Jumat, 23 Mei 2014

Jika Yenny Wahid (Tak) Menolak Menjadi Imam Shalat

Menjadi lebih heboh karena bertepatan pada momen-momen penuh politisasi. Bermula dari kicauan Ipang Wahid di jagat Twitter, Sabtu (17/5). Putra sulung tokoh NU KH Shalahuddin Wahid itu mengabarkan ada capres yang minta Yenny Wahid menjadi imam shalat saat sang capres datang ke kantor PBNU. “Konon ada capres main ke PBNU. Pas solat, ia diminta jd imam. Tapi dia nolak & malah minta Yenny jd imam. "Kan Yenny anak kyai", katanya :D” kata Ipang di akun twitternya, @ipangwahid.

Baiklah kita Husnuzhan saja, bahwa yang dilakukan capres tersebut hanya bercanda. Masalah larangan keras bermain-main dalam agama, kita juga bisa husnuzhan jika yang bersangkutan belum mengetahuinya. Gitu aja kok repot.

Yang sebenarnya penting untuk dicermati, perkara besar yang tersirat di balik kejadian tersebut. Bukan main-main, menyangkut perjalanan suatu pemikiran dan ideologi. Menyangkut masa depan Islam dan NU, di antara benturan berbagai ideologi, liberalisme, feminisme dan semacamnya.

Yenny Wahid, sekedar melihatnya dari luar, terlahir dan tumbuh dari arus deras liberalisme dan feminisme. Namun tak seperti yang diduga, ia tak tumbuh menjadi Amina Wadud atau Irshad Manji,  garis pemikiran yang ia anut juga tak seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi atau Sumanto al Qurtuby. Sebuah apresiasi yang jujur terhadap sosok Yenny Wahid, ketika background liberalisme yang membayanginya sebenarnya teramat kuat.

Saat Yenny ditanya mengenai kriteria pendamping hidup yang diinginkannya, jawaban yang ia berikan, menginginkan yang seiman. Di antara pro kontra, kekerasan, dan keberadaan Ahmadiyah, Yenny cenderung pada pandangan untuk memerangi Ahmadiyah dengan dakwah. Dari sini bisa dinilai, kalau ia tak mengikuti jejak para pluralis yang tak lagi risih soal perbedaan keyakinan, gigih memperjuangkan legalisasi nikah beda agama. Ia juga tidak mengikuti mereka yang berupaya melegalisasi penodaan agama atas nama kebebasan berkeyakinan, demokrasi dan HAM.

Kembali kepada beberapa dekade silam, sebuah dikotomi antara modernis dan tradisionalis. Salah satu pihak dipersepsikan sebagai pembaharu dan intelektual, sementara pada pihak lain disematkan persepsi jumud dan kolot.

Seperti tak mungkin, akhirnya dikotomi tersebut luluh lantak juga. Dengan sangat vulgar, lahirlah komunitas Utan Kayu, anak-anak muda NU yang berani mengeluarkan ide-ide tentang liberalisme, jauh lebih liar dari yang disuarakan komunitas Paramadina atau PSAP, yang memang berlatarkan belakang spirit membuka pintu ijtihad seluas-luasnya. Meski berasal dari komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan adab, tidak saja mendobrak batas-batas pakem yang sudah ada, bahkan tanpa tabu menggugat berbagai kesakralan dogma, kitab suci, syariat dan rasul. Komunitas intelektual baru, menikmati euforia kebebasan, jauh melampaui intelektualitas kaum modernis.

Menginginkan sesuatu yang belum dimiliki, pintu masuk sebelum segalanya terjadi. ‘Mencari dokter di NU sulitnya sama dengan mencari qari’ di Muhammadiyah’. Sebuah kerinduan untuk mengejar ketertinggalan yang dialami NU, kerinduan munculnya dokter, insinyur, dan para intelektual dalam berbagai bidang, saat menjadi kyai atau membaca kitab menjadi sesuatu yang amat biasa di NU. Mungkin seperti yang dialami kalangan Muhammadiyah, yang mengajinya saja masih belepotan, merindukan anak-anak mereka bisa membaca kitab dan menjadi hafiz, mengirimkan mereka ke pesantren.

Termasuk yang ditempuh keluarga besar KH Hasyim Asy’ary, mengeluarkan anak-anak mereka dari lingkaran pesantren, bahkan menempuh pendidikan sekuler sama sekali. Hingga akhirnya berinteraksi dengan berbagai ideologi, terutama filsafat dan isme-isme yang kemudian amat memengaruhi arah perjalanan NU pada generasi berikutnya.

Dominasi pemikiran liberalisme dan pluralisme telah menancap dalam tubuh NU, terutama intelektual mudanya. Meski untuk akar rumput, masih harus dikemas dalam bentuk yang lebih halus, semacam Islam rahmatan lil alamin atau model Islam moderat. Tampaknya kurang disadari, tetapi cukup mengkhawatirkan bagi eksistensi  NU di masa depan, di antara derasnya arus percaturan pemikiran global.

Menyisakan harapan, dari sosok seperti Yenny Wahid, untuk mengembalikan NU pada khittahnya. Meskipun menjadi sebuah dilema tersendiri, membawa beban sebagai anak biologis liberalisme dan pluralisme, untuk membawa anak-anak ideologis liberalisme kembali ke pangkuan NU yang sebenarnya. Sebuah peran yang strategis tapi tak mudah, sebagaimana yang terjadi pada Nation of Islam pasca generasi Elijah Muhammad.

Tidak ada komentar: