Sabtu, 08 November 2014

Dua Wajah Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Muflih

Bulan September lalu saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di ujung paling barat Kabupaten Bogor. Di sela-sela kegiatan yang padat, saya banyak bersilaturahim dengan berbagai tokoh masyarakat. Termasuk berdiskusi dengan seorang kyai muda, pemimpin sebuah pondok pesantren salafi. Kami berbicara mengenai beragam isu yang berkembang di desa dan bahkan sampai pada pembahasan kebencian warga pada Muhammadiyah.


Menurut pak Kyai, cara dakwah orang Muhammadiyah terlalu keras, merasa benar sendiri, terkesan ingin menguasai wilayah, dan stigma negatif lainnya. Di desa ini memang ada satu kampung yang didominasi oleh warga Muhammadiyah. Tokohnya sangat keras dalam menyampaikan ceramah, terutama terkait hal-hal yang menurut Muhammadiyah merupakan bid’ah. Saya terus menyimak tanpa mengakui bahwa saya kader Muhammadiyah.



Cara dakwah yang keras itulah yang tidak bisa diterima warga. Pernah suatu ketika, setelah sholat jumat, seorang ustadz dari Muhammadiyah berdiri di depan mimbar dan berkata, “yang sholat zuhur setelah sholat jumat, ke neraka!” Tentu saja warga kaget. Di beberapa masjid kampung di desa ini, memang ada yang melaksanakan sholat zuhur setelah sholat jumat. Apapun yang ‘difatwakan’ orang Muhammadiyah disana, selalu warga sampaikan pada sang Kyai salafi. Dengan ringan si Kyai menjawab keluhan warga, “tanyakan saja dalilnya.” Sayangnya, ketika ditanyai warga, sang ustadz dari Muhammadiyah tadi mengaku tidak tahu dalilnya. Tentu saja ini jadi senjata Kyai Salafi untuk ‘menyerang’ balik. Muballigh Muhammadiyah punya banyak PR.



Ketika Kepala Desa yang sekarang menjabat belum terpilih, isu yang berhembus pada masa kampanye 2 tahun yang lalu adalah dia orang Muhammadiyah. Warga yang begitu alergi sempat terpengaruh isu ini. Namun pada akhirnya, sang calon mengklarifikasi bahwa dia bukan lagi orang Muhammadiyah. Bahkan, dia mengajak warga untuk sholat subuh berjama’ah. Dia akan bertindak sebagai imam dan ber-qunut.



Tantangan pak Kades pada warga saat itu hanya trik politik. Kenapa saya sebut trik? Karena beberapa hari setelahnya, dia mengakui sendiri dirinya adalah orang Muhammadiyah. “Waktu masa pemilihan, di depan rumah saya banyak orang mengirim macam-macam; telur busuk, bangkai ayam, dan lain-lain. Pihak lawan berusaha mencelakai saya dengan cara-cara ganjil. Tapi kan saya orang Muhammadiyah tulen, hal-hal seperti itu saya gak percaya, merusak tauhid. Saya lawan saja dengan puasa,” ujar Pak Kades. Sebagai catatan, lagi-lagi saya tidak mengaku sebagai orang Muhammadiyah waktu itu. Jadi, Kepala Desa disana memimpin dengan ‘ruh’ muhammadiyah, tetapi menyembunyikan identitasnya sebagai orang Muhammadiyah.



Beberapa hari setelah KKN selesai, saya mengikuti kuliah umum bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O. Blake Jr., di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tema yang diperbincangkan adalah “Islam dan Barat”. Ketika Blake menyinggung tentang toleransi beragama, beliau beberapa kali menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi penjaga perdamaian dan toleransi di Indonesia. Tidak sekalipun beliau menyebut NU. Artinya -tanpa mengecilkan peran NU- ada pengakuan di tingkat nasional, bahkan internasional, bahwa Muhammadiyah mempunyai peran besar untuk mewakili wajah Islam yang damai. Ada kontradiksi ketika melihat Muhammadiyah dari dua sisi; dari atas (skala global) nampak berwajah damai, tetapi menyeramkan jika dilihat dari bawah (kalangan akar rumput).



Pada skala nasional, memang kampanye toleransi antar umat beragama terus digalakkan. Kita bisa mengamati, saat ini toleransi umat beragama di Indonesia sudah berjalan baik. Namun di kalangan paling akar rumput, ada sesuatu yang belum selesai. Malahan, perkara-perkara ini menjadi bahan pertengkaran dan memutus silaturrahim antar umat Islam sendiri; konflik yang disebabkan perbedaan paham mengenai yasinan, tahlilan, memperingati hari kematian dan lain-lain.

Pertanyaannya adalah, bagaimana seharusnya warga Muhammadiyah memperbaiki persepsinya di kalangan akar rumput? Kita punya jawaban masing-masing. Bagi saya persepsi menjadi penting, bukan untuk pencitraan. Tetapi, dengan diterimanya Muhammadiyah di lapisan masyarakat paling bawah, dakwah amar ma’ruf nahi munkar akan lebih mengena. Ali Bin Abi Thalib pernah berkata, “jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu.” Perlu cara-cara yang lemah lembut untuk memahamkan sesuatu pada masyarakat. Kalau kita bersikap keras dan berhati kasar, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Ali Imran ayat 159, maka tentu mereka (masyarakat) menjauhkan diri dari kita.

Akankah muncul (kembali) kisah heroik seperti kisah Pak AR Fachrudin yang mengubah tradisi yasinan tradisional menjadi pengajian tafsir Al-Qur’an? Pak AR adalah contoh terbaik dari “toleransi khilafiyah”. Beliau mengubah persepsi masyarakat terhadap Muhammadiyah dengan cara yang santun. Muhammadiyah tentu saja mesti punya wibawa, namun bukan dalam pengertian ‘menyeramkan’.

Muhammad Muflih/sangpencerah.com
( Sekretaris Bidang ASBO - PD IPM Kabupaten Bogor )

Tidak ada komentar: