Shalahudin al Ayyubi Tidak Ikut
Penumpasan G30S/PKI
Ada beberapa anomali dalam
peristiwa G30S/PKI. Ketika terjadi penumpasan sisa-sisa anggota PKI, lagi-lagi
umat Islam (terutama Banser) menjadi eksekutor terdepan. Mereka ditugaskan
menjemput tetangga-tetangga yang terkait dengan PKI, yang di kemudian hari
sebagian besar dari mereka tidak pulang entah ke mana. Ratusan ribu orang yang
terkait PKI menjadi korban pembantaian masal, tanpa proses peradilan, dan dalam
keadaan tak berdaya. Sementara dalam sejarah panjang umat Islam kita banyak
disuguhi banyak kisah menghibur tentang umat yang luar biasa tertindas kemudian
memperoleh kemenangan atas para penindasnya, dan suatu yang sangat aneh
terjadi, tidak ada pembalasan, pembantaian atas musuh yang sudah tak berdaya,
misalnya pada peristiwa futuhul Makkah, Perlakuan atas pasukan Mongol dan kisah
Shalahudin al Ayyubi. Berkebalikan dengan yang terjadi di Indonesia, di
berbagai belahan dunia lain gerakan komunis melakukan pembantaian masal yang
merengut ratusan juta nyawa di Uni Sovyet, RRC, Kamboja, dll.
Ketika sudah tak berdaya,
sisa-sisa anggota PKI tidak disambut dengan penuh maaf atau dididik tentang
keindahan dien ini. Justru yang terjadi umat Islam begitu bersemangat menciduk
tetangga-tetangga mereka, teringat ketika PKI berjaya dulu begitu banyak
ejekan, teror, penyiksaan bahkan pembunuhan yang dilakukan. Tak ayal, kemudian
dari basis-basis PKI timbul sentimen anti Islam terutama NU, berbondong-bondong
berpindah ke agama lain.
Meski saat ini Islam sedang
dipersepsikan sebagai agama teror, ekstrim, radikal, dan kejam, namun sejarah
panjang dunia ini membuktikan sebaliknya. Ketika orang Islam datang ke suatu
tempat, benua Amerika misalnya, bukan pembantaian, penjajahan dan eksploitasi
yang diperbuat, tetapi persahabatan dan transfer ilmu pengetahuan yang dijalin.
Berkebalikan dengan yang diperbuat para penjajah yang melanglang buana ke
penjuru dunia termasuk negeri kita ini, Islam menguasai negeri ini tanpa kita
merasa dijajah dan dieksploitasi. Tapi tentu saja ada oknum-oknum dalam Islam yang
bertindak diluar tabiat di atas, kejam, diktator, tapi tidak mainstream. Bahkan
gerakan Islam yang dituduh paling radikal sekalipun seperti Taliban, Al Shabab,
justru tidak sekejam penjajah yang mengusung dogma agama kasih.
Tapi bila kita dalami pada
penumpasan pasca G30S/PKI, bisa jadi umat Islam hanya menjadi eksekutor
lapangan yang dimanfaatkan suatu agenda besar tertentu. Termasuk pada reformasi
98, aktifis Islam lagi-lagi menjadi eksekutor lapangannya. Bahkan di berbagai
belahan dunia, pada penggulingan Raja Farouk sampai Arab Spring, bisa jadi umat
ini belum bisa menjadi penentu arah atas langkah yang ditempuh, keluar dari
mulut singa, masuk ke mulut harimau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar