Senin, 31 Maret 2014

Makna Memberi dan Menahan Diri

Sebuah video beredar di Youtube, ‘Video Kisah Inspiratif yang dapat Membuat Anda Menangis’, diangkat dari kisah nyata, tentang keindahan di balik suatu pemberian, bahkan mungkin baru sebagian kecil keindahannya.
Memberikan sesuatu kepada orang lain biasanya diiringi dengan perasaan berat, merasakan suatu kehilangan ketika melepaskannya. Berbeda sekali ketika menerima sesuatu pemberian dari orang lain, meski tak seberapa, biasanya dirasakan sebagai suatu anugerah.
Menerima suatu pemberian bisa membuat luluh sikap acuh, meredam kebencian, hingga menumbuhkan simpati. Sebaliknya, tuntutan memberi sering dianggap sebagai sebuah beban yang ingin dihindari.
Untuk sebuah pemberian yang tak seberapa, banyak orang rela mengantri, berebut, bahkan berdesak-desakan dan terinjak-injak. Banyak orang merasa berhak, memalsukan identitas memiskinkan diri, tanpa memedulikan lagi harga diri dan kehormatan.
Sungguh bahagia dan beruntungkah mereka yang banyak mendapatkan pemberian? Selalu mendapatkan prioritas ketika pembagian bantuan, sering mendapatkan santunan, banyak dikasihani. Setiap ada pembagian zakat, sedekah, hingga BLSM, hampir tak pernah ketinggalan.
Apakah kita ingin menjadi orang seperti mereka? Kecewa dan marah ketika orang lain mendapatkan bantuan sosial, raskin, BLSM, zakat dan sebagainya, sementara kita tidak mendapatkannya padahal merasa lebih berhak, hingga harus melakukan protes dan ribut-ribut.
Untuk  anda atau mungkin untuk anak anda kelak, manakah yang lebih layak menjadi cita-cita, kelak di kehidupannya akan banyak mendapatkan santunan, dikasihani dan diperhatikan banyak orang, tak pernah ketinggalan setiap ada pembagian bantuan, zakat dan sedekah? Atukah anda memiliki cita-cita bahwa kelak tak mendapat prioritas sama sekali ketika ada pembagian bantuan apa pun, tak terpikirkan lagi untuk disantuni, tak perlu diberi apapun oleh orang lain? Jika demikian yang terjadi apakah anda akan merasa rugi?
Mana yang lebih dipilih, menjadi penerima bantuan-bantuan itu ataukah menjadi mereka yang banyak membantu, memberi, menyantuni dan menolong orang lain?
Ternyata hakekatnya memberi itu lebih indah dari diberi. Tak rugi memiliki cita-cita ingin diberi kemampuan untuk senantiasa bisa memberi, berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Dimudahkan untuk bisa memberi sekalipun dalam keadaan mengalami keterbatasan, dikuatkan menahan diri meski dalam kondisi kekurangan.
Dimudahkan menjadi kemaslahatan bagi manusia, bukan beban. Mengutamakan itsar bukan ego. Saling memberi, membalas kebaikan dengan yang lebih baik. Merasakan nikmatnya rahasia ikhlas, melepaskan dengan tidak ada rasa keterpaksaan, terasa nikmat sebagaimana merasakan nikmat ketika mendapat suatu pemberian, bahkan lebih, sekaligus menjadi simpanan dan bekal untuk kehidupan kelak di akhirat.
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” (QS. Al Baqarah: 273)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr:9)


Bilik-Bilik Izrail

Ruang Merak, awal 2011. Sebuah ikhtiar memperpanjang hidup. Berharap untuk ditambah sebentar saja. Untuk sebuah tanggungan hidup yang masih dimiliki.
Detik demi detik hidup yang mahal, seharga herceptin dan avastin. Hanya untuk separuh hidup, atau mungkin kurang dari itu, karena meski dijalani dengan payah, sakit, berteman MST dan lorazepam.
Mungkin tak mungkin, atau sekedar berharap tertunda, tapi kedatangannya telah pasti, tapi entah kapan. Hanya saja pengharapan kepadaNya yang tak sedikitpun pudar.
Akhirnya berakhir. Jika waktu bisa diputar kembali, rasanya takkan menyiakan kesempatan untuk berbenah. Tapi telah tertutup, menyisakan sesal. Kecuali sebuah harap tentang rahmatNya yang tetap tak pernah tertutup.
Semoga, menjadi ketetapan terbaik di antara hikmah dan pilihanNya. Semoga, apa yang tercecer, dipungutkan. Apa yang tertinggal, diambilkan. Dan apa yang hilang, tergantikan, dengan yang lebih baik.
***
Ruang Geriatri, awal 2013. Merasa hidup telah cukup, berharap segera purna. Sekian lama kami tahu, bahwa beliau ditimpa sesuatu. Tetapi dari lubuk hatinya tak ingin merepotkan siapapun. Hingga saat itu tiba begitu cepat.
Sepanjang hidupnya untuk kami, hingga tak berkesempatan banyak untuk membalasnya. Hampir tak merepotkan hingga saat berakhir, tak sebanding yang diberikannya.
Begitu ikhlas, meski semestinya menyisakan satu hal yang melalaikan, umur yang terbuang, waktu yang tersia-siakan, bekal yang terlewat untuk sebuah cita di hari kelak.
***
Terbaring sakit, seperti tak kan tertolong lagi, tak tahu lagi harus berbuat apa. Semoga masih tetap bisa berharap, (bukan) berharap yang tak mungkin. Berharap segera beranjak untuk berbenah, khawatir makin terlambat, semestinya membuat insyaf, tapi...
Terus menyakiti, menambah goresan luka di tubuh, terus mengumbar nafsu. Kekhawatiran itu mungkin terjadi, tinggal sebuah harapan dalam doa, jalan keluar yang terbaik dari sebuah ketidakberdayaan.
Di antara hawa nafsu yang terus diperturutkan, akal sehat yang terus diabaikan, tak peduli lagi esok akan seperti apa, tetap tersisa setitik keinginan untuk terbebas. Tetapi lagi-lagi terjerumus, terulang dan terulang.
Sebelum terlambat, dan tak bisa diselamatkan, antara harapan dan ancaman,
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong(lagi).
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ), atau supaya jangan ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa’. Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik’.
(Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. Az Zumar: 53-59)
Kesempatan terakhir, mungkin. Berharap tidak disia-siakan, untuk sebuah negeri yang sedang meregang. Sekecil apapun yang bisa dilakukan, sebelum benar-benar terlambat,  kemudian tak berguna lagi penyesalan. Datangnya Izrail untuk negeri, berakhir.
Semoga, sekecil apapun cita yang tersisa, tidak tenggelam di telan luasnya bentang khilaf ini, tetapi menjadi benih yang tumbuh menjadi naungan luas, suatu saat nanti. Di antara harapan untuk dimudahkan, dengan rahmatNya.

Rabu, 26 Maret 2014

Uhud, Thursina, Mozaik Harapan di Ambang Kehancuran

Saat-saat hanya bisa berharap, pasrah tanpa ada pilihan lain. Berbekal keyakinan semata, janjiNya telah pasti. Agar ketika kelak kesombongan hendak singgah, segera beranjak, menuju pilihan lain, menempuh jalan syukur dan tawadhu’.
Meredup tapi tak padam, memudar tapi tak lenyap, terjatuh tapi menggeliat lagi. Sejenak terhenti, tetapi akan bangun, meneruskan langkah, mengalir sampai ke akhir muaranya. Tetap hidup, takkan pernah ada yang membuatnya berhenti sama sekali.
Lelah dalam penantian panjang. Mengkhawatirkan habisnya kesabaran yang dimiliki, sementara perjalanan mungkin masih jauh. Tetapi kemenangan itu telah menjadi ketetapanNya, agar tekad dan kesabaran tetap utuh.
***
Berbagai karunia Allah kepada Bani Israil berbalas kedurhakaan mereka kepada Nabi Musa. Di ambang azab, tatkala gempa mulai terasa, sebuah bentuk belas kasih Nabi Musa kepada kaumnya, terucap permohonan terakhir untuk sebuah ampunan:
"Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya." (QS. Al A’raaf: 155)
Pertolongan dan ampunanNya takkan habis, sekalipun di antara hamba-hamba yang menzhalimi dirinya, asal tidak berputus asa.
***
Kami tak sebaik Nabiyullah Musa ‘alaihissalam, tapi juga tak seburuk para pembangkang dari kaumnya. Kami meniti jalan dakwah ini, sekalipun berada di barisan terbelakangnya. Kami menjadi penuntun umat ini, sementara langkah kami sendiri terkadang masih tertatih. Tanggung jawab yang besar terpikul di pundak kami, sementara kami sebenarnya masih membutuhkan penopang saat-saat goyah.
Dengan menyandang predikat sebagai pengusung panji dakwah, tidak lantas secara otomatis membuat kami terbebas dari khilaf, alpa dan kelemahan. Mengenakan atribut dakwah, tidak serta merta menjadikan kami sepenuhnya suci.
Kami tetap manusia biasa, dengan kekuatan dan kelemahan, tetap memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun yang membuat berbeda, kami memiliki cita dan tekad tentang dakwah ini. Berada di jalan dakwah ini adalah suatu nikmat, sekaligus tanggungjawab yang besar. Kami khawatir, noda yang ada pada kami membuat panji dakwah ini terjatuh, membuat cita ini retak. Terkadang dakwah itu terpuruk oleh pengusungnya sendiri.
Dengan kekurangan dan kelebihan ini, masing-masing di antara kami saling  membutuhkan dan melengkapi. Namun terkadang ada di antara kami yang menjadi beban, menyulitkan teman seperjuangan.
Hanya saja, dari kebaikan kami yang tak seberapa ini, berharap tercurah ampunan dan rahmatNya yang tiada tara, menanti sebaik-baik pertolongan.
***
Tak ada jaminan kemenangan, tak selalu bertemu dengan kemudahan. Aral melintang menjadi ujian dan seleksi, hingga terlihat siapa yang terbaik amalnya, di antara bergulirnya kejayaan dan kekalahan. Hanya orang-orang terpilih dalam ujian yang mendapatkan prestasi terbaik.
Kemenangan lembah Badar terasa lebih manis, tetapi kejatuhan yang terpahat di bukit Uhud lebih menjadi ibrah, tentang kewaspadaan, kesalahan itu mungkin terulang kembali, dakwah ini terpuruk karenanya, berada pada posisi sulit.
“ Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izinNya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu, dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (harta rampasan). Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema'afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” (QS. Ali Imraan:152)
Kesalahan berbuah luka dan kesedihan. Tergelincir di ambang kekalahan. Tetapi dakwah ini tetap milikNya. Sejatuh apa pun yakinlah bahwa Dia akan senantiasa menjaganya.
“(Ingatlah) ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput dari pada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu.” (QS. Ali Imraan: 153-154)
Di ambang kehancuran, seburuk apapun, tak ada tempat untuk putus asa. Ketika jalan telah buntu, bukan tempat tuk menyerah, masih tetap akan ada titian doa, menjadi jalan lain. Harapan itu akan tetap ada, tetap akan berlanjut, akan bangkit kembali, takkan putus pertolonganNya.
“ Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir.” (QS. Ali Imraan: 139-141)
Berharap agar Dia memaklumi posisi sulit kami, memaafkan perbuatan kami yang melampaui batas, menolong apa yang berada di luar kemampuan kami, memberi rahmat atas niat tulus kami, jalan keluar yang terbaik dari kesulitan kami, dengan karuniaNya semata.
Juga agar kelemahan menjadi pelajaran, sehingga kita senantiasa ingat, tak lupa diri menghadapi kemenangan, tak takabur dengan keberhasilan, tak lengah sebelum sampai tujuan.
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imraan: 165-166)
Tantangan itu berbuah kemuliaan, membuat kesabaran itu sangat bernilai. Ketidakberdayaan berbuah kepasrahan, meluluhkan keangkuhan. Tak berhenti di gunung Thursina, tak padam di bukit Uhud.

Jumat, 21 Maret 2014

Detik-Detik Kemenangan


“Dan pada sebahagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”
Perintah Allah untuk mengerjakan qiyamul lail dalam Surat Al Israa’ ayat 79 ini diikuti perintah dalam ayat berikutnya untuk mengucapkan:
“رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا”

“جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا”
Sebuah doa yang sarat makna, "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Doa pada detik-detik terakhir menjelang fajar, pada momen-momen di mana maknanya sangat terasa, menjelang sebuah pertempuran yang menentukan.
Mengharap datangnya sebuah kekuasaan yang menolong, sebuah karunia dari sisiNya, atas ketidakberdayaan seorang hamba dalam pergulatan antara yang haq dan bathil.
Menjalani takdir di jalan perjuangan ini...
Kejayaan din ini adalah janji dan ketetapanNya yang telah pasti. Namun tidak semua kita yang berlaga akan berjumpa dengan kemenangan, adakalanya berakhir dalam kekalahan, bahkan kesyahidan. Di antara kemenangan dan kekalahan ini Allah hendak menguji siapa yang terbaik amalnya di antara kita.
Jika laju perjuangan ini terhenti dalam kekalahan atau syahid, sedikit pun tidak akan mengurangi keagungan kerajaanNya dan  kemuliaan umat ini. Kesyahidan sedikit pun jua tidak akan mengurangi kegembiraan orang-orang yang mendapatkannya. Kemenangan Ashabul Kahfi dan kebinasaan Ashabul Ukhdud adalah sama-sama kemenangan bagi Allah dan kekalahan bagi musuh-musuhNya. Kemenangan dan kekalahan tidak menambah manfaat atau mudharatNya sedikit pun, bahkan Dialah yang sebenarnya kuasa menetapkan sepenuhnya.
Kami yakin, apa yang Engkau tetapkan pada kami, adalah pilihan yang terbaik menurut ilmuMu. Jika Engkau tidak memberikan kemenangan kepada kami, mudah-mudahan pilihan ini adalah yang terbaik bagi kami. Jika Engkau hentikan langkah kami ketika ketawadhuan kami masih utuh, lebih baik daripada Engkau mengijinkan kami terus menapaki kemenangan-kemenangan sementara langkah kami kian berbalut noda. Syahid dalam izzah adalah lebih baik daripada menang sebagai pecundang.
Kami ikhlas jika sekedar menjadi sebuah legenda yang menjadi ibrah generasi-generasi sesudah kami, atau menjadi batu pijakan di jalan panjang menuju puncak kemenangan kelak hingga penerus-penerus kami menjadikannya sebagai tumpuan dalam berjalan, atau pun jika hanya menjadi sebutir debu di jalan perjuangan ini yang tidak dikenali orang sedikit pun. Yang terpenting bagi kami adalah agar Engkau senantiasa menjaga menolong kami dengan sebaik-baik pertolongan, agar kami dikuatkan untuk sebaik-baik amal.
Meski di satu sisi kadang kami memberanikan diri untuk berharap agar Engkau memberikan kemenangan kepada kami. Betapa pun terkadang kami merasa tak pantas menggengam cita tentang pembuka pintu kemenangan, menjadi asatidzul alam, sementara masih banyak kekurangan kami miliki. Dan jika Engkau meletakkan panji kemenangan itu di tangan saudara kami yang lain, bukan kepada kami, jadikan kami ikhlas menerimanya, bisa bersikap husnuzhan bahwa mereka lebih pantas menerimanya, Islam ini akan lebih tegak di tangan mereka.
Namun Jika Engkau memberikan panji kemenangan itu di kepada kami, kami merasa tiada lain hanyalah merupakan anugerah dan karuniaMu sebagai hadiah terbaik bagi kami. Kami hanya mengharapkan kemenangan yang Engkau ridhai.
Ya Allah, semoga tipu daya dan kezhaliman yang menimpa kami menjadi tambahan pertolongan bagi kami, menutup kekurangan kami, dan mendekatkan kami kepada apa yang Engkau janjikan, yang senantiasa menjadi pelipur di antara duka dan kekalahan kami, tegaknya din ini di semua tempat yang ada timur dan baratnya.
Ya Allah, begitu dahsyat yang sekian lama menimpa kami, sedang kami hanya hamba-hamba yang lemah semata. Jika saat ini kami belum binasa, hanyalah karena pertolonganMu semata, bukan kehebatan kami. Jika saat ini kami belum binasa, mudah-mudahan terus berlanjut kepada kemenangan yang sebenarnya. Ya Allah berikan keteguhan kepada orang-orang yang memiliki azzam untuk tegaknya din ini secara kafah.
Kuatkan kami agar agar tidak menyia-nyiakan bekal ini ya Rabb,
“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”

Selasa, 18 Maret 2014

Ketika Gus Dur Membongkar Sendiri Rumahnya


Jalan politik bukan jalan yang mulus. Tempat saling melibas satu sama lain. Tidak mesti berjalan lurus, seringkali diperlukan kemampuan gerak lincah, meliak-liuk menghindari aral, agar selamat sampai tujuan.
Cah Angon: “Gus, kok bongkar-bongkar sendirian, tidak nyuruh tukang saja?”
Gus Dur: “Lagi tidak punya uang untuk mengupah, kerjakan sendiri saja.”
Cah Angon: “Memangnya rumah ini mau direnovasi, Gus?”
Gus Dur: “Boro-boro renovasi, mengupah orang untuk membongkar saja tidak ada uangnya. Terpaksa bongkar sendiri.”
Cah Angon: “Anda ini aneh, rumah baik-baik kok dibongkar. Ada apa?”
Gus Dur: “Kamu ini mestinya tahu sendiri, rumah ini kena giliran mau digusur. Habis gimana lagi?”
Cah Angon: “Tapi mengapa susah-susah bongkar sendiri, biar dikerjakan Satpol PP saja, tidak repot.”
Gus Dur: “Itulah masalahnya, uang lagi nggak ada, kalau bongkar sendiri minimal bongkarannya nanti bisa dibuat rumah darurat. Kalau dibongkar Satpol PP, nanti rusak-rusakan semua, apalagi kalau pakai buldozer, habis rata dengan tanah.”
Gus Dur yang membesarkan PKB, ia pula yang memporak-porandakannya. Sebelum diporak-porandakan orang lain, karena giliran telah tiba. Setidaknya, puing-puingnya masih bisa diselamatkan. Saat badai reda, puing-puing bekas bongkaran itu bisa dimanfaatkan, tak harus beli semua.
Seringkali, politik itu kejam. Apa yang telah terbangun dengan susah payah, berantakan dalam sekejab. Apa yang menimpa PPP dengan kasus Al Amin Nasution, PKS dengan Kasus LHI, Demokrat dengan Nazarudin, Golkar dengan kasus Akil-Atut. Bukan pada masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi siapa yang memiliki power dan mampu memainkannya, menggilas dan melibas. Perlu membaca situasi, sebelum semuanya terlambat, kemudian tidak dapat ditolong.
Gus Dur tak begitu saja menciptakan PKB dengan mudah. Ia harus menyembuhkan NU yang mati suri akibat tekanan bertubi-tubi Orde Baru. NU termarjinalkan, terbelakang, jangankan mimpi menjadi Menteri, menjadi Kepala KUA saja sulit. NU kemudian naik kelas menjadi pemegang hegemoni kultur keagamaan Indonesia ketika zaman Orde Baru berakhir. Ketika hegemoni yasinan atau tahlilan mengalahkan hegemoni salat dan zakat di masyarakat, pemegang hegemoni zaman Kalabendhu ini. Meski hegemoni ini didapat dengan mengubah wajah NU, wajah inklusif, bukan NU yang dulu lagi. Menjadi pertanyaan, jika suatu saat nanti zaman Kalabendu ini berakhir, toh semua zaman tidak ada yang langgeng, akankah hegemoni NU juga berakhir?
Itulah sekelumit imajinasi tentang Gus Dur. Apakah NU pasca Gus Dur mampu memahami dan meneruskan pembelajaran yang telah ditinggalkannya?
Sekelumit imajinasi, dari sosok Gus Dur yang terbungkus berbagai misteri besar. Jika imajinasi ini keliru, maklum saja, karena yang menulis bukan ahli hisap. Gitu aja kok repot! (kompasiana)

Dari Gus Dur-Amin Rais, Pembelajaran 2014


Bertepatan dengan apa yang disampaikan Bapak Amin Rais pada pengajian Ahad pagi MTA tanggal 16 Maret 2014, ketika beliau me-review saat-saat terakhir yang dramatis menjelang Pilpres 1999 dalam Sidang Umum MPR, saya juga bermaksud me-review apa yang pernah saya tulis dalam konteks sekarang, pada tahapan politik 2014 yang kian panas.
Malam menjelang pilpres 1999 dilaksanakan, para tokoh politik berkumpul di kediaman Pak Habibi. Pimpinan Golkar, TNI, PPP, PBB dan PK menunggu hingga larut malam, tinggal menanti kedatangan seorang Amin Rais. Sebuah tawaran yang sangat dilematis, meminta kesediaan Pak Amin Rais untuk dimajukan sebagai Capres berhadapan dengan Megawati besok. Semua tokoh yang berada di situ baik dari Golkar, TNI, PPP dan sebagainya sudah tidak ada yang sanggup menjadi Capres.
Dilema yang berat, yang oleh Pak Amin Rais diserahkan kepada ibundanya. Keputusan sang ibunda sejalan dengannya, beliau baru 11 hari disumpah menjadi Ketua MPR, tak mungkin ditinggalkan hanya untuk mendapatkan jabatan lain. Di samping itu, merasa sebagai penggagas poros tengah yang memajukan Gus Dur sebagai Capres, nuraninya tak menghendakinya menjadi pengkhianat. Cukup baginya menjadi Ketua MPR.
Apa yang pernah saya tulis sebelumnya tentang hal ini, bukan dalam konteks mistik atau rencana pencapresan Gus Dur sejak jauh sebelum Pemilu 1999, tetapi dipersempit dalam konteks memainkan politik secara lihai, sebagaimana apa yang sedang kita hadapi pada 2014 ini. Semoga menjadi pembelajaran, ketika ada pemain yang telah merasa kalah sebelum pertandingan usai, atau dengan ditetapkannya Jokowi sebagai Capres, seolah pertandingan sudah usai.
 
Kala Gus Dur Menembus Kemustahilan Politik
Siapa yang akan memenangkan pertarungan pada 2014? Apakah pemenangnya adalah kandidat yang saat ini paling populer? Atau yang memiliki pendukung paling banyak?
Bagi kita, pertarungan masih sangat cair. Seringkali kemenangan tidak diraih atas dasar popularitas atau banyaknya pengikut. Bagi kandidat yang tak diunggulkan, tak semestinya pesimis dan menyerah begitu saja. Suatu permainan cantik bisa memunculkan kuda hitam yang tak terduga, segala kemungkinan masih bisa terjadi.
Mengembalikan ingatan pada 1999, pertarungan pertama pasca Reformasi, justru kuda hitam yang muncul menjadi pemenang. Meski PDI-P dan Partai Golkar pada waktu itu adalah peraih kursi terbanyak, pertarungan untuk memperebutkan RI-1 tidak terjadi pada kandidat yang mereka usung, Megawati dan Habibi, tapi pertarungan yang sesungguhnya justru terjadi antara Gus Dur dan Amin Rais.
Pemilu 1999 baru saja berlalu, namun gambaran hasilnya sudah bisa dibaca. Amin Rais yang menghadapi Pemilu dengan penuh optimisme sebagai tokoh terdepan Reformasi, menghadapi kenyataan bahwa suara yang diperoleh partainya jauh di bawah yang ia prediksikan, hanya sekitar 7 persen suara. Ia tidak memandang pencapaian ini sebagai modal awal untuk suatu perjuangan yang harus berlanjut tanpa kenal menyerah. Malah ia shock, sempat ingin mundur dari gelanggang politik, sekaligus mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi Presiden Indonesia. Seolah merasa bahwa peluangnya telah pupus sama sekali.
Di sisi lain, perolehan suara yang diperoleh PKB yang menjadi kendaraan Gus Dur sebenarnya tidak berbeda jauh dengan PAN. Bedanya, pencapaian tersebut tidak disikapi dengan pesimisme. Dari kalkulasi politiknya, suara sebesar itu sudah cukup untuk menjadi modal untuk bermain di antara dua kubu besar yang ada, PDI-P dan Golkar. Komposisi keanggotaan MPR yang akan memilih presiden dihitungnya dengan matang. Sebuah peluang yang bisa dimanfaatkan untuk menawarkan pilihan alternatif di antara dua kubu yang sedang bertarung dengan sengitnya.
Bagi kubu Golkar-Habibi, toh meski dirinya kalah dalam pertarungan memperebutkan RI-1 nantinya, asalkan bukan Megawati yang menjadi pemenangnya. Sebaliknya bagi Gus Dur, kedekatannya dengan Megawati bukan sekadar pertemanan pribadi, melainkan juga pertalian ideologis yang teramat kuat. Gus Dur tak akan rela begitu saja membiarkan kursi Presiden jatuh ke tangan lawan politik Megawati. Dan permainan Poros Tengah inilah yang sebenarnya merupakan jasa terbesar Gus Dur kepada Megawati, yang hingga saat ini bisa jadi belum disadari oleh Megawati, bahkan belum dimaafkannya.
Posisi Gus Dur dan Amin Rais waktu itu relatif sama, tinggal siapa yang bisa membaca peluang. Kondisi Amin Rais yang sedang shock memudahkan Gus Dur memulai sebuah permainan. Gus Dur kemudian menemui Ahmad Syafi’i Ma’arif Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu. Memainkan sebuah argumentasi jika Mega yang menjadi presiden akibatnya akan begini-begini…, jika Habibi yang menjadi presiden akibatnya akan begini-begini…, sehingga bagaimana jika dirinya saja yang menjadi presiden? Sebuah ide yang cukup gila.
Kemudian dilanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan tentang pembagian kekuasaan yang sudah dipetakan oleh Gus Dur, tentang siapa yang akan menjadi ketua MPR, komposisi kabinet, dan sebagainya. Selanjutnya Gus Dur mengemukakan, “Tapi maaf, posisi Menteri Agama kami ambil.” Syafi’i Maarif hanya menjawab, “Ambil saja semua!” Makanya ketika pada era Gus Dur menjadi Presiden terjadi NU-isasi Departemen Agama, posisi-posisi orang Muhammadiyah di Depag dan IAIN dihabisi, sebenarnya adalah permintaan dari Syafi’i Ma’arif sendiri. Seandainya jawaban dari Syafi’i Ma’arif begini, “Bagi-bagi dong, antara NU dan Muhammadiyah,” ceritanya mungkin akan lain.
Ternyata begitu mudahnya memanfaatkan orang-orang yang telah merasa kalah dalam Pemilu, sambil sedikit mengobati shock mereka, dengan iming-iming sebuah hiburan tentang pembagian kekuasaan. Dan ketika kemenangan Poros Tengah tinggal selangkah, muncul sebuah tawaran krusial dari Golkar kepada Amin Rais untuk menjadi Presiden. Cerdiknya Gus Dur menunjuk Amin Rais menjadi pahlawan terdepan Poros Tengah sebenarnya mengunci langkah Amin Rais itu sendiri, sekaligus menutup peluang yang berpotensi menggagalkan agendanya.
Tak mungkin tiba-tiba Amin Rais mengkhianati Gus Dur karena tergiur tawaran Golkar. Ia sudah terlanjur tulus, bahkan ia terlanjur dikenal sebagai orang terdepan yang mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Namun ketika di kemudian hari kebijakan Presiden Gus Dur mengecewakannya, mungkin ia menyesal. Tetapi kesempatan sama tidak datang dua kali.
Amin Rais mungkin merasa cukup beruntung, di tengah keterpurukan partainya masih mendapatkan posisi Ketua MPR. Namun andai sejak awal ia bisa membaca situasi dengan baik, peluangnya bisa lebih. Seperti orang Jawa mengatakan, “Sak bejo-bejone wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo.” Seberuntungnya orang yang lalai, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Meski Gus Dur hanya ‘main-main’ menjadi seorang Presiden, namun memberi sebuah pelajaran tentang optimisme dan strategi yang brilian dalam mengarungi pertarungan di dunia politik. Selanjutnya pada Pilpres 2004, kandidat yang memenangkannya hanya bermodalkan suara 7 % dalam Pemilu Legislatif. Dalam kondisi Pilkada langsung, tetap saja peluang yang telah terbuka lebar, bisa luluh lantak oleh kuda-kuda hitam yang bermain lihai. (kompasiana)

Uaaang, Kalau Setahun DPR Bubar, Gimana Balikin Modal?

Uang, uang, dan uang, memang paling praktis untuk menjawab sikap muak dan apatis publik terhadap politik. Antara maklum dan jijik, yang pasti keburukan money politik ini akan kembali kepada kita-kita juga, kepada bangsa ini secara keseluruhan, bukan hanya yang menikmatinya.
Money politik kian menggila, sebanding dengan korupsi yang juga makin menggila.
Antara aneh dan bukan! Reformasi, demokrasi, kebebasan pers, supremasi sipil, otonomi, pemilihan langsung, yang dulu digadang-gadang menjadi obat mujarab bagi negara ini justru sebaliknya, berbuah komplikasi yang kian parah.
Kebebasan pers membuat para pejabat takut korupsi dan membuat kebijakan yang salah? Ternyata tidak, kebebasan pers menjadi alat memanipulasi opini publik, pencitraan yang menyesatkan.
Pemilihan langsung berarti figur-figur terbaik yang akan memenangkan pemilihan? Ternyata tidak, pemilihan langsung menjadi ajang jual beli suara yang gila-gilaan.
Pemilu 2014 ini, persaingan bukan hanya antar partai, tapi caleg sesama partai bunuh membunuh, akibat penentuan caleg jadi berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan nomor urut. Waktu masih jaman nomor urut, money politik tidak segencar sekarang. Dalam sebuah partai paling hanya caleg yang menempati nomor jadi yang serius, kemudian hasilnya hampir semua partai besar dapat kursi, ayem, bagi-bagi merata. Tidak seperti pemilihan Kepala Desa, kandidat-kandidat yang bertarung habis-habisan, hanya satu yang jadi, selanjutnya melahirkan orang-orang bangkrut, terlilit hutang, stress!
Kini, caleg nomor buncit sekalipun bisa ngotot. Dari sekian banyak caleg yang berkompetisi dengan ngotot habis-habisan, hanya satu dua yang jadi. Fenomena orang bangkrut dan stress ala korban Pilkades makin merambah ke Pileg. Syukur kalau jadi, ada harapan balik modal.
Urusan balik modal ini membuat negara kian tersungkur. Negara ini mesti ditopang utang, utang dan utang. Andai benar-benar collapse, lalu setahun dua tahun DPR bubar, seperti DPR hasil Pemilu 1997, lantas gimana balikin modalnya?
Kompetisi terus melaju tanpa terkendali, tanpa memerhatikan lagi kelayakan dan keselamatannya, sementara negeri kian terhuyung. Sebelum benar-benar ‘boom’,  cobalah berpikir untuk melepaskan ego, memformat ulang langkah, berkolaborasi dalam suatu harmoni, bersama berayun menuju pintu gerbang tujuan. (kompasiana)

Rabu, 12 Maret 2014

Usman Harun, di Antara Aku dan Negeriku

Kita semua tahu, begitu banyak yang menzhalimi negeri ini. Namun barangkali tak menyadari bahwa mungkin kita salah satu di antaranya.
***
Sekian lama aku terinjak-injak dan terhinakan, engkau pun leluasa melakukannya. Seiring pedih yang bertubi-tubi menghantam kesabaranku, berupaya memisahkanku dengannya, hanya satu yang membuat aku masih kuat, bertahan di atas titian kesabaran ini, sepedih-pedih kesewenang-wenangan yang aku terima, aku tak bisa membayangkan rasanya andai akulah yang melakukan kesewenang-wenangan itu. Hanya ini, ia setia menjadi pelipur saat aku hampir bergegas meninggalkannya, sepedih-pedihnya aku terzhalimi lebih ringan kujalani, daripada aku yang menebar kezhaliman itu.
Sahabat, aku tak ingin kezhaliman yang kau timpakan menjadi pembenar untuk aku melakukan kezhaliman serupa. Melakukan pembalasan itu indah, tapi semestinya aku tahu diri bahwa aku tak mampu melakukannya, tak kan sebanding dengan apa yang kau timpakan. Aku tak ingin menikmati pelampiasan jika manisnya tak sedikit pun menambah kemuliaanku.
Jujur aku ingin membalas, tapi aku sadar ini takkan seberapa mengobati pedihku. Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan, sementara engkau malah menertawakannya, mencaci ketidakberdayaanku. Namun aku bersyukur jika aku masih memiliki keteguhan untuk tak tergiur dengan kedudukanmu, aku tak memiliki cita untuk bisa melakukan apa yang kau perbuat. Sekedar agar engkau mengerti apa yang kurasakan. Meski aku tak tahu bagaimana cara membuka hatimu, kezhaliman yang menimpaku menjadi sandaranku untuk berkeluh kesah kepadaNya, menutup kekuranganku dan menjadi jalan bagi kemuliaanku.
Sahabat, aku tak tahu berapa lama lagi masih mampu untuk mengalah. Saat-saat aku masih bisa menikmati pedih ini, aku ragu apakah kesabaran ini sebenarnya hanyalah egoku semata. Egoku membiarkanmu terjerumus, terus menebar kesewenang-wenangan. Jika aku bersikukuh menikmati kepedihan ini, aku mungkin salah membuatmu terus menikmati kezhaliman yang kau perbuat. Berat bagiku untuk bisa menyisihkan kepedulianku padamu, mengentaskanmu dari kezhaliman yang kau lakukan.
***
Sulit bagiku untuk menerima kenyataan. Sejarah yang terbangun ini, tersusun juga oleh noda dan khilaf. Aku muak dan jijik, aku ingin mengenyahkannya, tapi dari lubuk hatiku aku sadar bahwa itu tak mungkin. Masa tak akan mungkin untuk terulang. Tentang sebuah cita mulia, aku menerima apa adanya, termasuk kekurangannya. Karena aku berkaca pada diriku, pada kekuranganku, aku tak ingin dituntut memberikan kesempurnaan serupa.
Aku tak menuntutnya untuk sempurna, aku tak ingin noda itu memporak-porandakan segalanya. Tetapi aku juga tak ingin memelihara noda itu, mengotori cita ini, apalagi berlindung di baliknya. Kekurangan dan kelebihannya, kebaikan dan keburukannya, biarlah ia menjadi harap dan cemas bersama langkahku, membuatku tak mudah tergelincir meski bebannya memberatkan kakiku melangkah.
Sahabat, bukan hanya aku, engkau pun harus tahu bahwa cita kita pada awalnya sama-sama mulia. Setelah mengalir melalui berbagai ujian pelik, hingga sempat ia berwujud dalam bentuk ucapan bunuh dan ganyang. Cita ini terlalu sayang untuk dikubur bersama hitam putihnya, namun lebih sayang untuk menjadi pembuka luka lama. Aku bisa berkata tidak. Mulutku bisa berdusta, tetapi hatiku tidak. Mulutku bisa menyangkal, tetapi hatiku tetap mengakui.
Engkau pun masih bisa menghinaku. Aku hanya bisa berharap engkau bisa merasakan keindahannya, tanpa harus menunggu menjadi hina, agar keindahan ini bisa kita nikmati bersama.
***
Potret-potret diri menyusun potret negeri. Terlalu mudah untuk berbicara hak dengan fasih, tetapi gagap ketika harus bicara tentang kewajiban. Ketika kemuliaan dicari dengan merendahkan. Lebih mudah untuk menuntut daripada memenuhi, lebih mudah untuk menuduh daripada mengakui. Memulai dari diri memang paling mungkin, namun tak selamanya lebih mudah.
Aku tak ingin merendahkan cita, meski sulit menerimanya bersama hitam putihnya. Hanya saja, kesalahan menerjemahkan cita di antara hamba semestinya makin mengingatkan tentang kesempurnaan Sang Pencipta.