan Islamis, serta antara kalangan tradisionalis dan kontemporer, berakibat memperlemah kekuatan Sunni secara signifikan, terjebak pada berbagai kepentingan yang saling berbenturan. Akhirnya berujung jatuhnya satu per satu negara-negara Muslim Sunni ke dalam pengaruh Syiah, dimulai dari Iran, Suriah, Libanon, Irak, Afghanistan dan Yaman. Juga menguatnya peran politik Syiah secara global, termasuk di Indonesia.

Terkait dengan benturan antara Sunni dengan Syiah, tidak sesederhana menumpas pemberontakan Syiah Hutsi di Yaman atau berhadapan dengan Iran. Di balik menguatnya pengaruh Syiah, ada kolaborasi yang pelik di antara kekuatan-kekuatan super power dunia, benturan antara Barat dan Timur, dan tentru saja akar permasalahan dunia itu sendiri, Zionisme, serta pertarungan antara al haq dengan al bathil. Apa yang dicapai Syiah saat ini, tidak didapat dengan tiba-tiba, tetapi telah melalui upaya yang sistematis dalam berbagai bidang, tahapan demi tahapan yang sangat terukur, telah dilaksanakan selama beberapa dekade bahkan sejak beberapa abad yang lalu (Baca: Di Ambang Syiah).

Dalam perspektif era Kolonialisme Barat beberapa abad lampau, upaya penaklukkan dunia Islam tentunya amat memperhitungkan kondisi dunia Islam waktu itu, potensi friksi terbesar dan paling signifikan adalah antara Sunni dan Syiah. Rivalitas keduanya silih berganti mendominasi sejarah dunia Islam. Inilah yang melatarbelakangi kolaborasi manis antara Syiah dan berbagai kekuatan luar dalam berhadapan dengan Sunni. Dalam perspektif ini, kondisi umat Islam pada saat ini khususnya kalangan Sunni, bisa dikatakan berada di ujung tanduk, terkepung berbagai kepentingan yang bertarung memperebutkan supremasi dunia.

Ketika benturan antara Sunni dan Syiah terjadi secara terbuka, diperlukan sikap yang hati-hati dan kewaspadaan yang ekstra, terutama bagi kalangan Islamis dan Jihadis. Kita tidak hanya berada pada era kecanggihan teknologi yang kasat mata, tetapi juga era kecanggihan strategi dan tipu daya. Belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, memperhatikan kompleknya permasalahan yang dihadapi, jangan sampai keteguhan mereka justru menjadi blunder, terjebak dan menjadi bulan-bulanan, kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai, melengkapi kelemahan komitmen kalangan sekuler dalam tubuh Sunni itu sendiri untuk menjaga eksistensi Sunni.

Bisa jadi, kondisi dunia saat ini belum kondusif untuk tujuan akhir yang ingin dicapai, artinya masih membutuhkan kerja keras dan banyak pengorbanan. Terutama juga penting dicermati bagi Ikhwan, diperlukan kebesaran hati untuk tidak tersandera pada kezhaliman yang menimpa mereka selama ini, termasuk kepedihan yang menimpa mereka pasca Kudeta Mesir, demi kepentingan yang lebih besar, ketika umat ini berada di ujung tanduk. Bukan untuk meraih kekuasaan jangka pendek, dan memang tak mungkin akan dicapai di tengah cengkeraman tiran dunia, tetapi ustaziyatul alam yang universal, yang membutuhkan jalan yang lebih panjang.

Ketika umat Islam berada pada kondisi yang sangat lemah, tidak memiliki kemandirian secara teknologi, termasuk sebatas menjadi pemakai dalam bidang persenjataan militer, sekaligus berhadapan dengan pertarungan strategi yang sengit, diperlukan kemampuan yang baik untuk menempatkan diri di antara benturan berbagai peradaban dunia, bukan sebaliknya.

Seolah jalan terbentang, padahal tak ubahnya hanya sebuah jebakan, begitulah dahsyatnya fitnah akhir zaman. Kita perlu mewaspadai jika di balik pergolakan ini ada upaya ‘memursikan’ Saudi sekaligus juga penghancuran bagi Ikhwan. Sulit dibayangkan jika bagunan-bangunan megah yang baru saja dibangun di dua kota suci, hancur lebur menjadi abu.

Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nashir.

Wallahu a’lam bishawwab.


http://www.dakwatuna.com/2015/04/10/67069/mewaspadai-upaya-menjebak-saudi-di-antara-benturan-sunni-syiah/

Kamis, 02 April 2015

Orang NU, tapi Suka Media Muslim Modernis

Oleh: Fadh Ahmad Arifan
Alumni MAN 3 Malang

Mumpung isu pemberangusan media Islam masih hangat, dalam artikel ini saya ingin menuliskan kisah ayahku yang berdarah Madura (Bangkalan), didikan Pesantren dan kental dengan sopan santun kepada Kiai. Beliau ini sosok yang unik dan langka, karena sebagai warga Nahdliyin di kampung Kotalama, kota Malang; ternyata saat mudanya suka baca buku dan media cetak Islam. Kebiasaan inilah yang nantinya menurun kepada anak-anaknya, termasuk saya.
Sebagai orang NU, anehnya ayah tidak punya sebiji pun buku-buku karangan kiai dan tokoh-tokoh yang duduk di kepengurusan PBNU. Justru saya ketahui, beliau memiliki koleksi buku-buku Bey Arifin, cerita silat Ko Ping Ho, Memoar Hasan al-Banna dan bukunya A. Hassan (tokoh Islam modernis).  Selain buku, semasa mudanya, ayahku mengkoleksi Majalah al-Muslimun dan mengikuti beberapa edisi majalah Panjimas. Konon, majalah al-Muslimun ini dihibahkan kepada guru ngaji saya di kampung Kotalama, namanya Mas Mulyono. Mas Mul ini seorang anggota GP Anshor asal Madura. Karena cerdas dan fasih baca kitab kuning, beliau direkrut Muhammadiyah kota Malang.
Ayah sempat bilang, “Kalau tahu kau suka baca, Majalah al-Muslimun tersebut tidak akan aku lepas.”
Majalah ini punya pengaruh besar dalam pembentukan paham keislaman ayah. Melalui majalah inilah, ayah mendapat pencerahan. Sebagaimana bung Karno mendapat pencerahan dari A. Hassan sewaktu diasingkan di Ende, Flores. A. Hassan dikenal tokoh memiliki penguasaan ilmu fiqh, qawaid fiqhiyah dan ilmu mantiq yang bagus sehingga argumen-argumennya sistematis dan tidak bertele tele. Ini berbeda dengan Kiai, yang tarulah sama-sama penguasaan ilmu fiqh tetapi dalam berargumen masih mengutip utuh teks kitab kuning. Begitu analisis ayah.
Media Muslim modernis yang pertama hadir di bumi nusantara adalah Majalah al-Manar. Bila pembaca melihat film Sang Pencerah, Majalah ini diperkenalkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Kembali ke majalah al-Muslimun, pengaruh dari medianya Muslim modernis ini berimbas pada amaliah ibadah ayah. Tidak seperti warga Nahdliyin lainnya yang menganggap tradisi ke-NU an “wajib” khususnya tahlilan, yasinan dan lain-lain.
Ayah termasuk orang NU di Kotalama yang tidak menganggap itu sebagai sebuah keharusan. Beliau adalah orang yang pertama di kampung yang tidak menggelar tingkepan (tradisi 7 bulanan) saat hamilnya ibu saya. Malah beliau berani tidak mengadakan tahlilan untuk kembaran saya yang wafat berusia 6 hari. Namun tidak semua amaliah atau tradisi NU yang ditinggalkan ayah. Misalnya tasyakuran haji masih tetap digelar ketika tahun 1996 dan Syukuran pindahan rumah dari Kampung kotalama ke perumahan Sawojajar.
Untuk urusan perayaan hari Ied Fitri, ayah tidak patuh keputusan PBNU. Beliau mengacu pada putusan Saudi. Katanya, “Saudi dan Indonesia Cuma selisih 4 jam, jadi semisal hilal tak terlihat di Indonesia, kita bisa menanti putusan pemerintah Saudi.”
Selain terhadap amaliah, pengaruh bacaan beliau juga berimbas kepada orientasi politik dan pemilihan lembaga pendidikan. Dalam hal politik, ayahku simpatisan Masyumi. Menariknya beliau mendapat jodoh seorang muslimah Muhammadiyah yang berasal dari keluarga Masyumi. Ibuku seorang keturunan Madura (Bangkalan). Beliau dididik kental dengan tradisi Muhammadiyah. Bahkan sekolahnya pun di lembaga milik Muhammadiyah. Meski ayah beristrikan seorang yang berbeda kultur agama, tapi beliau tidak otoriter dan memaksa istrinya ganti haluan menjadi NU.
Karena kagum kepada kebesaran partai Masyumi, dari pemilu 2004 hingga 2014, ayah memilih dukung PKS. Beliau mengaku dukung PKS karena 2 hal: Partai ini dipandang reinkarnasi Masyumi dan di dalamnya diisi anak-anak muda yang pintar seperti Mahfud Shiddiq, Fahri hamzah dan Anis matta. Ketika 2008 dan 2010 PKS deklarasi jadi partai terbuka, dukungan beliau tidak surut. Malah beliau mendorong saya menjadikan fenomena pergeseran paradigma politik PKS sebagai bahan tesis di Pascasarjana UIN Malang.
Hasil tesis tersebut saya paparkan kepada ayah dan ibu. Setelah mereka mendapat penjelasan dari saya, mereka hanya berkomentar, “Jadi partai terbuka terutama di daerah bukan basisnya maupun minoritas muslim merupakan sebuah keharusan dalam politik.” Mereka menambahkan, “Yang penting liqa’ tetap jalan dan dakwah di parlemen tidak surut.”
Dalam pendidikan, ayah dan ibu tidak menyekolahkan saya dan adik ke lembaga pendidikan NU. Saya disekolahkan ke Madrasah milik pemerintah seperti MTSN 1 dan MAN 3 malang. Ketika itu kepala sekolahnya masih bapak Abdul djalil. Sosok yang  berhasil membangkitkan MIN Malang 1, MTSN 1 dan MAN 3 malang dari sekolah pinggiran menjadi sekolah favorit. Sebelum menutup artikel ini, dari luasnya bacaan ayah, beliau sering mengingatkan kepada saya dan adik, “Fanatiklah kepada Islam, soal NU dan Muhammadiyah, itu tidak ditanyakan di alam kubur.”
Wallahu a’lam bishawwab.
Fimadani